Sumber: BPS, BAPPENAS, UNDP 2004
Secara teknis, IPM dapat dirumuskan sebagai berikut BPS, BAPPENAS,
UNDP, 2004:
IPM = indeks X
1
+ indeks X
2
+ indeks X
3
2.1
X
2
= X
12
+ X
22
2.2 dimana :
X
1
= indeks lamanya hidup tahun
X
2
= indeks tingkat pendidikan
X
3
= indeks pengeluaran riil per kapita Rp 000
X
12
= rata-rata lama bersekolah tahun
X
22
= angka melek huruf persen
Perhitungan indeks dari masing-masing indikator tersebut adalah :
X
ij
+ X
i-min
Indeks X
ij
= 2.3
X
i-max
+ X
i-min
dimana :
X
ij
= indikator ke-i dari daerah j
X
i-min
= nilai minimum dari X
i
X
i-max
= nilai maximum dari X
i
2.3 Penerimaan Pemerintah Daerah
Menurut Halim 2007 pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan,
pertanggung jawaban dan pengawasan keuangan daerah. Berdasarkan Undang-Undang No 33 Tahun 2004 Pasal 66 ayat 1, keuangan daerah harus dikelola secara tertib, taat
pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan keadilan, kepatutan dan manfaat untuk
masyarakat. Oleh karena itu pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dengan pendekatan kinerja yang berorientasi pada output dengan menggunakan konsep nilai
uang value for money serta prinsip tata pemerintahan yang baik good governance.
Pengelolaan anggaran adalah suatu tindakan penyeimbangan berbagai kebutuhan. Kebutuhan di bidang pendidikan, sosial, dan kesehatan menjadi tanggung
jawab pemerintah daerah, untuk mencukupi kebutuhan pembiayaan di sektor publik tersebut pemerintah mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan daerahnya sendiri.
Sehingga dengan otonomi daerah pemerintah daerah akan semakin mampu mencukupi
kebutuhan pembangunannya.
Dengan berlakunya Undang-Undang otonomi daerah maka pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk melaksanakan kegiatannya dan menjalankan pembangunan
serta kewenangan yang lebih luas dalam mendapatkan sumber-sumber pembiayaan,
baik yang berasal dari daerah itu sendiri maupun dana yang berasal dari APBN.
Pendapatan Asli Daerah PAD diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang pajak, retribusi daerah, laba perusahaan milik daerah dan pendapatan asli daerah lainnya
yang sah. Undang-undang tersebut merupakan perubahan atau perbaikan atas Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 1997.
2.3.1 Pendapatan Asli Daerah PAD
Pendapatan Asli Daerah PAD merupakan sumber penerimaan keuangan daerah yang digali dari potensi-potensi yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. Sumber-
sumber Pendapatan Asli Daerah PAD tersebut terdiri dari: 1 Hasil pajak daerah; 2
Hasil retribusi daerah; 3 Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah; serta 4 Pendapatan asli daerah lain-lain yang sah UU Nomor 22
Tahun 1999 Pasal 79.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk melaksanakan kegiatannya dan menjalankan pembangunan serta kewenangan
yang lebih luas dalam mendapatkan sumber-sumber pembiayaan baik yang berasal dari daerah itu sendiri maupun dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara APBN Elmi, 2002.
2.3.1.1 Pajak Daerah
Secara umum pajak adalah pungutan dari masyarakat oleh negara pemerintah berdasarkan undang-undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh wajib
yang membayarnya dengan tidak mendapat prestasi kembali kontra prestasibalas jasa secara langsung, yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran negara dalam
penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan Siahaan, 2006.
Pajak daerah di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 terbagi menjadi dua, yaitu pajak propinsi dan pajak kabupatenkota. Pembagian ini
dilakukan sesuai dengan kewenangan pengenaan dan pemungutan masing-masing jenis pajak daerah pada wilayah administrasi propinsi atau kabupatenkota yang
bersangkutan. Sebagaimana dijelaskan dalam Tabel 2.3, Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 ditetapkan sebelas jenis pajak daerah, yaitu empat jenis pajak
propinsi dan tujuh jenis pajak kabupatenkota.
Tabel 2.3 Jenis Pajak Daerah dan Tarifnya
Pajak Propinsi Tarif
Pajak KabupatenKota Tarif
1. Pajak kendaraan bermotor dan
kendaraan diatas air 2.
Bea balik nama kendaraan
bermotor dan kendaraan diatas air
3. Pajak bahan bakar kendaraan
bermotor 4.
Pajak pengambilan dan
pemanfaatan air di bawah tanah dan air permukaan
5 10
5 20
1. Pajak hotel
2. Pajak restoran
3. Pajak hiburan
4. Pajak reklame
5. Pajak penerangan jalan
6. Pajak pengambilan bahan
galian golongan C 7.
Pajak parkir 10
10 35
25 10
20
20
Sumber : Siahaan 2006
2.3.1.2 Retribusi Daerah
Retribusi adalah pembayaran wajib dari penduduk kepada negara karena adanya jasa tertentu yang diberikan oleh negara bagi penduduknya secara perorangan. Jasa
tersebut dapat dikatakan bersifat langsung, yaitu hanya yang membayar jasa retribusi
yang menikmati balas jasa dari negara Siahaan, 2006.
Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di Indonesia saat ini penarikan retribusi hanya dapat dipungut oleh pemerintah daerah. Jadi retribusi yang dipungut di
Indonesia dewasa ini adalah retribusi daerah. Menurut Siahaan 2006 retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang
khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan. Jasa yang dimaksud adalah kegiatan pemerintah daerah berupa usaha dan
pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas atau kemanfaatan lainnya dapat
dinikmati oleh pribadi atau badan.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tidak banyak mengubah ketentuan tentang retribusi daerah dalam UU Nomor 18 Tahun 1997. Retribusi ditetapkan ke
dalam tiga golongan, yaitu retribusi umum, retribusi jasa usaha dan retribusi perijinan
tertentu Siahaan, 2006.
2.3.1.3 Laba Badan Usaha Milik Daerah BUMD
Selain pajak daerah dan retribusi daerah, bagian laba perusahaan milik daerah BUMD merupakan salah satu sumber yang potensial untuk dikembangkan. Menurut
Elmi 2002 perusahaan daerah seperti perusahaan air bersih PDAM, bank pembangunan daerah BPD, hotel, bioskop, percetakan, perusahaan bis kota dan pasar
adalah jenis-jenis BUMD yang memiliki potensi sebagai sumber-sumber PAD,
menciptakan lapangan kerja atau mendorong pembangunan ekonomi daerah.
2.3.1.4 Pendapatan Asli Daerah Lainnya Yang Sah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 6, yang termasuk pendapatan asli daerah lainnya yang sah adalah meliputi hasil penjualan kekayaan
daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain
sebagai akibat dari penjualan danatau pengadaan barang danatau jasa oleh daerah
.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah, sumber keuangan yang berasal dari pendapatan asli daerah PAD lebih penting dibandingkan dengan sumber-sumber diluar
pendapatan asli daerah, karena pendapatan asli daerah dapat dipergunakan sesuai dengan prakarsa dan inisiatif daerah sedangkan bentuk pemberian pemerintah non
PAD sifatnya lebih terikat. Dengan penggalian dan peningkatan pendapatan asli daerah diharapkan pemerintah daerah juga mampu meningkatkan kemampuannya dalam
penyelenggaraan urusan daerah.
2.3.2 Dana Alokasi Umum
Dana perimbangan merupakan salah satu sumber penerimaan daerah, maka perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah hendaknya diarahkan pada
upaya untuk meningkatkan kemandirian keuangan daerah. Upaya kearah ini dapat menciptakan independensi pemerintah daerah di bidang keuangan, di samping
mengurangi ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat Halim, 2007.
Menurut Sidik
et al. 2002, Dana Alokasi Umum DAU dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan daerah dengan memperhatikan potensi daerah,
luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk, dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah sehingga perbedaan antara daerah yang maju dengan daerah yang belum
berkembang dapat diperkecil. Penggunaan dana alokasi umum ditetapkan oleh daerah, termasuk di dalam pengertian pemerataan kemampuan keuangan daerah adalah jaminan
kesinambungan penyelenggaraan pemerintah daerah dalam penyediaan pelayanan dasar kepada masyarakat dan merupakan satu kesatuan penerimaan umum Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah APBD. Penggunaan dana alokasi umum dan penerimaan umum lainnya dalam APBD, harus tetap dalam kerangka pencapaian tujuan
pemberian otonomi kepada daerah yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat yang semakin baik, seperti pelayanan di bidang kesehatan dan pendidikan.
Menurut Sidik
et al. 2002 penetapan besarnya DAU masing-masing kabupaten dan kota ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 2000. DAU yang
berperan sebagai equalization grant, menetralkan dampak yang ditimbulkan oleh transfer lain seperti bagi hasil sumberdaya alam dan bagi hasil pajak. Tolok ukur
keberhasilan DAU adalah tercapainya pemerataan total penerimaan daerah per kapita
yang sebaik-baiknya.
Terkait dengan perhitungan DAU dimana DAU digunakan sebagai instrumen perimbangan keuangan antar daerah dengan konsep yang dipakai adalah kesenjangan
fiskal fiscal gap. Secara konsep, DAU digunakan untuk menutup kesenjangan yang terjadi karena kebutuhan daerah ternyata lebih besar dari potensi daerah kapasitas
fiskal. Dengan demikian, daerah-daerah yang mempunyai kapasitas fiskal relatif besar akan memperoleh DAU yang relatif kecil dibandingkan dengan daerah-daerah yang
miskin kapasitas fiskal rendah Zainie dalam Haris, 2005.
Menurut Hamid 2003 terdapat tiga model atau formula transfer dengan berbagai variannya untuk memenuhi kebutuhan anggaran pemerintah daerah. Formula
transfer tersebut adalah : 1 formula yang didasarkan pada pemenuhan kebutuhan fiskal daerah. Dana yang dialokasikan oleh pusat ke daerah didasarkan atas kebutuhan
masing-masing daerah, yang dihitung dengan menggunakan berbagai variabel, seperti jumlah penduduk, pendapatan per kapita, luas wilayah, jumlah penduduk miskin dan
sebagainya, 2 formula yang didasarkan pada kemampuan anggaran daerah atau atas dasar kapasitas fiskalnya. Pendekatan ini mendasarkan pada kemampuan daerah dalam
menghimpun pajak lokal dan sumbangan daerah dalam penerimaan pajak yang dikumpulkan oleh Pemerintah Pusat, dan 3 formula yang didasarkan baik pada
kebutuhan fiskal maupun kapasitas fiskal. Nilai transfer yang diberikan berdasarkan selisih positif dari kebutuhan fiskal dikurangi kapasitas fiskalnya, yang disebut
kesenjangan fiskal.
Menurut Sidik et al. 2002 salah satu kriteria umum yang digunakan sebagai acuan untuk mendesain sistem atau model transfer DAU yaitu adanya keadilan equity
dimana besarnya dana transfer pusat ke daerah ini seyogyanya berhubungan positif
dengan kebutuhan fiskal daerah dan sebaliknya berkebalikan dengan besarnya kapasitas
fiskal daerah yang bersangkutan.
2.4 Konsep Kemandirian Fiskal
Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang yang dilakukan untuk mencapai aspek pertumbuhan wilayah efficiency, pemerataan equity
dan berkelanjutan sustainability yang lebih berdimensi lokal dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah. Perubahan paradigma pembangunan
dari sentralisasi menjadi desentralisasi menempatkan pemerintah daerah sebagai partner pemerintah pusat dalam melaksanakan pembangunan untuk mencapai tujuan
pembangunan nasional. Hal ini tentunya harus didukung dengan keuangan daerah yang memadai, dimana daerah mampu memenuhi kebutuhan pembangunan daerahnya sendiri
sehingga daerah dapat dikatakan mandiri. Menurut
Kartasasmita dalam Triastuti 2005, mengatakan bahwa kemandirian
adalah hakikat dari kemerdekaan yaitu hakikat dari setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri dan menentukan apa yang terbaik bagi dirinya. Tujuan pelaksanaan
otonomi salah satunya memberikan peluang bagi kemandirian daerah untuk mengelola keuangannya sendiri melalui pelimpahan kewenangan dalam bentuk desentralisasi
fiskal. Kemandirian fiskal menjadi hal yang sangat penting bagi daerah, terutama terkait
dengan sumbangan fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi daerah itu sendiri.
Menurut Halim 2007, ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi
adalah: 1.
Kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan
dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan
menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan. 2.
Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu
PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Kedua ciri tersebut akan mempengaruhi pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Secara konseptual, pola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan
daerah harus sesuai dengan kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah,
salah satunya dapat diukur melalui kinerja keuangan daerah.
Semakin baik kinerja keuangan suatu daerah menunjukkan bahwa daerah tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari
pemerintah pusat. Semakin tinggi kontribusi pendapatan asli daerah dan semakin tinggi kemampuan daerah untuk membiayai kemampuannya sendiri akan menunjukkan kinerja
keuangan yang positif. Dalam hal ini, kinerja keuangan yang positif dapat diartikan sebagai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai kebutuhan pembangunan
daerah dan mendukung pelaksanaan otonomi pada daerah tersebut. Dengan kata lain menurut Zaenudin 2008, keberhasilan pengembangan otonomi daerah dapat dilihat
dari derajat otonomi fiskal daerah, yaitu perbandingan antara Pendapatan Asli Daerah
PAD dengan total penerimaan daerah TPD.
Tim Fisipol UGM dan Balitbang Depdagri RI dalam Triastuti 2005 membuat klasifikasi tentang kemampuan daerah Tabel 2.4. Dikatakan bahwa kemampuan
keuangan daerah merupakan kemampuan Daerah Tingkat Dati II sekarang kabupatenkota dalam membiayai urusan-urusan rumah tangganya, khususnya yang
berasal dari Pendapatan Asli Daerah PAD.
Tabel 2.4 Kualifikasi Kemampuan Keuangan Daerah
Skala Persentase PAD thdp TPD
Kualifikasi
1 0,00 - 10,00
Sangat Kurang 2
10,01 - 20,00 Kurang
3 20,01 - 30,00
Sedang 4
30,01 - 40,00 Cukup
5 40,01 - 50,00
Baik 6
50,00 Sangat Baik
Sumber: Tim Fisipol UGM Balitbang Depdagri dalam Triastuti 2005
2.5 Tinjauan Penelitian Terdahulu