Penetapan Aktivitas Baku Vitamin A Penetapan kondisi optimum KCKT

3.3 METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan percobaan laboratorium yang terdiri dari 3 tiga tahap. Penelitian tahap I merupakan penelitian pemilihan kondisi optimum komposisi fase gerak, laju alir dan detektor yang akan digunakan dalam penetapan kadar vitamin A menggunakan KCKT. Parameter yang dievaluasi meliputi: bentuk kromatogram, waktu retensi Rt, resolusi Rs, jumlah lempeng teoritis N dan tailing faktor Tf. Penelitian tahap II merupakan validasi metode analisis penetapan kadar vitamin A menggunakan KCKT. Parameter validasi yang akan dilakukan adalah: kurva baku dan linieritas, presisi, akurasi, selektivitas, robustness, batas deteksi dan batas kuantisasi metode. Penelitian tahap III merupakan uji coba metode analisis yang telah dikembangkan dan telah divalidasi untuk analisis vitamin A dalam minyak goreng sawit yang beredar di pasaran. Parameter yang diuji adalah penga- matan kromatogram dan penetapan kadar vitamin A.

3.3.1 Penetapan Aktivitas Baku Vitamin A

Aktivitas baku vitamin A ditetapkan sesuai metode Farmakope Inggris 2009, yaitu dengan cara menimbang dengan saksama sejum- lah baku vitamin A palmitat, dilarutkan dengan n-pentana dan diencer- kan dengan 2-propanol hingga konsentrasinya 10 -15 IUmL. Pengu- kuran absorbansi dilakukan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum 326 nm, aktivitas baku vitamin A dalam satuan unit internasional IU per gram dihitung dengan rumus: A26 = absorbansi pada panjang gelombang 326 nm V = total volume pengenceran untuk mendapatkan kadar 10-15 IUmL 1900 = faktor untuk mengkonversi absorbansi spesifik ester retinol menjadi menjadi IU per gram m = bobot substansi yang di uji dalam gram.

3.3.2 Penetapan kondisi optimum KCKT

Larutan baku vitamin A yang akan disuntikkan ke dalam sistem KCKT disiapkan sesuai metode Farmakope Inggris 2009. Metode ini digunakan untuk penetapan kadar vitamin A dalam bentuk baku atau konsentrat vitamin A, sehingga untuk penetapan kadar vitamin A dalam minyak goreng sawit oleh peneliti dilakukan modifi- asi, yaitu penambahan matriks minyak goreng sawit, perubahan konsentrasi baku yang digunakan dan pada proses penyiapan sampel tanpa pemanasan larutan uji. Larutan dianalisis menggunakan KCKT dengan berbagai kondisi percobaan seperti pada Tabel 6 dan analisis untuk setiap kondisi percobaan dilakukan masing-masing dengan 3 kali pengu- angan. Kromatogram yang dihasilkan dievaluasi dengan cara mencatat atau menghitung: waktu retensi Rt, resolusi Rs, jumlah lempeng teoritis N dan faktor ikutan atau tailing faktor Tf untuk masing- masing hasil pada berbagai kondisi percobaan. Kondisi percobaan memenuhi kriteria apabila: waktu retensi Rt 15 menit; resolusi Rs 1,5; jumlah lempeng teoritis N 3000 dan faktor ikutan atau tailing faktor Tf mendekati 1. Untuk mempermudah dalam mengam- bil keputusan pada pemilihan kondisi optimum, maka setiap parameter kromatogram diberi nilai skor antara 1 - 3. Penentuan nilai skor untuk penilaian kromatogram dapat dilihat pada Tabel 7. Dari hasil tersebut kemudian ditentukan jumlah skor tertinggi yang merupakan kondisi optimum dan selanjutnya digunakan pada penelitian selanjutnya. 31 Tabel 6. Kondisi parameter KCKT untuk optimasi metode Kondisi Parameter Tetap Parameter Berubah 1 Kolom C 18; fase gerak metanol; detektor UV 325 nm Laju alir: 0,6; 0,8 dan 1,0 mLmenit 2 Kolom C 18; fase gerak metanol; detektor fluoresens panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm. Laju alir: 0,6; 0,8 dan 1,0 mLmenit 3 Kolom C 18; fase gerak metanol dan air; laju alir 1,5 mLmenit; detektor UV 325 nm Perbanding komposisi fase gerak metanol dan air 97,5:2,5; 95:5; 90:10; dan 85:15 4 Kolom C 18; fase gerak metanol dan air; laju alir 1,5 mLmenit; detektor fluoresens panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm. Perbanding komposisi fase gerak metanol dan air 97,5:2,5; 95:5; 90:10; dan 85:15 5 Kolom C 18; fase gerak asetonitril dan metanol; laju alir 1,0 mLmenit; detektor UV 325nm Perbanding komposisi fase gerak metanol dan air 75:25; 50:50; dan 25:75 6 Kolom C 18; fase gerak asetonitril dan metanol; laju alir 1,0 mLmenit; detektor fluoresens panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm. Perbanding komposisi fase gerak metanol dan air 75:25; 50:50; dan 25:75 7 Kolom C 18; fase gerak asetonitril dan air; laju alir 1,5mLmenit; detektor UV 325 nm Perbanding komposisi fase gerak asetonitril dan air 100:0; 95:5; 90:10; 85:15; 80:20 dan 75:25. 8 Kolom C 18; fase gerak asetonitril dan air; laju alir 1,5mLmenit; detektor fluoresens panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang ge-lombang emisi 470 nm. Perbanding komposisi fase gerak asetonitril dan air 100:0; 95:5; 90:10; 85:15; 80:20 dan 75:25 9 Kolom C 18; fase gerak asetonitril dan air; laju alir 1,75mLmenit; detektor UV 325 nm Perbanding komposisi fase gerak asetonitril dan air 100:0; 95:5; 90:10; 85:15; 80:20 dan 75:25 10 Kolom C 18; fase gerak asetonitril dan air; laju alir 1,75mLmenit; detektor fluoresens panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm. Perbanding komposisi fase gerak asetonitril dan air 100:0; 95:5; 90:10; 85:15; 80:20 dan 75:25 32 Tabel 7. Penentuan skor untuk penilaian kromatogram Skor Pengamatan Rt Rs N Tf 1 ≥ 15 ≤ 1,5 ≥ 3000 dan 6000 ≤ 0,75 atau ≥ 1,25 2 10 dan 15 1,5 dan 2,5 ≥ 6000 dan λ000 0,75 atau 1,25 3 ≤ 10 ≥ 2,5 ≥ λ000

