Surat Al-Baqarah ayat 228: Presiden Wanita Dalam Perspektif Fiqh Siyasah

80 80 ﻮُﻣاﱠﻮَﻗ َن ُﻣاﱠﻮَﻗ َن و Mufassir Rasyid Ridha, dalam tafsir “Al-Manar” mengartikan kata ss sebagai pemimpin, tetapi cara yang ditempuh bukanlah pemaksaan tapi bimbingan dan penjagaan. Selanjutnya ia mengemukakan kelebihan pria atas wanita, karena ada dua sebab, fitri dan kasbi. 159 Sebab fitri bawaan sudah ada sejak penciptaan. Menurutnya, perempuan sejak penciptaannya diberi fitrah untuk mengandung al-hamalah, melahirkan al-wiladah, dan mendidik anak tarbiyah al- athfal. Sedangkan pria semenjak penciptaan sudah diberikan kelebihan kekuatan al- quwwah dan kemampuan al-qudrah, menurutnya akibat kesempurnaan pria itu tentu akan berdampak kelebihan kasbi yaitu pria telah mampu berinovasi dan berusaha di segala bidang. 160 Dari pendapat mufassir di atas dapat disimpulkan bahwa hanya ada pada kaum pria maka berarti prialah penanggung jawab, pendidik, pengatur, penguasa, dan lain-lain yang semakna atas isteri atau wanita dalam rumah tangga. Dan isteri atau wanita pihak yang dikuasai, yang dipimpin pria mempunyai superioritas dan wanita inferioritas. Sebab laki-laki diciptakan Allah swt. sebagai pemimpin bagi urusan wanita, penjaga atas kehormatannya, dan pemenuh kebutuhan nafkah ruhiyah serta badaniah. 161

2. Surat Al-Baqarah ayat 228:

... َو ٌﺔَﺟَر َد ﱠﻦِﮭْﯿَﻠَ ﻋ ِلﺎَﺟﱢﺮﻠِﻟ ... ةﺮﻘﺒﻟا 2 : 228 Artinya: ”...akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya...” 159 Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Beirut: Dar al-Fikr,1973, v. 7, h. 69-70. 160 Ibid., h. 71. 161 Huzaemah Tahido, Muhadharat fi al-fiqh al-Muqarin, h. 69. 81 81 Allah swt. menyatakan kaum pria adalah pemimpin bagi kaum wanita, sebab Allah telah melebihkan sebagian mereka di atas sebagian yang lain yakni karena pria lebih utama dari wanita, dan pria lebih baik dari wanita. Karena itulah kenabian hanya dikhususkan bagi laki-laki, begitu juga kekuasaan yang tertinggi berdasarkan sabda Nabi. Demikian pula halnya dengan posisi hakim, kepala negara, dan lain-lain. ii. Hadist Selain itu terdapat Hadis yang menguatkan larangan wanita menjadi presiden: ﻦﺴﺤﻠﻟا ﻦﻋ فﻮﻋ ﺎﻨﺛﺪﺣ ﻢﺜﯿﮭﻟا ﻦﺑ نﺎﻤﺜﻋ ﺎﻨﺛﺪﺣ َل ﺎَ ﻗ ةَﺮ ْ ﻜَﺑ ْﻲ ِﺑ َ أ ْﻦ َﻋ : َﻟ َﻘ ْﺪ َﻧ َﻔ َﻌ ِﻨ َﻲ ُﷲ ِﺑ َﻜ ِﻠ َﻤ ٍﺔ َأ ﯾ ﱠ ـ َ مﺎ ْﻟا َﺠ َﻤ ِﻞ , َﻟ َﻤ َﺑ ﺎ َﻠ َﻎ ﱠﻨﻟا ِﺒ ﱡﻲ َﺻ ﱠﻠ ُﷲ ﻰ َﻋ َﻠ ْﯿ ِﮫ َو َﺳ ﱠﻠ َﻢ َأ ﱠن َﻓ َﺮ ًﺳ ﺎ َﻣ َﻠ ُﻜ ْﻮ ْﺑا ا َﻨ َﺔ ِﻛ ْﺴ َﺮ َﻗ ى َل ﺎ : ﻟ ًةَأَ ﺮْ ﻣِا ْ ﻢُھَﺮ ْﻣَأ اْﻮﱠﻟَو ٌمْﻮ َﻗ َﺢِﻠْﻔُﯾ ْﻦ يرﺎﺨﺒﻟا هاور 162 Artinya: ”Menceritakan kepada Usman bin Husaem dan Auf dari Hasan dari Abi Bakrah, beliau berkata bahwa sesungguhnya Allah telah memberikan manfa’at kepada saya dengan suatu kalimat pada waktu perang jamal, bahwa Nabi Muhammad saw. telah bersabda ketika ada berita sampai kepada Nabi Muhammad saw. bahwa bangsa persia telah