59
59 maslahat  haruslah  dipertahankan  karena  keduanya  merupakan  dua  hal  yang
bertentangan bagai air dan minyak.
117
Ringkasnya, nas dan ijma itu  terkadang  tidak  mengandung  segi mudarat dan mafsadat, atau memang mengandung mudarat. Jika tidak mengandung mudarat
sama  sekali,  berarti  keduanya  sama  dengan maslahat.  Akan  tetapi  jika  mengandung mudarat,  terkadang mudarat itu  bersifat  menyeluruh  atau sebagian.  Jika  mudarat
yang  ada  itu  bersifat  keseluruhan,    hal  itu  termasuk  pengecualian  dari  hadis Rasulullah saw. la darara wa la dirara, seperti yang terdapat di dalam masalah hadd,
uqubat dan jinayat. Jika pengertian dararah mudarat hanya sebagian,  jika terdapat dalil  yang  menguatkan,  hendaknya  melakukan  perbuatan  sesuai  dengan  dalil  yang
menguatkan  tersebut.  Apabila  terdapat  dalil  khusus  yang  men-takhsis,  wajib di-takhsis dengan pengertian hadis Rasul la darara wa la dirarah, dengan pengertian
mengadakan kompromi antara dalil-dalil tersebut.
118
4. Konsep Maslahah Mursalah Imam al-Thufi
Dalam  pandangan  at-Tufi bahasan lafaz  maslahat berdasarkan wazan mafalatun dari  kata shalah. Artinya,  bentuk  sesuatu  dibuat  sedemikian  rupa  sesuai
dengan kegunaannya. Misalnya, pena dibuat sedemikian rupa  agar dapat digunakan untuk  menulis al-qalamu  yakunu  ala’  haiatihi  shalihatun  li  al-kitabah.  Pedang
dibikin sedemikian rupa  sehingga bisa dipakai untuk memenggal. Adapun batasnya,
117
Ibid, h. 23.
118
Ibid, h.24.
60
60 sesuai  kebiasaan  ‘urf,  yakni  “al-sabab  al-mu’addi  ila  al-shalah  wa  al-naf’u”,
119
maksudnya  bahwa  sesuatu  maslahah  berarti  ia  dalam  keadaan  baik,  lengkap, berfungsi,  dan  berguna  sesuai  dengan  tujuan  barang  itu  diadakan  dan  tidak
menimbulkan kerusakan dan kebinasaan. Dengan  mempergunakan  pengertian  ini, maslahah kemudian  didefinisikan
sebagai sarana  yang berdimensi  sebagai  kausalitas  yang menyebabkan  adanya maslahat  dan  manfaat.  Misalnya,  perdagangan  adalah  sarana  untuk  mencapai
keuntungan.  Pengertian  berdasarkan  syariat  adalah  sesuatu  yang  menjadi  penyebab untuk  sampai  kepada    maksud  syari,  baik  berupa  ibadat  maupun  adat al-sabab  al-
mu’addi ila maqshud al-syar’i ibadatan wa adatan
120
. Kemudian, al-Tufi membagi maslahat menjadi dua bagian, yaitu perbuatan
yang  memang  merupakan  kehendak syari Allah  swt.,  yakni ibadat dan  apa  yang dimaksudkan untuk kemanfaatan semua umat manusia dan tatanan kehidupan, seperti
adat istiadat muamalah.
121
Pandangan  at-Tufi  tentang  maslahat  sebagaimana  dikemukakan  pada bagian pendahuluan adalah berasal dari pembahasan syarah Hadis nomor 32 hadis
Arbain Nawawi. Hadis dimaksud adalah berbunyi
راَﺮ ِﺿ
َﻻ َو  َرَﺮ
َ ﺿ َﻻ
Artinya: tidak memudaratkan diri sendiri dan tidak memudaratkan orang lain.
119
Ahmad  Abd  al-Rahim  al-Sayih, Risalah  fi  Riayat  al-Maslahah  li  al-Imam  at-Tufi
Mesir: Dar al-Misriyah li al-Bananiyah, 1993, h. 25
120
Ibid., h. 25.
