Hakikat Sosiologi Sastra

2. Hakikat Sosiologi Sastra

a. Teori Sosiologi Sastra

Banyak cara yang digunakan dalam hal mengkaji sebuah karya sastra. Salah satu kajian yang dapat menelaah karya sastra mengenai hubungannya dengan kehidupan dan kondisi sosial masyarakat adalah pendekatan sosiologi sastra. Endraswara menyatakan, “Sosiologi sastra merupakan cabang penelitian sastra yang bersifat reflekif. Penelitian ini banyak diminati peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat.” (2011: 77). Asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi pemicu lahirnya karya sastra. karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan zamannya.

Para ahli sosiologi sastra memperlakukan karya sastra sebagai karya yang ditentukan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan zamannya, yaitu pokok masalahnya, penilaian-penilaian yang implisit, dan eksplisit yang diberikan. Stefan menyatakan bahwa One can use sociology in many areas of literature, from the macro social to the interpersonal ones, from the political to the economical ones . Sosiologi dapat digunakan di banyak bidang sastra, dari sosial makro hingga interpersonal, dari politik hingga ekonomi (2009: 69).

Menurut Karyanto, sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Istilah itu pada dasarnya tidak berbeda pengertiannya dengan sosiosastra, pendekatan sosiologis, atau pendekatan sosiostruktural terhadap sastra (2010). Istilah sosiologi sastra dikaitkan dengan tulisan-tulisan para kritikus dan ahli sejarah sastra. Kaitan tersebut terutama pada para kritikus dan ahli sejarah sastra yang perhatian utamanya ditujukan pada cara-cara seorang pengarang dipengaruhi oleh status kelasnya, ideologi masyarakat, dan keadaan-keadaan ekonomi yang berhubungan dengan pekerjaannya, dan jenis pembaca yang dituju. Selanjutnya Karyanto (mengutip pendapat Hartoko dan Rahmanto, 1998) berpendapat bahwa sosiologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dari hubungannya dengan kenyataan sosial. Lebih lanjut, Stefan menyatakan:

social analysis can take the literary text as a reference point for understanding the reality it reflects or anticipates, being interested not in the aesthetics of the text, but in the logics of the social actions of the characters, focusing on the way in which reality is produced inside the text . Analisa sosial dapat menggunakan teks sastra sebagai poin referensi untuk memahami kenyataan yang mencerminkan atau mengantisipasi, yang tertarik tidak dalam estetika teks, tetapi dalam logika tindakan social dari karakter, berfokus pada cara dimana kenyataan dihasilkan di dalam teks (2009: 69).

Persamaan sosiologi dan sastra diuntunjukkan melalui dua aspek mendasar, yaitu persamaan genetis dan persamaan struktur. Ratna menyatakan bahwa persamaan genetis karena sastra berasal dari masyarakat, sedangkan persamaan struktur karena keduanya memiliki struktur yang relatif sama. Persamaan ini yang memengaruhi antar keduanya (2005). Sastra merupakan sebuah refleksi sosial budaya yang merupakan satu tes dialektika antara pengarang dengan situasi sosial yang membentuknya. Sejalan dengan hal tersebut, Endraswara (mengutip pendapat Laurenson dan Swingewood, 1972) menyatakan bahwa walaupun sosiologi dan sastra mempunyai perbedaan tertentu namun sebenarnya dapat memberikan penjelasan terhadap makna teks sastra (2011). Dengan demikian, meskipun Persamaan sosiologi dan sastra diuntunjukkan melalui dua aspek mendasar, yaitu persamaan genetis dan persamaan struktur. Ratna menyatakan bahwa persamaan genetis karena sastra berasal dari masyarakat, sedangkan persamaan struktur karena keduanya memiliki struktur yang relatif sama. Persamaan ini yang memengaruhi antar keduanya (2005). Sastra merupakan sebuah refleksi sosial budaya yang merupakan satu tes dialektika antara pengarang dengan situasi sosial yang membentuknya. Sejalan dengan hal tersebut, Endraswara (mengutip pendapat Laurenson dan Swingewood, 1972) menyatakan bahwa walaupun sosiologi dan sastra mempunyai perbedaan tertentu namun sebenarnya dapat memberikan penjelasan terhadap makna teks sastra (2011). Dengan demikian, meskipun

Penelitian sosiologi sastra lebih banyak memperbincangkan hubungan antara pengarang dengan kehidupan sosialnya, baik aspek bentuk maupun isi karya sastra akan terbentuk oleh suasana lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu. Dalam hal ini, teks sastra dilihat sebagai sebuah pantulan zaman. Oleh karena itu, sastra dapat dikatakan sebagai media saksi zaman. Walaupun aspek imajinasi dan manipulasi dari pengarang tetap ada dalam karya sastra, tetapi aspek sosial dalam karya sastra juga tidak bisa diabaikan. Aspek-aspek kehidupan akan memantul penuh ke dalam karya sastra.

Hal penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror). Endraswara menyatakan, “Sastra dianggap sebagai mimetis (tiruan) masyarakat. Meskipun demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan.” (2011: 78). Sastra bukan sekedar refleksi kenyataan tetapi kenyataan yang telah diartikan/ditafsirkan lewat sastra. Kenyataan tersebut bukan jiplakan yang kasar melainkan sebuah refleksi yang halus dan estetis.

Jika sebuah karya sastra merupakan cerminan kehidupan sosial suatu masyarakat, berarti dari sebuah karya sastra dapat dipelajari beberapa hal pada masyarakat.Berdasarkan hal tersebut, dapat dilakukan telaah terhadap sebuah karya sastra dengan memfokuskan pada segi-segi sosial dalam masyarakat dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Peneliti dapat mengkaji karya sastra dalam kaitannya dengan pengaruh teks sastra terhadap pembaca melalui pendekatan sosiologi sastra. Berkaitan dengan hal tersebut, Ratna menyatakan:

Dalam kerangka sosiologi sastra, masyarakat pembaca yang diacu adalah masyarakat masa kini sebagai pembaca kontemporer. Karya sastra dan keseluruhan aktivitas kultural dimanfaatkan demi kepentingan manusia kontemporer dan generasi berikutnya. Ilmu-ilmu sosial memusatkan perhatiannya pada perilaku, kekerabatan, stratifikasi sosial, dan perkembangan masyarakat pada umumnya Dalam kerangka sosiologi sastra, masyarakat pembaca yang diacu adalah masyarakat masa kini sebagai pembaca kontemporer. Karya sastra dan keseluruhan aktivitas kultural dimanfaatkan demi kepentingan manusia kontemporer dan generasi berikutnya. Ilmu-ilmu sosial memusatkan perhatiannya pada perilaku, kekerabatan, stratifikasi sosial, dan perkembangan masyarakat pada umumnya

Menurut Kuncoro Hadi (mengutip pendapat Kristi Siegel, 2009) sosiologi sastra berarti pengkajian karya sastra yang memfokuskan diri pada analisis hubungan antara pengarang, karya sastra, dan pembaca (2009). Berarti kajian sosiologi sastra dapat menyoroti karya sastra dari sudut pandang pengarang, karya sastra, maupun pembaca. Hasil kajian dari sosiologi sastra dapat dijadikan sebagai sarana untuk memahami karya sastra maupun untuk dijadikan metode dalam pemgajaran sastra.

b. Metode Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra adalah penelitian sastra yang terfokus pada masalah manusia karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menjalani hidupnya hingga meraih ujuan dalam hidupnya. Pada prinsipnya, menurut Laurenson dan Swingewood (1971) terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra, sebagai berikut.

1) Penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan.

2) Penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya.

3) Penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya (Endraswara 2011: 79).

Ketiga perspektif tersebut dapat berdiri sendiri ataupun diungkap sekaligus. Hal ini tergantung kemampuan peneliti untuk menggunakan salah satu perpektif atau keseluruhannya. Semakin lengkap pemakaian perspektif, semakin lengkap pula pemahaman karya sastra. Namun semua itu juga tergantung pada sasaran penelitian.

Dalam konteks metodologis, sosiologi sastra memang senantiasa mengalami perubahan. Endraswara menyatakan: Pada awalnya, sosiologi sastra diletakkan dalam kerangka penelitian

positivisme yang berusaha mencari hubungan antara faktor iklim, geografi, filsafat, dan politik. Selanjutnya, sosiologi sastra justru positivisme yang berusaha mencari hubungan antara faktor iklim, geografi, filsafat, dan politik. Selanjutnya, sosiologi sastra justru

pendapat Jabrohim) dapat dirinci ke dalam beberapa bidang pokok, antara lain konteks sosial sastrawan, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra (2010). Konteks sosial sastrawan ada hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan pembaca. Dalam bidang ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi sastrawan sebagai perseorangan di samping dapat mempengaruhi karya sastra. Sastra sebagai cermin masyarakat, meneliti sejauh mana sastra dianggap sebagai cerminan keadaan masyarakatnya. Dalam hal ini pandangan sosial sastrawan harus dipertimbangkan apabila sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat. Fungsi sosial sastra berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai-nilai sosial dalam masyarakat.

Penelitian sosiologi sastra yang lengkap seharusnya terkait dengan latar belakang sosiobudaya masyarakat. Menurut Endraswara, Karya-karya besar dengan sendirinya akan mempresentasikan sosiobudaya dan moral yang tangguh. Peneliti sastra bertugas mengungkap hal tersebut agar dapat menangkap watak-watak kultural suatu masyarakat. Penelitian kritis sosiologi sastra diharapkan mampu menggali masa lalu yang masih relevan dengan masa kini dan mendatang (2011: 93).

Pendekatan yang mengungkap aspek sastra dengan refleksi dokumen sosiobudaya mengimplikasikan bahwa karya sastra menyimpan hal-hal penting bagi kehidupan masyarakat. Pendekatan ini sekedar mengungkap persoalan kemampuan karya sastra mencatat keadaan sosiobudaya masyarakat tertentu. Jadi, pendekatan ini tidak memperhatikan struktur teks, melainkan hanya penggalan-penggalan cerita yang terkait dengan sosiobudaya.

Langkah yang bisa ditempuh pada pendekatan ini, menurut Junus (1986) sebagai berikut.

1) Unsur sastra diambil terlepas dari unsur lain kemudian dihubungkan dengan suatu unsur sosiobudaya. Strategi ini ditempuh karena karya tersebut hanya memindahkan unsur itu ke dalam dirinya.

2) Pendekatan ini boleh mengambil citra tentang perempuan, laki-laki, tradisi, dunia modern, dan lain-lain dalam suatu karya. Citra tentang sesuatu tersebut disesuaikan dengan perkembangan budaya masyarakat.

3) Pendekatan ini boleh juga mengambil motif atau tema, yang keduanya berbeda secara gradual. Tema lebih abstrak dan motif lebih konkret. Motif dapat dikonkretkan melalui pelaku (Endraswara, 2011: 93-94).

Ketiga strategi penelitian tersebut menunjukkan bahwa penelitian sosiologi sastra dapat dilakukan melalui potongan-potongan cerita. Hubungan antara unsur dengan keutuhan unsur juga tidak harus diungkap dengan rinci. Namun pada pendekatan sosiologi sastra terdapat kelemahan, yaitu peneliti akan sulit menghubungkan secara langsung karya sastra dengan sosiobudaya karena ada juga karya sastra yang hanya sebatas imajinasi dari pengarang.

Ratna (2005: 283) berpendapat bahwa masyarakat sebagai masalah pokok sosiologi sastra dapat digolongkan ke dalam tiga macam, sebagai berikut.

1) Masyarakat yang merupakan latar belakang produksi karya.

2) Masyarakat yang terkandung dalam karya.

3) Masyarakat yang merupakan latar belakang pembaca. Masyarakat pertama dihuni oleh pengarang, keberadannya tetap, tidak berubah sebab merupakan proses sejarah. Masyarakat yang kedua dihuni oleh tokoh-tokoh rekaan sebagai manifestasi subyek pengarang. Masyarakat yang terakhir dihuni oleh para pembaca. Sebagai proses sejarah, keberadaannya sama dengan masyarakat yang pertama. Perbedannya, masyarakat pembaca berubah sebagai akibat perubahan pembaca itu sendiri yang berganti-ganti sepanjang zaman.

Sosiologi sastra memerhatikan pengarang, proses penulisan, maupun pembaca (sosiologi komunikasi sastra) serta teks sastra sendiri. Secara implisit, karya sastra merefleksikan proposisi bahwa manusia memiliki sisi kehidupan masa lampau, sekarang, dan masa mendatang. Sejalan dengan paparan tersebut, Endraswara mengungkapkan:

Kajian sosiologi sastra dapat meneliti sastra melalui tiga perspektif. Pertama , perspektif teks sastra, yaitu peneliti menganalisis sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Teks biasanya dipotong-potong,

dijelaskan makna sosiologisnya. Kedua , perspektif biologis, artinya peneliti menganalisis kehidupan dan latar belakang sosial pengarang. Analisis ini terbentur kendala jika pengarang sudah meninggal, sehingga tidak mudah ditanyai. Oleh karena itu, perspektif ini diperuntukkan bagi pengarang yang masih hidup dan mudah dijangkau. Ketiga, perspektif reseptif, yaiu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra (2011: 80-81).

diklasifikasikan,

dan

Ratna menyatakan bahwa persamaan sosiologi dan sastra ditunjukkan melalui dua aspek mendasar, yaitu pesamaan genetis dan persamaan struktur. Persamaan genetis karena sastra berasal dari masyarakat, sedangkan persamaan struktur karena keduanya memiliki struktur yang relatif sama (2005). Oleh karena itu, hubungan keduanya sebenarnya yang menjadi obsesi peneliti sosiologi sastra. Peneliti hendaknya mampu menarik kejelasan hubungan keduanya.

Endraswara menyampaikan bahwa secara esensial, sosiologi sastra sebagai berikut.

1) Studi ilmiah manusia dan masyarakat secara obyektif.

2) Studi lembaga-lembaga sosial lewat sastra dan sebaliknya.

3) Studi proses sosial, yaitu bagaimana masyarakat bekerja dan bagaimana mereka melangsungkan hidupnya (2011: 87).

Masyarakat sastra ditandai oleh berbagai kepentingan yang berkaitan dengan citra estetis, ilmu pengetahuan, manfaat pragmatis, nilai ekonomis, dan nilai dokumentasi. Sosiologi sastra memang penelitian manusia dalam kaitannya dengan masyarakat dengan teks sastra. Hubungan manusia dalam teks sastra itu merupakan hubungan yang bersifat spesifik. Di antara Masyarakat sastra ditandai oleh berbagai kepentingan yang berkaitan dengan citra estetis, ilmu pengetahuan, manfaat pragmatis, nilai ekonomis, dan nilai dokumentasi. Sosiologi sastra memang penelitian manusia dalam kaitannya dengan masyarakat dengan teks sastra. Hubungan manusia dalam teks sastra itu merupakan hubungan yang bersifat spesifik. Di antara

Dalam kaitan dengan hal di atas, Endraswara (mengutip pendapat Segers, 2002) memberikan tiga kemungkinan penelitian sosiologi sastra, sebagai berikut.

Menitikberatkan pada pengarang, teks sastra, dan masyarakat pembaca. Penitikberatan pengarang akan mengkaji status ekonomik dan profesionalitas penulis, kelas sosial, dan generasi sastra penulis itu. Pada teks, penyelidikan dapat dibuat dalam sosiologi genre, bentuk, tema, karakter, dan gaya. Akhirnya, dalam kesesuaiannya dengan resepsi, mempertimbangkan teks sastra diterima oleh pembaca sebagai indikasi krusial yang penting bagi teks (2011: 95).

Selanjutnya, Endraswara (mengutip pendapat Robert Escarpit) menyatakan bahwa seseorang yang ingin mengetahui arti sebuah teks sastra, pertama-tama harus tahu bagaimana teks sastra itu telah dan harus dibaca. (2011: 95).