mengangkat anak perempuan rajanya untuk menjadi penguasa, maka Nabi Muhammad saw. bersabda”Sesuatu kaum tidak akan mendapatkan kemenangan kalau mereka menyerahkan urusan mereka kepada wanita.”HR. Al-Bukhari. Lafaz Hadis diatas menunjukkan umum, lafadz ”qaumun” yang digarisbawahi mencakup setiap kaum, dan lafaz ”imro’ah” wanita itu mencakup 162 Shahih Bukhari, Kitab Maghazi, Bab Kitab al-Nabi saw. Ila Qisra wa Qasyhar, juz 7, Hadis 4425, h. 732. 82 82 setiap wanita. Maka setiap kaum atau kaum manapun yang menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita, maka mereka tidak beruntung. Hadis tersebut menunjukkan bahwa wanita tidak diperbolehkan memegang jabatan publik apapun termasuk di dalamnya jabatan presiden, karena akan berakibat pada ketidaksejahteraan dan ketidakberhasilan. Dipimpin wanita adalah mudarat, sedangkan mudarat itu harus dihindari. Di samping itu, hadits ini dari segi riwayah tidak seorangpun pakar hadits yang mempersoalkan kesahihannya. Sedangkan dari segi dirayah pemahaman makna; dalalah Hadits ini menunjukkan dengan pasti haramnya wanita memegang tampuk kekuasaan negara. Meski dalam bentuk ikhbar - dilihat dari sighatnya - Hadits ini tidak otomatis menunjukkan hukum mubah. Sebab, parameter yang digunakan untuk menyimpulkan apakah sebuah khithab berhukum wajib, sunnah, mubah, makruh, ataupun haram adalah qarinahnya indikasi, bukan sighatnya bentuk kalimatnya. 163 Latar belakang turunnya Hadits ini memang ditujukan kepada masyarakat Persia yang menyerahkan urusan kekuasaan kepada seorang wanita. Akan tetapi, walaupun hadits ini merupakan komentar atas suatu kejadian pengangkatan wanita menjadi raja, namun kata “qaumun” isim jins dalam bentuk nakirah ini memberikan makna umum ’aam. Artinya kata qaum di atas berlaku untuk semua kaum, termasuk kaum muslim di dalamnya. Dalam redaksi hadits itu, Rasul tidak melafadzkan dengan kata, lan yufliha qaum al-faaris tidak beruntung masyarakat Persia, akan tetapi menggunakan kata-kata umum, yakni qaumun. Selain itu, tidak ada satupun riwayat 163 Hibbah Rauf Izzat, Wanita dan Politik Pandangan Islam, h. 120. 83 83 yang mentakhsish hadits ini. Dengan demikian berlaku kaidah, Al-’aam yabqa fi ‘umuumihi ma lam yarid dalil at-takhsish Lafadz umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Sedangkan latar belakang sababul wurud turunnya hadits ini tidak pula bisa digunakan dalil untuk mentakhshishnya mengkhususkannya. Sebab, lafadz hadits ini dalam bentuk umum. Sedangkan latar belakang kejadian bukanlah dalil syara’. Karena latar belakang bukanlah hadits Nabi. Oleh karena itu latar belakang sabda Nabi di atas tidak ada kaitannya sama sekali dengan penetapan hukum. Oleh karena itu latar belakang atau suatu sebab dari suatu dalil tidak dapat mentakhsis dalil. Maka berlaku kaidah bahasa yang masyhur dalam ilmu usul fiqh, “Al-’Ibrah bi ‘umum al-lafzhi la bi khususi al-sabab ,” pengertian diambil dari umumnya lafadz bukan khususnya sebab. 