121
Ibid., h.25
61
61 Bahasan  at-Tufi  mengenai Hadis  tersebut  dikutip  secara  utuh  dan  lengkap
yang bersumber dari bahasan Syaikh Jamaluddin al-Qasimi seorang ulama Damaskus yang telah berupaya memisahkan bahasan at-Tufi di dalam hadis tersebut, kemudian
menukilkannya  sebagai  risalah  tersendiri. Ia  juga berperan  sebagai  pensyarah    di dalam  risalah  tersebut.  Kemudian  majalah al-Manar No.  IX10,  Oktober  1906
memuat risalah at-Tufi berikut syarahnya secara lengkap.
122
Prof. Dr. Mustafa Zaid, guru besar pada Universitas  Dar al-Ulum memilih sebuah  bahasan  at-Tufi  dan  pendapatnya  tentang  maslahat  sebagai  judul  risalahnya.
Referensi  yang  dijadikan  rujukan    untuk penelitian  Mustafa  Zaid,  di  samping  untuk memperkuat  risalah  at-Tufi,  ia  menggunakan  dua  manuskrip  yang  tersimpan  di
perpustakaan at-Taimuria milik Dar  al-Kutub  al-Misriyah,  yang  memuat  syarah at-Tufi  mengenai  hadis  Arbain  Nawawi,  manuskrip  pertama  terdaftar  pada  nomor
328  kelompok  hadis.  dan  kedua  terdaftar  pada  nomor  446  kelompok  hadis. Ia  juga menggunakan  risalah  Syaikh  Jamaluddin    al-Qasimi,  majalah al-Manar No.  IX10,
1906.  Dalam  kaitan  ini  ia  mengadakan  studi  komparatif  dan  penelitian  di  antara sumber-sumber  tersebut  mengenai  risalah  at-Tufi  sehingga  karyanya  tersebut
membuahkan tulisan mengenai risalah at-Tufi yang disunting secara bagus.
123
Pandangan at-Tufi - tentang maslahat - nampaknya bertitik tolak pula dari konsep maqasid at-tasyri yang menegaskan bahwa hukum Islam disyariatkan untuk
122
Al-Thufi, Syarh  al-Arbain  an  Nawawiyah dalam  Abdul  Wahhab  Khallaf, masadir
at-Tasyri al-Islami Fima la Nassa fih, Kuwait: Dar al-Qalam, 1972, h. 105.
123
Ibid. dan lihat juga Ahmad Abd al-Rahim al-Sayih, Risalat fi Riayat al-Maslahat li al- Imam at-Tufi Mesir: Dar al-Misriyah li al-Bananiyah, 1993, h.13-47.
62
62 mewujudkan  dan  memelihara  maslahat  umat  manusia. Konsep  ini  telah  diakui  oleh
para  ulama  dan  oleh  karena  itu  mereka  memformulasikan  suatu  kaidah  yang  cukup populer,Dimana ada maslahat, di sana terdapat hukum Allah.
124
Karena  begitu  pentingnya maqasid  al-syariah tersebut,  para  ahli  teori hukum menjadikan maqasid al-syariah sebagai salah satu kriteria di samping kriteria
lainnya  bagi  mujtahid  yang  melakukan  ijtihad.  Adapun  inti  dari  konsep maqasid al-syariah adalah  untuk  mewujudkan  kebaikan  sekaligus  menghindarkan  keburukan
atau  menarik  manfaat  dan  menolak  mudarat,  istilah  yang  sepadan  dengan  inti  dari maqasid al-syariah tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam
harus  bermuara  kepada  maslahat.  untuk  memahami  hakikat  dan  peranan maqasid al-syariah, berikut akan diuraikan secara ringkas teori tersebut.
Imam  al-Haramain  al-Juwaini  dapat  dikatakan  sebagai  ahli  teori  ulama usul  al-fiqh  pertama  yang  menekankan  pentingnya  memahami maqasid  al-syariah
dalam menetapkan hukum Islam. Ia secara tegas mengatakan bahwa seseorang tidak dapat  dikatakan  mampu  menetapkan hukum  dalam  Islam,  sebelum  ia  memahami
benar tujuan Allah mengeluarkan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya.
125
Kemudian  al-Juwaini    mengelaborasi    lebih  jauh maqasid  al-syariah itu dalam hubungannya dengan illat, asl dapat dibedakan menjadi lima bagian, yaitu: asl
yang  masuk  kategori daruriyat primer, al-hajat  al-ammah sekunder, makramat
124
Muhammad  Said  Ramdan  al-Buti, Dawabit  al-Maslahah  fi  as-Syariah  al-Islamiyah,
Beirut: Muassasah ar-Risalah,1977, h.12.
