Hakikat Konformitas

4. Hakikat Konformitas

a. Pengertian Konformitas

Cialdini menyatakan bahwa konformitas merupakan salah satu bentuk pengaruh sosial. Pengaruh sosial berarti usaha untuk mengubah sikap, kepercayaan, persepsi, ataupun tingkah laku satu atau beberapa orang lainnya (Sarwono dkk., 2009: 105). Pengaruh sosial amat kuat terhadap individu, sehingga orang yang mempertahankan kontrol atas dirinya dapat mengalami penderitaan yang luar biasa karena ia tidak dapat membebaskan dirinya dari lingkungan yang membelenggu.

Di pihak lain, Jalaludin mengatakan bahwa konformitas adalah apabila sejumlah orang dalam kelompok mengatakan atau melakukan sesuatu, ada kecenderungan para anggota untuk mengatakan dan melakukan hal yang sama (2004). Lebih lanjut lagi, Santrock menyatakan, “Konformitas kelompok bisa berarti kondisi di mana seseorang mengadopsi sikap atau perilaku dari orang lain dalam kelompoknya karena tekanan dari kenyataan atau kesan yang diberikan oleh kelompoknya tersebut.” (Trida, 2007: 76).

Sejalan dengan hal tersebut, Sarwono dkk (mengutip simpulan Baron, 2008) berpendapat: Konformitas adalah suatu bentuk pengaruh sosial, dimana individu

mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan norma sosial. Norma sosial merupakan aturan-aturan yang mengatur tentang bagaimana sebaiknya manusia bertingkah laku.

Manusia Manusia

Menurut Sarwono, dkk. (2009: 106), norma sosial dapat berupa injunctive norms , yaitu hal apa yang seharusnya kita lakukan dan descriptive norms , yaitu apa yang kebanyakan orang lakukan. Injunctive norms biasanya dinyatakan secara eksplisit, misalnya peraturan pemerintah mewajibkan bahwa setiap penduduk Indonesia usia dewasa harus memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), kendaraan yang harus berhenti saat menemui lampu lalu lintas menyala merah, dan sebagainya. Descriptive norms biasanya bersifat implisit, tidak dinyatakan secara tegas atau tertulis. Misalnya, jika bertamu, menghormati tuan rumah dengan berpakaian rapi, menghormati orang tua dengan bersikap sopan santun, dan sebagainya.

Bagaimana cara manusia dapat mengikuti norma sosial sebenarnya tidak terlepas dari adanya tekanan-tekanan untuk bertingkah laku dengan cara yang sesuai dengan aturan sosial. Tekanan yang ada dalam norma sosial sesungguhnya memiliki pengaruh yang besar. Tekanan-tekanan untuk melakukan konformasi sangat kuat, sehingga usaha untuk menghindari situasi yang menekan dapat menenggelamkan nilai-nilai personalnya. Misalnya dua orang yang sudah sepakat untuk menikah dengan cara yang sederhana tanpa kerumitan dan repotnya adat tertentu dapat berubah sikap menjelang pernikahan karena adanya tekanan orang tua dan keluarga besarnya.

Zebua, Albertina Saady, dan Rostiana D Nurdjayadi mengemukakan, “Konformitas pada remaja umumnya terjadi karena mereka tidak ingin dipandang berbeda dengan teman-temannya. Pada remaja, tekanan teman sebaya lebih dominan. Hal ini disebabkan oleh besarnya keinginan untuk menjaga harmonisasi dan penerimaan sosial dalam kelompok.” (2001: 75). Konformitas muncul pada masa remaja awal yaitu antara 13 tahun sampai

16 atau 17 tahun, yang ditunjukkan dengan cara menyamakan diri dengan teman sebaya dalam hal berpakaian, bergaya, berperilaku, berkegiatan dan sebagainya. Sebagian remaja beranggapan bila mereka berpakaian atau 16 atau 17 tahun, yang ditunjukkan dengan cara menyamakan diri dengan teman sebaya dalam hal berpakaian, bergaya, berperilaku, berkegiatan dan sebagainya. Sebagian remaja beranggapan bila mereka berpakaian atau

Kecenderungan untuk melakukan konformitas tidak selalu berarti hanya mengikuti pada hal-hal yang positif saja. Manusia juga dapat melakukan konformitas pada bentuk-bentuk perilaku negatif. Sarwono menjelaskan karena kuatnya ikatan emosi dan konformitas kelompok pada remaja maka biasanya hal ini sering dianggap juga sebagai faktor yang menyebabkan munculnya tingkah laku remaja yang buruk. Misalnya seks bebas, perilaku agresif remaja anggota geng motor, dan perkelahian atau tawuran antarpelajar (dalam Trida, 2007: 76). Contohnya seperti yang diungkapkan oleh Rambe yang menyatakan:

Pada tahun 1990-an perkelahian antar pelajar sedang marak-maraknya di Jakarta, banyak sekali siswa SMA yang melakukan tawuran. Perkelahian terjadi karena masalah sepele. Seringkali, perkelahian tersebut terjadi pada tempat-tempat yang biasa mereka lewati dengan cara saling melempar batu dan berkelahi menggunakan senjata maupun benda-benda di sekitar mereka. Selain berkelahi, mereka juga melakukan perusakan terhadap bus-bus kota dan fasilitas umum di sekitar tempat kejadian, termasuk mobil pribadi yang sedang melintas (Sarwono, dkk, 2009: 110).