164 iii. Qiyas Dengan berpijak pada qiyas, pendukung pendapat ini mencatat adanya perbedaan antara pria dan wanita, yang dapat dijadikan patokan pengqiyasan. Contoh-contoh perbedaan tersebut adalah sebagai berikut: a. Perempuan tidak diperbolehkan mengimami khalayak umum dalam shalat lima waktu, shalat jum’at, dan shalat ‘ied. b. Perempuan tidak memiliki hak cerai menurut ketetapan syari’at, berbeda dengan pria. 164 Muhammad Said Ramadhan al-Buthi dan Tayyib Tizini, Finding Islam: Dialog Tradisionalisme-Liberalisme Islam, terj. Ahmad Mulyadi dan Zuhairi Misrawi, Jakarta: Erlangga, 2002, h. 127. 84 84 ُﻣاﱠﻮَﻗ َن و ﻰ َ ﻠَﻋ َن ﻮُ ﻣاﱠﻮ َﻗ ُ ل ﺎَﺟﱢﺮﻟا ِءﺂَﺴﱢﻨﻟا c. Perempuan tidak diperbolehkan berpegian sendiri tanpa didampingi muhrim atau teman sesama jenis yang dapat dipercaya. d. Perempuan tidak diwajibkan melaksanakan shalat Jum’at berjama’ah, sebagaimana tersebut di dalam Hadis. e. Perempuan tidak diperbolehkan menjadi qadhi; Al-Mawardi menerangkan bahwa jumhur berpendapat bahwa: qadhi tidak boleh perempuan, Imam Abu Hanifah membolehkan seorang perempuan menjadi qadhi, dalam masalah kesaksiannya diterima, tidak boleh perempuan menjadi qadhi bagi kesaksiannya yang tidak diterima. 165

b. Pendapat Yang Membolehkan Wanita Menjadi Presiden

Para ulama yang berpendapat bahwa wanita boleh menjadi presiden dibangun atas dasar-dasar hujjah sebagai berikut:

i. Al-Qur’an

Pendapat ulama kontemporer yang membolehkan wanita menjadi presiden, melihat surat al-Nisa’ ayat 34 ditafsirkan bahwa kata dalam ayat oooooooooooooooooooolllllo bukan berarti pria secara umum, tetapi suami karena konsideran perintah tersebut seperti ditegaskan pada lanjutan ayat adalah mereka para suami menafkahkan sebagian harta untuk isteri-isteri mereka. Seandainya yang dimaksud dengan kata lelaki adalah kaum pria secara umum, tentu konsiderannya 165 Abu Hasan Ali Mawardi, Abu al-Hasan al-, al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyyah, 1978. 85 85 tidak demikian. Terlebih lagi ayat tersebut secara jelas membicarakan para isteri dan kehidupan keluarga. 166 Ayat 34 surat al-Nisa’ tersebut diatas tidak tepat dijadikan alasan untuk menolak wanita menjadi pemimpin di dalam masyarakat atau presiden. Muhammad Abduh sebagaimana dikutip Nasaruddin Umar 167 bahwa tidak memutlakkan kepemimpinan pria terhadap wanita, karena ayat tersebut tidak menggunakan tetapi menggunakan kata Selain itu jalinan antara lelaki dan wanita di dalam masalah-masalah umum merupakan jalinan hubungan ’kekuasaan’. Penyebutan kelebihan derajat dan kepemimpinan di dalam Al-Qur’an tidak lain hanyalah dalam konteks pembicaraan tentang kehidupan suami istri yang seharusnya dikaitkan dengan satu persoalan ini saja. 168 ii. Al-Sunnah Hadis Abu Bakrah “lan yufliha qaumun wallau amruhum imra’atan” tersebut diatas, menurut kelompok ini tidak bisa dijadikan hukum mengharamkan perempuan menjadi presiden, sebab Hadist tersebut mempunyai asbabul wurudnya. Hibbah Rauf Izzat mengomentari bahwa sesungguhnya Hadis tersebut harus dipahami dan dirujukkan kepada sejarah tentang Persia dan Kisra, yaitu orang- 166 Hibbah Rauf Izzat, Wanita dan Politik Pandangan Islam, h. 106. 167 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta:Paramadina, 1999, h. 150-151. 168 Hibbah, Wanita dan Politik ..., h. 107. 86 86 orang Persia telah mengangkat anak perempuan Kisra sebagai raja mereka 169 . Ibn Hajar al-Asqalani sebagaimana dikutip oleh Hibbah, di dalam syarah Shahih al- Bukhari, menyebutkan bahwa Hadis ini merupakan bagian terakhir dari kisah Kisra yang merobek-robek surat Nabi saw.. Kemudian Kisra menyerahkan kekuasaannya kepada anaknya dan anaknya membunuhnya, kemudian anak itu membunuh saudara- saudaranya. Dan ketika anak ini meninggal dunia karena diracun, sampailah kekuasaan ke tangan anak wanitanya yang bernama Bavaran binti Syirawiyah bin Kisra. Maka hilang dan hancurlah kerajaan mereka, sebagaimana yang didoakan Nabi saw. 170 Pada zaman Nabi Muhammad saw., Siti Aisyah istri Nabi saja pernah menjadi pemimpin perang. Sekitar abad ke-13 dan ke-17, ada sekitar lima belas penguasa perempuan yang menguasai tahta di berbagai wilayah muslim. Di antara para penguasa Mamluk yang berasal dari Turki, terdapat dua pemegang mahkota kerajaan, yaitu Sultanah Radhiyah dan Sulthanah Syajarat al-Durr juga terdapat enam ratu dari lingkungan penguasa dinasti Abbasiyyah. G. Presiden Wanita Perspektif Imam Malik dan Imam Al-Thufi a. Pandangan Imam Malik tentang presiden Wanita Telah dijelaskan di atas bahwa telah terjadi perbedaan pendapat antar para ulama, cendikiawan Islam tentang status presiden wanita perspektif Islam. Diantara pendapat tersebut ada yang dinilai ekstrim melecehkan norma dan rambu-rambu 169 Hibbah, Wanita dan Politik ..., h. 108. 170 Ibid., 209. Lihat pula: Ahmad Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al- Bukhari, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turast, t.th. juz. 7., h. 735. 87 87 ilahiyyah, pihak lainnya eksterim dalam kekakuan mereka terhadap pemahaman nilai- nilai ajaran Islam 171 . Dalam kasus presiden wanita, Imam Malik r.a. yang dikenal sangat berhati- hati sekali memutuskan suatu perkara, sediakalanya seperti ulama jumhur yang lainnya berpendapat bahwa bahwa tidak boleh wanita menjadi hakim atau top leader 172 , hal itu berdasarkan al-Nisa’ ayat 34: اﻮُﻘ َ ﻔﻧَأﺂَﻤِﺑَ و ٍ ﺾ ْ ﻌ َﺑ ﻰ َﻠَ ﻋ ْﻢُﮭَﻀ ْ ﻌ َﺑ ُﷲ َﻞﱠﻀَﻓ ﺎَﻤِﺑ ِ ءﺂَﺴ ﱢﻨﻟا ﻰَﻠَﻋ َنﻮُﻣاﱠﻮَﻗ ُل ﺎَ ﺟ ﱢﺮﻟ ا ْﻢِﮭِﻟاَ ﻮْﻣَأ ْﻦ ِ ﻣ …. ءﺎﺴﻨﻟا 4 34 Artinya: ”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka laki-laki atas sebagian yang lain wanita, dan karena mereka laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka ...” Dan Hadist Abi Bakrah yang diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad, Nasa’i, dan Turmudzi, bahwa Rasulullah saw. ﮭﻟا ﻦﺑ نﺎﻤﺜﻋ ﺎﻨﺛﺪﺣ ﻦﺴﺤﻠﻟا ﻦﻋ فﻮﻋ ﺎﻨﺛﺪﺣ ﻢﺜﯿ َل ﺎَ ﻗ ةَﺮ ْ ﻜَﺑ ْﻲ ِﺑ َ أ ْﻦ َﻋ : ْﺪَﻘَﻟ ِﻞ َ ﻤ َﺠ ْ ﻟ ا َم ﺎﱠـﯾَأ ٍ ﺔَ ﻤِ ﻠَﻜِﺑ ُﷲ َﻲ ِ ﻨَﻌَﻔَﻧ , ﺎًﺳَ ﺮَ ﻓ ﱠنَأ َﻢﱠ ﻠَﺳ َ و ِﮫْﯿ َﻠَﻋ ُﷲ ﻰ ﱠﻠَ ﺻ ﱡﻲِﺒﱠﻨﻟا َﻎَﻠَﺑ ﺎَﻤَ ﻟ َل ﺎَ ﻗ ىَﺮ ْ ﺴِﻛ َﺔَﻨ ْﺑا اْﻮُﻜَﻠَﻣ : َﺮ ْﻣ ِا ْ ﻢُھَﺮْﻣَ أ اْﻮﱠﻟَو ٌمْﻮَ ﻗ َﺢِﻠْﻔُﯾ ْ ﻦﻟ ًةَأ يرﺎﺨﺒﻟا هاور Dari nash al-Qur’an surat al-Nisa ayat 34 tersebut, jumhur ulama beragrumentasi bahwa Allah swt. telah menjadikan laki-laki pemimpin bagi kaum wanita. Baik dalam urusan atau perkara wanita, pemberitan nafkah lahiriah dan bathiniah serta juga segala kerhormatannya. Dan sebaliknya seandainya wanita 171 Cahyadi Takariawan, Fiqih Politik Perempuan, Solo: Era Intermedia, 2003, h. 53. 172 Huzaemah T. Yanggo, Fiqh Perempuan Kontemporer, Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2001, h. 75. 88 88 menjadi kepala negara atau hakim maka yang akan terjadi adalah timbulnya banyak masalah. 173 Selain itu pula larangan terhadap kepemimpinan wanita dalam negara dikuatkan dengan Hadis Rasulullah dari Abi Bakrah. Hadis ini berbentuk khabar berita kepada para sahabat dimana kepemimpinan wanita diatas lelaki akan berimplikasi kepada kerugian, kehancuran, dan ketidakbahagiaan. Menurut Huzaemah Tahido, inilah peringatan yang keras, tidak akan terjadi peringatan ini kecuali disebabkan suatu perkara yang sangat urgen 174 . Dalam pandangan maslahat mursalah Imam Malik, mengangkat presiden dari golongan wanita dikategorikan maslahat yang mulgah, yaitu maslahat yang telah dibatalkan oleh nash al-Qur’an yaitu dalam surat al-Nisaa’ ayat 34 dan Hadis Abu Bakrah yang berkualitas shahih. Selain itu terdapat ijma’ sahabat yang menyatakan bahwa wanita tidak diperbolehkan memegang tampuk kekuasaan sebagai al-imamah al-kubra. 175

b. Pandangan Imam al-Thufi tentang Presiden Wanita

Banyak sekali pendapat para ulama yang melarang wanita untuk menjadi pemimpin atau presiden suatu negara. Alasan yang diutarakan seperti yang telah dijelaskan diatas adalah terdapat dukungan nash yang kuat dalam larangan presiden wanita; baik nash al-Qur’an maupun Hadis. Diantaranya adalah: 173 Huzaemah Tahido, Muhadharat fi al-fiqh al-Muqarin, h. 69 174 Ibid., h. 69. 175 Abu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Kairo: Dar al-Hadis, 2004, h. 243. 