125
Abd  al-Malik  ibn  Yusuf  Abu  al-Maali  al-Juwaini, Al-Burhan  fi  Usul  al-Fiqh Kairo: Dar al-Ansar,1400 H,I:295.
63
63 tersier, sesuatu yang tidak masuk kelompok daruriyat dan hajiyat, dan sesuatu yang
tidak  termasuk  ketiga  kelompok  sebelumnya.
126
Dengan  demikian  pada  prinsipnya al-Juwaini  membagi asl atau  tujuan  tasyri  itu  menjadi  tiga  macam,  yaitu daruriyat,
hajiyat dan makramat tahsiniyah. Pemikiran  al-Juwaini  tersebut  dikembangkan  oleh  muridnya,  al-Gazali.
Al-Gazali  menjelaskan  maksud  syariat  dalam  kaitannya  dengan  pembahasan al-munasabat al-maslahiyat dalam qiyas
127
yang dalam pembahasannya  yang lain, ia menerangkan dalam tema istislah.
128
Maslahat menurut al-Gazali adalah memelihara agama,  jiwa,  akal,  keturunan  dan  harta.
129
Kelima  macam  maslahat  di  atas  bagi al-Gazali  berada  pada  skala  prioritas  dan  urutan  yang  berbeda  jika  dilihat  dari  sisi
tujuannya, yaitu peringkat primer, sekunder dan tersier.
130
Dari keterangan ini jelaslah bahwa teori maqasid al-syariah sudah mulai tampak bentuknya.
Pemikir  dan  ahli  teori  hukum  Islam  berikutnya  yang  secara  khusus membahas maqasid  al-syariah adalah  Izzuddin  ibn  Abd  al-Salam  dari  kalangan
Syafiiyah. Ia  lebih  banyak  menekankan  dan  mengelaborasi  konsep  maslahat  secara hakiki  dalam  bentuk  menolak mafsadat dan  menarik  manfaat.
131
Menurutnya, maslahat keduniaan  tidak  dapat  dilepaskan  dari  tiga  tingkat  urutan  skala  prioritas,
126
Ibid, II: h. 923-930.
127
Al-Gazali, Syifa  al-Gazalil  fi  Bayan  al-Syibh  wa  al-Mukhil  wa  Masalik  al-Ta’lil Bagdad: Matba’ah al-Irsyad, 1971, h. 159.
128
Al-Gazali, al-Mustasfa min Ilm al-Usul Kairo: al-Amiriyah, 1412, h.250.
129
Ibid h.251.
130
Ibid.h. 252.
131
Izzuddin ibn Abd al-Salam, Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam Kairo: al-Istiqamat, t.t, h. 32.
64
64 yaitu: daruriyat, hajjiyat,  dan takmilat atau tatimmat.
132
Lebih  jauh  lagi  ia menjelaskan, bahwa taklif harus bermuara pada terwujudnya maslahat manusia, baik
di  dunia  maupun  di  akhirat.
133
Berdasarkan  penjelasan  ini,  dapat  dikatakan  bahwa Izzuddin  ibn Abd  al-Salam  telah  berusaha mengembangkan  konsep maslahat  yang
merupakan inti pembahasan dari maqasid al-syariah. Pembahasan tentang maqasid al-syariah secara khusus, sistematis dan jelas
dilakukan  oleh  al-Syatibi  dari  kalangan  Malikiyah.  Dalam  kitabnya al-Muwafaqat yang  sangat  terkenal  itu,  ia  menghabiskan  lebih  kurang  sepertiga  pembahasannya
mengenai maqasid  al-syariah.  Sudah  tentu,  pembahasan  tentang  maslahat  pun menjadi  bagian  yang  sangat  penting  dalam  tulisannya.  Ia  secara  tegas  mengatakan
bahwa tujuan utama Allah menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk terwujudnya maslahat  hidup  manusia,  baik  di  dunia  maupun  di  akhirat.  Karena  itu,  taklif  dalam
bidang  hukum  harus  mengarah  pada  dan  merealisasikan  terwujudnya  tujuan  hukum tersebut.
134
Seperti  halnya  ulama  sebelumnya,  ia  juga  membagi  urutan  dan  skala prioritas  maslahat  menjadi  tiga  urutan  peringkat,  yaitu daruriyat, hajiyat,  dan
tahsiniyat.
135
Yang  dimaksud  maslahat  menurutnya  seperti  halnya  konsep  al-Gazali, yaitu memelihara lima hal pokok, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
136
Konsep maqasid  al-syariah  atau  maslahat yang  dikembangkan  oleh
al-Syatibi  di  atas  sebenarnya  telah  melampaui  pembahasan  ulama  abad-abad
132
Izzuddin ibn Abd al-Salam, Qawaid al-Ahkam, h. 60 dan 62.
133
Ibid., h. 64
134
Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Syariah Kairo: Mustafa Muhammad, t.t, h. 72
135
Ibid.,  h. 73
136
Ibid., h. 80.
65
65 sebelumnya. Konsep maslahat al-Syatibi tersebut melingkupi seluruh bagian syariah
dan  bukan  hanya  aspek  yang  tidak  diatur  oleh  nash.  Sesuai  dengan  pernyataan al-Gazali,  al-Syatibi  merangkum  bahwa  tujuan  Allah menurunkan  syariah  adalah
untuk  mewujudkan  maslahat.  Meskipun  begitu,  pemikiran  maslahat  al-Syatibi  ini tidak seberani gagasan at-Tufi.
137
Al- Thufi  membangun  pemikiran  tentang  maslahah  tersebut  berdasarkan atas empat prinsip
138
, yaitu: 1. Akal bebas menentukan kemaslahatan dan kemafsadatan istiqlal al-‘uqul bi idrak
al-mashalih  wa  al-mafasid. Untuk  menentukan  suatu  kemaslahatan  atau kemafsadatan  cukup  dengan  akal.  Pendirian  al-Tufi  bahwa  akal  semata,  tanpa
harus  melalui  wahyu  mampu  mengetahui  kebaikan  dan  keburukan  menjadi fondasi  pertama  dalam  piramida  pemikirannya.  Akan  tetapi,  al-Tufi  membatasi
kemandirian  akal  itu  dalam  bidang  mu’amalah  dan  adat  istiadat saja,  dan  ia melepaskan  ketergantungan  atas  petunjuk  nash, maslahah atau mafsadah pada
kedua bidang itu. Pandangan ini bertolak belakang dengan mayoritas ulama yang menyatakan  bahwa  sekalipun  kemaslahatan  dan  kemafsadatan  itu  dapat  dicapai
dengan akal, kemaslahatan itu harus mendapatkan justifikasi dari nash atau ijma’, baik dari bentuk, sifat maupun jenisnya
139
.
137
Nur  A.  Fadhil  Lubis, Hukum  Islam  dalam  Kerangka  Teori  Fikih  dan  Tata  Hukum Indonesia Medan: Pustaka Widyasarana, 1995, h. 34-35.
138
Amir  Mua’allim  dan  Yusdani, Konfigurasi  Pemikiran...,  h.  55.  Lihat  pula:  Mustafa
Zaid, Al-Maslahah  fi  at-Tasyri  al-Islami  wa  Najmuddin  at-Tufi,  Beirut:  Dar  al-Fikr,  1954,  h. 127-132 dan Husein Hamid Hasan, Nazariah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, Kairo: Dar an-Nahdah
al-Arabiyah, 1971, h. 529.
139
Amir Mua’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran, h. 55.
66
66 2. Sebagai  kelanjutan  dari  pendapatnya  yang  pertama  di  atas,  al-Thufi  berpendapat
bahwa  maslahat merupakan  dalil  syar’i  mandiri  yang  kehujjahannya  tergantung pada  akal  semata al-maslahah  dalilah  syar’iyyah  ‘an  al-nash.  Dengan
demikian, maslahat merupakan  dalil  mandiri  dalam  menetapkan  hukum.  Oleh sebab  itu,  untuk  kehujjahan  maslahah  tidak  diperlukan  dalil  pendukung  karena
maslahah  itu  didasarkan  kepada pendapat  akal  semata.  Bagi  al-Tufi,  untuk menyatakan  sesuatu  itu maslahat atas  dasar  adat-istiadat  dan  eksperimen,  tanpa
membutuhkan petunjuk nash
140
. 3. Maslahat hanya  berlaku  dalam  lapangan  mu’amalah  dan  adat  kebiasaan,
sedangkan  dalam  bidang  ibadah  mahdah  dan  ukuran-ukuran  yang  ditetapkan syara’, seperti shalat Dzuhur empat raka’at, Puasa Ramadhan selama satu bulan,
dan  thawaf  itu  dilakukan  tujuh  kali,  tidak  termasuk  objek maslahat karena masalah-masalah  tersebut  merupakan  hak  Allah  semata.  Bagi  al-Tufi, maslahat
ditetapkan sebagai dalil syara’ hanya dalam aspek mu’amalah hubungan sosial dan adat istiadat. Sedangkan dalam ibadah dan muqaddarat, maslahat tidak dapat
dijadikan  dalil. Pada  kedua  bidang  tersebut  nash  dan  ijma’-lah  yang  dijadikan referensi harus  diikuti. Perbedaan  ini  terjadi  karena  dalam  pandangan  al-Tufi
ibadah  merupakan  hak  prerogratif Allah,  karenanya,  tidak  mungkin  mengetahui jumlah,  cara,  waktu  dan  tempatnya  kecuali  atas  dasar  penjelasan  secara  resmi
langsung  dari  Allah  swt.  Sedangkan  lapangan  mu’amalah  dimaksudkan  untuk memberikan  kemanfaatan  dan  kemaslahatan  kepada  manusia. Oleh  karena  itu,
140
Ibid., h. 56
67
67 dalam  masalah  ibadah,  Allah  lebih  mengetahui,  dan  karena  itu  kita  harus
mengikuti nash dan ijma’ dalam bidang ini. Mengenai masalah hubungan sosial, manusialah  yang  lebih  mengetahui  kemaslahatannya.  Karenanya  mereka  harus
berpegang pada maslahah ketika kemaslahatan itu bertentangan dengan nash dan ijma’.
141
4. Maslahah  merupakan  dalil  syara’ yang  paling  kuat. Oleh  karena  itu,  al-Thufi menyatakan  apabila  nash  dan  ijma’  bertentangan  dengan  maslahah,  didahulukan
maslahah  dengan  cara  pengkhususan  takhsis  dan  perincian  bayan  nash tersebut. Dalam  pandangan  al-Thufi  secara  mutlak  maslahat  itu  merupakan  dalil
syara’  yang  terkuat,  itu  bukan  hanya  merupakan  dalil  ketika  tidak  adanya  nash atau  ijma’,  juga  hendaklah  lebih  diutamakan  dari  nash  dan  ijma’  ketika  terjadi
pertentangan  antara  keduanya. Pengutamaan  maslahah  atas  nash  dan  ijma’ tersebut  dilakukan  al-Thufi  dengan  cara bayan dan takhsis,  bukan  dengan  cara
mengabaikan  atau  meninggalkan  nash  sama  sekali,  sebagaimana mendahulukan sunnah  atas  Al-Qur’an  dengan  cara  bayan.  Hal  demikian  bersumber dari  sabda
Nabi  saw.,”tidak  memudharatkan  dan  tidak  dimudharatkan”.  Pengutamaan  dan mendahulukan  atas  nash  ini  ditempuh  baik  nash  itu qath’i dalam sanad dan
matannya atau zhanni keduanya.
142
141
Amir Mua’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran., h. 57
142
Amir Mua’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran, h. 58.
68
68 Ada beberapa alasan yang dikemukakan Imam al-Thufi dalam mendukung
pendapatnya, yaitu:
143
a. Firman Allah swt. dalam surah al-Baqarah, 2: 179:
ْﻟﻷ ا ﻲِﻟوُأ  ﺎَﯾ ٌة ﺎَﯿَﺣ ِص
ﺎَﺼ ِ ﻘْﻟا ﻲِﻓ ْﻢُﻜَ
ﻟَ و َن
ﻮُ ﻘﱠ ﺘَﺗ ْﻢُﻜﱠﻠَﻌَﻟ  ِب ﺎ َ ﺒ
ةﺮﻘﺒﻟا 2
: 179
Artinya:  ”dan  dalam  qishaash  itu  ada  jaminan  kelangsungan  hidup  bagimu,  Hai orang-orang  yang  berakal,  supaya  kamu  bertakwa”.  Q.S.  al-Baqarah2:
179
b. Firman Allah swt. dalam surah al-Ma’idah, 5: 38:
ﱠﺴ ﻟا َو
ُﱠ ﷲَ و
ِﱠﷲ َﻦِﻣ ﻻ
ﺎَ ﻜَ ﻧ ﺎَ ﺒَﺴَﻛ ﺎَ ﻤِﺑ ًءاَﺰَﺟ ﺎَﻤُﮭَﯾِﺪْ ﯾَأ اﻮُﻌَﻄ ْ ﻗ ﺎَﻓ ُﺔ َﻗِرﺎﱠﺴﻟ
اَ و ُقِرﺎ
ٌﻢﯿِﻜَﺣ ٌﺰﯾِﺰَ ﻋ
ةﺪﺋﺎﻤﻟا 5
: 38
Artinya: ”laki-laki  yang  mencuri  dan  perempuan  yang  mencuri,  potonglah  tangan keduanya  sebagai  pembalasan  bagi  apa  yang  mereka  kerjakan  dan
sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Q.S. al-Ma’idah5: 38.
