Keaslian Penelitian Metode Penelitian

b. Secara Praktis Diharapkan bermanfaat bagi proses pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan khususnya bagi masyarakat dan petugas Lembaga Pemasyarakatan. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan untuk membangun bagi Jajaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam melakukan perbaikan atau pembaharuan sistem pemasyarakatan di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian

Keaslian Penelitian peranan dan fungsi Lembaga pemasyarakatan dalam studi di Lembaga Pemasyarakatan kelas II A Wanita Medan, sepanjang pengetahuan peneliti belum ada yang membahasnya, begitu juga setelah diteliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara di Medan belum ada yang meneliti tentang judul ini, jadi baru peneliti yang melaksanakan penelitian. Dengan demikian keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Dalam tesis ini teori yang digunakan berdasarkan dari Roscoe Pound yang mengutamakan hukum pada tujuan-tujuan praktis untuk memperjelas perspektif- perspektif yang meluas. Roscoe Pound berpendapat bahwa : Ilmu hukum sebagai seni, yang ditafsirkan secara teleogis, karena ia mengira bahwa hubungan ilmu hukum, sebagai ”social engineering” dapat diwujudkan sebaik-baiknya oleh tujuan-tujuan sosial yang dianut Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008 oleh para ahli hukum. Pound lebih mengutamakan tujuan-tujuan praktis dalam memperjelas perspektif-perspektif yang meluas dari sosiologi hukum yang terdiri dari: 1. Menelaah ”akibat-akibat sosial yang aktual dari lembaga-lembaga hukum dan doktrin hukum” dan ” karenanya ”lebih memandang kepada kerjanya hukum dari pada isi abstraknya”. 2. Mengajukan ”studi sosiologis berkenaan dengannya studi hukum untuk mempersiapkan perundang-undangan,” dan karena itu menganggap hukum sebagai suatu lembaga sosial yang dapat diperbaiki oleh usaha-usaha yang bijaksana guna menemukan cara-cara terbaik untuk melanjutkan. 3. Untuk menciptakan ”efektifitas studi tentang cara-cara membuat peraturan- peraturan” dan memberi tekanan kepada tujuan-tujuan sosial” yang hendak dicapai oleh hukum dan bukannya sanksi. 4. Studi ”sejarah hak sosiologis” yakni tentang ”akibat sosial yang telah dihasilkan oleh doktrin-doktrin hukum dan bagaimana cara menghasilkannya”. 5. ”Membela apa yang telah dinamakan pelaksanaan hukum secara adil” dan ”mendesak agar ajaran-ajaran hukum harus dianggap sebagai petujuk-petujuk ke arah hasil-hasil yang adil bagi masyarakat dan bukannya terutama sekali sebagai bentuk-bentuk yang tidak dapat berubah. 6. akhirnya tujuan yang hendak dicapai oleh apa yang tersebut diatas ialah agar lebih efektifnya usaha untuk mencapai maksud-maksud serta tujuan-tujuan hukum”. 9 Akibat dari caranya berfikir itu adalah suatu pertentangan antara keadilan dan ”tata tertib sosial” yang istimewa dan monistic. Dari semua ini timbul suatu tendensi yang dogmatis serta bersifat menyusilakan yang secara langsung mengancam pendirian metode dalam sosiologi hukum. Dalam sistem pembinaan tidak terlepas dari unsur-unsur mengapa manusia melakukan kejahatan. Hans Kelsen berpendapat : bahwa sesungguhnya manusia sekalu bertindak dibawah keterpaksaan tak terelakkan, karena tindakannya selalu ditentukan secara kausal; dan dilihat dari sifatnya, kausalitas merupakan keterpaksaan yang tak terelakkan. Yang dinamakan ”keterpaksaan tak terelakkan” dalam terminologi hukum sebenarnya 9 Alvin S. Johnson; Sosiologi Hukum, Jakarta : Rineka Cipta, 1994, hlm. 4:151-152; dan 157. Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008 hanyalah kasus tertentu dari tekanan tak terelakkan - yakni kasus dimana tata hukum tidak mengenakan tanggungjawab. Ketika imputasi dilakukan, keterpaksaan tak terelakkan selalu muncul. Namun imputasi tidak berlangsung dalam setiap kasus dari keterpaksaan tak terelakkan. 10 Selanjutnya Hans Kelsen mengatakan bahwa adanya kecocokan antara determinisme dan pertanggungjawaban moral hanya dengan mengatakan bahwa pengetahuan tentang determinisme kausal perilaku manusia masih belum memadai – bahwa tidak tahu, atau tidak cukup diketahui penyebab-penyebab ini. Manusia tidak akan berada dalam posisi membebankan tanggungjawab kepada seseorang atau perbuatan dan akibat yang ditimbulkannya; karena itu ada pepatah mengatakan: ”Memahami segala hal berarti memaklumi segala hal.” Memahami perbuatan manusia berarti mengetahui sebab-sebabnya; memaklumi seseorang berarti mencabut tanggung jawab atas perbuatannya, menolak menyalahkan atau menghukum dirinya, menolak mengaitkan perbuatannya dengan sanksi dan ini berarti menolak melakukan imputasi. Namun dalam banyak kasus dimana penyebab dari perbuatannya diketahui dan karenanya perbuatannya dipahami, imputasi tidaklah ditiadakan, dan perbuatan itu tidak dimaklumi atau dimaafkan. Pepatah tadi bersandar pada kesalahan anggapan bahwa kausalitas meniadakan imputasi. Kesimpulan yang dapat diambil bahwa yang memungkinkan dilakukannya imputasi bukanlah kebebasan, yakni non-determinasi tidak ditentukannya kehendak, melainkan lawan azasnya, yakni determinabilitas kausal dari kehendak. Orang tidak mengimputasikan mengalamatkan suatu sanksi kepada perbuatan seseorang 10 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Bandung : Nuansamedia Penerbit Nuansa, 2006, hlm. 111-113 Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008 individu karena dia bebas, namun individu itu bebas karena seseorang mengimputasikan sanksi imputasi kepada perbuatannya. Imputasi dan kebebasan dalam hal ini pada dasarnya saling terkait. Seperti yang telah dijelaskan dalam kaitan yang lain, suatu norma dapat melarang perilaku yang memiliki akibat tertentu misalnya pembunuhan, dan suatu norma dapat memerintahkan perilaku tertentu yang tidak hanya dikondisikan oleh perilaku individu lain. Namun juga oleh fakta- fakta lain, misalnya norma moral untuk mencintai tetangga. Jika seseorang tengah menderita seharusnya di bantu melepaskan dari penderitaan. Atau Norma Hukum, jika seseorang dianggap membahayakan masyarakat karena dia menderita sakit mental, dia seharusnya diasingkan secara paksa. Imputasi yang dilakukan berdasarkan prinsip retribusi dan yang merepresentasikan tanggung jawab moral dan hukum hanya merupakan kasus imputasi yang sangat khusus, meski juga sangat penting, dalam arti yang lebih luas yakni, kaitan antara perilaku manusia dengan kondisi dimana perilaku ini diperintahkan oleh sebuah norma. Latar belakang mengapa wanita harus dibina adalah masih banyaknya wanita yang terpuruk dan kualitas hidupnya rendah. Seperti dalam hal kesehatan, pendidikan atau kesempatan mencari nafkah. Padahal menurut Meutia, sesunggugnya harus di lihat perempuan sebagai aset, sumber daya manusia yang kreatif dan mau maju. 11 11 Meutia Farid Hatta Swasono, 100 Wanita terinspiratif 2008, Jakarta : Majalah Wanita Kartini Edisi Khusus hlm 63; 5 Mei 2008 Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008

