Kerusakan Tegakan Tinggal Perbandingan Besarnya Kerusakan Tegakan Tinggal pada Pemanenan Kayu Menggunakan Metode Reduced Impact Logging dan Conventional Logging di IUPHHK PT. Ratah Timber

2.4 Kerusakan Tegakan Tinggal

Kerusakan tegakan tinggal adalah kerusakan yang terjadi pada bagian tegakan yang sebenarnya tidak termasuk dalam rencana untuk dipanen hasilnya pada waktu itu. Kerusakan –kerusakan itu, antara lain: pohon roboh atau pohon masih berdiri yang bagian batang, banir atau tajuknya rusak dan diperkirakan tidak dapat tumbuh lagi dengan normal. Penebangan dengan sistem tebang pilih konvensional membuat mosaik gangguan hutan. Pembalakan biasanya menyebabkan beberapa kerusakan terhadap tegakan tinggal. Kerusakan tersebut termasuk pengupasan dan pemadataan tanah akibat pergerakan alat berat sepanjang jalan sarad pada kegiatan untuk mengeluarkan kayu dari dalam hutan. Penarikan dan pengangkutan kayu juga menyebabkan rusaknya vegetasi tegakan tinggal. Tumbuhan pada tingkat pancang, tiang dan pohon, terutama yang ada di sekitar lintasan jalan hutan menjadi rusak atau mati Ernayati Nina 2004. Hasil penelitian RIL di negara-negara berkembang yang mempunyai hutan alam tropika luas dimulai sejak tahun 1980-an. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanenan kayu secara konvensional dalam sistem TPTI mengakibatkan kerusakan lebih berat dan lebih besar pada tanah dan tegakan tinggal dibandingkan dengan cara pemanenan kayu berwawasan lingkungan. Hasil penelitian Elias 1997 pada Tabel 2 menunjukkan bahwa metode pemanenan berwawasan lingkungan mampu mengurangi 50 kerusakan tegakan tinggal dibandingkan dengan metode pemanenan konvensional. Jika dilihat tingkat kerusakan berdasarkan besarnya luka pada tiap pohon yang mengalami kerusakan akibat pemanenan kayu, tingkat kerusakan berat memiliki proporsi yang paling besar, yaitu: 28,99 pemanenan menggunakan metode CL dan 11,99 pemanenan menggunakan metode RIL. Menurut jumlah pohon dan tahapan perkembangan vegetasi, kerusakan tegakan tinggal paling besar terjadi pada tiang dan pohon, yaitu: 40,42 pemanenan menggunakan metode CL dan 19,08 pemanenan menggunakan metode RIL. Tabel 2 Kerusakan tegakan tinggal dan areal terbuka akibat pemanenan kayu No. Keterangan Metode Pemanenan CL RIL 1. Berdasarkan jumlahpopulasi pohon dan tahapan perkembangan vegetasi a. Anakan b. Pancang c. Tiang dan pohon 33,47 34,93 40,42 17,65 19,59 19,08 2. Berdasarkan ukuran luka a. Luka ringan b. Luka sedang c. Luka berat 7,23 4,65 28,99 4,16 2,93 11,99 3. Areal terbuka a. Disebabkan penebangan b. Disebabkan penyaradan 11,10 8,73 7,65 5,21 Sumber: Elias 1997 Hasil penelitian yang dilakukan Elias 2002b menyatakan tingkat kerusakan pada pohon berdiameter ≥ 10 cm berkisar antara 9,39 sampai 35,42 dengan rata-rata 21,96 Tabel 3. Tabel 3 Kerusakan tegakan tinggal berdasarkan jumlah populasi Plot ∑ Pohon ∑ Pohon ∑ Pohon Kerusakan Tingkat Sebelum yang yang Rusak Tegakan Pemanenan Kayu Dipanen ≥ 10 cm Tinggal Kerusakan ≥ 10 cm 1 697 6 146 21,13 Ringan 2 748 17 249 35,43 Sedang 3 620 2 58 9,59 Berat Sumber: Elias 2002b Berdasarkan Tabel 3, intensitas pemanenan yang semakin tinggi akan menyebabkan kerusakan tegakan tinggal semakin tinggi. Hasil penelitian juga menunjukkan tipe-tipe kerusakan pohon akibat penebangan, sebagai berikut. 