musim, lintang, ketinggian dari permukaan air laut, waktu, sirkulasi udara, penutupan vegetasi kanopi, awan, serta kedalaman. Perubahan suhu akan
mempengaruhi proses fisika, kimia dan biologi badan air. Selain itu suhu juga sangat berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Peningkatan
suhu akan menurunkan kadar kelarutan gas dalam air. Suhu yang optimal bagi pertumbuhan fitoplankton berkisar antara 20 – 30
Jangkaru 2000, penurunan suhu udara pada malam hari, pada waktu hujan atau pada waktu sinar matahari terhalang oleh awan, asap, debu atau
pelindung Iainnya akan menurunkan suhu air permukaan. Jika proses penurunan suhu udara terus berlangsung sehingga suhu air permukaan sama dengan suhu
lapisan bawah maka akan terjadi proses pencampuran. Apabila penurunan suhu air permukaan terus berlanjut sehingga lebih dingin dibanding dengan suhu
air di dasar maka akan terjadi proses pembalikan Up Welling atau Turn Over. C.
2.2.2. Kecerahan
Fotosintesis hanya dapat berlangsung bila intensitas cahaya yang sampai ke suatu sel alga lebih besar daripada suatu intensitas tertentu. Cahaya matahari
dibutuhkan oleh tumbuhan air fitoplankton untuk proses asimilasi. Besar nilai kecerahan dapat diidentikkan dengan kedalaman air yang memungkinkan masih
berlangsungnya proses fotosintesis. Nilai kecerahan sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, kekeruhan air serta kepadatan plankton suatu
perairan Barus, 2004, kecerahan merupakan faktor pembatas bagi organisme fotosintetik fitoplankton dan juga kematian pada organisme tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Kedalaman penetrasi cahaya suatu perairan merupakan kedalaman dimana produksi fitoplankton masih dapat berlangsung, bergantung pada beberapa
faktor, antara lain: absorbsi cahaya oleh air, panjang gelombang cahaya, kecerahan air, pemantulan cahaya oleh permukaan laut, lintang geografik, dan
musim Odum, 1996. Fotosintesis oleh fitoplankton jelas tergantung pada adanya cahaya. Laju fotosintesis akan tinggi bila tingkat kecerahana tinggi dan
menurun bila kecerahan menurun. Sebaliknya, laju respirasi fitoplankton dapat dikatakan konstan di semua kedalaman. Pada tingkat-tingkat kecerahan yang
sedang, laju fotosintesis fitoplankton merupakan fungsi linier dari kecerahan, nilai kecerahan yang mendukung kehidupan organisme di suatu perairan
adalah 45cm.
2.2.3. Derajat Keasaman pH
Derajat keasaman pH merupakan suatu parameter penting untuk menentukan kadar asambasa dalam air. Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi
ion hidrogen dalam suatu larutan. Kemampuan air untuk mengikat atau melepas sejumlah ion Hidrogen akan menunjukkan apakah larutan tersebut bersifat asam
basa. Di dalam air yang bersih jumlah konsentrasi ion H
+
dan OH
-
berada dalam keseimbangan, sehingga air yang bersih akan bereaksi normal. Peningkatan ion
hidrogen akan menyebabkan nilai pH turun dan disebut sebagai larutan asam. Sebaliknya apabila ion hidrogen berkurang akan menyebabkan nilai pH naik dan
keadaan ini disebut sebagai larutan basa. Nilai pH yang ideal untuk mendukung kehidupan organisme aquatik pada umumnya terdapat antara 7-8,5 Barus, 2004.
Universitas Sumatera Utara
Organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH
yang sangat rendah akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Disamping itu pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas
berbagai senyawa logam yang bersifat toksik semakin tinggi yang tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisme aquatik. Kisaran nilai pH bagi
kehidupan organisme perairan adalah 6 – 9,5 Effendi, 2003. Kisaran nilai pH yang baik adalah berkisar antara 7 – 8. Terjadinya
perubahan nilai pH disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : peningkatan gas CO
2
sebagai hasil pernafasan dari organisme aquatik, pembakaran bahan organik di dalam air oleh jasad renik, rendahnya konsntrasi oksigen terlarut, kandungan
garam salinitas yang tinggi, jumlah padat tebar yang tinggi, keadaan suhu air yang tidak stabil, serta tingginya tingkat kekeruhan melebihi ambang batas
Pratiwi, 2010.
2.2.4. Oksigen Terlarut DO