a. Pembinaan

Pembinaan narapidana wanita tidak terlepas dari wanita yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Wanita, sebab walaupun narapidana wanita Medan berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan mereka tetap wanita, wanita yang masih mempunyai masa depan kelak dikemudian hari wanita-wanita yang berada di Lembaga Pemasyarakatan kelas II A Wanita tetap ditangani sebagai wanita karena yang hilang hanyalah kemerdekaan bergeraknya. Pada dasarnya, tindakan pemidanaan penahanan dan pemenjaraan adalah ”upaya paksa” terhadap seseorang yang bertentangan dengan hak asasi manusia, namun karena dijamin oleh peraturan perundangan, maka tindakan itu sah menurut hukum. Lembaga pemasyarakatan dalam hal ini berfungsi sebagai tempat pelaksanaan ”upaya paksa” tersebut. Sebagai tempat di lakukan pemidanaan, lembaga pemasyarakatan, melaksanakan fungsinya berdasarkan teori pemidanaan yang berlaku. Sebagaimana di ketahui, teori pemidanaan dari masa ke masa mengalami perubahan. Pada zaman dahulu, pidana dijatuhkan dengan tujuan ”pembalasan”. Keadilan masyarakat dicapai melalui pembahasan yang setimpal, mata di balas dengan mata, dan gigi dibalas dengan gigi an eye for an eye, and a tooth fot a tooth ; Mozaik Doktrin . Pada masa kemudian, disamping masih menganut teori pembahasan, tujuan pemidanaan berkembang dalam bentuk penjeraan deterence, Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008 baik yang ditujukan kepada di pelaku special deterence maupun kepada anggota masyarakat general. 12

b. Tujuan Pembinaan

Gagasan Sahardjo kemudian dirumuskan dalam konferensi Dinas Kepenjaraan di Lembang Bandung, dalam sepuluh prinsip pembinaan dan bimbingan bagi narapidana. Prinsip-prinsip untuk bimbingan dan pembinaan adalah : 1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna dalam masyarakat. 2. Penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari negara. 3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan bimbingan. 4. Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum ia masuk lembaga. 5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. 6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau negara saja. Pekerjaan yang diberikan harus ditujukan untuk pembangunan negara. 7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan asas Pancasila. 8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat. Tidak boleh ditunjukkan kepada narapidana bahwa ia itu penjahat. 9. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan. 10. Sarana fisik lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan. 13 Ke sepuluh prinsip-prinsip bimbingan dan pembinaan narapidana, lebih dikenal sebagai Sepuluh Prinsip Pemasyarakatan. Ada tiga hal yang dapat ditarik dari kesepuluh Prinsip Pemasyarakatan, yaitu : sebagai tujuan, proses dan pelaksanaan pidana penjara di Indonesia. Sebagai tujuan, proses dan pelaksanaan 12 Marjaman, Warta Pemasyarakatan, Jakarta : Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Desember 2006, hlm. 3. 13 C.I. Harsono, Op.cid, hlm. 2-3. Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008 pidana penjara di Indonesia, pemasyarakatan telah berjalan lebih dari seperempat abad. Dalam usianya yang semakin dewasa, pemasyarakatan baik sebagai tujuan, proses, pelaksanaan pidana maupun sebagai disiplin ilmu, telah membuktikan kemandiriannya, sekaligus telah membuktikan keberhasilan dan kegagalannya. Sebagaimana di ketahui bahwa teori pemidanaan dari masa ke masa mengalami perubahan. Di mana pada zaman dahulu pidana dijatuhkan dengan tujuan pembalasan. Keadilan masyarakat hanya dicapai melalui pembalasan yang setimpal. Pecah kulit, atau diikat dan ditarik dengan beberapa kuda dari semua arah, di samping juga pengurungan dalam sel, merupakan bagian dari penjeraan seseorang. Maksud mendapatkan ”rasa keadilan” si korban dan masyarakat pada kedua zaman tersebut dilakukan melalui perlakukan fisikkekerasan, yang lebih cenderung termasuk kategori penyiksaan. Pada masa selanjutnya sudah tidak ada lagi berorientasi kepada tujuan pembalasanpenjeraan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu tujuan pemidanaan berubah pada orientasi rehabilitasi perbaikan, penyembuhan, namun masih dipandang berorientasi pada individu dengan mengesampingkan kepentingan masyarakat secara umum. Oleh karenanya, pada masa kini pemidanaan diarahkan lebih pada tata perlakuan yang bertujuan bukan saja agar para terpidana bertobat dan tidak melakukan tindak pidana lagi, melainkan Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008 juga melindungi masyarakat dari tindak kejahatan. Dimana tata perlakuan ini dilaksanakan berdasarkan sistem pemasyarakatan berlaku sejak 27 April 1964. 14 Dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan menyatakan bahwa sistem pemasyarakatan disamping bertujuan untuk mengembalikan warga Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik juga bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan diulangi tindak pidana oleh narapidana. Demikian juga Lembaga Pemasyarakatan Wanita Medan adalah merupakan salah satu tempat untuk membina, pembinaan narapidana wanita.

2. Kerangka Konsepsi

Beberapa Pengertian : 1. Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalah, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. 15 2. Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. 16 14 Nugroho, Warta Pemasyarakatan, Jakarta; Direktorat Jendral Pemasyarakatan, Maret 2007, No. 24 hlm 19. 15 UU No. 12 Tahun 1995 Pasal 1 ayat 2, hlm 3. 16 UU No. 12 Tahun 1995 Pasal 1 ayat 3, hlm 3. Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008 3. Warga Binaan Pemasyarakatan adalah narapidana, anak didik pemasyarakatan, dan klien pemasyarakatan. 17 4. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. 18

G. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian : Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan hukum normatif empiris sebab penelitian ini dilakukan atau ditujukan pada peraturan- peraturan dan perundang-undangan dan bahan hukum tertulis. 19 Secara empiris dikatakan karena dalam penelitian juga dilakukan penelitian lapangan field research untuk melihat pelaksanaan sistem pembinaan narapidnaa di Lembaga Pemasyakatan Klas II A Wanita Medan. 2. Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berupa dokumen-dokumen hukum tertulis ditambah dengan dokumen-dokumen yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Medan. 17 UU No. 12 Tahun 1995 Pasal 1 ayat 5, hlm 3. 18 UU No. 12 Tahun 1995 Pasal 1 ayat 7, hlm 3. 19 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam praktek, Jakarta : Sinar Grafika, 1996 hlm.13 Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008 3. Alat Pengumpulan Data a. Studi dokumen dilakukan dalam studi kepustakaan meliputi : 1 Bahan hukum primer ; yaitu peraturan perundang-undangan, dalam hal ini adalah undang-undang No.12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan berikut peraturan pelaksanaan lainnya, kepmen, juklak, juknis. 2 Bahan hukum sekunder ; yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan-bahan hukum primer berupa buku-buku yang berkaitan dengan objek yang diteliti, majalah, jurnal ilmiah, surat kabar dan internet juga menjadi tambahan dalam penulisan tesis ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian. 3 Bahan hukum tertier ; yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus umum, kamus hukum dan ensiklopedi. b. Pedoman Wawancara interview ; Narasumber yang terdiri dari : 1 Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Medan 2 Kasi pembinaan LP wanita Medan 3 Kepala Devisi pemasyarakatan pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM RI Sumatera Utara di Medan 4 Narapidana Wanita 5 Mantan narapidana 5 orang Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008 4. Analisa Data Setelah data terkumpulkan, maka data tersebut diolah dan dianalisis melalui pendekatan kualitatif. David D. Willem seorang peneliti yang banyak menggunakan pendekatan kualitatif menyatakan bahwa pendekatan kualitatiflah yang cocok dan tepat digunakan terhadap penelitian yang menghendaki diskripsi dan konklusi yang kaya konteks. 20 Sebagi penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, maka analisis datanya bergerak secara induktif, yaitu dari datafakta menuju tingkat abstraksi yang lebih tinggi. Untuk itu dalam kerja menganalisis datanya dimulai dari membuat deskripsi atau gambaran fakta-fakta hukum dalam pembinaan narapidana dan pemberdayaan narapidana wanita untuk meningkatkan peranan dan fungsi Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan, kemudian dikaitkan dengan peraturan- peraturan serta edaran-edaran tentang pembinaan narapidana atau pemberdayaan narapidana wanita hingga mencapai suatu analisis tentang peranan dan fungsi Lembaga Pemasyarakatan dalam memberikan pembinaan narapidana wanita. 20 Sarifah Faisal, Penelitian Kualitatif; Dasar-Dasar dan Aplikasi, Malang, YA3, 1990 hlm 21-22 Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008 Selanjutnya disampaikan di sini bahwa karena pendekatan yang digunakan merupakan pendekatan kualitatif, maka analisis terhadap datanya telah dilakukan sejak dari awal pekerjaan pengumpulan data. 21 Guna menghindari bertumpuknya data yang dikhawatirkan akan dapat mempersulit pemahaman kembali akan makna, bila dihubungkan dengan masalah penelitian. Mengenai penyajian data dalam penelitian ini dilakukan secara bersamaan dengan analisisnya yang dalam bentuk uraian, tidak dilakukan secara terpisah antara keduanya. 20 Hadari Nawawi dan Murtini Hadyri Tentang proses kerja menganalisa data dalam penelitian kualitatif ini lebih lanjut dapat dilihat, Instrumen Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1992, hlm. 213 Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008

BAB II SISTEM PEMBINAAN NARAPIDANA

MENURUT UU NO. 12 TAHUN 1995

A. Landasan Hukum Pelaksanaan Pembinaan Narapidana

Hukum tidak terlepas dari kehidupan manusia, maka kalau membahas mengenai hukum maka tidak terlepas membicarakan tentang kehidupan manusia. Hukum itu pada hakekatnya adalah kekuasaan. Hukum itu mengatur, mengusahakan ketertiban dan yang dapat membatasi ruang gerak individu. Tidak mungkin hukum menjalankan fungsinya itu kalau tidak merupakan kekuasaan. Hukum adalah kekuasaan-kekuasaan yang mengusahakan ketertiban. Sekalipun hukum itu kekuasaan, mempunyai hak untuk memaksa dan berlaku sebagai sanksi, namun hendaknya di hindarkan jangan sampai menjadi hukum kekuasaan, hukum bagi yang berkuasa. Karena ada penguasa yang menyalah gunakan hukum, maka muncullah istilah ”Rule of law”. Rule of Law berarti pengaturan oleh hukum. Jadi yang mengatur adalah hukum, hukumlah yang memerintah atau yang berkuasa. Demikian ini berarti supremasi hukum. Rule of Law ini jangan diartikan secara singkat sebagai ”Govermance not by man but by law”. Perlu diingat bahwa hukum adalah perlindungan kepentingan manusia, sehingga Govermance not by man but by law “ tidak boleh diartikan bahwa manusia pasif sama sekali dan menjadi budak hukum. 22 22 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum dan Pembinaan di Indonesia, Jogyakarta : Mandar Maju, 1999 hlm 20-21. 24 Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008