derah perkotaan pada tahun 2005 yaitu 10,15 tahun dan pada tahun 2006 yaitu 10,22 tahun. Sedangkan untuk daerah kabupaten penuntasan wajib belajar Sembilan tahun
tersebut masih belum tercapai, hal ini dikarenakan sarana dan prasarana yang memprihatinkan, kekurangan daya tampung, kekurangan tenaga guru, rendahnya
kesejahteraan guru, rendahnya kualitas guru, angka drop out yang mengancam serta rendahnya kualitas manajemen sekolah Hidayat, 2008.
Berdasarkan pada kedua kecenderungan angka melek huruf AMH dan rata-rata lama sekolah RLS seperti telah dijelaskan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa
wilayah perkotaan relatif memiliki angka yang lebih tinggi dalam pencapaian indeks pendidikan, baik untuk Angka Melek Huruf AMH maupun Rata-rata Lama Sekolah
RLS jika dibandingkan dengan wilayah kabupaten yang cenderung merupakan daerah pedesaan. Hal ini diduga terkait dengan kesadaran masyarakat kota yang lebih tinggi
terhadap pendidikan selain itu rata-rata daerah perkotaan adalah wilayah penyangga ibukota negara yang memiliki sarana dan prasarana pendidikan yang relatif lebih baik
jika dibandingkan dengan wilayah kabupaten. Selain itu, relatif rendahnya peningkatan pencapaian angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah dimungkinan karena masih
cukup besarnya penduduk dewasa di wilayah kabupaten yang tingkat pendidikannya tidak tamat pendidikan dasar, sehingga meskipun partisipasi sekolah penduduk usia
muda sudah sedemikian dipacu peningkatannya namun belum terasa hasilnya secara nyata.
5.1.3 Perkembangan Indikator Daya Beli Masyarakat Purchasing Power Parity
KabupatenKota di Propinsi Jawa Barat
Kemampuan daya beli masyarakat mencerminkan kemampuan masyarakat secara ekonomi dalam memenuhi kebutuhan konsumsinya, dan sangat jauh berbeda
dengan PDRB per kapita atau yang dikenal dengan income per capita. Untuk mengukur standar hidup layak, data PDRB per kapita tidak dapat digunakan karena bukan ukuran
yang peka untuk kemampuan daya beli penduduk. Oleh sebab itu, penghitungan daya beli penduduk menggunakan konsumsi per kapita yang kemudian disesuaikan. Oleh
karena itu, daya beli masyarakat suatu wilayah dapat dibandingkan dengan daya beli masyarakat di wilayah lain. Untuk melihat gambaran kemampuan daya beli masyarakat
kabupatenkota di Propinsi Jawa Barat dapat dilihat dari Tabel 5.4. Secara rata-rata terjadi kenaikan kemampuan daya beli masyarakat di
kabupatenkota di Propinsi Jawa Barat, namun kenaikannya tidak cukup signifikan yaitu hanya 0,56 persen per tahun. Hal ini dikarenakan kondisi ekonomi nasional ternyata
berdampak terhadap perkembangan daya beli masyarakat kabupatenkota di Propinsi Jawa Barat. Rata-rata kemampuan daya beli masyarakat di kabupatenkota pada tahun
2002 hingga tahun 2006 yaitu Rp. 551.413,-.
Tabel 5.4 Kemampuan Daya Beli Masyarakat Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa
Barat Tahun 2002-2006
No. Daerah
2002 2003 2004 2005 2006
1. Kab.Bandung 529,20
535,40 542,55
545,21 549,92 2. Kab.Bekasi
549,50 552,00
555,70 559,00 560,09
3. Kab.Bogor 550,40
551,52 552,45
556,75 561,21 4. Kab.Ciamis
578,30 582,89
587,62 588,62 574,16
5. Kab.Cianjur 528,60
529,74 530,08
533,05 537,16 6. Kab.Cirebon
524,30 525,40
527,76 531,05 540,55
7. Kab.Garut 538,10
541,61 546,12
548,50 559,25 8. Kab.Indramayu 547,00
550,72 556,38
558,50 562,03 9. Kab.Karawang
523,20 526,17
530,36 538,80 541,88
10. Kab.Kuningan 533,00
533,12 535,80
537,53 540,17 11. Kab.Majalengka 541,00
545,00 549,85
552,75 555,30 12. Kab.Purwakarta
539,10 541,52
545,23 548,24 550,02
13. Kab.Subang 551,30
553,64 558,49
558,73 563,38 14. Kab.Sukabumi
549,20 550,20
550,20 554,47 558,78
15. Kab.Sumedang 542,90
548,52 550,75
556,78 558,67
16. Kab.Tasikmalaya 527,80 540,19
548,27 551,06 556,07
17. Kota Bandung
570,80 572,41
574,12 576,62 576,74
18. Kota Bekasi
552,20 556,70
565,20 569,38 569,74
19. Kota Bogor
550,80 552,61
552,82 554,03 555,11
20. Kota Cirebon
544,10 544,83
544,83 546,02 548,46
21. Kota Depok
573,80 575,85
579,30 579,52 579,76
22. Kota Sukabumi
549,40 550,34
554,06 558,03 562,06
Sumber: BPS Propinsi Jawa Barat, 2002-2006 Kemampuan Daya Beli Penduduk atau Purchasing Power Parity PPP
merupakan suatu indikator yang digunakan untuk melihat kondisi ekonomi masyarakat dalam menghitung IPM. Kemampuan daya beli ini lebih mencerminkan kemampuan
masyarakat secara ekonomi dalam memenuhi kebutuhan konsumsinya. Kemampuan Daya beli masyarakat kabupatenkota di Propinsi Jawa Barat dari tahun 2002 hingga
tahun 2006 lebih didominasi oleh wilayah perkotaan, akan tetapi angka PPP tertinggi justru dicapai oleh Kabupaten Ciamis. Kabupaten Ciamis memiliki PPP tertinggi yaitu
sebesar Rp. 582.318,- kemudian Kota Depok dan Kota Bandung masing-masing sebesar Rp. 577.646,- dan Rp. 574.138,-. Kabupaten Ciamis mempunyai nilai PPP tertinggi
karena Kabupaten Ciamis merupakan salah satu sentra Usaha Kecil Menengah UKM makanan di Propinsi Jawa Barat, sehingga dengan adanya UKM dapat meningkatkan
taraf hidup rakyat. Pencapaian PPP terendah di Propinsi Jawa Barat yaitu Kabupaten Cirebon dengan PPP sebesar Rp. 529.812,- dan Kabupaten Cianjur yaitu Rp. 531.726,-
serta Kabupaten Karawang Rp. 532.082,-. Satu daerah yang memiliki bentuk pemerintahan kabupaten dan kota mempunyai
kemampuan daya beli masyarakat yang tidak jauh berbeda. Rata-rata kemampuan daya beli masyarakat Kabupaten Bogor selama tahun 2002 hingga 2006 adalah sebesar Rp.
554.466,-. Tidak jauh berbeda dengan Kota Bogor yang memiliki kemampuan daya beli sebesar Rp. 553.074,-. Demikian juga dengan Kota bekasi yang memiliki nilai PPP
sebesar Rp. 562.644,- dan Kabupaten Bekasi sebesar Rp. 555.258,-. Kemampuan daya beli masyarakat kabupaten dan kota tidak jauh berbeda. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa tidak terjadi ketimpangan antara satu daerah yang memiliki bentuk pemerintahan kabupaten dan kota. Kegiatan perekonomian perkotaan yang lebih maju
memberikan dampak trickle down effect terhadap kegiatan perekonomian kabupaten, sehingga kemampuan daya beli masyarakat kabupaten menjadi meningkat seiring
dengan meningkatnya kemampuan daya beli masyarakat kota.
5.1.4 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia IPM Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat