Hakikat Resepsi Sastra

3. Hakikat Resepsi Sastra

a. Teori Resepsi Sastra

Teori analisis sastra dengan model resepsi sastra telah dikembangkan mulai tahun 1970-an, mula-mula oleh Mukarovsky kemudian disempurnakan oleh Jauss, Iser dan Segers, Juhl, dan Holub. Selanjutnya, analisis model ini berkembang di Indonesia (Murtono, 2010: 2).

Penelitian sastra tergolong dalam telaah ilmu kemanusiaan. Endraswara menyatakan: Penelitian teks sastra selalu dikaitkan dengan hidup manusia maka

telaah tentang sastra berkaitan dengan hal ihwal yang menyagkut di luar teks sastra, seperti pembaca dan pengarang. Baik penelitian teks sastra maupun tentang aspek di luar sastra, keduanya sama penting dan saling melengkapi. Oleh karena itu, peneliti sastra perlu mempertimbangkan aspek pembaca dalam pemaknaan teks. Salah satu bidang yang relevan diteliti adalah masalah resepsi sastra. Dari sini akan terungkap jelas bagaimana tanggapan pembaca terhadap teks sastra (2011: 117).

Ratna mengemukakan bahwa resepsi sastra berasal dari kata recipere (bahasa Latin), reception (bahasa Inggris) yang berarti sebagai penerimaan Ratna mengemukakan bahwa resepsi sastra berasal dari kata recipere (bahasa Latin), reception (bahasa Inggris) yang berarti sebagai penerimaan

Endraswara berpendapat bahwa penelitian resepsi sastra sebenarnya wilayah telaah pragmatik sastra, termasuk di dalamnya adalah bagaimana aktivitas pembaca sebagai penikmat dan penyelamat karya sastra (2011). Sebagai penikmat, pembaca akan meresepsi sekaligus memberikan tanggapan tertentu terhadap karya sastra. Sebagai penyelamat, pembaca yang mau menerima kehadiran sastra, juga akan meresepsi selanjutnya melestarikan dengan cara mentransformasikan.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Pradopo (mengutip simpulan Teeuw, 1983) yang menyatakan bahwa estetika resepsi termasuk dalam orientasi pragmatik, karya sastra sangat erat dengan pembacanya. Di samping itu, pembacalah yang menentukan makna dan nilai karya sastra (2003: 207). Karya sastra tidak memiliki arti tanpa ada pembaca yang menanggapinya. Karya sastra mempunyai nilai karena ada pembaca yang menilai.

Resepsi berarti menerima atau penikmatan karya sastra oleh pembaca. Endraswara menyatakan, “Resepsi merupakan aliran yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak kepada pembaca yang memberi tanggapan terhadap teks itu. Dalam meresepsi karya sastra bukan hanya makna tunggal tetapi memiliki makna lain yang akan memperkaya karya sastra itu.” (2003: 118).

Resepsi sastra adalah kualitas keindahan yang timbul sebagai akibat hubungan antara karya sastra dengan pembaca. Pada dasarnya resepsi sastra berorientasi pada teori-teori komunikasi sastra, yaitu hubungan antara pengarang, karya sastra, dan pembaca (Murtono, 2010: 3).

Resepsi sastra adalah pendekatan penelitian sastra yang tidak berpusat pada teks karena teks sastra bukan satu-satunya obyek penelitian. Endraswara menyatakan, ”Resepsi sastra justru meneliti teks sastra dalam kaitan tertentu. Teks sastra diteliti dalam kaitannya dengan pengaruh keberterimaan pembaca karena dasar pemikirannya adalah teks sastra ditulis untuk disajikan kepada sidang pembaca.” (2011: 118). Sementara itu, Hetami berpendapat bahwa resepsi sastra adalah bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya, sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan (2010).

Teori resepsi melokasikan pembaca ke dalam posisi sentral. Pembaca adalah mediator. Karya sastra seolah-olah tidak memiliki arti tanpa pembaca. Ratna menyatakan, “Secara umum teori resepsi diartikan sebagai penerimaan, penyambutan, tanggapan, reaksi, dan sikap pembaca tehadap suatu karya sastra. Secara definitif, dalam teori resepsi, pembaca memegang peranan penting.” (2005: 208).

Murtono (2010: 17) menyatakan bahwa garis besar penelitian resepsi sastra berpijak pada:

1) Suatu karya yang dilihat dalam hubungan bagaimana ia bereaksi dengan pembacanya. Reaksi itu ditentukan oleh fenomena yang ada dalam karya sastra itu sendiri.

2) Sebuah karya menjadi konkret melalui suatu penerimaan pembacanya, sehingga meninggalkan kesan bagi mereka. Pembaca mengkonkretkan dan merekonstruksikannya.

3) Imajinasi pembaca dimungkinkan oleh keakraban dengan tradisi, kesanggupan memahami keadaan pada masanya, dan juga mengenai masa sebelumnya.

4) Melalui kesan, pembaca dapat menyatakan penerimaannya terhadap suatu karya. Ia dapat menyatakan dalam bentuk komentar atau dalam bentuk karya lain yang berhubungan dengan karya tersebut.

Teori resepsi sastra merupakan pendekatan penelitian sastra yang tidak hanya berpusat pada teks sastra, melainkan penyelidikan tentang Teori resepsi sastra merupakan pendekatan penelitian sastra yang tidak hanya berpusat pada teks sastra, melainkan penyelidikan tentang

b. Metode Resepsi Sastra

Metode resepsi sastra mendasarkan diri pada teori bahwa karya sastra itu sejak terbitnya selalu mendapat resepsi atau tanggapan para pembacanya. Hal tersebut sesuai dengan simpulan Jauss (1974) bahwa apresiasi pembaca pertama terhadap sebuah karya sastra akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan-tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi (Pradopo, 2003: 209).

Menurut Endraswara (2011: 118-119), Pertimbangan penting yang perlu diperhatikan dalam penelitian resepsi sastra, atara lain:

1) Nilai informasi suatu teks, yakni seberapa jauh sebuah teks membawa informasi kepada pembaca, bergantung pada pembaca menguasai kode- kode yang dipakai dalam teks itu. Jadi, teks sastra memberikan informasi yang berbeda dalam cara yang berbeda bagi pembaca yang pengetahuan tentang kodenya berbeda. Teks sastra akan menawarkan kode-kode tertentu yang harus dipahami oleh pembaca.

2) Kode sastra sering ditempatkan di atas kode linguistik. Kode ini adalah abstrak dan memerlukan penafsiran yang jeli. Kode ini merupakan konstruksi pemikiran yang hanya dapat diterima dalam tradisi kultural tertentu. Ia merupakan unit kultural dan fakta sosial. Dengan demikian, kode ini dapat dimanfaatkan untuk penelitian sastra secara empiris.

3) Dalam kaitannya dengan penelitian teks sastra yang berkonteks pembaca, sebenarnya merupakan ladang strategis bagi penelitian ekperimental. Oleh karena itu, penelitian semacam ini dapat memanfaatkan paradigma penelitian sosial budaya. Dari sini akan terungkap bagaimana seorang pembaca mampu menangkap kode-kode teks secara menyeluruh, sehingga terdapat hubungan yang indah antara teks dengan pembaca. Komunikasi teks dengan pembaca akan terungkap melalui studi empiris, 3) Dalam kaitannya dengan penelitian teks sastra yang berkonteks pembaca, sebenarnya merupakan ladang strategis bagi penelitian ekperimental. Oleh karena itu, penelitian semacam ini dapat memanfaatkan paradigma penelitian sosial budaya. Dari sini akan terungkap bagaimana seorang pembaca mampu menangkap kode-kode teks secara menyeluruh, sehingga terdapat hubungan yang indah antara teks dengan pembaca. Komunikasi teks dengan pembaca akan terungkap melalui studi empiris,

Penelitian dengan metode estetika resepsi ialah merekonsrtruksi bermacam-macam konkretisasi sebuah karya sastra dalam masa sejarahnya dan meneliti hubungan di antara komkretisasi-konkretisasi itu di satu pihak, kemudian di lain pihak meneliti hubungan antara karya sastra dengan konteks historis yang memiliki konkretisasi tersebut.

