2.3.2 Dana Alokasi Umum
Dana perimbangan merupakan salah satu sumber penerimaan daerah, maka perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah hendaknya diarahkan pada
upaya untuk meningkatkan kemandirian keuangan daerah. Upaya kearah ini dapat menciptakan independensi pemerintah daerah di bidang keuangan, di samping
mengurangi ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat Halim, 2007.
Menurut Sidik
et al. 2002, Dana Alokasi Umum DAU dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan daerah dengan memperhatikan potensi daerah,
luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk, dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah sehingga perbedaan antara daerah yang maju dengan daerah yang belum
berkembang dapat diperkecil. Penggunaan dana alokasi umum ditetapkan oleh daerah, termasuk di dalam pengertian pemerataan kemampuan keuangan daerah adalah jaminan
kesinambungan penyelenggaraan pemerintah daerah dalam penyediaan pelayanan dasar kepada masyarakat dan merupakan satu kesatuan penerimaan umum Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah APBD. Penggunaan dana alokasi umum dan penerimaan umum lainnya dalam APBD, harus tetap dalam kerangka pencapaian tujuan
pemberian otonomi kepada daerah yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat yang semakin baik, seperti pelayanan di bidang kesehatan dan pendidikan.
Menurut Sidik
et al. 2002 penetapan besarnya DAU masing-masing kabupaten dan kota ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 2000. DAU yang
berperan sebagai equalization grant, menetralkan dampak yang ditimbulkan oleh transfer lain seperti bagi hasil sumberdaya alam dan bagi hasil pajak. Tolok ukur
keberhasilan DAU adalah tercapainya pemerataan total penerimaan daerah per kapita
yang sebaik-baiknya.
Terkait dengan perhitungan DAU dimana DAU digunakan sebagai instrumen perimbangan keuangan antar daerah dengan konsep yang dipakai adalah kesenjangan
fiskal fiscal gap. Secara konsep, DAU digunakan untuk menutup kesenjangan yang terjadi karena kebutuhan daerah ternyata lebih besar dari potensi daerah kapasitas
fiskal. Dengan demikian, daerah-daerah yang mempunyai kapasitas fiskal relatif besar akan memperoleh DAU yang relatif kecil dibandingkan dengan daerah-daerah yang
miskin kapasitas fiskal rendah Zainie dalam Haris, 2005.
Menurut Hamid 2003 terdapat tiga model atau formula transfer dengan berbagai variannya untuk memenuhi kebutuhan anggaran pemerintah daerah. Formula
transfer tersebut adalah : 1 formula yang didasarkan pada pemenuhan kebutuhan fiskal daerah. Dana yang dialokasikan oleh pusat ke daerah didasarkan atas kebutuhan
masing-masing daerah, yang dihitung dengan menggunakan berbagai variabel, seperti jumlah penduduk, pendapatan per kapita, luas wilayah, jumlah penduduk miskin dan
sebagainya, 2 formula yang didasarkan pada kemampuan anggaran daerah atau atas dasar kapasitas fiskalnya. Pendekatan ini mendasarkan pada kemampuan daerah dalam
menghimpun pajak lokal dan sumbangan daerah dalam penerimaan pajak yang dikumpulkan oleh Pemerintah Pusat, dan 3 formula yang didasarkan baik pada
kebutuhan fiskal maupun kapasitas fiskal. Nilai transfer yang diberikan berdasarkan selisih positif dari kebutuhan fiskal dikurangi kapasitas fiskalnya, yang disebut
kesenjangan fiskal.
Menurut Sidik et al. 2002 salah satu kriteria umum yang digunakan sebagai acuan untuk mendesain sistem atau model transfer DAU yaitu adanya keadilan equity
dimana besarnya dana transfer pusat ke daerah ini seyogyanya berhubungan positif
dengan kebutuhan fiskal daerah dan sebaliknya berkebalikan dengan besarnya kapasitas
fiskal daerah yang bersangkutan.
2.4 Konsep Kemandirian Fiskal
Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang yang dilakukan untuk mencapai aspek pertumbuhan wilayah efficiency, pemerataan equity
dan berkelanjutan sustainability yang lebih berdimensi lokal dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah. Perubahan paradigma pembangunan
dari sentralisasi menjadi desentralisasi menempatkan pemerintah daerah sebagai partner pemerintah pusat dalam melaksanakan pembangunan untuk mencapai tujuan
pembangunan nasional. Hal ini tentunya harus didukung dengan keuangan daerah yang memadai, dimana daerah mampu memenuhi kebutuhan pembangunan daerahnya sendiri
sehingga daerah dapat dikatakan mandiri. Menurut
Kartasasmita dalam Triastuti 2005, mengatakan bahwa kemandirian
adalah hakikat dari kemerdekaan yaitu hakikat dari setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri dan menentukan apa yang terbaik bagi dirinya. Tujuan pelaksanaan
otonomi salah satunya memberikan peluang bagi kemandirian daerah untuk mengelola keuangannya sendiri melalui pelimpahan kewenangan dalam bentuk desentralisasi
fiskal. Kemandirian fiskal menjadi hal yang sangat penting bagi daerah, terutama terkait
dengan sumbangan fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi daerah itu sendiri.
Menurut Halim 2007, ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi
adalah: 1.
Kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan
dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan