b. Gangguan bipolar: sebuah ganguan suasana hati yang ditandai dengan
perubahan suasana hati yang ekstrem yang mencakup satu atau lebih episode mania keadaan terlalu bersemangat, optimistis yang tidak
realistis. Kebanyakan gangguan bipolar mengalami siklus berulang dari depresi yang bergantian dengan mania King, 2010.
2.2.5 Gejala Depresi
Hawari 2011 menyebutkan ciri kepribadian depresif antara lain: pemurung, sukar untuk bisa senang, sukar untuk bisa merasa bahagia, pesimis
menghadapi masa depan, memandang diri rendah, mudah merasa bersalah dan berdosa, mudah mengalah, enggan bicara, mudah merasa haru, sedih dan
menangis, gerakan lamban, lemah, letih, lesu dan kurang energik, sering mengeluh psikosomatik, mudah tegang, agitatif dan gelisah, serba cemas,
khawatir dan takut, mudah tersinggung, tidak ada kepercayaan diri, merasa tidak mampu, tidak berguna, merasa selalu gagal dalam usaha, pekerjaan dan
studi, suka menarik diri, pemalu dan pendiam, lebih suka menyisihkan diri, tidak suka bergaul dan pergaulan sosial sangat terbatas dan lebih senang
berdamai untuk mengindari konflik. Sedangkan Stuart 2006 membagi gejala depresi dalam 4 klasifikasi:
a. Afektif: kemarahan, ansietas, apatis, kepahitan, kekesalan, penyangkalan
perasaan, kemurungan, rasa bersalah, ketidakberdayaan, keputuasaan, kesepian, harga diri rendah, kesedihan, dan rasa tidak berharga.
b. Fisiologik: nyeri abdomen, anoreksia, sakit punggung, nyeri dada,
konstipasi, pusing, keletihan, sakit kepala, impoten, gangguan pencernaan,
Universitas Sumatera Utara
insomnia, kelesuan, perubahan haid, nausea, makan berlebihan, gangguan tidur, muntah, dan perubahan berat badan.
c. Kognitif: ambivalens, kebingungan, ketidakmampuan berkonsentrasi,
tidak dapat mengambil keputusan, kehilangan minat dan motivasi, menyalahkan diri sendiri, mencela diri sendiri, pikiran yang dekstruktif
tentang diri sendiri, pesimis, dan ketidakpastian. d.
Perilaku: agresif, agitasi, alkoholisme, perubahan tingkat aktivitas, kecanduan obat, intoleransi, mudah tersinggung, kurang spontanitas,
sangat tergantung, kebersihan diri kurang, keterbelakangan psikomotor, isolasi sosial, mudah menangis, kurang mampu mencapai hasil, dan
menarik diri.
2.2.6 Depresi pada pasien HIVAIDS
Cichocki 2009, dalam Kusuma, 2011 menemukan dalam studinya bahwa pasien HIVAIDS sangat rentan mengalami tanda dan gejala depresi
mulai ringan hingga berat dimulai sejak 1 bulan setelah terdiagnosa HIV yang selanjutnya fluktuatif dan berkembang seiring perjalanan penyakit.
Depresi dapat timbul pada penderita HIVAIDS yang dapat disebabkan oleh beberapa hal berikut Chandra, 2005 dalam Saragih, 2008:
1. Invasi virus HIV ke Susunan Saraf Pusat SSP, dimana menghasilkan
perubahan neuropatologis pada bangsal ganglia, thalamus, nucleus batang otak yang menyebabkan disfungsi dan akhirnya akan
menyebabkan gangguan pada mood dan motivasi.
Universitas Sumatera Utara
2. Efek samping penggunaan obat-obat anti retroviral seperti: evavirenz
interferon, zidovudin. 3.
Komplikasi HIV seperti infeksi oportunistik dan tumor intra kranial 4.
Pengaruh psikologis yang ditimbulkan setelah diketahui menderita penyakit tersebut, biasanya penderita mengalami reaksi penolakan dari
pekerjaan, keluarga maupun masyarakat. Pada ODHA dengan tahap infeksi HIV positif, kondisi fisik yang
tidak stabil dan cenderung menurun diikuti dengan munculnya gejala-gejala fisik seiring dengan perjalanan penyakit serta tekanan sosial yang begitu
hebat yang didapatkan dari lingkungan dapat menjadi sumber stres yang dapat menyebabkan ODHA mengalami depresi Kusuma, 2011.
Berdasarkan pendekatan Psychoneuroimunology dapat dijelaskan bahwa keadaan stres atau depresi yang dialami pasien HIVAIDS akan
memodulasi sistem imun melalui jalur HPA Hipothalamic-Pituitary- Adrenocorticoid
axis dan sistem limbik yang mengatur emosi dan learning process.
Kondisi stres tersebut akan menstimulasi hypothalamus untuk melepaskan neuropeptida yang akan mengaktivasi ANS Autonomic Nerve
System dan hypofise untuk mengeluarkan kortikosteroid dan katekolamin
yang merupakan hormon-hormon yang bereaksi terhadap kondisi stres. Peningkatan kadar glukokortikoid akan mengganggu sistem imunitas, yang
menyebabkan pasien akan semakin rentan terhadap infeksi opportunistik Gunawan Sumadiono, 2007 dalam Kusuma, 2011. Hal tersebut didukung
oleh penelitian Robinson 2003, dalam Kusuma, 2011 yang melaporkan
Universitas Sumatera Utara
bahwa ODHA yang mengalami depresi kronis akan mengalami penurunan yang tajam dalam jumlah sel CD4 selama 2 tahun dibanding ODHA yang
tidak depresi. Hal tersebut akan memperburuk derajat kesehatan fisik pasien. Stres adalah respon alami dan peringatan pada tubuh manusia yang
memerlukan proses adaptasi. Respon alami ini dapat menjadi gangguan patologis berlebihan dan tidak terkendali. Menurut Robinson 2003, dalam
Kusuma, 2011, keadaan stres yang berlebihan pada pasien depresi berperan penting terhadap perkembangan penyakit pada klien HIV + yaitu dapat
mempercepat terjadinya replikasi virus dan menekan respon klien sehingga dapat memperpendek periode HIV + tanpa gejala dan mempercepat
perjalanan penyakit menuju AIDS. Selain itu depresi juga mempengaruhi self care pasien. Depresi
menyebabkan seseorang malas untuk mengikuti regimen pengobatan anti retrovirus, nafsu makan yang kurang, keengganan berolahraga, dan kesulitan
tidur sehingga dapat memperberat gangguan fisiknya Holmes et al, 2007 dalam Kusuma, 2011.
2.2.7 Cara Pengukuran Beck Depression Inventory BDI-II