3.3.3 Uji kesesuaian sistem UKS

Uji kesesuaian sistem dilakukan sesuai metode Farmakope Indonesia 1995 dengan cara menyuntikkan salah satu larutan baku seri ke dalam sistem KCKT minimal 5 kali pengulangan. Kondisi KCKT sesuai prosedur yang telah dipilih pada uji optimasi, kemudian dihitung RSD dari waktu retensi dan luas area dari vitamin A. SD dan RSD dihitung dengan menggunakan rumus: UKS diterima bila memenuhi kriteria apabila RSD dari waktu retensi dan luas area dari vitamin A kurang atau sama dengan 1.

3.3.4 Pembuatan kurva baku dan uji linieritas

Untuk pembuatan kurva baku dan uji linieritas, sebelumnya dibuat larutan baku seri vitamin A dengan konsentrasi 0,5– 4 IUmL. Larutan baku dibuat dengan cara menimbang dan memasukkan 2,5 g minyak goreng sawit yang tidak mengandung vitamin A dan 2,5 mL n-pentana ke dalam labu takar berwarna coklat 25 mL lalu dikocok sehingga minyak goreng sawit larut, kemudian ditambahkan baku vitamin A dengan cara memipet 0,5–7,0 mL larutan baku vitamin A 50 IUmL dan dimasukkan ke dalamnya. Selanjutnya dilakukan perlakuan yang sama seperti pada pembuatan larutan larutan uji pada penetapan kondisi optimum KCKT. Larutan baku seri disuntikan ke dalam sistem KCKT sesuai prosedur yang telah dipilih pada uji optimasi dan masing-masing larutan baku seri disuntikan dengan 3 kali pengulangan, kemudian dibuat kurva antara konsentrasi analit yang berbeda-beda x terhadap respon instrumen atau luas area y dan dikaji secara visual, apakah linier atau tidak. Selanjutnya ditetapkan kurva linier: y = bx + a, dimana a adalah intersept perpotongan dengan garis dengan sumbu y dan b adalah slope kemiringan garis regresi, kelinieran kurva ditentukan dengan cara menghitung koefesien korelasi r dan standar deviasi relatif regresi linier V xo . Linieritas diterima apabila nilai r 0,995 dan V xo ≤ 5. Untuk menentukan nilai a, b, r dan V xo digunakan rumus sebagai berikut: Selanjutnya dibuat kurva konsentrasi versus faktor respon detektor dan kurva konsentrasi versus residual. Faktor respon detektor dihitung dengan menggunakan rumus: Residual dihitung menggunakan rumus: Residual = Y - Y Y = Luas area vitamin A secara teoritis dari persamaan garis regresi. Y = Luas area vitamin A yang diamati. Masing-masing kurva tersebut diamati secara visual, jika terjadi penyebaran titik-titik secara random antara konsentrasi vitamin A dengan faktor respon detektor dan konsentrasi vitamin A dengan residual yang mendekati garis tengah menunjukkan linieritas yang baik.