1. Rusak tajuk : 49,45 2. Patah batang : 23,08 3. Roboh : 19,23 4. Luka batangkulit dan pecah batang : 8,24 Penebangan adalah salah satu aktivitas pemanenan yang merupakan awal dari rangkaian pemanenan kayu. Penebangan didefenisikan sebagai proses untuk merebahkan pohon dan membagi batang sesuai ketentuan yang berlaku. Umumya, teknik yang dilakukan operator chainsaw didasarkan pada kebiasaan dan kenyamanannya tanpa mempertimbangkan standar kerja. Hasil penelitian Suhartana dan Krisdianto 2005 menyatakan bahwa kerusakan tegakan tinggal pada penebangan dengan teknik pemanenan konvensional lebih tinggi daripada penanenan dengan teknik berdampak rendah Tabel 4. Tabel 4 Rata-rata kerusakan tegakan Plot Intensitas Kerapatan Pohon Kemiringan Kerusakan Tebang Awal yang Rusak Lahan Tegakan pohonha pohonha pohonha a. Teknik Penebangan Konvensional 1 6 155 10 13 6,71 2 9 147 12 21 8,69 3 7 162 11 18 7,10 4 6 141 9 9 6,67 ∑ 28 605 42 61 29,17 M 7 151,25 10,50 15,30 7,29 SD 1,41 9,18 1,29 5,32 0,95 CV 20,10 6,10 12,30 34,80 13,00 b. Teknik Penebangan Berdampak Rendah 1 7 152 6 12 4,14 2 5 125 2 14 4,17 3 8 253 14 17 5,52 4 4 119 5 10 3,48 ∑ 24 549 27 53 17,31 M 6,00 137,30 6,75 13,25 4,33 SD 1,83 17,78 5,12 2,99 0,86 CV 30,50 12,90 75,80 22,60 19,90 Keterangan: ∑ = Jumlah, M= Nilai tengah, SD= Standar deviasi, CV= koefisien keragaman Sumber: Suhartana dan Krisdianto 2005 Tabel 4 menyatakan bahwa kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan secara konvensional adalah 7,29. Ini berarti menebang 7 pohonha akan menyebabkan kerusakan tegakan sebesar 7,29 x 151,25-7 pohonha = 10,5 pohonha. Kerusakan yang disebabkan penebangan dengan teknik berdampak rendah adalah 4,33. Ini berarti menebang 6 pohonha akan menyebabkan kerusakan tegakan tinggal sebanyak 4,33 x 137,3-6 pohonha = 5,7 pohonha. Berdasarkan data pada Tabel 4, dapat disimpulkan bahwa rata-rata kerusakan pohon yang disebabkan penebangan berdampak rendah lebih kecil daripada penebangan secara konvensional dengan perbedaan sebesar 2,96. Kesimpulan ini diperkuat oleh hasil uji t sebesar 10,864. Nilai t hitung lebih besar dari t tabel pada taraf nyata 99 3,707. Hal ini berarti perbedaan kerusakan tegakan pada kedua teknik pemanenan adalah berbeda sangat nyata sangat nyata. Dulsalam et al. 1989 menyatakan dalam kegiatan penyaradan kayu, betapapun hati-hatinya dilaksanakan akan tetap menimbulkan kerusakan pada vegetasi dan tanah yang timbul karenanya tidak mungkin ditiadakan sepenuhnya. Hal ini disebabkan oleh gerakan-gerakan bulldozer sewaktu mendatangi dan menyarad kayu yang menabrak dan menggusur pohon-pohon yang masih berdiri di sekitarnya. Selama bulldozer bergerak dari dan ke tempat pengumpulan, kemungkinan kerusakan tegakan akan selalu terjadi. Berdasarkan hal tersebut, maka semakin rapat tegakan yang dilalui bulldozer, akan semakin banyak kerusakan yang terjadi. Hasil penelitian Suhartana 2001 menunjukkan bahwa kerusakan tegakan tinggal rata-rata untuk penebangan terkendali sebesar 7,05 dan untuk konvensional rata-rata sebesar 11,7. Terjadi penurunan sebesar 4,70 bila teknik penebangan terkendali digunakan Tabel 5 dan Tabel 6. Tabel 5 Kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan penebangan terkendali No. Pohon Pohon Sebelum Pohon Rusak Kemiringan Kerusakan Petak Ditebang Pemanenan lapangan Pohon Plot pohonha pohonha pohonha ∑ C NC ∑ C NC 1 9 130 125 5 6 5 1 10 4,9 2 10 200 190 10 5 14 1 20 7,89 3 9 150 143 7 18 7 1 15 5,7 4 12 280 270 10 26 25 1 25 9,7 ∑ 40 760 728 32 55 51 4 70 28,15 R 10,00 190,00 182,00 8,00 13,75 12,75 1,00 17,5 7,05 SD 1,41 66,83 64,75 2,45 9,03 9,03 1,00 6,45 2,17 KK 14,10 35,17 35,58 30,62 65,67 70,82 - 36,86 30,78 Keterangan: ∑ = Jumlah; R = Rata-rata; SD = Simpangan baku; KK = Koefisien Keragaman; C = Niagawi; NC = Non-Niagawi Sumber : Suhartana 2001 Tabel 6 Kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan penebangan konvensional No. Pohon Pohon Sebelum Pohon Rusak Kemiringan Kerusakan Petak Ditebang Pemanenan lapangan Pohon Plot pohonha pohonha pohonha ∑ C NC ∑ C NC 1 12 275 266 9 39 37 2 25 14,83 2 10 190 184 6 21 29 1 20 11,66 3 8 140 137 3 13 12 1 10 9,85 4 10 160 155 5 16 15 1 15 10,66 ∑ 40 765 742 23 89 84 5 70 47 R 10 191,25 185,50 5,75 22,25 21,00 1,25 17,5 11,75 SD 1,63 59,49 57,05 2,50 11,64 11,16 0,50 6,45 2,18 KK 16,30 31,11 30,75 43,38 52,31 53,14 40,00 36,80 18,55 Keterangan: ∑ = Jumlah; R = Rata-rata; SD = Simpangan baku; KK = Koefisien keragaman; C = Niagawi; NC = Non-Niagawi Sumber : Suhartana 2001 Sukadaryati et al. 2002 menyatakan kerusakan tegakan tinggal akibat penyaradan dengan menggunakan bulldozer Caterpilar D7G di areal hutan alam yang dipanen dengan sistem tebang pilih, ternyata menimbulkan tingkat kerusakan tegakan tinggal yang berbeda antara teknik penyaradan konvensional dan terkendali Tabel 7 dan Tabel 8. Tabel 7 Tingkat kerusakan tegakan tinggal akibat penyaradan konvensional No. Kerapatan Jumlah Kerusakan Tegakan Tinggal Kelerengan Petak Tegakan Pohon Disarad pohonha pohonha pohonha 1 246 6 42 17,5 16 2 278 5 51 18,7 9 3 210 7 49 24,1 18 4 198 8 45 23,7 23 5 226 5 38 17,2 17 JML 1158 31 225 101,2 80 R 231,6 6,2 45,0 20,2 16,0 SD 31,6 1,3 5,2 3,4 5,1 KK 13,6 21,0 11,7 18,8 32,2 Keterangan : JML = jumlah, R = rata-rata, SD = standar deviasi, KK= koefisien keragaman Sumber : Sukadaryati et al. 2002 Tabel 8 Tingkat kerusakan tegakan tinggal akibat penyaradan terkendali No. Kerapatan Jumlah Kerusakan Tegakan Tinggal Kelerengan Petak Tegakan Pohon Disarad pohonha pohonha pohonha 1 285 7 32 11,5 18 2 259 6 24 9,5 12 3 204 5 22 11,1 14 4 218 5 19 8,9 10 5 232 8 35 15,6 22 JML 1198 31 132 56,6 76 R 239,6 6,2 26,4 11,3 15,2 SD 32,5 1,3 6,8 2,6 4,8 KK 13,6 21,0 25,8 23,2 31,7 Keterangan : JML = jumlah, R = rata-rata, SD = standar deviasi, KK= koefisien keragaman Sumber : Sukadaryati et al. 2002 Berdasarkan Tabel 7 dan Tabel 8 dapat dilihat bahwa kerusakan tegakan tinggal yang diakibatkan sistem penyaradan konvensional pada rata-rata kerapatan tegakan dan jumlah pohon yang disarad serta kelerengan berturut-turut sebesar 231,6 pohonha dan 6,2 pohonha serta 16 akan menimbulkan kerusakan tegakan tinggal rata-rata sebesar 45 pohonha atau sekitar 20,2. Sementara kerusakan tegakan tinggal akibat penyaradan terkendali pada kondisi kerapatan tegakan tinggal dan jumlah pohon yang disarad relatif sama rata-rata kerapatan tegakan 239,6 pohonha; rata-rata pohon yang disarad 6,2 pohonha menimbulkan rata-rata kerusakan tegakan tinggal relatif lebih rendah, yaitu sebesar 26,4 pohonha atau 11,3. Ini berarti, penyaradan secara terkendali mampu menurunkan tingkat kerusakan tegakan tinggal sebesar 18,6 ≈ 19 pohonha atau sebesar 8,9. Hasil penelitian Matangaran 2003 yang dilaksanakan di PT. Siak Raya Provinsi Riau menunjukkan bahwa tingkat kerusakan semai, tiang, dan pancang masing-masing 39,10, 38,40, dan 38,70. Semakin besar diameter pohon yang ditebang, akan semakin banyak pohon di sekitarnya yang rusak dan beberapa jenis pionir ditemukan di areal bekas tebangan. Persentase kerusakan di sekitar pohon yang ditebang sebesar 24,20 Tabel 9 dan Tabel 10. Tabel 9 Distribusi kelas diameter cm dalam 1 hektar Area Hutan Kelas Diameter cm dalam 1 ha 20-25 25,1-30 30,1-35 35,1-40 40,1-45 45,1-50 50 Hutan Alam 76 107 46 42 44 57 18 Keterbukaan Areal 1 Tahun 53 75 50 25 25 8 7 Keterbukaan Areal 5 Tahun 55 73 83 28 45 25 11 Keterbukaan Areal 10 Tahun 102 97 75 38 33 38 15 Keterbukaan Areal 17 Tahun 110 105 53 58 30 35 23 Sumber: Matangaran 2003 Tabel 10 Persentase tingkat kerusakan pohon Tipe Kerusakan Pohon Kerusakan Berat a. Pohon roboh 7,3 b. Pecah Batang 10,2 Kerusakan Sedang a. Rusak Tajuk 3,4 Kerusakan Ringan a.Kulit dan Batang terluka 2,2 b. Rusak Banir 1,1 Sumber: Matangaran 2003 Muhdi 2001 menyatakan bahwa faktor kelerengan mempunyai peranan penting pada pergeseran kayu saat dilakukan penyaradan. Pada kondisi lapangan yang miring, bulldozer menggunakan pisaunya untuk membuat jalan sarad yang lebih landai. Penggunaan pisau juga dilakukan pada saat mendorong kayu yang disarad. Hasil penelitian Elias 1998 menyatakan besarnya kerusakan struktur tegakan akibat penebangan, yaitu: jumlah pohon yang rusak akibat kegiatan penebangan rata-rata adalah 146 pohon 21,13 dari populasi pohon sebanyak 691 pohonha. Pohon-pohon yang rusak tersebut terdiri dari kelas diameter 10 sampai 20 cm sebanyak 101 pohon 14,62, kelas diameter 21 sampai 30 cm sebanyak 33 pohon 4,77, kelas diameter 31 sampai 40 cm sebanyak 9 pohon 1,31, dan kelas diameter 41 sampai 50 cm sebanyak 3 pohon 0,44.

2.5 Keterbukaan Areal