untuk mengakui ikatan-ikatan kokoh yang mempersatukan semua orang dan kelompok-kelompok sosial satu sama lain, ruang yang diberikan kepada
kebebasan manusia bagi pertumbuhan bersama dimana di dalamnya semua orang berbagi dan berperan serta.
2.3. Community Empowerment dalam Dimensi Corporate Social Responbility
Community Empowerment merupakan sebuah aktualisasi dari CSR yang lebih bermakna daripada sekedar aktivitas charity. Hal ini disebabkan dalam
pelaksanaan CSR dengan Community Empowerment terdapat kolaborasi kepentingan bersama antara perusahaan dengan komunitas, adanya partisipasi,
produktivitas dan keberlanjutan Sri Urip, 2014:81
.
Community Empowerment mengacu pada proses yang memungkinkan masyarakat untuk meningkatkan
kontrol atas hidup mereka. Community adalah kelompok masyarakat yang kemungkinan memiliki hubungan atau kemungkinan tidak , tetapi mereka berbagi
kepentingan bersama, keprihatinan atau identitas. Community ini kemungkinan berada di tingkat lokal, nasional maupun internasional, dengan kepentingan
tertentu atau luas. Empowerment mengacu pada proses dimana orang mendapatkan kontrol atas faktor-faktor dan keputusan yang menentukan hidup
mereka. Ini adalah proses dimana mereka meningkatkan aset dan atribut mereka dan membangun kapasitas untuk mendapatkan akses, mitra, jaringan , dalam
rangka untuk mendapatkan kontrol. Mengaktifkan menyiratkan bahwa orang tidak bisa diberdayakan oleh orang lain; mereka hanya dapat memberdayakan
diri dengan mengakuisisi berbagai bentuk kekuasaan yang lebih. Ini
34 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengasumsikan bahwa orang adalah aset untuk mereka sendiri, dan peran agen eksternal adalah untuk mengkatalisis, memfasilitasi atau menemani masyarakat
dalam memperoleh kekuasaan Labonte dan Laverack, 2008. Berdasarkan uraian di atas dapat kita ketahui bahwa dalam konsep
‘Community Empowerment dalam dimensi Corporate Social Responbility’ teridentifikasi tiga unsur pembentuk konsep, yaitu: Community Empowerment,
partisipasi masyarakat dan kompetensi agen pemberdayaan. Instrumen evaluasi Program Aksi Puasa Pembangunan di Keuskupan Agung Semarang akan
dikembangkan berdasarkan tiga hal tersebut. Berikut akan diuraikan ketiga kerangka konseptual tersebut.
2.3.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Kegiatan Community Empowerment
Konsep CSR telah dikembangkan sejak pertengahan abad 20. Konsep ini banyak diperdebatkan dan dibahas dalam beberapa konteks sehingga
memunculkan berbagai gambaran mengenainya Griffin, 2006:13-14. Tidak ada konsep yang resmi dan baku mengenai CSR. Konsep ini selalu berkembang dari
masa ke masa. European Commision mendefinisikan CSR sebagai bentuk integrasi
sukarela masalah sosial dan lingkungan hidup ke dalam operasi bisnis dan interaksi mereka dengan pemangku kepentingan. Hal ini memuat pengertian
bahwa dalam menjalankan perusahaan, para pemangku kepentingan di perusahaan berorientasi membantu lingkungan sosial yang berada di sekitar perusahan dan itu
dilakukan dengan sukarela. Menurut Michael Hopkins 2007, CSR merupakan
35 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bidang yang memusatkan perhatian pada upaya pemangku kepentingan untuk berperilaku beretika dan bertanggung jawab. Selanjutnya perilaku beretika dan
bertanggung jawab itu diaplikasikan dalam tujuan CSR, yaitu untuk menciptakan standar kehidupan yang lebih tinggi dengan menciptakan laba usaha untuk orang
yang berada di dalam maupun di luar perusahaan Hopkins, 2007. Pernyataan tersebut menekankan bahwa dengan CSR diharapkan adanya keuntungan yang
dapat di raih baik oleh pihak perusahaan maupun pihak di luar perusahaan yang dalam hal ini adalah masyarakat.
Namun demikian, bagaimana agar pelaksanaan kegiatan CSR memberi nilai optimum bagi bisnis dan masyarakat masih harus dipahami dengan baik.
Kegiatan seperti pameran yang bertema cinta lingkungan hidup dengan memamerkan konsep penghematan energi, pengelolaan limbah, dan gagasan
kepedulian lingkungan lainnya sering dianggap sebagai prakarsa CSR. Padahal, kegiatan sesekali seperti ini tanpa disertai dengan peningkatan kompetensi,
pelatihan, pemberdayaan, penyediaan lapangan pekerjaan dan penciptaan kemakmuran tidak akan memberi hasil yang menguntungkan dan oleh karenanya
juga tidak membawa manfaat berkelanjutan baik bagi perusahaan maupun masyarakat.
Jika perusahaan menekankan pelaksanaan kegiatan CSR-nya pada persoalan yang tidak relevan dengan lingkungan setempat, maka kegiatan terbaik
sekalipun akan gagal menciptakan manfaat yang diharapkan baik untuk masyarakat maupun perusahaan. Keterlibatan perusahaan dalam kesepakatan
sosial supaya relevan pada umumnya dengan mempertimbangkan beberapa faktor,
36 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yaitu keadaan ekonomi, sosial, dan budaya di negara tempat bisnis tersebut beroperasi Urip, 2015:16. Berdasarkan uraian di atas, dalam kerangka
kepentingan penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan prinsip CSR yang efektif seharusnya ditempatkan dalam konteks pemahaman bisnis akan
strategi bisnis perusahaan yang diimbangi pemahaman akan kebutuhan masyarakat.
Pelaksanaan CSR yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat menempatkan CSR pada konsep pembangunan berbasis masyarakat. Konsep ini
mengandung pengertian bahwa pembangunan berangkat dari kebutuhan masyarakat, direncanakan, dan dilaksanakan oleh masyarakat dengan
memanfaatkan potensi sumber daya yang ada dan dapat diakses oleh masyarakat setempat Theresia, 2014:28. Pembangunan tidak dirumuskan oleh “orang luar”
atau elit masyarakat yang merasa lebih tahu dan lebih pandai untuk merumuskan pembangunan yang cocok bagi masyarakatnya. Sejalan dengan konsep di atas,
pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah strategi, telah diterima dan berkembang dalam berbagai literatur sebagai salah satu bentuk pembangunan berbasis
masyarakat Theresia, 2014:91. Selanjutnya, istilah ‘Pemberdayaan masyarakat’ merupakan alih bahasa
dari kata ‘empowerment’. Kata power dalam empowerment diartikan sebagai ‘daya’ sehingga empowerment diartikan sebagai pemberdayaan. Daya
mengandung pengertian kemampuan untuk melakukan sesuatu atau bertindak Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1993:188. Empowerment
merupakan sebuah konsep untuk mengatasi masalah-masalah yang
37 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menghubungkan ‘daya’
dengan pembagian kesejahteraan. Keadaan keterbelakangan dan kemiskinan seperti diutarakan di bab sebelumnya terjadi
karena ketidakseimbangan dalam kepemilikan atau akses pada sumber-sumber ‘daya’. Proses historis yang panjang akhirnya menyebabkan terjadinya
dispowerment, yakni peniadaan ‘daya’ pada sebagian besar masyarakat. Akibatnya, muncul lapisan masyarakat yang tidak memiliki akses yang memadai
terhadap aset produktif yang umumnya dikuasai oleh mereka yang ‘memiliki daya’. Pada gilirannya keterbelakangan secara ekonomi mengakibatkan mereka
makin jauh dari kekuasaan. Pemberdayaan merupakan konsep yang berkaitan dengan kekuasaan.
Istilah kekuasaan seringkali identik dengan kemampuan individu atau masyarakat khususnya kelompok rentan dan lemah untuk memiliki kekuatan dan
kemampuan dalam a memenuhi kebutuhan dasarnya; b menjangkau sumber- sumber produktif; c berpartisipasi dalam proses pembangunan Suharto,
2005:58. Dalam konteks ini pemberdayaan menekankan pada aspek pelimpahan wewenang atau memberi kekuasaan kepada individu sehingga mampu mengatur
diri dan lingkungannya sesuai dengan keinginan, potensi, dan kemampuan yang dimilikinya.
Selanjutnya, dalam konsep pemberdayaan tidak sekedar termuat proses pemberian kewenangan atau kekuasaan saja kepada mereka yang lemah dan
miskin. Pemberdayaan juga merupakan suatu proses menyiapkan masyarakat supaya memiliki sumber daya, kesempatan, pengetahuan dan keahlian untuk
meningkatkan kapasitas diri masyarakat didalam menentukan masa depan mereka,
38 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI