Konsep Maslahah Mursalah Imam al-Thufi

59 59 maslahat haruslah dipertahankan karena keduanya merupakan dua hal yang bertentangan bagai air dan minyak. 117 Ringkasnya, nas dan ijma itu terkadang tidak mengandung segi mudarat dan mafsadat, atau memang mengandung mudarat. Jika tidak mengandung mudarat sama sekali, berarti keduanya sama dengan maslahat. Akan tetapi jika mengandung mudarat, terkadang mudarat itu bersifat menyeluruh atau sebagian. Jika mudarat yang ada itu bersifat keseluruhan, hal itu termasuk pengecualian dari hadis Rasulullah saw. la darara wa la dirara, seperti yang terdapat di dalam masalah hadd, uqubat dan jinayat. Jika pengertian dararah mudarat hanya sebagian, jika terdapat dalil yang menguatkan, hendaknya melakukan perbuatan sesuai dengan dalil yang menguatkan tersebut. Apabila terdapat dalil khusus yang men-takhsis, wajib di-takhsis dengan pengertian hadis Rasul la darara wa la dirarah, dengan pengertian mengadakan kompromi antara dalil-dalil tersebut. 118

4. Konsep Maslahah Mursalah Imam al-Thufi

Dalam pandangan at-Tufi bahasan lafaz maslahat berdasarkan wazan mafalatun dari kata shalah. Artinya, bentuk sesuatu dibuat sedemikian rupa sesuai dengan kegunaannya. Misalnya, pena dibuat sedemikian rupa agar dapat digunakan untuk menulis al-qalamu yakunu ala’ haiatihi shalihatun li al-kitabah. Pedang dibikin sedemikian rupa sehingga bisa dipakai untuk memenggal. Adapun batasnya, 117 Ibid, h. 23. 118 Ibid, h.24. 60 60 sesuai kebiasaan ‘urf, yakni “al-sabab al-mu’addi ila al-shalah wa al-naf’u”, 119 maksudnya bahwa sesuatu maslahah berarti ia dalam keadaan baik, lengkap, berfungsi, dan berguna sesuai dengan tujuan barang itu diadakan dan tidak menimbulkan kerusakan dan kebinasaan. Dengan mempergunakan pengertian ini, maslahah kemudian didefinisikan sebagai sarana yang berdimensi sebagai kausalitas yang menyebabkan adanya maslahat dan manfaat. Misalnya, perdagangan adalah sarana untuk mencapai keuntungan. Pengertian berdasarkan syariat adalah sesuatu yang menjadi penyebab untuk sampai kepada maksud syari, baik berupa ibadat maupun adat al-sabab al- mu’addi ila maqshud al-syar’i ibadatan wa adatan 120 . Kemudian, al-Tufi membagi maslahat menjadi dua bagian, yaitu perbuatan yang memang merupakan kehendak syari Allah swt., yakni ibadat dan apa yang dimaksudkan untuk kemanfaatan semua umat manusia dan tatanan kehidupan, seperti adat istiadat muamalah. 121 Pandangan at-Tufi tentang maslahat sebagaimana dikemukakan pada bagian pendahuluan adalah berasal dari pembahasan syarah Hadis nomor 32 hadis Arbain Nawawi. Hadis dimaksud adalah berbunyi راَﺮ ِﺿ َﻻ َو َرَﺮ َ ﺿ َﻻ Artinya: tidak memudaratkan diri sendiri dan tidak memudaratkan orang lain. 119 Ahmad Abd al-Rahim al-Sayih, Risalah fi Riayat al-Maslahah li al-Imam at-Tufi Mesir: Dar al-Misriyah li al-Bananiyah, 1993, h. 25 120 Ibid., h. 25. 121 Ibid., h.25 61 61 Bahasan at-Tufi mengenai Hadis tersebut dikutip secara utuh dan lengkap yang bersumber dari bahasan Syaikh Jamaluddin al-Qasimi seorang ulama Damaskus yang telah berupaya memisahkan bahasan at-Tufi di dalam hadis tersebut, kemudian menukilkannya sebagai risalah tersendiri. Ia juga berperan sebagai pensyarah di dalam risalah tersebut. Kemudian majalah al-Manar No. IX10, Oktober 1906 memuat risalah at-Tufi berikut syarahnya secara lengkap. 122 Prof. Dr. Mustafa Zaid, guru besar pada Universitas Dar al-Ulum memilih sebuah bahasan at-Tufi dan pendapatnya tentang maslahat sebagai judul risalahnya. Referensi yang dijadikan rujukan untuk penelitian Mustafa Zaid, di samping untuk memperkuat risalah at-Tufi, ia menggunakan dua manuskrip yang tersimpan di perpustakaan at-Taimuria milik Dar al-Kutub al-Misriyah, yang memuat syarah at-Tufi mengenai hadis Arbain Nawawi, manuskrip pertama terdaftar pada nomor 328 kelompok hadis. dan kedua terdaftar pada nomor 446 kelompok hadis. Ia juga menggunakan risalah Syaikh Jamaluddin al-Qasimi, majalah al-Manar No. IX10, 1906. Dalam kaitan ini ia mengadakan studi komparatif dan penelitian di antara sumber-sumber tersebut mengenai risalah at-Tufi sehingga karyanya tersebut membuahkan tulisan mengenai risalah at-Tufi yang disunting secara bagus. 123 Pandangan at-Tufi - tentang maslahat - nampaknya bertitik tolak pula dari konsep maqasid at-tasyri yang menegaskan bahwa hukum Islam disyariatkan untuk 122 Al-Thufi, Syarh al-Arbain an Nawawiyah dalam Abdul Wahhab Khallaf, masadir at-Tasyri al-Islami Fima la Nassa fih, Kuwait: Dar al-Qalam, 1972, h. 105. 123 Ibid. dan lihat juga Ahmad Abd al-Rahim al-Sayih, Risalat fi Riayat al-Maslahat li al- Imam at-Tufi Mesir: Dar al-Misriyah li al-Bananiyah, 1993, h.13-47. 62 62 mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia. Konsep ini telah diakui oleh para ulama dan oleh karena itu mereka memformulasikan suatu kaidah yang cukup populer,Dimana ada maslahat, di sana terdapat hukum Allah. 124 Karena begitu pentingnya maqasid al-syariah tersebut, para ahli teori hukum menjadikan maqasid al-syariah sebagai salah satu kriteria di samping kriteria lainnya bagi mujtahid yang melakukan ijtihad. Adapun inti dari konsep maqasid al-syariah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak mudarat, istilah yang sepadan dengan inti dari maqasid al-syariah tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada maslahat. untuk memahami hakikat dan peranan maqasid al-syariah, berikut akan diuraikan secara ringkas teori tersebut. Imam al-Haramain al-Juwaini dapat dikatakan sebagai ahli teori ulama usul al-fiqh pertama yang menekankan pentingnya memahami maqasid al-syariah dalam menetapkan hukum Islam. Ia secara tegas mengatakan bahwa seseorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia memahami benar tujuan Allah mengeluarkan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya. 125 Kemudian al-Juwaini mengelaborasi lebih jauh maqasid al-syariah itu dalam hubungannya dengan illat, asl dapat dibedakan menjadi lima bagian, yaitu: asl yang masuk kategori daruriyat primer, al-hajat al-ammah sekunder, makramat 124 Muhammad Said Ramdan al-Buti, Dawabit al-Maslahah fi as-Syariah al-Islamiyah, Beirut: Muassasah ar-Risalah,1977, h.12. 125 Abd al-Malik ibn Yusuf Abu al-Maali al-Juwaini, Al-Burhan fi Usul al-Fiqh Kairo: Dar al-Ansar,1400 H,I:295. 63 63 tersier, sesuatu yang tidak masuk kelompok daruriyat dan hajiyat, dan sesuatu yang tidak termasuk ketiga kelompok sebelumnya. 126 Dengan demikian pada prinsipnya al-Juwaini membagi asl atau tujuan tasyri itu menjadi tiga macam, yaitu daruriyat, hajiyat dan makramat tahsiniyah. Pemikiran al-Juwaini tersebut dikembangkan oleh muridnya, al-Gazali. Al-Gazali menjelaskan maksud syariat dalam kaitannya dengan pembahasan al-munasabat al-maslahiyat dalam qiyas 127 yang dalam pembahasannya yang lain, ia menerangkan dalam tema istislah. 128 Maslahat menurut al-Gazali adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. 129 Kelima macam maslahat di atas bagi al-Gazali berada pada skala prioritas dan urutan yang berbeda jika dilihat dari sisi tujuannya, yaitu peringkat primer, sekunder dan tersier. 130 Dari keterangan ini jelaslah bahwa teori maqasid al-syariah sudah mulai tampak bentuknya. Pemikir dan ahli teori hukum Islam berikutnya yang secara khusus membahas maqasid al-syariah adalah Izzuddin ibn Abd al-Salam dari kalangan Syafiiyah. Ia lebih banyak menekankan dan mengelaborasi konsep maslahat secara hakiki dalam bentuk menolak mafsadat dan menarik manfaat. 131 Menurutnya, maslahat keduniaan tidak dapat dilepaskan dari tiga tingkat urutan skala prioritas, 126 Ibid, II: h. 923-930. 127 Al-Gazali, Syifa al-Gazalil fi Bayan al-Syibh wa al-Mukhil wa Masalik al-Ta’lil Bagdad: Matba’ah al-Irsyad, 1971, h. 159. 128 Al-Gazali, al-Mustasfa min Ilm al-Usul Kairo: al-Amiriyah, 1412, h.250. 129 Ibid h.251. 130 Ibid.h. 252. 131 Izzuddin ibn Abd al-Salam, Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam Kairo: al-Istiqamat, t.t, h. 32. 64 64 yaitu: daruriyat, hajjiyat, dan takmilat atau tatimmat. 132 Lebih jauh lagi ia menjelaskan, bahwa taklif harus bermuara pada terwujudnya maslahat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. 133 Berdasarkan penjelasan ini, dapat dikatakan bahwa Izzuddin ibn Abd al-Salam telah berusaha mengembangkan konsep maslahat yang merupakan inti pembahasan dari maqasid al-syariah. Pembahasan tentang maqasid al-syariah secara khusus, sistematis dan jelas dilakukan oleh al-Syatibi dari kalangan Malikiyah. Dalam kitabnya al-Muwafaqat yang sangat terkenal itu, ia menghabiskan lebih kurang sepertiga pembahasannya mengenai maqasid al-syariah. Sudah tentu, pembahasan tentang maslahat pun menjadi bagian yang sangat penting dalam tulisannya. Ia secara tegas mengatakan bahwa tujuan utama Allah menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk terwujudnya maslahat hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, taklif dalam bidang hukum harus mengarah pada dan merealisasikan terwujudnya tujuan hukum tersebut. 134 Seperti halnya ulama sebelumnya, ia juga membagi urutan dan skala prioritas maslahat menjadi tiga urutan peringkat, yaitu daruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat. 135 Yang dimaksud maslahat menurutnya seperti halnya konsep al-Gazali, yaitu memelihara lima hal pokok, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. 136 Konsep maqasid al-syariah atau maslahat yang dikembangkan oleh al-Syatibi di atas sebenarnya telah melampaui pembahasan ulama abad-abad 132 Izzuddin ibn Abd al-Salam, Qawaid al-Ahkam, h. 60 dan 62. 133 Ibid., h. 64 134 Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Syariah Kairo: Mustafa Muhammad, t.t, h. 72 135 Ibid., h. 73 136 Ibid., h. 80. 65 65 sebelumnya. Konsep maslahat al-Syatibi tersebut melingkupi seluruh bagian syariah dan bukan hanya aspek yang tidak diatur oleh nash. Sesuai dengan pernyataan al-Gazali, al-Syatibi merangkum bahwa tujuan Allah menurunkan syariah adalah untuk mewujudkan maslahat. Meskipun begitu, pemikiran maslahat al-Syatibi ini tidak seberani gagasan at-Tufi. 137 Al- Thufi membangun pemikiran tentang maslahah tersebut berdasarkan atas empat prinsip 138 , yaitu: 1. Akal bebas menentukan kemaslahatan dan kemafsadatan istiqlal al-‘uqul bi idrak al-mashalih wa al-mafasid. Untuk menentukan suatu kemaslahatan atau kemafsadatan