Hal tersebut oleh Mulyawati (2010: 76) disebabkan oleh beberapa faktor, sebagai berikut.

1) Ketidakpuasan terhadap suatu hal, yaitu ketika hal yang diinginkan tidak tercapai.

2) Rasa dendam yang diakibatkan adanya suatu hal yang merugikan orang lain, seperti pemalakan liar atau perampasan.

3) Rasa kesetiakawanan yang tinggi antar siswa, sehingga apabila salah satu siswa merasa tersakiti ataupun tersinggung maka teman yang lain membela dengan cara menyerang balik orang yang menyakiti.

4) Saling ejek antar pribadi maupun sekolah.

Di pihak lain, menurut Rambe dari hasil penelitiannya pada tahun 1997, mengungkapkan bahwa terdapat lima faktor yang menjadi penyebab tawuran yang ada keterkaitannya dengan konformitas, sebagai berikut.

1) Alasan pribadi, yaitu membangun perasaan percaya diri, menghilangkan beban pelajaran yang terlampau banyak, melampiaskan kekesalan, dan menambah pengalaman.

2) Kesenangan, yaitu senang terlibat dalam perkelahian pelajar pelajar karena perkelahian mengasyikan dan seru, suka berkelahi walaupun dapat membuat terluka.

3) Keterpaksaan dengan alasan, yaitu merasa membuang-buang waktu dan merasa takut atau was-was terkena pukulan.

4) Ketidaksetujuan, yaitu tidak setuju dalam penyelesaian masalah kemudian dilanjutkan dengan berkelahi.

5) Kesetiakawanan, yaitu ingin membantu teman yang disakiti oleh siswa sekolah lain (Sarwono, dkk, 2009: 112)

Dari beberapa faktor di atas, dapat dismpulkan bahwa faktor pertama, kedua, dan kelima beracuan pada konformitas acceptance. Sedangkan faktor ketiga dan keempat beracuan pada konformitas compliance. Myers menyatakan:

Konformitas acceptance adalah bentuk konformitas dimana individu bertingkah laku sesuai dengan tekanan kelompok, sementara secara pribadi ia tidak menyetujui tingkah laku tersebut. Sedangkan konformitas compliance adalah bentuk konformitas dimana tingkah laku dan keyakinan individu sesuai dengan tekanan kelompok yang diterimanya (Sarwono, dkk, 2009: 111).

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa konformitas merupakan bentuk pengaruh sosial yang menjadikan seorang individu mengikuti suatu aturan, kebiasaan, dan tingkah laku menurut individu lain atau dalam kelompok. Hal tersebut dilakukan agar seorang individu tersebut dapat diterima kelompok dalam berkehidupan.

b. Faktor yang Memengaruhi Konformitas

Efek yang saling berkaitan antara kurangnya kepercayaan terhadap pendapat sendiri dengan rasa takut menjadi orang yang menyimpang membuat orang menyesuaikan diri dan melakukan konformitas. Berikut adalah pendapat O. Sears, Freedman, dan Peplau (2000: 85-91) mengenai faktor-faktor yang memengaruhi seseorang melakukan konformitas.

1) Kekompakan Kelompok Konformitas dipengaruhi oleh eratnya hubungan antara individu dengan kelompoknya. Kekompakan kelompok merupakan total kekuatan yang menyebabkan orang tertarik pada suatu kelompok dan yeng membuat mereka ingin tetap menjadi anggotanya. Semakin besar rasa suka anngota yang satu terhadap anggota yang lain dan semakin besar harapan untuk memeroleh manfaat dari keanggotaan kelompok, serta semakin besar kesetiaan mereka maka semakin kompak kelompok tersebut.

Kekompakan yang tinggi menimnulkan konformitas yang semakin tinggi. Hal tersebut dapat dilihat apabila orang merasa dekat dengan anggota kelompok yang lain, akan semakin menyenangkan bagi mereka untuk mengakui kita, dan semakin menyakitkan bila mereka mencela kita. Artinya, Kemungkinan untuk menyesuaikan diri atau tidak menyesuaikan diri akan semakin besar apabila kita mempunyai keinginan yang kuat untuk menjadi anggota kelompok tersebut. Bila melakukan sesuatu yang berharga, konformitas yang dihasilkan kelompok akan semakin meningkat.

Peningkatan konformitas terjadi karena anggotanya enggan disebut sebagai orang yang menyimpang. Penyimpangan menimbulkan resiko ditolak oleh kelompok. Orang yang terlalu sering menyimpang akan diperlakukan tidak menyenangkan, bahkan bisa dikeluarkan dari kelompok.

