Tingkat depresi pasien HIVAIDS di Pusat Pelayanan Khusus

untuk menjadi support system yang efektif agar dapat senantiasa memberikan dukungan dan bantuan yang dibutuhkan oleh pasien. Salah satunya pengkajian mengenai dukungan keluarga yang diterima pasien. Selanjutnya perawat dapat melakukan konseling dan pendidikan kesehatan bagi keluarga terkait penyakit yang diderita pasien seperti cara penularan, perjalanan penyakit, perawatanpengobatan sehingga keluarga dapat memberikan dukungan secara efektif bagi pasien Kusuma, 2011. Dukungan yang diperlukan oleh orang dengan HIVAIDS ODHA terutama berasal dari keluarga, anak dan pasangan Sarafino, 2006. Keluarga merupakan sumber dukungan natural yang sangat efektif dalam proses perawatan ODHA. Sumber dukungan natural keluarga mempunyai pengaruh yang paling baik terhadap individu, karena sumber dukungan ini bersifat apa adanya, tanpa dibuat-buat dan memiliki norma yang berlaku tentang kapan sesuatu itu harus diberikan Kuntjoro, 2002 dalam Setyoadi Triyanto, 2012. Oleh karena itu dukungan keluarga sangat diperlukan sehingga dapat mengembangkan respon atau koping yang efektif untuk ODHA beradaptasi dengan baik dalam menangani stresor terkait penyakitnya Lasserman Perkins, 2001 dalam Kusuma, 2011.

5.3.2 Tingkat depresi pasien HIVAIDS di Pusat Pelayanan Khusus

Pusyansus RSUP Haji Adam Malik Medan Hasil penelitian pada tabel 5.4 menunjukkan bahwa sebagian besar pasien HIVAIDS di Pusat Pelayanan Khusus Pusyansus RSUP Haji Adam Malik Medan tidak mengalami depresi sebanyak 45.6. Hasil ini sesuai Universitas Sumatera Utara dengan dengan penelitian Schulte 2000, dalam Kusuma, 2011 di Amerika yang mendapatkan dari 137 responden sebanyak 60 tidak mengalami depresi. Hasil penelitian diperkuat oleh penelitian Marindatu 2011 di RSP Jumpandang Baru yang menunjukkan bahwa sebanyak 72.5 pasien HIVAIDS tidak mengalami gangguan depresi. Melihat data dan beberapa hasil penelitian terkait tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar orang dengan HIVAIDS ODHA tidak mengalami depresi. ODHA tidak mengalami depresi disebabkan oleh faktor sosial ekonomi. King 2010 menyatakan individu dengan status sosial ekonomi rendah, terutama orang yang hidup dalam kemiskinan lebih rentan untuk mengalami depresi dibandingkan dengan sosial ekonomi yang lebih tinggi. Teori tersebut didukung hasil penelitian pada tabel 5.1 yang menunjukkan bahwa pendapatan keluarga perbulan dijumpai rata-rata Rp 1.375.000 sebesar 67.6. Hal ini menguatkan bahwa pasien HIVAIDS tidak mengalami depresi disebabkan faktor sosial ekonomi yang tinggi. Selain itu secara konsep menurut King 2010 wanita hampir dua kali lebih rentan terhadap depresi. White 2012 menegaskan bahwa data statistik menunjukkan insiden depresi pada wanita 50-100 lebih tinggi daripada laki- laki. Sedangkan hasil penelitian pada tabel 5.1 didapatkan bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki 54.4. Hal ini dapat menegaskan bahwa pasien HIVAIDS tidak mengalami depresi juga disebabkan faktor jenis kelamin yang menunjukkan paling banyak laki-laki. Seperti yang dikemukakan oleh Kusuma 2011 bahwa perempuan dalam menghadapi Universitas Sumatera Utara stressor lebih menggunakan perasaan dibanding laki-laki yang menggunakan logika. Sehingga saat didiagnosa HIV perempuan lebih cenderung mengalami depresi daripada laki-laki. Selain faktor sosial ekonomi dan jenis kelamin. Golongan darah juga berpengaruh terhadap insiden depresi. Seperti yang dikemukakan oleh Widjayanto 2010 golongan darah mempengaruhi kepribadian dan kesehatan, dimana orang dengan golongan darah O dapat menangani stres lebih baik dari golongan darah lainnya. Selain itu memiliki gairah hidup sangat tinggi, daya juang tinggi, percaya diri yang kokoh dan meskipun mengalami tekanan akan tetap menunjukkan sikap tenang dan dapat berdiri teguh Bunga, 2010. Pernyataan tersebut didukung hasil penelitian pada tabel 5.1 bahwa golongan darah responden paling banyak O sebesar 45.6. Hasil penelitian ini juga didukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Spiritia 2011 pada 10 provinsi di Indonesia dengan jumlah sampel 2.015 orang dengan HIVAIDS ODHA diperoleh bahwa secara keseluruhan lebih banyak ODHA memiliki mutu hidup yang tinggi yaitu 70 dan sebanyak 51 ODHA memiliki kepercayaan diri yang baik. Berdasarkan pada item kuesioner tentang depresi menyatakan bahwa 42.6 pasien merasa dirinya berharga dan 76.5 tidak punya pikiran untuk bunuh diri. Selain itu lama menderita penyakit HIVAIDS juga berpengaruh pada depresi orang dengan HIVAIDS ODHA. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil penelitian pada tabel 5.2 bahwa rata-rata pasien terdiagnosa HIVAIDS 12 bulan dan tidak mengalami depresi sebanyak 45.6 tabel 5.4. Hasil Universitas Sumatera Utara Penelitian ini didukung penelitian Marindatu 2011 diperoleh bahwa sebanyak 87.5 yang terdiagnosa HIVAIDS selama 1-5 tahun tidak mengalami depresi. Olley 2006, dalam Marindatu, 2011 yang melakukan penelitian pada wanita menjalani pengobatan di RS Tyerberg Afrika Selatan menemukan gangguan psikiatri seperti depresi mayor dialami setelah didiagnosis HIV dibawah 1 tahun. Seseorang yang baru saja mengetahui status HIV, menjadi lebih tertutup sehingga hubungan interpersonal menjadi terganggu dan menimbulkan stres berat serta kecemasan bagi orang tersebut Marindatu, 2011. Setyoadi Triyanto 2012 menyatakan dampak dari sikap dan perilaku tertutup dari ODHA menyebabkan ketidakmampuan mereka menjangkau pelayanan kesehatan dan dukungan keluarga yang tersedia sehingga mengakibatkan depresi. Selain itu, dukungan dan konseling juga memungkinkan pasien menghadapi dan menyelesaikan atau menyesuaikan diri terhadap kejadian yang menyebabkan stres dalam hidup. Sehingga dapat membantu mengendalikan depresi dan memperbaiki mutu hidup Goldenberg Boyle, 2000. Keberadaan program konseling sangat diperlukan pada kondisi kejiwaan orang dengan HIVAIDS ODHA karena dapat menurunkan depresi pada ODHA Nasronuddin Maramis, 2007. Banyaknya pasien HIVAIDS di Pusat Pelayanan Khusus Pusyansus RSUP Haji Adam Malik yang tidak mengalami gangguan depresi dapat dikarenakan adanya fasilitas VCT Voluntary Counseling and Testing dan konseling hingga CST Care Support Treatment yang disediakan oleh Pusyansus sehingga pasien Universitas Sumatera Utara HIVAIDS menerima dukungan baik dari sesama ODHA maupun petugas kesehatan yang ada. Namun jika melihat data kategori depresi pada tabel 5.4 masih terdapat depresi ringan sebanyak 16.2, depresi sedang 26.5 dan 11.8 depresi berat. Hal ini menunjukkan masih ada responden yang mengalami depresi mulai ringan hingga berat tabel 5.4. Hasil penelitian Saragih 2008 di RSUP Haji Adam Malik Medan menunjukkan sindrom depresi paling banyak terjadi pada penderita HIVAIDS yaitu depresi sedang 34. Begitu pula penelitian oleh Treisman 2007, dalam Oktavia, 2011 pada klinik HIV John Hopkins University menunjukkan bahwa 54 pasien didiagnosa mengalami gangguan psikiatri salah satunya depresi berat sebanyak 20. Sejumlah pasien HIVAIDS cenderung mengalami depresi berat saat pertama mengetahui dirinya mengidap AIDS. Banyak orang dengan HIVAIDS tidak bisa menerima kenyataan bahwa dirinya tertular HIVAIDS. Sehingga menimbulkan gangguan emosional depresi bahkan sampai pada perilaku percobaan bunuh diri Stuart Laraia, 2001. Welly 2008, dalam Setyoadi Triyanto, 2012 dalam studi kualitatif yang dilakukannya dengan pendekatan fenomenologi pada pasien yang pertama kali terdiagnosa HIVAIDS ditemukan tema depresi. Schulte 2000, dalam Stuart Laraia, 2001 menemukan dalam penelitiannya terhadap pasien HIVAIDS yang menjalani perawatan di rumah sakit, bahwa sebanyak 40 pasien HIVAIDS mengalami depresi. Sementara Perry et al dalam Saragih 2008 yang melakukan penelitian terhadap 129 penderita HIVAIDS mendapatkan bahwa Universitas Sumatera Utara sepertiganya mempunyai skor BDI 14 atau lebih tinggi depresi ringan hingga sedang. Secara psikis seseorang yang terinfeksi HIV akan merasakan cemas, marah, takut, dan perasaan bersalah Stuart Laraia, 2001. Hal ini dibuktikan dari item kuesioner depresi yang mendapatkan sebanyak 50 pasien HIVAIDS merasa bersalah terhadap hal-hal yang telah dilakukannya . Apabila kondisi tersebut berlangsung dalam jangka waktu lama, maka dapat menimbulkan depresi yang mengarah pada kehampaan hidup serta mengembangkan hidup tidak bermakna Schultz, 1991 dalam Astuti Budiyani, 2010. Selain itu depresi juga mempengaruhi self care pasien. Depresi menyebabkan seseorang malas untuk mengikuti regimen pengobatan antiretroviral, nafsu makan yang kurang, keengganan berolahraga, dan kesulitan tidur sehingga dapat memperberat gangguan fisiknya dan pada akhirnya dapat memperburuk derajat kesehatannnya Holmes, et al, 2007 dalam Kusuma, 2011. Perawat tidak boleh mengabaikan tanda gejala depresi pada pasien HIVAIDS karena akan sangat berdampak pada kesehatan pasien Stuart Laraia, 2001. Sehingga peran perawat dalam mendeteksi tanda gejala depresi pasien HIVAIDS diawal terdiagnosa HIV dan melakukan intervensi baik secara mandiri maupun kolaboratif sangat berpengaruh dalam mencegah dan menurunkan depresi pada pasien HIVAIDS Kusuma, 2011. Universitas Sumatera Utara

5.3.3 Hubungan dukungan keluarga dengan tingkat depresi pasien