Pradopo (2003: 211) menyatakan bahwa dalam meneliti karya sastra berdasarkan resepsi sastra dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode sinkronik dan diakronik.

1) Metode sinkronik adalah cara penelitian resepsi terhadap sebuah karya sastra dalam satu masa atau periode. Jadi, yang diteliti adalah resepsi pembaca terhadap karya sastra dalam satu kurun waktu.

2) Metode diakronik, dikaji resepsi pembaca dari angkatan yang berturut- turut sesudah masa penerbitan suatu karya sastra.

Metode sinkronik dilakukan penerimaan pembaca terhadap sebuah atau beberapa jenis karya sastra. Baik pembaca maupun karya sastra berada dalam ciri-ciri periode yang relatif sama. Sebaliknya, metode diakronik dilakukan resepsi oleh para pembaca yang berada pada periode yang berbeda-beda. Ratna menyatakan:

Metode resepsi diakronik yang lebih menarik minat sekaligus memberikan pemahaman yang signifikan. Ratna mengungkapkan alasannya, pertama, perubahan pandangan terhadap karya sebagai akibat perubahan horison harapan, paradigma, dan sudut pandang. Kedua , pergeseran penilaian ini merupakan tolok ukur untuk mengetahui seberapa jauh masyarakat telah berubah (2005: 209).

Junus berpendapat bahwa mengatakan bahwa ada dua tanggapan yang mungkin diberikan oleh pembaca, yaitu tanggapan pasif dan tanggapan aktif. Tanggapan pasif dapat diartikan bagaimana pembaca memahami sebuah karya sastra. Tanggapan aktif adalah bagaimana pembaca merealisasikan apa yang telah dibacanya (Hetami, 2010: 176). Tanggapan pembaca pada dasarnya akan sampai pada pemaknaan teks sastra. Pembaca harus membuat konkretisasi sendiri berdasarkan pengalamannya atas teks Junus berpendapat bahwa mengatakan bahwa ada dua tanggapan yang mungkin diberikan oleh pembaca, yaitu tanggapan pasif dan tanggapan aktif. Tanggapan pasif dapat diartikan bagaimana pembaca memahami sebuah karya sastra. Tanggapan aktif adalah bagaimana pembaca merealisasikan apa yang telah dibacanya (Hetami, 2010: 176). Tanggapan pembaca pada dasarnya akan sampai pada pemaknaan teks sastra. Pembaca harus membuat konkretisasi sendiri berdasarkan pengalamannya atas teks

Dominasi norma pada kurun tertentu seringkali juga mampu mengubah penilaian karya sastra. Apalagi kalau norma tersebut berhubungan dengan kondisi sosial, budaya, dan politik. Hal itu akan memengaruhi penilaian karya sastra. Endraswara menyatakan:

Kemungkinan pembaca akan menilai sebuah teks sastra, pada saat itu peneliti dapat menanyakan kepada pembaca setelah membaca teks satra. Tingkat pernyataan resepsi dapat bergerak pada kesan- kesan pembaca sampai ke tingkat reaksi terhadap bermutu atau tidaknya teks sastra. Pada dasarnya, penelitian mengenai reksi pembaca ini dapat digolongkan menjadi dua kelompok. Pertama, peneliti menanyakan langsung tentang reksi pembaca terhadap teks. Penelitian ini termasuk penyelidikan eksperimental dan juga bisa dilakukan model survey. Kedua, peneliti dapat menyelidiki resepsi pembaca melalui lahirnya teks-teks baru yang sejenis. Kajian yang kedua ini, sebagian besar menarik bidang filologi dan sastra perbandingan. Inti dari penelitian ini adalah mencari transformasi teks sastra dari waktu ke waktu (2011: 120).