2) Kesepakatan Kelompok Faktor yang sangat penting bagi timbulnya konformitas adalah kesepakatan pendapat kelompok. Orang yang dihadapkan pada keputusan kelompok yang sudah bulat akan mendapat tekanan yang kuat untuk menyesuaikan pendapatnya. Namun, bila kelompok tidak bersatu, akan tampak adanya penurunan tingkat konformitas.

Moris dan Miller menunjukkan bahwa saat terjadinya perbedaan pendapat bisa menimbulkan perbedaan. Bila orang menyatakan pendapat yang berbeda setelah mayoritas menyatakan pendapatnya, konformitas akan menurun. Penurunan konformitas yang drastis karena hancurnya kesepakatan disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, tingkat kepercayaan terhadap mayoritas akan menurun bila terjadi perbedaan pendapat, meskipun orang yang berbeda pendapat itu sebenarnya kurang ahli bila dibandingkan anggota lain yang membentuk mayoritas. Kedua, bila anggota kelompok yang lain mempunyai pendapat yang sama, keyakinan individu terhadap pendapatnya sendiri akan semakin kuat. Keyakinan yang kuat akan menurunkan konformitas. Ketiga, menyangkut keengganan untuk menjadi orang yang menyimpang.

3) Ukuran Kelompok Serangkaian eksperimen menunjukkan bahwa konformitas akan meningkat bila ukuran mayoritas yang sependapat juga meningkat, setidak-tidaknya hingga tingkat tertentu.

Asch (1951) dalam eksperimennya menemukan bahwa dua orang menghasilkan tekanan yang lebih kuat daripada satu orang, tiga orang memberikan tekanan yang lebih besar daripada dua orang, dan empat orang kurang lebih sama dengan tiga orang. Asch menemukan bahwa penambahan jumlah anggota mayoritas sehingga lebih dari empat orang tidak meningkatkan mayoritas, setidak-tidaknya sampai enam belas orang. Dia menyimpulkan bahwa untuk menghasilkan tingkat konformitas yang paling tinggi, ukuran kelompok yang optimal adalah tiga atau empat orang.

4) Keterikatan pada Penilaian Bebas Keterikatan sebagai kekuatan total yang membuat seseorang mengalami kesulitan untuk melepaskan suatu pendapat. Orang yang secara terbuka dan sungguh-sungguh terikat suatu penilaian bebas akan lebih enggan menyesuaikan diri terhadap perilaku kelompok yang berlawanan. Mungkin kita harus menanggung resiko mendapat celaan sosial karena menyimpang dari pendapat kelompok, tetapi keadaannnya akan lebih buruk bila orang mengetahui bahwa kita telah mengorbankan penilaian pribadi sendiri hanya untuk menyesuaikan diri terhadap kelompok.

Sementara itu, Baron dan Byrne (2005: 56-57) mengungkapkan bahwa terdapat tiga faktor yang memengaruhi konformitas, sebagai berikut.

1) Kohesivitas (cohesiveness), yang dapat didefinisikan sebagai derajat ketertarikan yang dirasa oleh individu terhadap suatu kelompok. Ketika kohesivitas tinggi, ketika kita suka dan mengagumi suatu kelompok orangorang tertentu, tekanan untuk melakukan konformitas bertambah besar. Hasil penelitian Crandall dan Latane L’Herrou mengindikasikan bahwa kohesivitas memunculkan efek yang kuat terhadap konformitas, sehingga hal ini jelas-jelas merupakan suatu penentu yang penting mengenai sejauh mana kita akan menuruti bentuk tekanan sosial.

2) Ukuran kelompok. Konformitas meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah anggota kelompok tetapi hanya sekitar tiga orang anggota tambahan, lebih dari itu tampaknya tidak akan berpengaruh bahkan menurun. Studi-studi terkini malah menemukan bahwa konformitas cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya ukuran kelompok hingga delapan orang anggota tambahan atau lebih. Jadi tampak bahwa semakin besar kelompok tersebut maka semakin besar pula kecenderungan kita untuk ikut serta, bahkan meskipun itu berarti kita akan menerapkan tingkah laku yang berbeda dari yang sebenarnya kita inginkan.

3) Norma sosial deskriptif dan norma sosial injungtif. Norma deskriptif/himbauan (descriptive norms) adalah norma yang hanya mendeskripsikan apa yang sebagian besar orang lakukan pada situasi tertentu. Norma-norma ini mempengaruhi tingkah laku dengan cara memberi tahu kita mengenai apa yang umumnya dianggap efektif atau adaptif pada situasi tersebut. Sebaliknya, norma injungtif menetapkan apa yang harus dilakukan, tingkah laku apa yang diterima atau tidak diterima pada situasi tertentu. Kedua norma tersebut dapat memberikan pengaruh yang kuat pada tingkah laku.