89 89 ﻮُﻣاﱠﻮَﻗ ُلﺎَﺟ ﱢ ﺮﻟا اﻮُﻘ َ ﻔﻧَأﺂَﻤِﺑَ و ٍ ﺾ ْ ﻌ َﺑ ﻰ َﻠَ ﻋ ْﻢُﮭَﻀ ْ ﻌ َﺑ ُﷲ َﻞﱠﻀَﻓ ﺎَﻤِﺑ ِ ءﺂَﺴ ﱢﻨﻟا ﻰَﻠَﻋ َن ْﻢِﮭِﻟاَ ﻮْﻣَأ ْﻦ ِ ﻣ …. ءﺎﺴﻨﻟا 4 34 Artinya: ”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka laki-laki atas sebagian yang lain wanita, dan karena mereka laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka ...” Dan Hadist Rasulullah saw. ... ٌ ﺔَﺟَر َد ﱠﻦِﮭْﯿَﻠَ ﻋ ِلﺎَﺟﱢﺮﻠِﻟَو ... ةﺮﻘﺒﻟا 2 : 228 Artinya: ”...akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya ...” Dari ayat-ayat yang penulis garis bawahi, mayoritas ulama melarang wanita menjadi presiden, karena Allah swt. telah menentukan bahwa lelaki adalah pemimpin wanita dan pada ayat kedua pula dinyatakan bahwa lelaki mempunyai satu tingkatan derajat kelebihan daripada wanita. Selain itu terdapat Hadist shahih yang melarang wanita untuk menjadi pemimpin negara Lan yufliha wallu Amrahum Imroatan. 176 Mengenai Hadis Abu Bakrah di atas, dari segi metodologi kritik Hadis, ia adalah sahih. Pertanyaan yang harus dijawab ialah bagaimana Imam al-Thufi memahami ayat dan Hadis ini. Terdapat satu pendapat bahwa Hadis-Hadis dapat dikategorikan sebagai termasuk umurud dunya dan keuniversalannya tidak didukung oleh kenyataan harus ditafsirkan menurut semangatnya dan dalam konteks sosio-historisnya. Kalau tidak ia akan menjadi kering, memosil dan tidak bermakna. Untuk itu jika preseden-preseden 176 Imâm Bukhari menerima Hadis tersebut dari Usman bin Hasyim dari Auf dari Hasan al-Bisri dari Abu Bakrah, Matn al-Bukhari bi Hasyiah al-Sindi, Bandung: Syirkah al-Maarif, t.t., III: 90-91. 90 90 historis terutama dari kebijaksanaan-kebijaksanaan 177 . Umar r.a. seperti mengenai masalah kharaj di mana ia mengubah praktek Rasulullah yang memberikan tanah-tanah kepada para prajurit yang mendapatkannya yang kemudian oleh Umar, r.a. praktek itu dirubah di mana tanah-tanah tidak ia berikan kepada prajurit. 178 Umar r.a. tidak memahami Hadis-Hadis Rasulullah dalam arti harfiyahnya melainkan dalam semangatnya. Dengan kalimat yang lebih teknis, Hadis-Hadis itu harus dipahami menurut illatnya, sekalipun illat-illat itu harus dicari melalui ijtihad artinya tidak dinaskan. Hadis-Hadis semacam ini cukup banyak terutama dalam masalah kemasyarakatan dan politik muamalah, seperti Hadis al-Aimmah min Quraisy yang oleh Ibn Khaldun dipahami melalui teori sejarahnya yang terkenal itu, yaitu teori asabiyah. Secara singkat menurut Ibn Khaldun Nabi menyerahkan Imamah kepada kaum Quraisy karena pada waktu itu hanya merekalah yang memiliki asabiyah yang diperlukan bagi kelangsungan sebuah tata politik. Teori Ibn Khaldun ini dapat diperluas lagi dengan menyatakan : karena orang-orang Quraisylah yang memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang masalah-masalah politik dan ekonomi waktu itu wajarlah Rasul menyerahkan Imamah kepada mereka. 179 177 Nasikun, “Bolehkah Wanita Menjadi Pemimpin Pemerintahan”, Makalah Diskusi Ilmiah Dosen Tetap IAIN Sunan Kalijaga, Th. ke-11, 19881989, 23 Desember 1988, h.8 178 Abu Yusuf, al-Kharaj, Beirut: Dar al-Maarifah,1979, hlm. 26 dts. 179 Syamsul Anwar, Imâmah Wanita dalam Pandangan Ulama Fiqh Siasah, Makalah Diskusi Ilmiah Dosen Tetap IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Th. ke-11, 19881989, 23 Desember 1988, hlm.6. 