cukup dengan akal. Pendirian al-Tufi bahwa akal semata, tanpa harus melalui wahyu mampu mengetahui kebaikan dan keburukan menjadi fondasi pertama dalam piramida pemikirannya. Akan tetapi, al-Tufi membatasi kemandirian akal itu dalam bidang mu’amalah dan adat istiadat saja, dan ia melepaskan ketergantungan atas petunjuk nash, maslahah atau mafsadah pada kedua bidang itu. Pandangan ini bertolak belakang dengan mayoritas ulama yang menyatakan bahwa sekalipun kemaslahatan dan kemafsadatan itu dapat dicapai dengan akal, kemaslahatan itu harus mendapatkan justifikasi dari nash atau ijma’, baik dari bentuk, sifat maupun jenisnya 139 . 137 Nur A. Fadhil Lubis, Hukum Islam dalam Kerangka Teori Fikih dan Tata Hukum Indonesia Medan: Pustaka Widyasarana, 1995, h. 34-35. 138 Amir Mua’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran..., h. 55. Lihat pula: Mustafa Zaid, Al-Maslahah fi at-Tasyri al-Islami wa Najmuddin at-Tufi, Beirut: Dar al-Fikr, 1954, h. 127-132 dan Husein Hamid Hasan, Nazariah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, Kairo: Dar an-Nahdah al-Arabiyah, 1971, h. 529. 139 Amir Mua’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran, h. 55. 66 66 2. Sebagai kelanjutan dari pendapatnya yang pertama di atas, al-Thufi berpendapat bahwa maslahat merupakan dalil syar’i mandiri yang kehujjahannya tergantung pada akal semata al-maslahah dalilah syar’iyyah ‘an al-nash. Dengan demikian, maslahat merupakan dalil mandiri dalam menetapkan hukum. Oleh sebab itu, untuk kehujjahan maslahah tidak diperlukan dalil pendukung karena maslahah itu didasarkan kepada pendapat akal semata. Bagi al-Tufi, untuk menyatakan sesuatu itu maslahat atas dasar adat-istiadat dan eksperimen, tanpa membutuhkan petunjuk nash 140 . 3. Maslahat hanya berlaku dalam lapangan mu’amalah dan adat kebiasaan, sedangkan dalam bidang ibadah mahdah dan ukuran-ukuran yang ditetapkan syara’, seperti shalat Dzuhur empat raka’at, Puasa Ramadhan selama satu bulan, dan thawaf itu dilakukan tujuh kali, tidak termasuk objek maslahat karena masalah-masalah tersebut merupakan hak Allah semata. Bagi al-Tufi, maslahat ditetapkan sebagai dalil syara’ hanya dalam aspek mu’amalah hubungan sosial dan adat istiadat. Sedangkan dalam ibadah dan muqaddarat, maslahat tidak dapat dijadikan dalil. Pada kedua bidang tersebut nash dan ijma’-lah yang dijadikan referensi harus diikuti. Perbedaan ini terjadi karena dalam pandangan al-Tufi ibadah merupakan hak prerogratif Allah, karenanya, tidak mungkin mengetahui jumlah, cara, waktu dan tempatnya kecuali atas dasar penjelasan secara resmi langsung dari Allah swt. Sedangkan lapangan mu’amalah dimaksudkan untuk memberikan kemanfaatan dan kemaslahatan kepada manusia. Oleh karena itu, 140 Ibid., h. 56 67 67 dalam masalah ibadah, Allah lebih mengetahui, dan karena itu kita harus mengikuti nash dan ijma’ dalam bidang ini. Mengenai masalah hubungan sosial, manusialah yang lebih mengetahui kemaslahatannya. Karenanya mereka harus berpegang pada maslahah ketika kemaslahatan itu bertentangan dengan nash dan ijma’. 141 4. Maslahah merupakan dalil syara’ yang paling kuat. Oleh karena itu, al-Thufi menyatakan apabila nash dan ijma’ bertentangan dengan maslahah, didahulukan maslahah dengan cara pengkhususan takhsis dan perincian bayan nash tersebut. Dalam pandangan al-Thufi secara mutlak maslahat itu merupakan dalil syara’ yang terkuat, itu bukan hanya merupakan dalil ketika tidak adanya nash atau ijma’, juga hendaklah lebih diutamakan dari nash dan ijma’ ketika terjadi pertentangan antara keduanya. Pengutamaan maslahah atas nash dan ijma’ tersebut dilakukan al-Thufi dengan cara bayan dan takhsis, bukan dengan cara mengabaikan atau meninggalkan nash sama sekali, sebagaimana mendahulukan sunnah atas Al-Qur’an dengan cara bayan. Hal demikian bersumber dari sabda Nabi saw.,”tidak memudharatkan dan tidak dimudharatkan”. Pengutamaan dan mendahulukan atas nash ini ditempuh baik nash itu qath’i dalam sanad dan matannya atau zhanni keduanya. 142 141 Amir Mua’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran., h. 57 142 Amir Mua’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran, h. 58. 68 68 Ada beberapa alasan yang dikemukakan Imam al-Thufi dalam mendukung pendapatnya, yaitu: 143 a. Firman Allah swt. dalam surah al-Baqarah, 2: 179: ْﻟﻷ ا ﻲِﻟوُأ ﺎَﯾ ٌة ﺎَﯿَﺣ ِص ﺎَﺼ ِ ﻘْﻟا ﻲِﻓ ْﻢُﻜَ ﻟَ و َن ﻮُ ﻘﱠ ﺘَﺗ ْﻢُﻜﱠﻠَﻌَﻟ ِب ﺎ َ ﺒ ةﺮﻘﺒﻟا 2 : 179 Artinya: ”dan dalam qishaash itu ada jaminan kelangsungan hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”. Q.S. al-Baqarah2: 179 b. Firman Allah swt. dalam surah al-Ma’idah, 5: 38: ﱠﺴ ﻟا َو ُﱠ ﷲَ و ِﱠﷲ َﻦِﻣ ﻻ ﺎَ ﻜَ ﻧ ﺎَ ﺒَﺴَﻛ ﺎَ ﻤِﺑ ًءاَﺰَﺟ ﺎَﻤُﮭَﯾِﺪْ ﯾَأ اﻮُﻌَﻄ ْ ﻗ ﺎَﻓ ُﺔ َﻗِرﺎﱠﺴﻟ اَ و ُقِرﺎ ٌﻢﯿِﻜَﺣ ٌﺰﯾِﺰَ ﻋ ةﺪﺋﺎﻤﻟا 5 : 38 Artinya: ”laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Q.S. al-Ma’idah5: 38. c. Firman Allah swt. dalam surah al-Nur, 24:2 ٍةَﺪْﻠَﺟ َﺔ َ ﺋﺎِﻣ ﺎَﻤُﮭْﻨِﻣ ٍﺪِﺣاَو ﱠﻞ ُﻛ اوُﺪِ ﻠْﺟﺎَﻓ ﻲ ِ ﻧاﱠﺰﻟاَو ُﺔَ ﯿِ ﻧاﱠﺰ ﻟا رﻮﻨﻟا 24 : 2 Artinya: ”Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap- tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, ...”. Menurut al-Thufi, semua ayat ini mengandung pemeliharaan kemaslahatan manusia, yaitu jiwa, harta, dan kehormatan mereka. Oleh sebab itu, tidak satupun ayat yang tidak mengandung dan membawa kemaslahatan bagi manusia. d. Sabda Rasulullah saw. ٍﺾ ْ ﻌ َﺑ ِﻊْﯿَﺑ ﻰ َﻠَ ﻋ ْﻢُﮭُﻀ ْﻌَﺑ ُﻊ ْ ﯿِﺒَ ﯾ َﻻ , ٍدﺎَﺒِﻟ ٌﺮِﺿ ﺎَﺣ ُﻊْﯿِﺒَﯾ َﻻ َو , ﻰ َ ﻠَﻋ ُةَأ ْﺮَﻤْﻟا ُﺢَﻜْﻨُـﺗَ ﻻَو ﺎَﺧ ْ وَأ ﺎَﮭِﺘﱠﻤَﻋ ﺎَﮭِﺘَﻟ , ْﻢُﻜَ ﻣﺎ َ ﺣ ْرَأ ْﻢُﺘ ْﻌَﻄَﻗ َﻚ ِ ﻟذ ْﻢُﺘْﻠَﻌَﻓ ْنِإ ْﻢُﻜﱠﻧِإ يرﺎﺨﺒﻟا هاور Artinya: ”Seseorang jangan membeli barang yang telah ditawar orang lain, dan jangan pula orang kota para pedagang membeli barang dagangannya 143 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos, 1996, h. 126-127. 69 69 dengan mendatangi para petani desa, dan jangan dinikahi seorang perempuan sekaligus dengan bibi saudara kandung ayah atau ibu yang perempuan; karena apabila kamu lakukan itu, maka kamu telah memutuskan hubungan tali silaturrahmi sesama kamu”. HR. Bukhari Larangan-larangan Rasulullah dalam hadist ini, menurut al-Thufi, dimaksudkan untuk kemaslahatan umat. Larangan membeli barang yang sudah ditawar orang lain adalah untuk memelihara kemaslahatan penawar barang pertama; larangan mendatangi para petani ke desa untuk membeli komoditi mereka adalah untuk memelihara kemaslahatan petani desa dari kemungkinan terjadinya penipuan harga, dan larangan menikahi wanita sekaligus dengan bibinya, juga untuk memelihara kemaslahatan isteri, dan keluarga. Oleh sebab itu menurut al-Thufi, pada dasarnya baik firman Allah maupun sabda Rasulullah saw. bertujuan untuk kemaslahatan manusia. Dengan demikian, keberadaan maslahah sebagai landasan hukum tidak diragukan lagi dan bisa dijadikan dalil mandiri. 144

C. Sisi Persamaan dan Perbedaan Kedua Tokoh