Kedua kelompok penelitian resepsi di atas sebenarnya saling menunjang dalam kemajuan sastra. Pada kelompok pertama, sebenarnya dapat diterapkan pada pembaca awam atau pembaca sastra yang sekedar hobi. Pembaca ini mungkin tidak mereaksi melalui penciptaan. Mereka sekedar untuk mengisi waktu luang dan mengisi kesenangan tertentu. Kelompok ini pun tidak bisa diabaikan dalam penilaian mutu terks sastra. Oleh karena itu, dari mereka pula teks sastra dapat dicetak berlipat ganda. Sedangkan kelompok kedua, biasanya penelitian yang diarahkan pada pembaca reproduktif yang memiliki hobi mencipta karya sastra. Pada kelompok ini, estetika resepsi sering bermain dan perlu mendapat perhatian khusus dari peneliti.

Terdapat konsep-konsep lain yang diperkenalkan dalam teori resepsi, diantaranya konkretisasi, kompetensi pembaca, dan horison harapan. Ratna memaparkan:

Konkretisasi adalah realisasi secara bebas ruang-ruang kosong dalam karya sastra. Kompetensi pembaca diartikan sebagai perangkat konvensi dalam diri pembaca dalam rangka memahami karya sastra. Horison harapan merupakan kerangka pemahaman pembaca terhadap suatu karya atas dasar pembacaan terdahulu (2005: 212).

Jika demikian, partisipasi pembaca dalam pemaknaan teks sastra memang sangat diharapkan. Dalam sebuah teks, dimungkinkan ada lubang- lubang kosong yang harus diisi oleh pembaca. Lubang kosong itu pun akan mampu terlihat oleh pembaca pada saat pembaca menguasai teknik komunikasi sastra yang jitu. Semakin baik penguasaan komunikasi sastra, pembaca akan semakin banyak melihat kekosongan teks. Kemampuan pembaca melihat tempat kosong juga ditentukan pula oleh kemampuan teks membawa efek tertentu bagi pembaca. Semakin banyak efek yang dibawa oleh teks, semakin banyak pula ruang kosong yang patut diisi oleh pembaca.

Endraswara menyatakan, ”Penelitian resepsi sastra adalah telaah sastra yang berhubungan dengan keberterimaan pembaca. Sebagaimana teks sastra akan menyangkut dua kutub yang lain, yaitu pembaca dan pengarang, resepsi pembaca menduduki peran amat penting.” (2011: 121). Asumsi dasar resepsi sastra adalah karya sastra diciptakan untuk dibaca. Karya sastra merupakan media komunikasi yang efektif antara pengarang dengan pembaca. Pembaca yang paling tepat dijadikan sasaran penelitian adalah real reader . Pembaca yang demikian, sebaiknya dipilih pembaca yang homogen dan memiliki kemampuan setaraf.

Penelitian resepsi sastra merupakan kecenderungan ilmu sastra modern. Orientasi penelitian resepsi akan mengungkap apa yang dilakukan pembaca dengan karya sastra, apakah yang dilakukan karya sastra dengan pembacanya, dan apa tugas batas pembaca sebagai pemberi makna. Permasalahan tersebut menandakan bahwa pembaca merupakan faktor hakiki yang menentukan makna karya sastra.

c. Kategori Pembaca Resepsi Sastra

Penelitian resepsi hadir karena teks sastra bersifat tidak stabil, melainkan berubah-ubah sesuai pembacanya. Hal tersebut memberikan Penelitian resepsi hadir karena teks sastra bersifat tidak stabil, melainkan berubah-ubah sesuai pembacanya. Hal tersebut memberikan

Menurut Pandangan Endraswara (mengutip simpulan Jauss, 1982), berpendapat: Horison pembaca memungkinkan terjadinya penerimaan dan

pengolahan dalam batin pembaca terhadap teks sastra. Horison harapan pembaca terbagi menjadi dua, yaitu horison pembaca yang bersifat estetis dan tak estetis (di luar teks sastra). Horison pembaca yang bersifat estetis berupa penerimaan unsur-unsur struktur pembangun karya sastra, seperti tema, alur, gaya bahasa, dan sebagainya. Sedangkan yang tak bersifat estetis berupa sikap pembaca, pengalaman pembaca, situasi pembaca, dan sebagainya. Kedua sisi resepsi sastra tersebut sama-sama penting dalam pemahaman karya sastra (2011: 123).

Jarak antara horison harapan dengan karya sastra merupakan tolak ukur kualitas estetis. Semakin kecil jarak yang ditimbulkan maka nilai karya sastra makin rendah karena tidak ada tuntutan kesadaran yang baru untuk memahaminya. Sebaliknya, dalam membaca karya sastra yang besar selalu diperlukan kesadaran yang baru. Selanjutnya, Iser mengungkapkan bahwa pembacaan teks sastra tidak sekedar melibatkan teks sastra saja, melainkan juga aksi pembaca dalam menanggapi teks (Endraswara, 2011: 125). Karya sastra memiliki dua kutub, yaitu kutub artistik dan estetik. Kutub artistik adalah kutub pengarang dan kutub estetik adalah realisasi yang diberikan oleh pembacanya. Aktualisasi yang benar akan terjadi pada saat ada kontak antara teks sastra dengan pembacanya. Penelitian sastra seharusnya menjangkau sampai interaksi penerimaan pembaca terhadap teks sastra. Aspek-aspek verbal dalam sastra belum lengkap jika tidak dikaitkan dengan resepsi pembaca.

Pembaca karya sastra memiliki perbedaan dalam menerima teks dan menyikapi suatu teks sastra. Perbedaan pengalaman pembaca akan menentukan pemaknaan dan keberterimaan teks sastra. Dalam hal ini Endraswara (2011: 125) membagi kategori pembaca menjadi tiga kriteria, sebagai berikut.

1) Super reader yang diperkenalkan oleh Riffartere. Super reader adalah pembaca yang berpengalaman. Pembaca semacam ini, oleh Segers disebut juga pembaca ideal, pembaca yang biasanya memiliki dan banyak membaca teori-teori sastra. Pembaca semacam ini juga dapat dikatakan sebagai pembaca akademik ataupun kritis karena mereka akan mampu memahami hubungan semantik dan pragmatik terhadap teks sastra.

2) Fish berpendapat ada istilah informed reader, yaitu pembaca yang tahu dan berkompeten. Pembaca ini biasanya memiliki kemampuan bahasa, semantik, dan kode sastra yang cukup. Kategori ini sejalan dengan istilah pembaca implisit yang diartikan sebagai pembaca yang mampu menggunakan kode-kode tekstual secara menyeluruh.

3) Wolf mengusulkan intended reader, yakni pembaca yang telah berada dalam benak penulis ketika merekontruksikan idenya. Model pembaca semacam ini telah terbayangkan oleh penulis. Misalkan saja, pembaca anak-anak muncul pada saat seorang pengarang menulis cerita anak. Kategori ini sejalan dengan istilah real reader, actual reader, yaitu manusia yang benar-benar melakukan tindakan pembacaan.

Selain tiga kategori pembaca di atas, masih terdapat satu kategori pembaca yang disebutkan oleh Endraswara, yaitu pembaca awam. Menurut Endraswara (2011: 126), pembaca awam memiliki peranan penting terhadap makna teks. Pembaca awam kadang-kadang juga lebih objektif dan polos, sehingga menilai karya sastra menurut pengetahuan dan visinya. Mereka lebih orisinal dalam membaca karya sastra karena belum terkontaminasi dengan teori-teori.

Tugas pembaca dalam setiap aktivitas resepsi memang tidak mudah. Pembaca sering dihadapkan pada teks-teks sastra yang relatif rumit. Hal ini akan dipengaruhi juga oleh terjadinya penyimpangan-penyimpangan sistem sastra. Itulah sebabnya, pembaca hendaknya mampu mengembalikan segala yang menyimpang tersebut kepada yang jelas, terang, dan dapat dipahami. Berkaitan dengan hal itu, seorang peneliti resepsi hendaknya mampu mengungkap berbagai hal tentang upaya pembaca menyikapi teks sastra. Peneliti sastra hendaknya berusaha mengupas, menyingkapkan, dan mempertanggungjawabkan sistem tersebut.