pekat, asam nitrat pekat, dan fluoresensi. Kelarutan alkaloid dalam farmasi sangat penting karena perbedaan kelarutan antara alkaloid bebas dan
garamnya, terutama berkaitan dengan isolasinya dari bahan tumbuhan. Alkaloid bebas umumnya sedikit larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut
organik, sedangkan kebalikannya pada garamnya kecuali garam sulfas kinina yang kelarutannya dalam air 1 : 1000, sedangkan kinina hidroklorida larut
dalam air kurang dari satu bagian Soegihardjo, 2013.
F. Fenolik
Menurut Fessenden 1986, fenolik merupakan senyawa yang banyak ditemukan pada tumbuhan. Fenolik memiliki cincin aromatik dengan satu
atau lebih gugus hidroksi OH
-
dan gugus-gugus penyerta lainnya. Senyawa ini diberi nama berdasarkan nama senyawa induknya, fenol. Fenol biasanya
dikelompokkan berdasarkan jumlah atom karbon pada kerangka penyusunnya.
Menurut Robinson 1991, aktivitas fisiologis senyawa fenolik pada tumbuhan banyak dan beragam. Beberapa senyawa fenolik bersifat racun
terhadap hewan pemangsa tumbuhan herbivor dan beberapa bersifat racun serangga. Senyawa fenolik lain mempunyai aktivitas antiinflamasi, karena
senyawa ini menghambat sintesis prostaglandin. Menurut Dwidjoseputro 1994, fenolik memiliki fungsi sebagai antibakteri. Mekanisme
antibakterinya adalah dengan membentuk senyawa kompleks terhadap protein ekstraseluler yang mengganggu integritas membrane sel bakteri.
OH
Gambar 1. Struktur fenol
G. Terpenoid
Terpenoid adalah golongan hidrokarbon yang banyak ditemukan dalam tumbuhan terutama pada getah dan vakuola selnya. Semua senyawa
golongan terpen atau terpenoid dan turunannya termasuk hasil metabolit sekunder. Terpen atau terpenoid mempunyai aktivitas antibakteri, antivirus
dan antiprotozoa Salni, Hanifa, dan Ratna, 2011. Mekanisme antibakteri yang dimiliki oleh terpenoid adalah bereaksi
dengan porin protein transmembran yang terdapat pada membran luar dinding sel bakteri sehingga membentuk ikatan polimer yang kuat sehingga
porin menjadi rusak. Porin adalah jalan keluar masuknya substansi sehingga rusaknya porin mengurangi permeabilitas dinding sel bakteri yang membuat
sel bakteri kekurangan nutrisi. Oleh karena itu, pertumbuhan bakteri menjadi terhambat atau mati Salni, Hanifa, dan Ratna, 2011.
H. Flavonoid
Flavonoid adalah suatu golongan senyawa fenol terbesar yang ditemukan di alam. Flavonoid memiliki warna merah, ungu, biru, dan sebagai
zat kuning yang terkandung dalam tumbuhan. Senyawa ini memiliki struktur dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua cincin benzen C
6
terikat pada rantai propana C
3
sehingga terbentuk susunan C
6
-C
3
-C
6
Lenny, 2006.
Flavonoid memiliki beberapa gugus hidroksil, gula dan flavonoid adalah senyawa polar sehingga flavonoid cukup larut dalam pelarut polar
seperti etanol, metanol, butanol, aseton, dimetilsulfoksida DMSO, dimetilformamida DMF, air dan lain-lain. Senyawa ini juga memiliki
aktivitas antibakteri Subramani, 2002; Rosidah dan Afizia, 2012. Mekanisme antibakteri dari flavonoid adalah membentuk senyawa
kompleks dengan protein ekstraseluler dan larut sehingga dapat merusak membran sel bakteri dan senyawa intraseluler pun ikut keluar Nuria, Arvin,
Sumantri, 2009. Selain itu, flavonoid dapat merusak permeabilitas dinding sel bakteri Sabir, 2008.
I. Metode Pengujian Aktivitas Antibakteri
Metode pengujian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan suatu larutan uji dalam menghambat atau membunuh bakteri. Metode pengujian
antimikroba dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Metode difusi
Metode difusi merupakan metode yang digunakan untuk mengukur potensi antibakteri berdasarkan pengamatan luas zona jernih yang terbentuk di
sekitar tempat penginokulasian obatekstrak karena terdifusinya obatekstrak Jawetz, Melnick, Brooks, dan Adelberg, 2005. Terdapat beberapa cara
metode difusi, salah satunya ialah metode sumuran Kirby Bauer. Metode ini merupakan metode untuk menguji senyawa kimia yang terkandung dalam
tanaman yang berpotensi sebagai antimikroba berdasarkan pada ukuran zona inhibisi pertumbuhan kultur bakteri di sekitar disk yang diresapi dengan obat
antimikroba. Metode ini dilakukan dengan membuat lubang pada agar padat
yang telah diinokulasi dengan bakteri Mpila, Fatimawai, dan Weny, 2012.
Jumlah dan letak lubang sumuran disesuaikan dengan tujuan penelitian, kemudian lubang sumuran diinjeksikan dengan ekstrak yang akan diuji.
Setelah dilakukan inkubasi, pertumbuhan bakteri diamati untuk melihat ada tidaknya daerah hambatan di sekeliling lubang Kusmayanti dan Agustini,
2007.
2. Metode dilusi
Prinsip metode dilusi adalah antibiotik diencerkan sehingga diperoleh beberapa macam kadar. Pada dilusi cair, setiap kadar sampel obat
ditambahkan pada suspensi bakteri pada media kemudian diukur dengan spektrofotometri
UV-VIS UVmini-1240
UV-Vis Spectrophotometer
Shimadzu pada 480 nm untuk mengukur kekeruhan dari media yang telah
ditambahkan suspensi bakteri dan ekstrak. Pada dilusi padat setiap kadar obat dicampur dengan media agar kemudian ditanami bakteri. Pengamatannya
dengan melihat ada tidaknya pertumbuhan bakteri atau tingkat kesuburan bakteri. Metode dilusi ini dapat digunakan untuk menentukan KHM dan KBM
Jawetz, dkk., 2005.
J. Landasan Teori
Penyakit infeksi merupakan salah satu penyakit yang sering diderita oleh masyarakat. Penyebab timbulnya penyakit infeksi adalah bakteri, virus
dan jamur. Bakteri yang menimbulkan infeksi antara lain Staphylococcus aureus
dan Escherichia coli. Oleh sebab itu, perlu dilakukan eksplorasi bahan alam yang memiliki potensi antibakteri dengan efek samping lebih kecil
karena bahan alam mudah tersedia secara terus-menerus. Daun petai mengandung alkaloid, terpenoid, fenolik, dan flavonoid.
Biji petai mengandung alkaloid, terpenoid, flavonoid, fenolik. Kulit batang pohon petai mengandung senyawa fenolik dan alkaloid Kamisah, dkk, 2013.
Sedangkan menurut Kurniawati 2014 menggunakan kulit petai yang diambil dari Kabupaten Bogor diekstraksi dengan etanol 70 menggunakan metode
maserasi ultrasonifikasi. Hasil yang diperoleh Kurniawati 2014 menyatakan bahwa kulit petai yang berasal dari Kabupaten Bogor mengandung golongan
senyawa kimia seperti alkaloid, terpenoid, saponin, dan tanin serta ekstrak etanol kulit petai tidak memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus
aureus dan Escherichia coli. Oleh sebab itu, peneliti melakukan eksplorasi
bahan alam menggunakan tanaman yang sama yaitu petai yang berasal dari Kabupaten Sleman, Yogyakarta dengan bagian kulit batang pohon petai.
Menurut Nitisapto dan Siradz cit., Mahatriny, Payani, Oka dan Astuti, 2014, faktor lingkungan tanaman yang berbeda dapat mempengaruhi hasil metabolit
sekunder tanaman. Faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi adalah iklim, cahaya matahari, suhu, lingkungan atmosfer CO
2
, O
2
, dan kelembaban, lingkungan perakaran sifat kimia dan fisika tanah dan
ketersediaan air di dalam tanah. Untuk mendapatkan senyawa kimia yang terkandung dalam kulit
batang pohon petai maka dapat dilakukan dengan metode maserasi menggunakan penyari yang sesuai sehingga mempermudah menyari senyawa
kimia tersebut berdasarkan kelarutannya. Salah satu pelarut yang digunakan sebagai penyari senyawa kimia yang terkandung dalam kulit batang pohon
petai adalah etanol. Menurut Agnes, dkk 2013, etanol dapat digunakan sebagai penyari karena dapat menarik senyawa kimia yang bersifat semi polar
sampai polar sehingga kandungan kimia yang diharapkan dapat tersari dengan optimal sesuai dengan kepolarannya.
Pengujian aktivitas antibakteri ekstrak etanol kulit batang pohon petai dilakukan dengan menggunakan metode difusi sumuran. Hasil dari metode
difusi sumuran dapat ditunjukkan dengan diameter zona hambat zona jernih. Untuk mengukur KHM dan KBM menggunakan metode dilusi cair yang
hasilnya ditunjukkan dengan kadar terendah dari ekstrak etanol kulit batang pohon petai yang mampu menghambat dan membunuh pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.
Penelitian terkait adanya aktivitas antibakteri ekstrak etanol kulit batang pohon petai terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli
diharapkan dapat
memberikan informasi
kepada masyarakat
dan perkembangan ilmu pengetahuan mengenai manfaat kulit batang pohon petai
sebagai salah satu terapi alternatif penyakit infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus
dan Escherichia coli.
K. Hipotesis