Glukosa dan fruktosa sebagai hasil reaksi inversi memiliki kelarutan yang sangat tinggi dalam air sehingga sulit untuk dikristalkan bahkan menghambat
proses kristalisasi Winarno, 1992. Laos et al. 2007 melakukan suatu simulasi kristalisasi supersaturasi
sukrosa dengan kehadiran fruktosa dan glukosa. Secara umum, kehadiran kedua gula pereduksi tersebut akan memperlambat proses kristalisasi. Agar
dapat terbentuk kristal, rasio minimal antara sukrosa dan glukosa adalah 80:20, sedangkan untuk rasio sukrosa dan fruktosa adalah 90:10. Hal ini
menunjukkan bahwa proses kristalisasi gula lebih dipengaruhi oleh kehadiran fruktosa. Konsentrasi 10 fruktosa akan menghambat proses kristalisasi
sukrosa. Pada pengolahan gula merah, hal ini diindikasikan dengan hasil akhir yang tidak bisa memadat.
2.7. Upaya-Upaya Pengawetan Nira
Penurunan pH nira akibat fermentasi menyebabkan kadar sukrosa menurun dan kandungan gula pereduksi meningkat. Perubahan psikokimia
akibat fermentasi pada akhirnya mempengaruhi mutu gula yang dihasilkan. Nira yang telah asam karena fermentasi tidak dapat diolah menjadi gula merah
yang padat. Hal ini mendorong petani penderes melakukan berbagai upaya pengawetan untuk menjaga mutu nira agar tetap terjaga kesegarannya. Selain
pengawetan secara tidak langsung dengan mengasapi lodong, petani penderes juga melakukan upaya pengawetan yang sifatnya tradisional.
Pengawetan tradisional yang dilakukan diantaranya dengan menambahkan potongan atau irisan kulit batang kayu manggis, kayu ralu,
kayu kesambi, akar kawao, kulit buah manggis muda, daun manggis, dan sebagainya. Penggunaan pengawet tradisional ini belum efektif karena setelah
penyadapan, petani penderes biasa menambahkan air kapur untuk menetralkan nira yang sudah sedikit asam. Penambahan bahan tambahan ini akan
menurunkan kualitas gula merah. Penelitian mengenai pengawetan nira telah banyak dilakukan.
Kusumah 1992 dan Mansyur 1992 menggunakan natrium metabisulfit dan kapur. Penggunaan natrium metabisulfit dengan konsentrasi 70 sampai 100
ppm serta kapur 500 ppm dapat digunakan untuk mengawetkan nira aren dan
20
nipah. Widyaningsih et al. 1985 menggunakan natrium metabisulfit, kapur, dan toluene masing-masing sebanyak 0,10 sebagai pengawet. Natrium meta
bisulfit efektif digunakan dalam pengawetan nira dan mampu menghambat reaksi pencoklatan. Penggunaan kapur lebih berpengaruh pada warna gula
merah dimana warna gula yang dihasilkan menjadi lebih gelap. Penggunaan toluene efektif untuk pengawetan nira, namun hasil gula merah yang
dihasilkan kurang baik dimana warna gula tidak sebaik gula yang diawetkan dengan natrium metabisulfit.
Yasni et al. 1999 mengkaji penggunaan ekstrak kayu ralu. Kayu ralu yang dapat digunakan untuk mengawetkan nira adalah 10 gram serbuk
kayu untuk 2-3 liter nira aren. Ekstrak kayu ralu yang paling berpotensi untuk digunakan sebagai pengawet nira adalah ekstrak polar pertengahan dengan
konsentrasi 300 ppm dan diduga mengandung senyawa fenol dan terpenoid. Hamzah dan Hasbullah 1997 menggunakan pengawet alami untuk
pengawetan nira aren. Pengawet yang digunakan berupa kulit buah manggis muda 3 gl nira, kulit pohon rupih 3gl nira, kulit pohon nangka 4gl nira,
dan daun manggis 4gl nira. Pemberian pengawet alami ini mampu menghasilkan nira dengan pH 5,82 sampai 6,25 dan menghasilkan gula yang
memenuhi standar mutu gula semut SII No. 2043 – 87. Penggunaan kulit manggis muda memberikan hasil yang terbaik dalam menjaga pH, kadar gula
pereduksi, dan mutu gula akhir. Sunantyo 1997 menggunakan pengawet tatal kayu nangka 10gl
nira ditambah susu kapur 10 ml 5 Bel nira untuk menggantikan
penggunaan SO
2
pada pengawetan nira kelapa pada pembuatan gula semut. Azima 1997 melakukan pengawetan nira nipah dengan menggunakan kapur
sebanyak 0,5 – 1,5gl nira selama pengumpulan dan menunggu proses pengolahan. Penggunaan kapur dalam penelitian ini ditujukan untuk
menetralisir nira yang telah asam. Hasil yang terbaik adalah penambahan kapur sebanyak 1,5gl nira.
Lalujan 1995 dalam kajian pengawetan nira aren untuk industri kecil merekomendasikan penggunaan kapur CaO sebanyak 300-500 ppm,
natrium benzoat 700 – 900 ppm, dan natrium metabisulfit 200-400 ppm.
21
Penggunaan kapur lebih dari 800 ppm menghasilkan rasa, warna, dan bau yang tidak disukai secara sensori.
Hasil penelitian ini telah banyak diadopsi oleh masyarakat termasuk penggunaan zat aditif. Namun ternyata menjadi bumerang ketika gula merah
yang dihasilkan tertolak dari pasar terutama ekspor karena penggunaan zat aditif yang digunakan dalam penelitian diatas tidak disukai bahkan dihindari
oleh konsumen luar negeri yang lebih memperhatikan aspek kemanan dan kesehatan. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya pengawetan lain yang lebih
efektif dan lebih terjamin dari segi keamanan pangan. Pengasapan merupakan metode tradisional yang digunakan oleh
petani penderes untuk membantu membunuh mikroorganisme pada peralatan penyadapan nira lodong dan merupakan pengawetan nira secara tidak
langsung. Aliudin 2009 dan Iskandar 1997 menerangkan bahwa kegiatan pengasapan lodong atau memuput dilakukan oleh penderes untuk mengurangi
atau membunuh mikroba. Proses pengasapan dapat juga dilakukan secara khusus dengan menggunakan alat puputan atau pamuput selama kurang lebih
sepuluh menit.
2.8. Aspek Keamanan Pangan dalam Penggunaan Zat Aditif