71 rataan diameternya 398,8±160,6 µm, dengan ciri-ciri umum adanya deretan kait
pada rostelum namun tidak terdapat kait pada batil hisapnya. Diameter batil hisap relatif besar dibandingkan dengan skoleksnya sehingga tampak sangat mencolok
dengan rataan diameternya sebesar 171,7±84,6 µm. Pengamatan pada sembilan buah proglotida dewasa dan gravid juga menunjukkan ciri-ciri Choanotaenia.
Rataan panjang dan lebar proglotida dewasa sebesar 351,0±265,5x323,3±265,5 µm, dengan ciri khas berbentuk seperti bangun trapesium. Posisi lubang genital di
anterolateral proglotida secara selang-seling tidak beraturan. Tidak tampak adanya kapsul-kapsul telur pada gambaran umum proglotida gravid, telur bebas di dalam
parensim dengan dinding bagian luar sangat tipis. Rataan panjang dan lebar proglotida gravid sebesar 947,6±112,6x 753,1±280,0 µm.
Hasil infeksi sistiserkoid pada ayam coba menunjukkan bahwa lalat M. domestica
mengandung sistiserkoid genus Raillietina sp. atau C. infundibulum, serta Raillietina sp. dan C. infundibulum pada satu individu lalat. Dengan
demikian dapat dipastikan bahwa M. domestica berperanan sebagai inang antara sestoda ayam petelur komersial di daerah Bogor.
4.3 Potensi Kumbang
A. diaperinus sebagai Inang Antara Cacing Pita pada Ayam Ras Petelur Komersial di Daerah Bogor
4.3.1 Prevalensi infeksi
sistiserkoid dan derajat infeksi sistiserkoid pada
kumbang A. diaperinus
A. diaperinus yang tertangkap sebanyak 2651 ekor dengan jumlah yang
bervariasi pada masing–masing peternakan. Paling banyak tertangkap di peternakan Ciseeng 731 ekor, berturut-turut hingga yang paling sedikit yaitu
Cibinong 491 ekor. Rumpin B 366 ekor, Cigudeg 349 ekor, Nanggung 280 ekor, Parung 155 ekor, Leuwisadeng 114 ekor, Gunung Sindur 84 ekor,
Kemang 81 ekor. Sedangkan pada salah satu peternakan dengan sistem kandang tertutup kumbang tidak ditemukan Tabel 18. Dari total 2651 ekor kumbang
Alphitobius yang dibedah sebanyak 41 ekor 6,53 mengandung sistiserkoid.
Kejadian infeksi paling tinggi terjadi di Cigudeg 21,49. Prevalensi sistiserkoidosis cukup tinggi juga ditemukan di Leuwisadeng 15,79 dan
Rumpin B 11,20, sedangkan di lokasi yang lain relatif lebih rendah yaitu
72 Tabel 18
Total prevalensi dan rataan derajat infeksi sistiserkoid pada kumbang A. diaperinus setiap peternakan.
No Peternakan
Prevalensi Derajat infeksi
sistiserkoidkumbang Infeksi
nkumbang Sistiserkoidosis
1 Leuwisadeng 18114
15,79 1,14±4,33
2 Nanggung 9280
3,21 0,09±0,65
3 Cigudeg 75349
21,49 4,06±19,47
4 Kemang 181
1,23 0,09±0,78
5 Parung 2155
1,29 0,04±0,41
6 Cibinong 16491
3,26 0,14±1,48
7 Ciseeng 10731
1,37 0,13±0,61
8 Gunung Sindur
184 1,19
0,54±4,91 9 Rumpin
A -
- -
10 Rumpin B
41366 11,20
0,77±3,90 TOTAL
1732651 6,53
0,78±7,58
Keterangan: tanda - menunjukkan tidak ditemukan kumbang
Cibinong 3,25, Nanggung 3,21, Ciseeng 1,37, Parung 1,29, Kemang 1,23, dan Gunung Sindur 1,19 Tabel 18. Derajat infeksi
sistiserkoidosis paling tinggi juga terdapat di Gudeg tempat prevalensi tertinggi sebesar 4,06±19,47 sistiserkoid. Sedangkan di lokasi yang lain derajat
infeksinya berkisar dari yang terendah sebanyak 0,04±0,41 sistiserkoid hingga
1,14±4,33 sistiserkoid
Tabel 18.
4.3.2 Pengaruh faktor-faktor ayam, lingkungan, dan tata laksana terhadap
prevalensi sistiserkoidosis pada kumbang A. diaperinus
Kejadian sistiserkoidosis pada kumbang diamati berdasarkan faktor populasi ayam, tipe iklim area peternakan, dan tata laksana peternakan yang
meliputi sistem serta struktur kandang, tata laksana pemberian antelmintika dan pembuangan manur. Faktor ayam, lingkungan, maupun tata laksana peternakan
P ≤0,01 Tabel 19. Prevalensi terendah 0,11 terjadi pada peternakan dengan
pada penelitian ini ketiga-tiganya mempengaruhi tingkat kejadian sistiserkoidosis
73 Tabel 19
Prevalensi sistiserkoidosis pada A. diaperinus menurut faktor populasi ayam, iklim, serta tata laksana sistem dan struktur kandang, pemberian antelmintika, dan pembuangan manur .
No Faktor
n kumbang Prevalensi
total infeksi 1 Ayam
Populasi ribu ekor
30-50 ribu ekor 394
27 6,85
50-70 ribu ekor 715
116 16,22
70-90 ribu ekor 727
19 2,61
90 ribu ekor 815
11 1,35
2 Lingkungan
Tipe iklim Basah
743 102
13,73 Kering
1908 71
3,72 3 Tata
laksana Sistem kandang
Tertutup 84
1 1,19
Terbuka 2567
172 6,70
Struktur kandang
50 kayu 844
37 4,38
≤50 kayu 1807
136 7,53
Pemberian antelmintika
Pulet dan puncak produksi 155
2 1,29
Tiga bulan sekali 394
27 6,86
Sebelum pulet, pulet, puncak produksi, tiga bulan sekali 349
75 21,49
Sebelum pulet, pulet, puncak produksi, enam bulan sekali 896
12 1,34
Jika ditemukan infeksi sestoda 857
57 6,65
Pembuangan manur
Dua bulan sekali 114
18 15,8
Tidak teratur 2453
154 6,3
Otomatis elektrik 84
1 1,2
Faktor risiko secara nyata dan sangat nyata mempengaruhi prevalensi sestodosis
74 P
≤0,01 Tabel 19. Prevalensi terendah 0,11 terjadi pada peternakan dengan kelompok populasi 90 ribu ekor, selanjutnya berturut-turut hingga prevalensi
tertinggi pada peternakan dengan kelompok populasi 70-90 ribu ekor 2,61, 30-50 ribu ekor 6,85, dan 50-70 ribu ekor 16,22. Kebalikan dengan
sistiserkoidosis lalat, kejadian sistiserkoidosis kumbang jauh lebih tinggi di area yang beriklim basah P
≤0,01 yaitu sebesar 13,73 dibandingkan iklim kering sebesar 3,72. Pengamatan berdasarkan aspek struktur kandang menunjukkan
bahwa tingkat kejadian sistiserkoidosis kumbang lebih tinggi dengan bangunan kandang berstruktur
≤50 kayu 7,53 dibandingkan dengan 50 kayu 4,38. Tata laksana pemberian antelmintika pada ternak ayam juga sangat
mempengaruhi P ≤0,01 angka kejadian sistiserkoidosis kumbang. Hasil ini mirip
dengan sistiserkoidosis lalat, kejadiannya paling banyak 21,49 pada peternak yang memberikan antelmintika ketika masih pemeliharaan di liter, awal naik
kandang baterai, sebelum puncak produksi telur, dan secara periodik sekali dalam tiga bulan. Sebaliknya, dengan periode pemberian yang sama kecuali pemberian
secara periodik enam bulan sekali memiliki tingkat kejadian lebih rendah P ≤0,05
yaitu sebesar 1,34. Adapun angka kejadian yang paling rendah 1,29 terjadi pada peternak yang memberikan antelmintika sejak awal naik kandang baterai dan
sebelum puncak produksi telur. Tingkat kejadian sistiserkoidosis hampir sama 6,86 dan 6,65 pada pengobatan secara teratur setiap tiga bulan sekali dan
ketika diketahui ada infeksi. Pada penelitian ini periode pembuangan manur juga sangat mempengaruhi angka kejadian sistiserkoidosis P
≤0,01. Pembuangan manur secara tidak teratur menyebabkan tingkat kejadian yang paling tinggi
sebesar 9,60 dibandingkan dengan pembuangan secara otomatis 6,61 maupun secara berkala dua bulan sekali 1,29.
4.3.3 Faktor-faktor risiko yang diduga mempengaruhi tingkat kejadian