91 91 Hadist Abu Bakrah di atas pun kiranya dapat ditafsirkan dengan cara yang sama. Secara historis pada zaman Rasulullah wanita tidak begitu beruntung, bahkan anak wanita yang lahir dikubur hidup-hidup. Rasulullah sendiri berjuang untuk membebaskan kaum wanita. Walapun beliau telah banyak berhasil, suatu struktur sosial yang sudah begitu kokoh dan melembaga tidak dapat dirubah total seratus persen dalam waktu singkat, seperti lembaga perbudakan misalnya. Bahkan sampai beberapa abad kemudian posisi kaum wanita belum begitu menguntungkan. Mereka dikurung di rumah dengan sangat ketat. Apabila seorang lelaki hendak meninggalkannya, ia mengutus seorang wanita pemantau untuk melihat dan menyelidiki kelayakannya, sedangkan si lelaki itu tidak akan pernah dapat melihatnya sebelum akad nikah. Wanita-wanita itu hanya dapat dipandang oleh mata keluarga mereka. 180 Dari segi pendidikan mereka juga kurang beruntung. Kaum lelaki malah lebih tertarik untuk mendidik dan mengajar budak karena faktor komersial, sebab budak yang terampil terutama pandai tulis baca akan mahal harganya. Hanya kalangan amat terbatas saja yang mendidik wanita. 181 Pendek kata wanita tidak keluar dari tembok-tembok rumah suami atau orang tuanya. Artinya mereka tidak tahu menahu mengenai urusan masyarakat. Jadi dengan demikian wajarlah Rasulullah menyatakan bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada kepada orang 180 Ibid., h. 7. 181 Ahmad Amin, Duha al-Islam, Kairo:Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, t.t., I:98. 92 92 yang tidak banyak memahami soal-soal kemasyarakatan akan mengalami kegagalan 182 . Akan tetapi sekarang situasi telah jauh berubah dan wanita telah banyak yang pandai dan terlibat secara inten dalam berbagai lapangan kehidupan. Jadi mereka sudah tahu seluk beluk masalah. Karena menurut teori hukum Islam, hukum itu berlaku menurut ada-tidaknya illatnya, maka dapatlah dikatakan bahwa tidak melanggar hukum Islam, wanita yang karena kecakapannya menjadi kepala pemerintahan, karena illat mengapa Rasulullah dulu melarang telah hilang. 183 Dengan mempergunakan pandangan at-Thufi nampak Hadis yang tidak memperbolehkan wanita menjadi pemimpin negara tersebut bersifat kondisional, artinya larangan Nabi dalam Hadis tersebut dilatarbelakangi olah adat Arab dan sekitarnya, sehingga bila adat berubah, illat larangan hilang; syarat-syarat yang ditunjuk dalam nas terpenuhi dan situasi tertentu memungkinkan, larangan tersebut dapat berubah menjadi sesuatu yang dibolehkan. 184

H. Persamaan dan perbedaan Kedua Pendapat 1. Persamaan Pendapat Antara Imam Malik dan Imam Al-Thufi