c. Firman Allah swt. dalam surah al-Nur, 24:2
ٍةَﺪْﻠَﺟ َﺔ َ ﺋﺎِﻣ  ﺎَﻤُﮭْﻨِﻣ ٍﺪِﺣاَو ﱠﻞ
ُﻛ  اوُﺪِ ﻠْﺟﺎَﻓ ﻲ ِ ﻧاﱠﺰﻟاَو ُﺔَ
ﯿِ ﻧاﱠﺰ ﻟا
رﻮﻨﻟا 24
: 2
Artinya:  ”Perempuan  yang  berzina  dan  laki-laki  yang  berzina,  Maka  deralah  tiap- tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, ...”.
Menurut al-Thufi, semua ayat ini mengandung pemeliharaan kemaslahatan manusia, yaitu jiwa, harta, dan kehormatan mereka. Oleh sebab itu, tidak satupun ayat
yang tidak mengandung dan membawa kemaslahatan bagi manusia. d. Sabda Rasulullah saw.
ٍﺾ ْ ﻌ َﺑ ِﻊْﯿَﺑ ﻰ
َﻠَ ﻋ ْﻢُﮭُﻀ ْﻌَﺑ  ُﻊ
ْ ﯿِﺒَ ﯾ َﻻ ,
ٍدﺎَﺒِﻟ ٌﺮِﺿ ﺎَﺣ ُﻊْﯿِﺒَﯾ  َﻻ
َو ,
ﻰ َ ﻠَﻋ
ُةَأ ْﺮَﻤْﻟا ُﺢَﻜْﻨُـﺗَ ﻻَو ﺎَﺧ
ْ وَأ ﺎَﮭِﺘﱠﻤَﻋ ﺎَﮭِﺘَﻟ
, ْﻢُﻜَ ﻣﺎ
َ ﺣ ْرَأ ْﻢُﺘ ْﻌَﻄَﻗ َﻚ
ِ ﻟذ ْﻢُﺘْﻠَﻌَﻓ ْنِإ ْﻢُﻜﱠﻧِإ يرﺎﺨﺒﻟا هاور
Artinya:  ”Seseorang jangan  membeli  barang  yang  telah  ditawar  orang lain,  dan jangan  pula  orang  kota  para  pedagang  membeli  barang  dagangannya
143
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos, 1996, h. 126-127.
69
69 dengan  mendatangi  para  petani  desa,  dan  jangan  dinikahi  seorang
perempuan  sekaligus  dengan  bibi  saudara  kandung  ayah  atau  ibu  yang perempuan;  karena  apabila  kamu  lakukan  itu,  maka  kamu  telah
memutuskan hubungan tali silaturrahmi sesama kamu”. HR. Bukhari
Larangan-larangan  Rasulullah  dalam  hadist  ini,  menurut  al-Thufi, dimaksudkan  untuk  kemaslahatan  umat.  Larangan  membeli  barang  yang  sudah
ditawar orang lain  adalah untuk memelihara kemaslahatan penawar barang pertama; larangan  mendatangi  para  petani  ke  desa  untuk  membeli  komoditi  mereka  adalah
untuk  memelihara  kemaslahatan  petani  desa  dari  kemungkinan  terjadinya  penipuan harga,  dan  larangan  menikahi  wanita  sekaligus  dengan  bibinya,  juga  untuk
memelihara kemaslahatan isteri, dan keluarga. Oleh sebab itu menurut al-Thufi, pada dasarnya  baik  firman  Allah  maupun  sabda  Rasulullah  saw.  bertujuan  untuk
kemaslahatan  manusia.  Dengan  demikian,  keberadaan  maslahah  sebagai  landasan hukum tidak diragukan lagi dan bisa dijadikan dalil mandiri.
144
C. Sisi Persamaan dan Perbedaan Kedua Tokoh