Pemaknaan Orang Muda Katolik (OMK) pada kegiatan gereja : sebuah studi fenomenologi di Paroki Pugeran, Kevikepan DIY, Keuskupan Agung Semarang.
vii
PEMAKNAAN
ORANG MUDA KATOLIK (OMK) YANG AKTIF KETIKA BERPERAN PADA KEGIATAN GEREJA
(Sebuah Studi Fenomenologi di Paroki Pugeran, Kevikepan DIY, Keuskupan Agung Semarang)
Yanuar Prihastomo
ABSTRAK
Desain penelitian fenomenologi ini bertujuan untuk mengetahui proses pemaknaan orang muda katolik (OMK) yang aktif ketika berperan pada kegiatan Gereja. Peneliti tertarik terhadap fenomena ini karena adanya suatu dinamika kehidupan yang menarik. OMK dengan kesibukannya menjalani tugas perkembangan, dihadapkan pada pilihan kegiatan-kegiatan Gereja. Keadaan seperti ini ternyata tidak menyurutkan minat OMK untuk selalu meluangkan waktunya mengisi kegiatan Gereja. Berdasarkan fenomena tersebut, peneliti ingin mengetahui apa sebenarnya pemaknaan kegiatan Gereja bagi mereka. Subjek dalam penelitian ini sebanyak 3 orang muda katolik yang hidup dan berkegiatan di paroki Pugeran, Yogyakarta. Subjek diperoleh dengan berdasar pada pedoman penelitian kualitatif, yaitu sampel harus berfokus pada intensitas. Pengumpulan data diperoleh melalui wawancara yang mendalam. Analisa penelitian ini menggunakan modifikasi metode Stevick-Colaizzi-Keen dari Moustakas (1994). Verifikasi data dilakukan dengan proses intersubjective validity, yaitu menguji kembali pemahaman peneliti dengan pemahaman subjek melalui interaksi timbal balik atau disebut juga back-and-forth. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemaknaan kegiatan Gereja bagi OMK adalah sebagai proses pembentukan/pencapaian identitas diri. Proses pembentukan/pencapaian identitas adalah ketika individu mampu mengintegrasikan potensi-potensi, ketrampilan dalam melakukan identifikasi dengan orang-orang yang sependapat, dan dalam melakukan adaptasi dengan lingkungan sosial, menjaga pertahanan terhadap ancaman, serta mampu memutuskan peran-peran yang cocok bagi dirinya (Erikson, 1974). Jadi proses pembentukan/pencapaian identitas diri OMK terjadi karena adanya kebutuhan, kesadaran, dan keinginan yang terkombinasi dengan sosio-historis yang unik dan khas dari keluarga Kristiani dan Gereja.
(2)
viii
UNDERSTANDING
THE CATHOLIC YOUTH (OMK) WHO ACTIVELY INVOLVED IN CHURCH ACTIVITIES
(A Phenomenological Study in Pugeran Parish, Yogyakarta Special Province, Semarang Diocese)
Yanuar Prihastomo
ABSTRACT
This phenomenological research aimed to figure out the understanding process of Catholic Youth (OMK) who actively involved in Church activities. The researcher feels anxious to see this phenomenon due to the interesting life dynamism these young people had. OMK, in which has many activities to do as an actualization of their responsibility in living their life process, had to deal with Church activities. In fact, this condition did not decrease their interests in spending their time to take part in Church activities. Based on such phenomenon, the researcher is eager to find out what is the meaning of Church activities for them. There are three Catholic youth who live and actively involved in Pugeran Parish, Yogyakarta taken as the subject of this research. These three subjects were taken based on qualitative research orientation, in which the subjects should focus on intensity. Data collection was gained through deep interviews. The writer uses modified Moustakas’ (1994) Stevick-Colaizzi-Keen method in research analysis. The data verification was taken through inter-subjective validity process. In this process, the researcher’s and the subjects’ understanding were re-examined through reciprocity interaction which also called back-and-forth. The result of this research shows that the meaning of Church activities for OMK is as a part of self identity figuration/achievement process. What is meant by self identity figuration/achievement process here is when an individual is able to integrate potentials, have identifying skills together with those who are having the same agreement, and able to adapt with social environment, to maintain the protection from threat, and able to decide suitable roles for themselves (Erikson, 1974). In conclusion, self identity figuration/achievement process of OMK occurred from the needs, awareness and desires combined with unique and special characteristics of socio-historical backgrounds in Christian family and church.
(3)
i
PEMAKNAAN
ORANG MUDA KATOLIK (OMK) YANG AKTIF PADA KEGIATAN GEREJA
(
Sebuah Studi Fenomenologi di Paroki Pugeran, Kevikepan DIY, Keuskupan Agung Semarang)SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh: YANUAR PRIHASTOMO
02 9114 006
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(4)
(5)
(6)
iv
HALAMAN MOTTO
Semakin kita mencari tahu,
semakin sadar bahwa kita tidak
tahu apa-apa
(Socrates)
“ Tak ada orang yang terlahir jenius. Berusaha
mengasah kemampuan & berjuang dengan segenap
hati, itulah yang dinamakan dengan jenius sejati... ”
(Harlem Beat)
Diam dan mendengarkan, atau berbicara dan mencari tahu?
Sebenar-benarnya pada akhir nanti engkau akan tahu, dan
memilih.
Akan menjadi bijak, atau hebat…
Atau mungkin kedua-duanya…
(7)
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Dengan penuh cinta dan kasih, kupersembahkan karya ini kepada:
Allah Bapa, Penyelenggara Alam Semesta
Yesus Kristus, Guru kehidupanku
Bapak dan Ibu; kepercayaan Tuhan untukku
Kakak dan adikku
Sahabat serta teman-teman; “kekasih hati” dalam kesetiaan dan
kebersamaan
Hal apapun; yang telah saling “memperkaya”
Pemikir-pemikir hebat sepanjang masa
(8)
(9)
vii
PEMAKNAAN
ORANG MUDA KATOLIK (OMK) YANG AKTIF KETIKA BERPERAN PADA KEGIATAN GEREJA
(Sebuah Studi Fenomenologi di Paroki Pugeran, Kevikepan DIY, Keuskupan Agung Semarang)
Yanuar Prihastomo
ABSTRAK
Desain penelitian fenomenologi ini bertujuan untuk mengetahui proses pemaknaan orang muda katolik (OMK) yang aktif ketika berperan pada kegiatan Gereja. Peneliti tertarik terhadap fenomena ini karena adanya suatu dinamika kehidupan yang menarik. OMK dengan kesibukannya menjalani tugas perkembangan, dihadapkan pada pilihan kegiatan-kegiatan Gereja. Keadaan seperti ini ternyata tidak menyurutkan minat OMK untuk selalu meluangkan waktunya mengisi kegiatan Gereja. Berdasarkan fenomena tersebut, peneliti ingin mengetahui apa sebenarnya pemaknaan kegiatan Gereja bagi mereka. Subjek dalam penelitian ini sebanyak 3 orang muda katolik yang hidup dan berkegiatan di paroki Pugeran, Yogyakarta. Subjek diperoleh dengan berdasar pada pedoman penelitian kualitatif, yaitu sampel harus berfokus pada intensitas. Pengumpulan data diperoleh melalui wawancara yang mendalam. Analisa penelitian ini menggunakan modifikasi metode Stevick-Colaizzi-Keen dari Moustakas (1994). Verifikasi data dilakukan dengan proses intersubjective validity, yaitu menguji kembali pemahaman peneliti dengan pemahaman subjek melalui interaksi timbal balik atau disebut juga back-and-forth. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemaknaan kegiatan Gereja bagi OMK adalah sebagai proses pembentukan/pencapaian identitas diri. Proses pembentukan/pencapaian identitas adalah ketika individu mampu mengintegrasikan potensi-potensi, ketrampilan dalam melakukan identifikasi dengan orang-orang yang sependapat, dan dalam melakukan adaptasi dengan lingkungan sosial, menjaga pertahanan terhadap ancaman, serta mampu memutuskan peran-peran yang cocok bagi dirinya (Erikson, 1974). Jadi proses pembentukan/pencapaian identitas diri OMK terjadi karena adanya kebutuhan, kesadaran, dan keinginan yang terkombinasi dengan sosio-historis yang unik dan khas dari keluarga Kristiani dan Gereja.
(10)
viii
UNDERSTANDING
THE CATHOLIC YOUTH (OMK) WHO ACTIVELY INVOLVED IN CHURCH ACTIVITIES
(A Phenomenological Study in Pugeran Parish, Yogyakarta Special Province, Semarang Diocese)
Yanuar Prihastomo
ABSTRACT
This phenomenological research aimed to figure out the understanding process of Catholic Youth (OMK) who actively involved in Church activities. The researcher feels anxious to see this phenomenon due to the interesting life dynamism these young people had. OMK, in which has many activities to do as an actualization of their responsibility in living their life process, had to deal with Church activities. In fact, this condition did not decrease their interests in spending their time to take part in Church activities. Based on such phenomenon, the researcher is eager to find out what is the meaning of Church activities for them. There are three Catholic youth who live and actively involved in Pugeran Parish, Yogyakarta taken as the subject of this research. These three subjects were taken based on qualitative research orientation, in which the subjects should focus on intensity. Data collection was gained through deep interviews. The writer uses modified Moustakas’ (1994) Stevick-Colaizzi-Keen method in research analysis. The data verification was taken through inter-subjective validity process. In this process, the researcher’s and the subjects’ understanding were re-examined through reciprocity interaction which also called back-and-forth. The result of this research shows that the meaning of Church activities for OMK is as a part of self identity figuration/achievement process. What is meant by self identity figuration/achievement process here is when an individual is able to integrate potentials, have identifying skills together with those who are having the same agreement, and able to adapt with social environment, to maintain the protection from threat, and able to decide suitable roles for themselves (Erikson, 1974). In conclusion, self identity figuration/achievement process of OMK occurred from the needs, awareness and desires combined with unique and special characteristics of socio-historical backgrounds in Christian family and church.
(11)
(12)
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami haturkan kepada Allah Bapa di Surga atas rahmat dan kekuatan yang telah diberikan kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Selesainya penulisan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Dengan segenap kerendahan dan ketulusan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1.
2. Yesus Kristus dengan ajaran-ajaran kehidupanNya
Allah Bapa yang telah memberikan kesempatan ‘coretan tak berarti’ ini berada di kanvas agungNya.
3. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku Dekan Faultas Psikologi atas kesempatan yang telah diberikan selama proses studi.
4. Ibu Titik Kristiani, M. Psi., dan Ibu Tanti Arini, M. Psi. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah bekerja keras membimbing selama masa studi dengan penuh kesabaran, serta mencurahkan perhatian dengan sepenuh hati.
5. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, M. Si., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan saran, bimbingan, dan dorongan dengan penuh kesabaran. Maaf, Pak Didik. Saya pernah seperti domba yang sempat (meng)hilang….
6. Segenap dosen Psikologi, terima kasih atas ilmu serta dinamika yang saya dapat selama kuliah di fakultas Psikologi Sanata Dharma Yogyakarta.
(13)
xi pahlawan mahasiswa.
8. Semua teman-teman Psikologi, antara angkatan ’98 sampai ’08 yang tidak bisa kami sebut satu-persatu. Terima kasih atas dinamikanya selama ini.
9. Bapak Muhabdan, Ibu Anna Suparti, mbak Asih dan mas Edi, Danna, Lik Uri, Lik Mah dan Nur serta semua saudaraku, terima kasih atas segala perhatian, kesabaran, dukungan, dan doa yang telah diberikan.
10. The Tumindak Ngiwo (Kopeto, Windra, Neri, Achong Yo’i, Wawan, Aris, Ganyong, Barjo, Suko, Dika, Doni, Laura, Almh. Cynthya Dewi Putri, Alm. Michael Cahyo Pamungkas, Danang, Pak Guru Purwoko, Alit, Sigot, Eyang, Imam, Mbak Ayu’, Cik Seni; nuwun yo, cik..hehe, Yoga, Ciput, Dik Sari, Klowor, Ricky, Itong, Berta, Min-min, Sisir, Ine’ dan semua ‘anggota-anggotanya’). Tujuh tahun telah menjadi keluarga besar kedua. Yo dadi masku, mbakku, adikku…. Pokoke saudaraku.
11. Teman-teman Psi ’02 seperjuangan. Kang Adi, Dimas, Ching He, Dodi, Aan, Bona, Lisna, Ning, Dani, Echa, Ndaru, Tisa, Tita, Ian, Pongki, Si Be, Panji, Niko, Ndus, Memei, Hera, Festa, Trisa, Mita, Nanut, Diah…..Akeh tenan, je…
12. Ngadicool Brother (Bayu, Toni, Robert, dan Mas Nunung). Ayo! Dolan-dolan, tembak-tembakan, futsal, nguliner, mojok…. njut dolan-dolan meneh! *Jo lali ngurus lingkungan, dab….
(14)
xii
13.Saint Cool. (Dab Lilik, mbak Ninik, mbak Novi, bang Gupi, Mas Oko, Marji, Seno, Ajeng, Praci, Iot and The Gank…Mari kita berkarya dan membangun…Dengan week end dan pesta!!
14.Rumah Taman (Sani; Matur nuwun atas semua selama 8 tahun ini. Mas Paku, Cucuk, Pecek, Agung ‘mie’, Doni; Mreneo. Motong aku…)
15.Rm. Warsito. Matur nuwun atas doanya. Ayo, katanya suka nguliner?! : ) 16.Teman-teman Gereja Pugeran. Fajar; Nuwun. ‘Api’ tengah malamnya
manjur!, Ajeng & Ireda; yang sabar & tetap semangat yo, nduk : ) Nuwun atas bantuan tambahan data MPP dan PIA nya.
17.Rekan-rekan PIA & MPP. Matur nuwunsedoyo kemawon…
18.Rekan-rekan kevikepan DIY. Denta, Ivan, Choice, Mita, Yayan, Eta, Ayo’, Opit, Nono’, Rony, Babi, Erick, Dian, Dita…
19.Semua teman yang pernah menjadi satu kepanitiaan dimanapun.
20.Zpegata ‘95 3B. 26, 15, 5, 40, 14, 23….Top! Wis tuo ngene, tetep (niat) bersatu! : )
21.Eks Rekan-rekan divisi Psikososial PRY. Mbak Thia, Mas Muji, Pak Frans, Mbak Lia Ndut, Mbak Alfa, Sius, Pati, Mbak Ike, Mbak Edina, Ayu, Bimo, Mas Kristo, Vembri, Siril….Mari kita belajar klinis…: ) 22.Kepuh Crew (Jatmiko, Ika, Patrick, Uci’, Sasa, Asti, Nopra, Vita dan
Ayu’)
23.Tokoh Kepuh (Pak dan Bu Warsidi, Mas Cahyo, Mas Alex, Bu Guru Nita, Ryan, Febri, Mbak Yuli, Cecep, Pak Polisi….)
(15)
(16)
xiv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PENGUJI ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiv
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR SKEMA ... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
(17)
xv
1. Manfaat Teoritis ... 7
2. Manfaat Praktis ... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9
A. Peran Kepemudaan Orang Muda Katolik (OMK) ... 9
1. Peran dan Peranan ... 9
2. Aktif dan Keaktifan ... 12
3. Identitas ... 13
4. Orang Muda Katolik…….………...….…...26
5. Pemuda dan Kepemudaan……….……….……….…...27
B. Peran Kepemudaan Gereja dan di Kehidupan Sehari-hari ... 27
C. Kerangka Penelitian ... 29
BAB III METODE PENELITIAN ... 30
A. Jenis Penelitian ... 30
B. Fokus Penelitian ... 33
C. Subjek Penelitian ... 33
D. Metode Pengumpulan Data ... 35
E. Analisa Data ... 36
F. Keabsahan Data atau Verifikasi Data ... 37
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 38
A. Pelaksanaan Penelitian ... 39
B. Situasi dan Kondisi Kehidupan Gereja Pugeran ... 39
1. Dinamika Kegiatan Gereja ... 39
(18)
xvi
C. Deskripsi Subjek Penelitian ... 42
D. Tema-tema ... 45
1. Tema-tema dasar pengalaman berkegiatan untuk Gereja ... 45
2. Sintesa data pengalaman ... 61
E. Status Identitas ... 63
F. Pembahasan ... 65
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 68
A. Kesimpulan ... 81
B. Kelemahan Penelitian ... 82
C. Saran ... 83
DAFTAR PUSTAKA ... 85
(19)
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Konsep dan Tema Pengalaman...58 Tabel 2. Sintesa Data Pengalaman...61 Tabel 3. Model Status Identitas ... .63
(20)
xviii
DAFTAR SKEMA
(21)
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Verbatim Subjek 1 ... 88
Lampiran 2. Horizonalization Subjek 1 ... 101
Lampiran 3. Tekstural Subjek 1 ... 113
Lampiran 4. Struktural Subjek 1 ... 123
Lampiran 5. Struktur Umum Subjek 1 ... 124
Lampiran 6. Data Statistik MPP ... 125
Lampiran 7. Data Statistik PIA ... 125
Lampiran 8. Data Statistik Koor...127
(22)
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam dunia kepemudaan Gereja, tidak dapat dipungkiri bahwa peran orang muda katolik sangat penting bagi terlaksananya visi-misi Gereja dalam menjalankan tugasnya di masyarakat. Orang muda katolik secara umum, memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menjalankan karya-karya/agenda Gereja yang telah diberikan kepadanya. Seperti yang telah disepakati, kaum muda dituntut secara aktif untuk menghidupi kegiatan-kegiatan kepemudaan maupun umat secara umum (Isnugroho, wawancara, 13 September 2009). Tugas orang muda tercantum dalam buku pedoman yang telah disusun oleh Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia. Isinya secara garis besar adalah bahwa mereka diharapkan mampu memberikan sumbangan yang berharga nanti baik kepada masyarakat maupun kepada umat katolik/Gereja (Komisi Kepemudaan KWI, 1991). Dengan adanya pedoman ini, orang muda katolik berada pada posisi yang cukup penting dan berpengaruh pada kebijakan-kebijakan Gereja dalam mengisi agendanya.
Sebenarnya jika dilihat dari fasilitas dan alokasi dana, Gereja memang sudah cukup peduli dalam memberikan perhatiannya. Bantuan pendidikan untuk pelajar yang cukup aktif di kepemudaan sudah dianggarkan dari awal. Gereja dengan mudah memberikan aliran dana yang sesuai dengan kebutuhan jika memang itu mengikuti prosedur dan mekanisme yang benar (Nur, wawancara, 3
(23)
Juli 1010). Gereja telah memberikan penghargaan, kesempatan, tanggung jawab dan kepercayaan pada kaum muda dengan dibentuknya organisasi sebagai wadah yang dinamakan Mudika (muda-mudi katolik). Dalam hal ini mereka diposisikan sebagai subjek dan pelaku utama proses bina diri dan saling bina (Komisi Kerasulan Awam KWI, 1994).
Kesulitan yang terjadi adalah terbenturnya antara loyalitas dan totalitas orang muda di kegiatan kepemudaan Gereja, dengan tugas perkembangan/pribadi mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, disini loyalitas dan totalitas teruji. OMK harus mengelola waktu sebaik mungkin, bahkan sampai mengorbankan kebutuhan pribadi, seperti: sekolah, kuliah, pekerjaan, pembagian tugas-tugas sebagai anak di rumah, dan lain-lain. Tugas perkembangan kaum muda dalam tahap dewasa dini, seperti; kuliah, mulai bekerja, mulai membina keluarga, mengelola rumah tangga, mengambil tanggung jawab sebagai warga negara, dan mencari kelompok sosial cepat atau lambat akan dialami dan dilakukan oleh sebagian besar kaum muda. Sedangkan tugas perkembangan pada masa-masa sebelumnya (remaja) juga harus dilalui dengan baik, seperti; studi/sekolah, mencapai peran sosial dan perilaku sosial yang diharapkan, serta memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku-mengembangkan ideologi (Havighurst dalam Hurlock, 1996).
Pada kenyataannya tugas perkembangan para orang muda katolik pada umumnya tidak berjalan dengan lancar dan cenderung terbengkalai (Toni, wawancara, 23 Januari 2010). Mereka berusaha menyisihkan waktu belajar dan pekerjaan mereka untuk bisa meluangkan waktu membantu kegiatan-kegiatan
(24)
umat lingkungan, wilayah, maupun paroki. Maka tidak heran jika muncul keluhan dan terjadi benturan kepentingan antara orang tua dengan para pengurus di lingkungan maupun di struktur kepengurusan Gereja.
Walaupun hak-hak orang muda sudah terfasilitasi, tetap saja itu bukan merupakan suatu hal yang mampu menjawab problematika-problematika yang terkait dengan permasalahan OMK yang dimana tugas-tugas pribadi begitu sangat padat dan menguras cukup banyak waktu serta tenaga. Alih-alih ingin mengembangkan diri dan memaksimalkan fasilitas yang ada, mereka malah melupakan tugas utama mereka untuk belajar dan bekerja (Lilik, wawancara, 31 Januari 2010). Keadaan ini bisa kita temui di banyak lingkungan, dimana perselisihan-perselisihan kecil muncul di tengah keluarga OMK.
Usaha orang muda untuk bisa berperan secara total di kegiatan kepemudaan Gereja kadang tidak sebanding dengan pengorbanannya merelakan tugas akademiknya yang tertunda dan terbengkalai. Biarpun begitu, mereka tetap memberikan waktunya pada kegiatan kepemudaan Gereja walaupun terhambat dalam memenuhi tugas pribadi (Yudha, wawancara pribadi, 3 Sepetember 2009). Pada kenyataannya ada hal yang mendorong para orang muda ini untuk tetap mencurahkan perhatiannya. Dalam 10 tahun terakhir, masih terlihat banyaknya keterlibatan dengan berbagai macam peran pada para orang muda katolik di paroki-paroki. Praktis, dari event-event yang diselenggarakan dari tingkat lingkungan, wilayah, paroki sampai tingkat mudika rayon, hampir bisa dikatakan selalu ada kaum muda yang melibatkan diri.
(25)
Peran diharapkan oleh kaum muda. Mereka mengharapkan melakukan sesuatu atau berperilaku yang kemudian memiliki posisi spesifik dalam suatu kelompok. Di sisi lain adanya harapan-harapan orang lain pada umumnya tentang perilaku-perilaku yang pantas yang seyogianya ditunjukkan oleh seseorang yang mempunyai peran tertentu (Biddle & Thomas dalam Suhardono, 1994). Orang lain pada umumnya dalam konteks ini adalah masyarakat secara umum, masyarakat Gereja/para keluarga Kristiani dan Gereja itu sendiri. Biasanya kaum muda ini masuk dalam kepanitiaan-kepanitiaan yang telah dibentuk, baik itu dari struktur kepengurusan lingkungan, wilayah, maupun paroki.
Orang muda katolik adalah sebuah kelompok dalam tahap perkembangan dimana mereka melakukan aktivitas secara aktif untuk mencari, menjajaki, mempelajari, mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menginterpretasi dengan seluruh kemampuan, akal, pikiran, dan potensi yang dimiliki untuk memperoleh pemahaman yang baik tentang berbagai alternatif peran. Hal ini merupakan berlangsungnya eksplorasi dalam pembentukan identitas dirinya (Marcia dalam Santrock, 2003).
Keadaan seperti yang telah diulas diatas merupakan contoh kecil dari dinamika orang muda yang menjalani perannya sebagai anggota umat Gereja. Salah satu ciri (penggerak) orang muda Gereja adalah mereka harus memiliki perhatian dan kepedulian sebagaimana diharapkan dalam tugas kerasulan awam yang diberikan kepadanya (Komisi Kepemudaan KWI, 1994). Mengenai peran dan tugas orang muda Gereja ini, Komisi Kepemudaan KWI telah memberikan definisi peran orang muda sebagai pedoman, pemahaman, keselarasan, dan
(26)
nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Lebih lanjut dijelaskan bahwa peran kepemudaan tersebut akan terwujud dalam bentuk penguasaan pembinaan dan perbuatan secara aktif dan terorganisasi dalam menjalankan tugas sebagai kaum muda Gereja (Komisi Kepemudaan KWI, 2008). Tugas dan peran ini tidak hanya sebuah bentuk rasa dan kepekaan akan kesadaran di dalam pengetahuan keagamaan saja, bahkan diharapkan ada tuntutan yang lebih dari pada itu, yaitu kemampuan di dalam organisasi kemasyarakatan secara umum (eksternal). Hal ini dikarenakan orang muda Gereja adalah kaum minoritas yang hidup di tengah-tengah masyarakat majemuk.
Kemajemukan masyarakat ini tidak hanya dalam konteks agama saja, tetapi juga budaya, ras, organisasi kemasyarakatan, dan lain-lain. Paroki Pugeran Yogyakarta merupakan sebuah daerah di tengah kota dimana disitu terjadi pertemuan antar budaya dan bermacam-macamnya latar belakang kesukuan dari hampir seluruh pelosok Indonesia. Interaksi dalam kegiatan antar OMK yang tinggal di daerah paroki Pugeran Yogyakarta dengan masyarakat umum menunjukkan dinamika yang cukup menarik. Adanya usaha untuk saling berbaur antar satu OMK dengan OMK yang lain merupakan suatu ciri tersendiri bagi para OMK yang tinggal di paroki Pugeran Yogyakarta. Beragamnya latar belakang ini pada akhirnya akan memunculkan berbagai minat, kepentingan, dan konsentrasi OMK dalam menjalani kehidupan dan kegiatan sehari-harinya.
Berdasarkan data dan fakta-fakta yang ada di lapangan, peneliti mencoba mengetahui apa makna kegiatan kepemudaan sebagai sebuah hasil refleksi atas pengalaman-pengalaman mereka sebagai penggerak/aktivis. Dalam penelitian ini,
(27)
peneliti menggunakan metode fenomenologi untuk mengetahui pemaknaan kegiatan kepemudaan bagi mereka yang hidup dan berdinamika di masyarakat. Melalui penelitian fenomenologi, fenomena peran kepemudaan sebagai central phenomenon (Creswell, 1998). Fenomenologi yang dikedepankan oleh Hussler (dalam Hadiwijoyo, 1998) menyatakan bahwa pengalaman merupakan alat untuk mencari kebenaran terhadap dunia sekitar manusia, karena di dalam kehidupannya manusia selalu berhubungan dengan dunia di luarnya. Oleh karena itu di dalam fenomenologi, proses pemaknaan terhadap fenomena menjadi subyek utama penelitian, yang dalam penelitian ini adalah bagaimana orang muda katolik memaknai peran, fungsi, dan tugasnya sebagai salah satu bagian Gereja di saat mereka dihadapkan pada permasalahan kehidupan. Hal ini dapat muncul karena adanya suatu proses refleksi atas pengalaman-pengalaman kegiatan yang pernah dirasakan oleh orang muda katolik sehingga memunculkan suatu sikap tersendiri sebagai salah satu wujud dari pemaknaan mereka.
Penelitian ini memakai subyek dengan batasan tertentu yang telah ditetapkan sejak awal. Subyek yang diwawancara adalah para OMK yang aktif. Subyek dipilih minimal saat ini sedang masuk dalam struktur keanggotaan pengurus, baik itu tingkat lingkungan, wilayah, maupun paroki, dan atau selalu membantu serta mengambil peran di kepanitiaan pada acara-acara rutin yang diselenggarakan gereja, misal; Natal dan Paskah.
Dengan melihat adanya suatu rasa takjub di mana masih adanya orang muda yang peduli dan berperan demi eksistensi orang muda Gereja meskipun dengan benturan kepentingan, serta kesemrawutan kehidupan sosial, peneliti ingin
(28)
melihat proses pemaknaan mereka sehingga masih tetap berkegiatan. Melalui penelitian inilah mereka dapat merefleksikan secara menyeluruh mengenai proses pemaknaan mereka akan pengalamannya sehingga memunculkan suatu gairah tertentu yang menyebabkan mereka tetap menghidupi komunitas kepemudaan. Sehingga peneliti dapat mengetahui pemaknaan orang muda untuk tetap eksis sebagai penggerak kaum muda Gereja.
B. Rumusan Masalah
Apa dan bagaimana orang muda katolik (OMK) yang aktif memaknakan kegiatan kepemudaan Gereja?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses pemaknaan OMK yang aktif atas pengalaman-pengalaman berkegiatan mereka pada Gereja.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Sebagai penyajian fakta-fakta dan pengetahuan tentang deskripsi pengalaman berkegiatan orang muda katolik pada kegiatan Gereja. b. Sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya di bidang sosial dan
pendidikan (agama) tentang proses pemaknaan kegiatan Gereja oleh orang muda katolik terkait dengan proses tugas perkembangan.
(29)
a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan refleksi bagi semua orang muda untuk dapat memahami kegiatan kepemudaan, dan adanya kesadaran akan kehidupan serta penghargaan yang lebih pada orang muda yang lain, sehingga memunculkan rasa solidaritas antar orang muda.
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai evaluasi bagi masyarakat agar semakin memahami eksistensi orang muda (Gereja) di dalam masyarakat, baik dalam bidang sosial maupun pendidikan (agama).
(30)
9 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini peneliti berusaha menjelaskan hal-hal yang dapat menjadi pemahaman teoritis akan suatu aktivitas pengalaman terkait dengan kegiatan-kegiatan kepemudaan Gereja oleh OMK dan konsep-konsep atau komponen apa yang harus ada agar suatu pengalaman dapat disebut sebagai pemaknaan akan pengalaman; pola dan struktur yang ada di dalam kegiatan kepemudaan; penjelasan mengenai definisi dan batasan keaktifan, Orang Muda Katolik beserta aspek kepemudaan menurut kesepakatan yang telah diakui, setelah itu masuk ke peran kepemudaan Gereja dan peran dalam kehidupan sehari-hari baik aktual maupun ideal; serta di akhir bab ini adalah pertanyaan dari penelitian ini.
A. Peran Kepemudaan Orang Muda Katolik
1. Peran dan peranan
Menurut Baron & Byrne (2005), peran adalah suatu set perilaku yang diharapkan dilakukan oleh individu yang memiliki posisi spesifik dalam suatu kelompok, dan merupakan deferensiasi fungsi di dalam kelompok. Orang-orang yang berbeda melakukan tugas-tugas yang berbeda dan diharapkan dapat mencapai hal-hal berbeda demi kelompok. Peran dapat membantu memperjelas tanggung jawab dan kewajiban anggota-anggotanya, jadi dalam hal ini peran sangat berguna.
(31)
Menurut Biddle & Thomas (dalam Suhardono, 1994), peran adalah serangkaian rumusan yang membatasi perilaku-perilaku yang diharapkan dari pemegang kedudukan tertentu. Teori peran oleh Biddle & Thomas dibagi dalam 4 golongan, yaitu:
a. Orang-orang yang mengambil bagian dalam dalam interaksi sosial b. Perilaku yang muncul dalam interaksi tersebut
c. Kedudukan orang-orang dalam perilaku d. Kaitan antara orang dan perilaku
Menurut Biddle & Thomas (dalam Suhardono, 1994), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Harapan tentang peran. Maksudnya adalah bahwa harapan-harapan orang lain pada umumnya tentang perilaku-perilaku yang pantas yang seyogianya ditunjukkan oleh seseorang yang mempunyai peran tertentu. b. Wujud perilaku dalam peran. Maksudnya adalah bahwa peran
diwujudkan dalam perilaku oleh aktor. Wujud ini nyata, bukan sekedar harapan. Perilaku nyata ini bervariasi, berbeda-beda dari satu orang ke orang lain. Peran dilihat wujudnya dari tujuan dasarnya atau hasil akhirnya, terlepas dari cara pencapaian tujuan atau hasil tersebut. Sarbin (dalam Suhardono, 1994) menyatakan perwujudan peran (role enactment) dapat dibagi-bagi dalam & golongan menurut intensitasnya. Intensitas ini diukur berdasarkan keterlibatan diri aktor dalam peran yang dibawakannya. Tingkat intensitas tertentu adalah keadaan dimana diri aktor saat tidak terlibat. Perilaku peran dibawakan secara otomatis
(32)
dan mekanistis. Tingkat tertinggi akan terjadi jika aktor melibatkan seluruh pribadinya dalam perilaku peran yang sedang dikerjakan.
Menurut Soekanto (1983), peranan merupakan aspek dinamis dari kedudukan, yaitu seseorang yang melaksanakan hak-hak dan kewajibannya. Suatu peranan mencakup paling sedikit tiga hal berukut ini:
a. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat.
b. Peranan merupakan suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
c. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial.
Menurut pendapat Ahmadi & Supriyono (1991), peranan adalah suatu kompleks pengharapan manusia, caranya individu harus bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu berdasarkan status dan fungsi sosialnya. Sedangkan peranan sosial merupakan pengharapan-pengharapan kemasyarakatan tentang tingkah laku dan sikap yang dihubungkan dengan status tertentu tanpa menghiraukan kekhususan orang yang mendukung status itu. Selain peranan sosial, dijelaskan juga peranan individual, yaitu pengharapan-pengaharapan tingkah laku di dalam status tertentu yang berhubungan erat dengan sifat-sifat khusus dari individu-individu itu sendiri.
(33)
2. Aktif dan Keaktifan
Dalam American Psychology Assosiation Dictionary of Psychology
(2007), aktif didefinisikan sebagai:
a. Sekarang ini masih dalam kondisi berfungsi/berjalan, atau memerankan beberapa aksi, secara terus menerus atau sementara waktu.
b. Menggunakan sebuah efek atau pengaruh dalam suatu proses atau hal/benda.
Dari keterangan di atas, aktif dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana subjek dalam keadaan berfungsi semestinya dalam menjalankan suatu peran secara terus menerus atau sementara waktu. Selain itu pada diri subjek masih terdapatnya pengaruh dalam sebuah proses yang ada (kegiatan).
Sedangkan menurut Kartono & Gulo (1987), keaktifan adalah istilah umum yang dikaitkan dengan kondisi yang selalu bergerak, eksplorasi, dan berbagai respon lainnya terhadap rangsangan sekitar.
Menurut Tim Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia (1998), seseorang dikatakan aktif ketika ia melibatkan diri secara positif dalam kehidupan keluarga, Gereja, dan masyarakatnya. Hal ini terkait dengan aspek pengembangan kaum muda, yaitu: pengembangan kepribadian, katolisitas, kemanusiaan dan kemasyarakatan, kepemimpinan dan organisasi, serta intelektualitas dan profesionalitas.
(34)
3. Identitas
a. Pengertian Identitas Diri
Berbicara mengenai identitas, konsep identitas dalam ilmu psikologi umumnya menunjukkan pada suatu kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan pribadi, pada keyakinan yang pada dasarnya tetap tinggal sama seluruh jalan perkembangan hidup kendati pun segala macam perubahan (Erikson, 1989).
Menurut Moore (dalam Gunarsa, 2000), identitas adalah proses identifikasi. Identifikasi adalah proses menjadi (becoming) seorang subyek, dan ia melibatkan identifikasi diri seseorang dengan seseorang atau sesuatu yang lain sedemikian rupa sehingga subyektivitas (ke-diri-an) dikonstitusikan melalui serangkaian identifikasi tersebut.
Identitas diri menurut Marcia (1980) adalah suatu organisasi yang dinamis, dari dorongan-dorongan, kemampuan-kemampuan, keyakinan-keyakinan yang terstruktur dengan sendirinya dalam diri individu. Sedangkan Gunarsa (2000) berpendapat bahwa identitas diri adalah inti pribadi yang tetap ada, suatu cara tertentu yang sudah terbentuk sebelumnya yang menentukan peran sosial yang harus dilakukan.
Identitas dapat didefinisikan secara ringkas dan kira-kira sebagai suatu kesatuan yang unik yang memelihara kesinambungan arti masa lampaunya sendiri bagi orang lain dan bagi diri sendiri; yang mengintegrasikan segala gambaran diri yang dihadiahkan atau dipaksakan
(35)
padanya oleh orang lain bersama perasaan-perasaannya sendiri tentang siapakah dia dan apakah yang dapat dibuatnya (Erikson, 1989).
Dari beberapa pendapat para ahli mengenai definisi identitas diri, maka dapat disimpulkan bahwa identitas diri merupakan pemahaman yang berkesinambungan tentang siapa dirinya, kemana arah tujuan, serta menyadari peran-peran sosial yang akan dilakukan dalam masyarakat.
Identitas didefinisikan oleh Erikson sebagai “kesamaan dirinya dalam waktu, serta pengamatan yang berhubungan dengannya, yaitu bahwa orang lain pun mengakui kesamaan dan kontinuitas itu” (Erikson, 1989).
Erikson mengetengahkan sekurang-kurangnya empat aspek pokok kepribadian yang termuat dalam identitas itu, yakni:
a. Satu kesadaran akan identitas pribadi
“Identitas pribadi” seseorang berpangkal pada pengalaman langsung bahwa dia selama sekian banyak tahun yang lewat tetap tinggal sama. Rasa identitas pribadi ini juga berkaitan dengan “identitas ego”, dan identitas pribadi bisa disebut sebagai identitas ego apabila identitas itu menyangkut kualitas “eksistensial” dari subyek, yang berarti bahwa subyek itu mandiri dengan suatu gaya pribadi yang khas. Maka identitas ego yang dimaksud adalah mempertahankan “suatu gaya individualitasnya sendiri”. Namun kesamaan batiniah dengan diri sendiri serta gaya hidup pribadi yang unik harus diterima dan diteguhkan oleh orang lain dan masyarakat.
(36)
b. Suatu usaha tak sadar untuk mencapai suatu kesinambungan watak pribadi
Suatu proses pembentukan identitas dimana daya upaya tak sadar untuk mencapai suatu kontinuitas watak pribadi yang memainkan peranan penting. Merupakan suatu proses perkembangan yang pada dasarnya pelan-pelan terjadi secara tak sadar dalam inti diri individu. Jadi identitas adalah satu proses restrukturasi segala identifikasi dan gambaran diri terdahulu, dimana seluruh identitas fragmenter yang terdahulu (pun yang negatif) diolah dalam perspektif suatu masa depan yang diantisipasi.
c. Tindakan-tindakan tersembunyi dari sintesis ego
Manusia menemukan identitasnya apabila dia dapat menggabungkan semua identitasnya, semua identifikasi anaknya terdahulu di dalam suatu susunan baru. Jadi identitas adalah suatu prestasi sintesis pribadi, dimana ego harus mengintegrasikan segala macam identifikasi terdahulu menjadi suatu baru tersendiri yang menggabungkan segala unsure dalam satu kesatuan.
d. Suatu solidaritas batin dengan cita-cita serta identitas kelompoknya (Erikson, 1989)
Pembentukan identitas adalah suatu proses yang terjadi dalam inti dari pribadi,dan juga di tengah-tengah masyarakat, sehingga mengandung dimensi sosial dan budaya. Jadi identitas adalah suatu rasa tetap tinggal sama diri sendiri, yang berkaitan dengan partisipasi tetap pada ciri-ciri
(37)
khas watak kelompok tertentu, pada cita-cita kelompok tertentu, atau pada identitas yang sama dari kelompok tertentu.
Pakar psikologi Marcia (dalam Santrock, 1995) menganalisa teori perkembangan identitas Erikson. Fokus dalam penelitiannya adalah seberapa banyak subjek mengeksplorasi pilihan identitas (krisis) dan seberapa luasnya mereka membuat komitmen.
Krisis (crisis) didefinisikan sebagai suatu periode perkembangan identitas selama remaja memilih di antara pilihan-pilihan bermakna. Kata krisis yang dipakai oleh Marcia sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagai eksplorasi terhadap peran (Santrock, 2003). Eksplorasi adalah suatu aktivitas yang secara aktif dilakukan individu untuk mencari, menjajaki, mempelajari, mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menginterpretasi dengan seluruh kemampuan, akal, pikiran, dan potensi yang dimiliki untuk memperoleh pemahaman yang baik tentang berbagai alternatif peran.
Berlangsungnya eksplorasi dalam pembentukan identitas diri, khususnya yang berkaitan dengan pilihan studi lanjutan, ditandai dengan faktor-faktor berikut:
i. Knowledgeability, yaitu sejauh mana tingkat pengetahuan yang dimiliki individu yang ditunjukkan oleh keluasan dan kedalaman informasi yang berhasil dihimpun tentang berbagai alternatif pilihan studi lanjutan.
ii. Activity directed toward gathering information, yaitu aktivitas yang terarah untuk mengumpulkan informasi yang menyangkut semua
(38)
aktivitas yang dipandang untuk mencari dan mengumpulkan informasi yang dibutuhkan.
iii. Considering alternative potential identity element, yaitu sejauh mana individu mampu mempertimbangkan berbagai informasi yang telah dimiliki tentang berbagai kemungkinan dan peluang dari setiap alternatif yang ada.
iv. Desire to make an early decision, yaitu keinginan untuk membuat keputusan secara dini yang ditunjukkan oleh sejauh mana individu memiliki keinginan untuk memecahkan keragu-raguan atau ketidakjelasan secepat mungkin secara realistis dan meyakini apa yang dipandang tepat bagi dirinya.
Komitmen (commitment) didefinisikan sebagai bagian dari perkembangan identitas dimana remaja memperlihatkan tanggung jawab pribadi terhadap apa yang akan mereka lakukan. Komitmen ditunjukkan oleh sejauh mana keteguhan pendirian remaja terhadap pilihan-pilihan peran yang dipilihnya yang ditandai oleh faktor-faktor berikut:
i. Knowledgeability, yaitu merujuk pada sejumlah informasi yang dimiliki dan dipahami tentang keputusan pilihan-pilihan yang telah ditetapkan. Remaja yang memiliki komitmen mampu menunjukkan pengetahuan yang mendalam, terperinci dan akurat tentang hal0hal yang telah diputuskan.
(39)
ii. Activity direct toward implementing the chosen identify element, yaitu aktivitas yang terarah pada implementasi elemen identitas yang telah ditetapkan.
iii. Emotional tone, yaitu nada emosi yang merujuk kepada berbagai perasaan yang dirasakan individu baik dalam penetapan keputusan maupun dalam mengimplementasikan keputusan tersebut. Nada emosi terungkap dalam bentuk keyakinan diri, stbilitas dan optimisme masa depan.
iv. Identification with significant other, yaitu identifikasi dengan orang-orang yang dianggap penting yang ditunjukkan sejauh mana remaja mampu membedakan aspek positif dan negatif dari figur yang dianggap ideal olehnya.
v. Projecting one’s personal future, yaitu kemampuan memproyeksikan kemampuan dirinya ke masa depan dengan ditandai oleh kemampuan mempertautkan rencananya dengan aspek lain dalam kehidupan masa depan yang mereka cita-citakan.
vi. Resistence to being swayed, yaitu sejauh mana individu memiliki ketahanan terhadap godaan-godaan yang bermaksud untuk mengalihkan keputusanyang telah mereka tetapkan. Mereka tetap teguh pada keputusannya, tetapi mereka bukan anti perubahan. Mereka mampu menghargai berbagai kemungkinan perubahan, mereka mengkaitkannya dengan kemampuan pribadi dan peluang yang ada (Marcia, 1993).
(40)
b. Pengertian Status Identitas
Pandangan-pandangan kontemporer tentang pembentukan identitas pada prinsipnya merupakan elaborasi dari teori psikososial Erikson. Marcia juga percaya bahwa pembentukan identitas merupakan tugas utama yang harus diselesaikan selama masa remaja. Dalam hal ini Marcia menulis: The formation of an ego identity is a major event in the development of personality. Occuring during late adolescence, the consolidation of identity marks the end of childhood and the beginning of adulthood” (Marcia dalam Desmita, 2005).
Proses pencapaian status identitas yang diawali dengan masa eksplorasi dimulai pada masa remaja. Diharapkan pada masa perkembangan selanjutnya individu telah memiliki suatu komitmen yang menandakan dimilikinya suatu identitas tertentu. Archer (dalam Santrock, 2003), mengungkapkan, banyak peneliti status identitas yakin bahwa pola umum individu yang mengembangkan identitas-identitas yang positif mengikuti siklus “MAMA” moratorium-achiever-moratorium-achiever.
Siklus ini dapat diciptakan sepanjang hidup (Francis, Fraser, dan Marcia, dalam Santrock, 2003). Perubahan-perubahan pribadi, keluarga dan masyarakat tidak dapat dihindari, dan ketika perubahan-perubahan itu terjadi, fleksibilitas dan ketrampilan individu sangat berperan penting dalam memfasilitasi perubahan-perubahan tersebut. Alan Waterman (dalam Santrock, 2003) mengungkapkan, beberapa peneliti meyakini
(41)
perubahan-perubahan identitas yang paling penting terjadi di masa muda daripada di masa remaja awal.
Marcia (dalam Santrock, 2003), mengembangkan metode interview untuk mengukur ego identity. Seperti yang telah dipaparkan diatas, Marcia menggunakan dua kriteria, yaitu krisis dan komitmen. Dalam penelitian itu, Marcia melakukan proses wawancara tentang status identitas yang meliputi pertanyaan-pertanyaan dalam tiga area (namun dapat dimodifikasi sesuai dengan usia interviewee), yaitu pekerjaan, ideologi, dan nilai hubungan antar pribadi.
Marcia mendefinisikan 4 model status identitas, yaitu (1) Identity Foreclosure, (2) Identity Diffusion, (3) Identity Moratorium, (4) Identity Achievement. Keempat hal ini dijelaskan sebagai berikut:
1. Identity Foreclosure (Pencabutan Identitas)
Status dari orang-orang yang telah membuat suatu komitmen tanpa pemikiran atau pertimbangan yang matang disebut foreclosure. Komitmen ini dibuat tanpa melalui tahap krisis (exploration). Mereka telah memilih suatu pekerjaan, agama, atau pandangan ideologi. Tetapi pemilihan ini dibuat terlalu awal (tanpa pertimbangan dan keputusan sendiri). Pilihan-pilihan tersebut lebih ditentukan oleh orang tua daripada oleh mereka sendiri. Misalnya, memutuskan untuk menjadi seorang dokter bedah karena ayah dan kakeknya adalah seorang dokter
(42)
bedah. Mereka membuat suatu keputusan tanpa mengetahui apa akibatnya di masa yang akan datang.
Berdasarkan wawancara selama penelitian yang dilakukan oleh Marcia, orang-orang yang tergolong foreclosure memiliki hubungan yang lebih dekat dengan orang tuanya. Kedekatan dengan orang tua atau keluarganya ini termasuk dalam hal membuat suatu keputusan yang penting bagi hidupnya. Masa kanak-kanaknya sampai remaja dilalui dengan lancar dan sedikit konflik. Hal inilah yang menyebabkan krisis identitas tidak muncul.
Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Identity Foreclosure memiliki indikator sebagai berikut:
a) Sudah memiliki komitmen pada area tertentu berdasarkan keputusan yang ada tanpa pemikiran yang matang.
b) Belum pernah mengalami tahap krisis dalam menentukan pilihan dalam area tertentu.
c) Orang tua otoriter, sehingga individu tidak mampu membuat pilihan pada area tertentu.
d) Individu tidak mampu mengeksplorasi potensi atau kemampuan yang dimilikinya.
(43)
2. Identity Diffusion (Penyebaran Identitas)
Seorang dengan Identity Diffusion tidak memiliki tahap krisis dan tidak pula membuat suatu komitmen. Hal ini mungkin terjadi karena mereka belum memasuki tahap krisis ataupun karena mereka seakan-akan menjauh dari pencarian identitas. Ada 2 bentuk Identity Deffusion yaitu (1) apatis, hal ini menyebabkan mereka merasa tidak memiliki tempat dan mengalami isolasi sosial, (2) cenderung kompulsif (Berzonsky, Nelmeyer, dan Donovan dalam Ginanjar & Bernadetta, 2001).
Dari wawancara penelitian Marcia, diketahui bahwa orang yang memiliki status identitas ini memiliki jarak dengan orang tua mereka. Hal ini menunjukkan adanya masalah dalam perkembangan psikososial yang pertama yaitu Basic Trust. Ciri-ciri orang yang memiliki Identity Diffusion adalah sulit berfikir di bawah tekanan dan mengikuti harapan-harapan lingkungan (dengan kata lain mudah terpengaruh).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, Identity Diffusion
mempunyai indikator sebagai berikut:
a) Belum mampu membuat komitmen. b) Mudah putus asa.
c) Cenderung kompulsif.
d) Memiliki jarak dengan orang tuanya (baik fisik maupun psikis).
(44)
e) Mengalami isolasi sosial.
f) Tidak memiliki minat terhadap pekerjaan dan ideologi tertentu.
g) Sulit berfikir di bawah tekanan.
h) Individu mudah terpengaruh lingkungan berhubungan dengan harga dirinya.
3. Identity Moratorium (Penundaan Identitas)
Seseorang yang mempunyai identitas moratorium adalah seorang yang sekarang ini tengah mengalami krisis. Mereka belum membuat komitmen tetapi mereka sekarang sedang berjuang secara aktif untuk mencapainya. Ciri-ciri orang dengan status identitas moratorium adalah mereka memiliki kemampuan untuk berfikir secara jernih dalam kondisi stres dan tahan terhadap pengaruh lingkungan yang dapat mengubah harga dirinya.
Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan Identity Moratorium memiliki indikator sebagai berikut:
a) Belum memiliki komitmen pada area tertentu tapi berjuang secara aktif untuk mencapainya.
b) Berada dalam masa krisis menentukan komitmen atau pilihan.
(45)
c) Individu berusaha membentuk komitmen dengan cara kompromi menyatukan pendapat lingkungan (orang tua, teman, dan lain-lain) dengan potensi yang dimilikinya.
4. Identity Achievement (Pencapaian Identitas)
Identity Achievement adalah status dari seseorang yang telah menyelesaikan periode eksplorasi (krisis) dan telah membuat komitmen dalam berbagai area tertentu. Ciri-ciri orang yang memiliki status identitas ini adalah mantap, mampu memberikan alasan untuk pilihan mereka dalam berbagai area, mampu menggambarkan bagaimana komitmen tersebut dapat dipilih, mampu menghadapi stres, tahan terhadap pengaruh lingkungan yang dapat mengubah harga dirinya, telah menginternalisasi proses pengaturan diri sendiri, peka terhadap harapan lingkungan. Atau dengan kata lain, mereka membuat komitmen tentang pilihan ini berdasarkan self constructed, yaitu identitas yang ditemukan ini bukanlah identitas yang terakhir, tetapi mereka akan berusaha memodifikasinya terus-menerus sesuai dengan pengalaman mereka.
Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan Identity Achievement memiliki indikator sebagai berikut:
a) Mampu membuat pilihan dengan mantap dan mampu memberikan alasan untuk pilihan tersebut di berbagai area.
(46)
b) Mempunyai komitmen.
c) Mampu memberikan alasan untuk pilihannya. d) Mampu menghadapi stres.
e) Mampu bertahan terhadap pengaruh lingkungan yang dapat mengubah harga dirinya.
Dengan demikian pengertian Status Identitas dalam penelitian ini adalah suatu keadaan dimana seseorang mampu membuat pilihan dalam berbagai area kehidupan (kesehatan, pekerjaan, seksual, pendidikan, hubungan interpersonal), mempunyai komitmen dengan baik terhadap area kehidupan tersebut, mampu menghadapi stres saat mengalami permasalahan dalam hidup, selalu dapat berproses ke arah yang lebih positif, serta mampu bertahan dari pengaruh negatif lingkungan.
c. Identitas dalam tahap perkembangan teori Psikososial Erikson Dalam penelitian ini memakai subjek dengan rentang umur 13-35 tahun, dimana rentang ini masuk dalam dua tahap perkembangan, yaitu masa remaja dan dewasa awal. Maka dari itu dibawah ini dijelaskan dinamika dari dua tahap perkembangan tersebut.
Dalam tahap perkembangan teori Psikososial Erikson (dalam Hall & Lindzey, 1993), dari delapan tahap jadwal keseluruhan, remaja masuk dalam tahap V, yaitu Identitas versus Kekacauan Identitas. Erikson menekankan secara khusus pada masa remaja karena pada masa ini merupakan peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Apa yang
(47)
terjadi pada tahap ini sangat penting bagi kepribadian dewasa. Pada tahap Identitas versus Kekacauan Identitas ini individu memiliki kapasitas untuk memilih mengintegrasikan bakat-bakat dan kemampuan-kemampuan dalam melakukan identifikasi dengan orang-orang yang sependapat, dan dalam melakukan adaptasi dengan lingkungan sosial, serta menjaga pertahanan-pertahanannya terhadap berbagai ancaman dan kecemasan, karena ia telah mampu memutuskan kebutuhan-kebutuhan, peranan-peranan manakah yang paling cocok dan efektif. Jika individu tidak mampu berproses dengan baik pada masa ini, maka yang terjadi adalah
kekacauan identitas. Keadaan ini dapat menyebabkan individu merasa terisolasi, hampa, cemas, dan bimbang.
Menurut Erikson (dalam Hall & Lindzey, 1993), pada masa dewasa awal individu masuk dalam tahap VI yaitu Keintiman versus Isolasi. Masa ini adalah masa dimana individu siap dan ingin menyatukan identitasnya dengan orang lain. Mereka mendambakan hubungan yang intim-akrab, dan persaudaraan, serta siap mengembangkan daya-daya yang dibutuhkan untuk memenuhi komitmen-komitmen ini meskipun mereka harus berkorban.
4. Orang Muda Katolik
Orang muda katolik menurut Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia (1998), adalah mereka yang berusia 13 sampai dengan 35 tahun dan belum menikah, dengan tetap memperhatikan situasi dan
(48)
kebiasaan masing-masing daerah. Dalam Rapat Pengurus Pleno Komisi Kepemudaan KWI bulan Agustus 1991, rentang umur tersebut dikategorikan lebih rinci, yaitu sebagai berikut:
1. Kelompok usia remaja (13 – 15 tahun) 2. Kelompok usia taruna (15 – 19 tahun) 3. Kelompok usia madya (19 – 24 tahun) 4. Kelompok usia karya (25 – 35 tahun)
5. Pemuda dan Kepemudaan
Jika orang muda katolik oleh Komisi Kepemudaan KWI ditentukan umur 13 sampai 35 tahun, maka rentang umur tersebut masuk dalam tahap perkembangan remaja dan dewasa awal. Menurut Harlock (1996), tahap remaja berkisar antara umur 13-18 tahun. Sedangkan untuk dewasa awal berkisar antara 18-40 tahun. Menurut Kenniston (dalam Hurlock, 1996), tahap dewasa awal berbeda dengan remaja. Hal ini dikarenakan adanya perjuangan antara membangun pribadi yang mandiri menjadi terlibat secara sosial. Sedangkan perjuangan remaja lebih untuk mendefinisikan dirinya.
B. Peran Kepemudaan Gereja dan di Kehidupan Sehari-hari
Peran kepemudaan Gereja oleh OMK secara teknis merujuk pada setiap aktivitas yang melibatkan OMK di setiap kegiatan yang diagendakan dan atau kegiatan yang berdasar visi misi Gereja. Kondisi kehidupan OMK Gereja dan di kehidupan sehari-hari memang terlihat wajar-wajar saja seperti halnya kehidupan
(49)
orang muda pada umumnya. Aktivitas kehidupan pribadi maupun sosial berjalan tampak normal. Tetapi jika dicermati lebih lanjut, agenda para OMK, terutama para aktivis Gereja, sebenarnya amatlah padat. Hal ini dapat dilihat dari mobilitas mereka yang cukup tinggi. Keadaan tersebut tambah dipersulit dengan aktivitas pribadi, situasi dan kondisi keluarga yang begitu kompleks akan dinamika hidup yang ada. Berbagai macam tugas perkembangan dan kepentingan keluarga yang bertemu menjadi satu, merupakan tantangan tersendiri bagi para OMK untuk dapat menjalankan serta membagi antara urusan pribadi dengan kegiatan mereka untuk Gereja. Kondisi seperti ini ternyata tidak menyurutkan minat para OMK untuk terlibat dan berperan secara aktif untuk Gereja. Para OMK tetap berusaha mengambil peran dalam agenda Gereja meskipun tugas pribadi/perkembangan serta situasi kehidupan mereka sangat sulit.
OMK di dalam menjalani kegiatan kepemudaan Gereja dan di kehidupan sehari-hari memiliki sebuah pemaknaan tersendiri terhadap peranan mereka, dan pemaknaan ini muncul dari pengalaman mereka. Pengalaman-pengalaman khas dan unik yang mereka alami dalam menjalani kegiatan kepemudaan sebagai OMK memiliki arti tersendiri bagi mereka, dan dari sinilah mereka memaknai kegiatan kepemudaan sebagai sebuah esensi dari pengalaman mereka. Pemaknaan mereka terhadap kegiatan kepemudaan ini yang membuat mereka bertahan terhadap situasi dan kondisi yang mereka alami didalam menjalankan tugasnya di kehidupannya.
(50)
C. Kerangka Penelitian
Untuk mengetahui proses pemaknaan OMK yang aktif pada kegiatan Gereja, grand tour question dalam penelitian ini adalah apa dan bagaimana proses pemaknaan kegiatan oleh OMK yang berdinamika pada Gereja dan di kehidupan sehari-hari. Sedangkan sub question penelitian ini adalah:
a) Apa saja tema-tema pengalaman OMK dalam proses kegiatan yang mereka lakukan selama ini untuk Gereja?
b) Bagaimana model status identitas OMK sebagai hasil proses pengalaman mereka dalam berkegiatan?
c) Apa yang ingin dilakukan OMK setelah semua proses berkegiatan dialaminya?
(51)
30 BAB III
METODE PENELITIAN
A.Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian fenomenologi, yaitu metode penelitian yang dilakukan dalam natural setting, dimana individu tidak terpisahkan dari konteks lingkungannya. Metode ini dilakukan dilakukan dengan berfikir tanpa suatu prasangka dan tidak bertitik tolak dari suatu teori atau gambaran tertentu dalam mengetahui esensi dari sebuah fenomena (Creswell, 1998). Hal ini memungkinkan data yang didapat lebih otentik dan tidak terpengaruh oleh pola-pola penggambaran pengalaman orang muda katolik yang telah ada sebelumnya. Penelitian ini dapat digunakan untuk mengeksplorasi dan memahami suatu central phenomenon, seperti suatu proses atau kejadian, suatu fenomena, atau suatu konsep yang terlalu kompleks untuk diuraikan dengan variabel-variabel yang menyertainya. Ada beberapa proses inti dalam penelitian fenomenologi (Moustakas, 1994), yaitu:
1. Epoche
Epoche yang dalam bahasa Yunani berarti menjauh atau menahan diri, dalam penelitian ini berarti peneliti menyingkirkan prasangka, bias dan bentuk-bentuk opini tertentu tentang sesuatu di dalam penelitian. Dalam menerima kehidupan (percieving live) memerlukan cara untuk melihat, memperhatikan, menjadi peka, tanpa melibatkan prasangka peneliti pada apa yang dilihat, dipikirkan, dibayangkan atau dirasakan.
(52)
2. Phenomenological reduction
Peneliti menggambarkan dalam bahasa yang terpola (textural language) mengenai apa yang telah dilihat seseorang baik internal maupun eksternal. Seperti pengalaman individu, serta hubungan phenomenon
(fenomena yang diteliti) dengan diri sendiri, serta kualitas dari pengalaman menjadi fokus utama. Dalam tahap ini ada beberapa langkah yaitu
bracketing, dalam hal ini fokus dari penelitian ditempatkan dalam bracket & hal-hal lain dikesampingkan sehingga hanya pokok penelitian saja yang diambil; horizontaling, setiap pernyataan pada awalnya memiliki kedudukan yang sama. Namun pada akhirnya pertanyaan yang tidak relevan akan dibuang & dihilangkan sehingga yang tersisa hanya horizons (arti tekstural & unsur pembentuk dari phenomenon yang tidak mengalami penyimpangan).
3. Imaginative variation
Tugas dari proses ini adalah untuk mencari makna-makna yang memungkinkan melalui imajinasi, pengelompokan dan pembalikan, serta pendekatan phenomenon dari posisi, peran-peran, atau fungsi yang berbeda. Tujuannya adalah untuk mencapai deskripsi struktural pengalaman, fakor-faktor yang mendasar dan mempengaruhi apa yang telah dialami. Dengan kata lain bagaimana pengalaman dari phenomenon menjadi yang seperti sekarang ini. Langkah-langkahnya meliputi:
a. Membuat sistematika dari berbagai kemungkinan semua makna yang tersusun yang mungkin menjadi dasar dari makna tekstural.
(53)
b. Mengenali tema-tema atau konteks-konteks sebagai dasar penyebab munculnya phenomenon.
c. Mempertimbangkan struktur secara keseluruhan yang dapat menyebabkan terjadinya pengambilan kesimpulan yang terlalu cepat pada perasaan & pikiran yang berkaitan dengan phenomenon, seperti; struktur waktu, ruang, perhatian yang hanya tertuju pada hal utama,
materiality, causality, hubungan dengan diri sendiri maupun juga dengan orang lain.
d. Mencari ilustrasi sebagai contoh yang dapat memberikan gambaran secara jelas mengenai struktur dari tema-tema yang tidak berubah dan memasilitasi pengembangan deskripsi phenomenon yang struktural. 4. Synthesis of meanings and esences
Adanya integrasi fundamental dari deskripsi tekstural dan struktural menjadi suatu pernyataan sebagai esensi pengalaman dari phenomenon
secara keseluruhan. Esensi artinya sesuatu yang umum dan universal, dan tidak akan menjadi sesuatu itu sendiri (Husserl dalam Moustakas, 1994). Esensi ini tidak akan pernah kering dan merupakan suatu bentuk sintesa tekstural & struktural yang mendasar yang mewakili esensi waktu dan tempat tertentu dari sudut pandang peneliti mengikuti studi imajinatif & reflektif dari phenomenon.
(54)
B.Fokus Penelitian
Gejala yang akan diteliti yaitu tema-tema pengalaman kegiatan kepemudaan Gereja oleh OMK yang berdinamika dan berperan di masyarakat. Tema-tema pengalaman kegiatan Gereja adalah sebuah esensi dari pengalaman-pengalaman baik yang diperbuat, dirasakan dan dipikirkan disaat mereka menjalani perannya sebagai OMK di masyarakat dihadapkan pada tuntutan tugas pribadi/perkembangan dan terbenturnya berbagai macam kepentingan di lingkungan masyarakat tersebut. Esensi tersebut merupakan sebuah pemahaman dari hasil eksplorasi pengalaman-pengalaman OMK terhadap peran dan kegiatan kepemudaan dihadapkan pada tugas pribadi dan lingkungan masyarakat tempat mereka beraktivitas.
C.Subjek Penelitian
Subjek Penelitian adalah para orang muda katolik (OMK) yang hidup dan berdinamika di paroki Pugeran dan sekitarnya. Subjek yang dipilih dan digunakan berjumlah 3 orang. Pengamatan terhadap calon subjek telah dilakukan jauh sebelum proses pengambilan data dimulai. Pemilihan subjek mendasarkan pada pertimbangan bahwa dinamika pengalaman dan kehidupannya cukup merepresentasikan sebagian besar OMK secara umum. Proses pengambilan data dimulai dengan mengambil satu orang. Jika dirasa sudah cukup, peneliti meminta referensi dan atau rekomendasi dari subjek pertama untuk pemilihan subjek selanjutnya, dan seterusnya dengan tetap memegang hasil pengamatan peneliti.
(55)
Menurut Patton (dalam Poerwandari, 1998), pengambilan sampel pada penelitian kualitatif harus disesuaikan dengan masalah dan tujuan penelitian. Salah satunya adalah bahwa pengambilan sampel diharapkan berfokus pada intensitas. Logikanya adalah untuk memperoleh data yang kaya mengenai suatu fenomena tertentu. Sampel yang dipakai adalah kasus-kasus yang diperkirakan mewakili (penghayatan terhadap) fenomena secara intens.
Peneliti membuat beberapa kriteria dalam penelitian ini berdasarkan logika dan ketentuan seperti diatas. Kriteria tersebut yaitu:
1. Mempunyai pengalaman berkegiatan minimal selama 7 tahun. 2. Terlibat dalam kegiatan komunitas minimal 2 kali seminggu.
3. Selalu menjadi anggota panitia dalam setiap event yang diselenggarakan Gereja minimal 2 kali setahun.
4. Ikut membantu perayaan Ekaristi minimal 1 kali dalam satu bulan. 5. Adanya ketertarikan yang besar ketika berdiskusi tentang tema Gereja
dan OMK.
6. Saat ini menjadi salah satu pengurus baik tingkat lingkungan, wilayah, maupun paroki.
7. Melakukan interaksi secara intensif dengan dewan gereja minimal 1 kali dalam satu bulan.
(56)
A.Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan wawancara dan dokumen sebagai data pelengkap yang nantinya akan dijabarkan di bab selanjutnya.
1. Wawancara
Teknik wawancara yang dipakai adalah wawancara yang mendalam (depth interview). Hal ini bertujuan agar keterangan yang diperoleh lebih lengkap dan mendalam. Proses pengumpulan data menurut Creswell (1998) mengikuti pola “zig-zag”. Peneliti ke lapangan mencari informasi, kemudian menganalisis data yang diperoleh, kembali ke lapangan lagi untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak, menganalisa data dan seterusnya. Proses pengambilan data yang diperoleh berupa rekaman wawancara yang diubah dalam bentuk verbatim.
2. Dokumen
Dokumen adalah data yang diproduksi subjek. Data ini menampilkan keterangan tertulis, gambar, maupun foto yang dapat dijadikan bukti adanya kegiatan-kegiatan atau berlangsungnya momen-momen tertentu. Dokumen yang dimaksud dalam penelitian ini digunakan sebagai data pelengkap untuk memberikan gambaran tentang aktivitas subjek penelitian serta setting
penelitian. Dokumen dalam penelitian ini menampilkan data statistik kegiatan subjek penelitian yang disertakan di lampiran dan ulasan dalam bentuk deskripsi yang dipaparkan di bab IV.
(57)
B.Analisis Data
Menurut metode analisa dan interpretasi data yang paling sering digunakan adalah modifikasi metode Stevick-Colaizzi-Keen dari Moustakas (1994):
1. Memulai dengan deskripsi tentang pengalaman peneliti terhadap
phenomenon.
2. Mencari pernyataan mengenai bagaimana individu mengalami
phenomenon tersebut, membuat daftar dari pernyataan-pernyataan tersebut
(horizonalization) dan perlakuan tiap pernyataan dengan seimbang (memiliki nilai yang sama), dan mengembangkan daftar dari pernyataan yang tidak berulang (nonrepetitive) atau tidak tumpang tindih
(nonoverlaping).
3. Pernyataan kemudian dikelompokkan ke dalam unit makna-makna
(meaning units), buat daftar dari unit-unit ini dan menuliskan deskripsi dari tekstur (deskripsi tekstural) dari pengalaman, yaitu apa yang terjadi, disertai contoh-contoh verbatim.
4. Peneliti kemudian merefleksikan berdasarkan deskripsinya sendiri dan menggunakan imaginative variation atau deskripsi struktural, mencari semua makna yang memungkinkan dan perspektif yang divergen, memperkaya kerangka pemahaman dari fenomena, dan membuat deskripsi dari bagaimana phenomenon dialami.
5. Peneliti kemudian membuat deskripsi keseluruhan dari makna dan esesnsi
(58)
6. Dari deskripsi tekstural-struktural individu, berdasarkan pengalaman tiap partisipan, peneliti membuat composite textural-structural description dari makna-makna dan esensi-esensi pengalaman, mengintegrasikan semua deskripsi tekstural-struktural individual menjadi deskripsi yang universal dari pengalaman yang mewakili kelompok (responden) secara keseluruhan.
G. Keabsahan Data atau Verifikasi Data
Setelah tahap-tahap analisa data maka perlu dilakukan verifikasi data yaitu dengan membagikan salinan deskripsi kepada subjek agar subjek dapat memberikan masukan atau tambahan masukan atau pembetulan. Kemudian dari situ peneliti dapat merevisi lagi pernyataan sintesanya. Setelah verifikasi selesai, maka peneliti merevisi kembali pernyataan sintesanya. Proses ini disebut
intersubjective validity, yaitu menguji kembali (testing out) pemahaman peneliti dengan pemahaman subjek melalui interaksi sosial timbal balik (back-and-forth)
(59)
38 BAB IV
PELAKSANAAN PENELITIAN, ANALISA DATA, HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini peneliti akan memaparkan pelaksanaan penelitian, temuan penelitian beserta analisa data, berikut interpretasi dan pembahasannya. Peneliti memulai dari pemaparan tentang deskripsi faktual Gereja, deskripsi subyek penelitian, analisa data secara tematik, sintesa data, kemudian diakhiri dengan pembahasan.
A. PELAKSANAAN PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode fenomenologis. Metode ini menuntut data paparan pengalaman yang didapatkan benar-benar apa adanya, jujur, dan mencapai kedalaman. Maka dari itu peneliti berusaha untuk sebaik mungkin berbaur dengan subjek penelitian agar tidak ada batas lagi diantara peneliti dengan subjek penelitian. Hubungan kedua pihak ini dibuat sedekat mungkin sampai peneliti berusaha masuk menjadi bagian (kepengurusan) di beberapa komunitas. Harapannya adalah adanya rasa saling percaya, keterbukaan, dan temuan fakta sebanyak mungkin dari semua proses yang dilakukan. Pelaksanaan penelitiannya sendiri berlangsung di sepanjang tahun 2009 sampai Mei 2010.
Proses wawancara menyesuaikan dengan waktu luang subjek penelitian. Asumsinya adalah bahwa proses eksplorasi benar-benar all out dan
(60)
sealami mungkin. Untuk subjek pertama dilakukan sampai 3 kali. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan bentuk dan isi wawancara yang tepat serta efektif sesuai dengan kebutuhan penelitian. Sering juga wawancara informal (tanpa rekaman) dilakukan secara klasikal (informan-informan diluar ketiga subjek penelitian yang sudah ditetapkan) untuk mendapatkan data-data penunjang.
B. SITUASI DAN KONDISI KEHIDUPAN GEREJA PUGERAN
1. Dinamika Kegiatan Gereja
Gereja dewasa ini menuntut umatnya untuk lebih berperan tidak hanya terbatas pada agenda liturgis semata, tetapi bagaimana keterlibatan mereka dalam tugas perutusan yang telah diembankan sedari mereka menjadi anggota Gereja sejak awal. Berangkat dari semangat ini, umat Katolik secara umum berangsur-angsur mencoba untuk menata kembali dalam membangun Gereja dari lingkup yang paling kecil, yaitu keluarga. Sebagai salah satu anggota keluarga Kristiani, Orang Muda Katolik (OMK) berusaha untuk tampil dalam satu barisan diantara kelompok-kelompok lainnya.
Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran merupakan salah satu paroki di kevikepan DIY yang memiliki aktivitas komunitas cukup padat dan beragam. OMK Pugeran dalam beberapa waktu terakhir ini sering mendapatkan kepercayaan dan kesempatan dari dewan paroki untuk memegang event
ataupun menggagas kegiatan-kegiatan baik itu liturgis maupun non-liturgis.
(61)
Berkebutuhan Khusus yang penuh perhatian telah disajikan di tengah masyarakat dengan baik.
Iringan dan keterpaduan dari komunitas-komunitas yang ada, seperti; Mudika Paroki Pugeran, Pendamping Iman Anak & Remaja, kelompok koor, lektor serta dukungan dari dewan Gereja Paroki Pugeran sungguhlah menjadi hal yang sangat menarik bagi peneliti untuk melihat lebih jauh dalam konteks pemaknaan OMK. Hal ini menjadi menarik karena OMK yang dalam hal ini merupakan seorang pemuda, dimana mereka telah mempunyai tugas utama dalam perkembangan pribadinya dihadapkan pada sebuah pilihan baru, yaitu peran kepemudaan Gereja. Konteks pemaknaan disini adalah hasil dari segala temuan terkait dengan struktur dasar pengalaman OMK dalam menjalani kegiatan-kegiatan Gereja.
2. Data Aktivitas Kegiatan OMK
Seperti yang sudah sekilas diulas diatas, ada beberapa pos-pos yang merupakan wadah bagi OMK untuk terlibat aktif berkegiatan, seperti; Komunitas Mudika Paroki, Komunitas Pendamping Iman Anak & Remaja Paroki, Komunitas Koor Paroki, dan Komunitas Lektor Paroki.
Dibawah ini akan dipaparkan data aktivitas kegiatan OMK yang dibagi dalam tiga jenis kategori berdasarkan jenis atau sasaran kegiatan. Kategori ini meliputi; aktivitas spiritual dan ritual Gereja, aktivitas pendampingan dan pengembangan kompetensi kaum muda, serta aktivitas sosial kemasyarakatan. Paparan data yang ditampilkan tidak hanya kegiatan rutin, tetapi juga kegiatan
(62)
yang bersifat accidential. Baik yang sudah dilangsungkan maupun yang baru direncanakan.
a. Spiritual dan ritual Gereja
Aktivitas kegiatan OMK terkait dengan spiritual dan ritual Gereja meliputi; keterlibatan dalam perayaan Natal, perayaan Paskah, misa BKS, Natal anak, dan Paskah anak. OMK juga secara teratur mengikuti serta membantu sosialisasi Aksi Puasa Pembangunan, Bulan Kitab Suci, dan Advent. Di luar lingkup gereja paroki, OMK juga menyempatkan untuk mengurus dan mengikuti misa PIA Keuskupan Agung Semarang, parade kitab suci, Road rosary, ziarah bersama, serta wisata liturgi.
b. Pendampingan dan pengembangan kompetensi
Terkait dengan usaha peningkatan kompetensi dan pemberdayaan kaum muda, OMK melakukan banyak sekali kegiatan dalam berbagai bentuk acara. Salah satu usaha adalah dalam bentuk pendampingan, seperti; acara temu mudika, sarasehan remaja & kaum muda, rekoleksi bersama, kunjungan Mudika, rapat rutin, rapat kerja, dan Week end
regenerasi pengurus. Sedangkan untuk peningkatan kompetensi, acara-acara yang pernah dilakukan, seperti; porseni kaum muda, pelatihan, latihan koor, pelatihan pendamping PIA-PIR, tugas koor penutupan Novena Gunung Sempu, membantu mengisi koor pernikahan, latihan lektor, tugas koor keuskupan, tugas koor untuk ulang tahun Gereja Hati Kudus Yesus, dan mengisi pembacaan misa pernikahan. Ada juga usaha meningkatkan kompetensi dengan membantu acara komunitas lain,
(63)
seperti; fasilitator pasar pengetahuan, mendampingi sekolah minggu paroki, Live In Pendampingan iman remaja (PIR) & anak, membantu acara lomba koor antar wilayah PIR-PIA, menjadi fasilitator pembekalan calon krisma, fasilitator rekoleksi PIA-PIR wilayah Gereja barat, mendampingi sanggar seni Renata, dan meramaikan acara lomba baca kitab suci.
c. Sosial kemasyarakatan
Dalam bidang sosial kemasyarakatan, kegiatan yang dilakukan OMK terdiri dari berbagai bidang, seperti; mengadakan donor darah, sunatan massal, kunjungan ke panti asuhan, kunjungan kasih, dan menggagas Misa serta sarasehan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Untuk usaha saling mengakrabkan dengan komunitas lain dan masyarakat, dibuat acara seperti; ziarah kaum muda, porseni kaum muda, pit-pitan
sehat, temu mudika, Pugeran Fest, syukuran, pameran UKM, pameran BKSN, lomba masak kreasi tempe, doa lintas agama, penanaman pohon bersama komunitas-komunitas yang ada, temu pendamping PIA, pesta nama, pengiriman juara koor kekevikepan, dan pengiriman juara koor ke Keuskupan Agung Semarang.
C. DESKRIPSI SUBYEK PENELITIAN
Dari hasil wawancara dengan 3 orang subjek, diperoleh beberapa tema
(theme) yang menjadi struktur dasar pengalaman subjek. Sebelum masuk ke dalam proses analisa, di bawah ini dipaparkan deskripsi subjek secara singkat dengan sedikit narasi.
(64)
1. Budiman (nama samaran)
Budiman adalah seorang OMK yang berumur 27 tahun. Ia bekerja sebagai tenaga bantu pemerintah kota Yogyakarta yang tinggal di kelurahan Kadipaten. Budiman dan sahabat-sahabatnya yang juga merupakan seorang aktivis OMK selalu menjalani hari-hari bersama, baik itu berangkat bekerja maupun ketika berkegiatan untuk Gereja. Kegiatan utama sehari-hari diantaranya, yaitu; bekerja, organisasi kemasyarakatan, dan kegiatan Gereja. Budiman hidup dengan ibunya yang seorang pedagang makanan dan keluarga besar almarhum ayahnya.
Budiman telah terlibat dalam kegiatan OMK sejak ia masih duduk di bangku SMA. Peran sertanya dari lingkungan sampai pada tingkat kevikepan DIY. Keprihatinan terhadap masalah Mudika adalah salah satu alasan Budiman untuk selalu menghidupkannya dengan kegiatan-kegiatan. Selain itu ia juga merasa Gereja adalah tempat mengembangkan talenta-talentanya. Saat ini Budiman mendapat tugas dari lingkungan untuk menjadi seorang sekretaris dalam struktur kepengurusan. Sebagai seorang OMK ia tidak membatasi diri pada kegiatan eksklusif muda-mudi saja, tetapi juga hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan dan agenda lingkungan.
2. Kartini (nama samaran)
Kartini adalah seorang OMK yang berumur 22 tahun. Ia tinggal dengan orang tuanya yang bekerja di bidang perdagangan, di daerah Tamantirto, Kasihan, Bantul. Wilayah tempat tinggal Kartini terletak cukup jauh di arah barat daya Paroki Pugeran. Kartini masih tercatat sebagai
(65)
mahasiswa fakultas sastra sebuah PTS di Jogjakarta. Kegiatan sehari-harinya adalah kuliah, mengurusi Pendampingan Iman Anak paroki, dan memberikan les-les privat bahasa Inggris pada anak sekolah. Kartini berada di rumah hanya saat malam hari ketika semua tugas dan kegiatannya di luar telah selesai.
Sejak SMA Kartini telah tergabung dalam kepengurusan PIA. Sudah lebih dari 3 periode kepengurusan telah ia bantu sampai ia sekarang masuk tahun keempat studi S1nya. Ketertarikannya pada PIA berawal dari minat dan kesukaan pada dunia anak-anak. Keterlibatan Kartini di lingkup yang lebih besar (paroki) sudah ia cita-citakan sejak awal masuk dalam keanggotaan Mudika lingkungan. Baginya, Gereja merupakan salah satu milik orang muda, maka dari itu ia berusaha sebaik-baiknya memberikan kontribusi melalui potensi yang dimiliki. Pada waktu-waktu tertentu ia juga menyempatkan untuk membantu PIA lingkungan atau meramaikan kegiatan-kegiatan Mudika wilayah.
3. Widodo (nama samaran)
Widodo adalah seorang OMK yang berumur 26 tahun. Ia merupakan pekerja seni freelance yang tinggal daerah Gedong Kiwo. Widodo bersama ketiga adiknya hidup dengan kedua orang tuanya yang bekerja sebagai PNS. Jam kerja Widodo cukup tinggi, hanya 2-3 hari ia menyempatkan tidur di rumah. Sebagian waktunya ia habiskan untuk survey & assessment terkait dengan promosi usahanya. Saat ini Widodo sedang menekuni bidang
advertising & training bersama rekan-rekan seprofesi dengan mengibarkan nama Holicare Foundation. Waktu luang yang ada ia gunakan untuk
(66)
menyambangi komunitas-komunitas Gereja ataupun OMK secara personal. Widodo juga selalu menyempatkan membantu event Gereja terutama yang berbau kesenian.
Peran serta dan kontribusi Widodo sangat besar bagi Gereja secara umum maupun Paroki Pugeran secara khusus. Usahanya untuk membantu komunitas-komunitas kaum muda dalam meregenerasi kepengurusan banyak menuai hasil yang positif. Ide-ide yang disumbangkan begitu sangat bermanfaat. Kemampuannya dalam berorganisasi telah diakui banyak orang dan dimanfaatkan dengan baik. Potensi Widodo di bidang seni telah ia terapkan pada acara-acara non-liturgis Gereja maupun di kegiatan sosial kemasyarakatan secara umum. Bagi Widodo, berkegiatan untuk Gereja adalah salah satu bentuk atau cara ia dalam memuji Tuhan.
D. TEMA-TEMA
1. Tema-tema dasar pengalaman berkegiatan untuk Gereja
Uraian di bawah ini adalah bentuk kategorisasi sebagai tema dasar hasil pengalaman-pengalaman OMK ketika berkegiatan untuk Gereja. Tema ini merupakan hasil olah data subjek dan dibuat secara struktural. Kemudian hal tersebut menjadi bentuk sistematika analisa fenomenologis dalam penelitian ini dengan menyertakan kutipan asli pernyataan para subjek sebagai hasil penelitian.
(1)
kekompakan, kerjasama, dinamika yang lebih hidup dan menarik dari kaum muda di setiap komunitas.
- Membuat sms center agar lebih mudah mengkoordinasi teman-teman.
(290-291)
- Acara Natal sebagai sebuah media untuk tujuan yang lebih besar yaitu mengkonsolidasi teman-teman agar lebih aktif dan lebih berperan lebih baik lagi dalam perkembangan diri - Aktivitas di komunitas dirasa tidak
mengganggu, tetapi justru dianggap mendukung perkembangan pribadi, yaitu seperti berkomunikasi dengan orang lain, berperilaku di perusahaan tempat bekerja.
- Banyak pengalaman di Mudika yang tidak didapatkan di pendidikan formal.
- Ingin menempatkan kaum muda sebagai ujung tombak dan berharap mendapatkan porsi yang cukup dari lingkungan untuk berkreasi.
(117-122)
(362-372)
(372-375)
(518-523)
Harapan akan sebuah media dan komunitas untuk mengkonsolidasi teman-teman agar dapat beraktivitas, berperan, dan menambah pengalaman
Kebutuhan dan harapan akan peran dan tempat
- Natal 2009 sebagai momen dan pengalaman penting karena bisa bergabung dengan teman-teman serta dipercaya oleh dewan paroki, yang dimana sebelumnya mendapat kesan negatif.
- Tujuannya lebih pada ke kekompakan, kerjasama, dinamika yang lebih hidup dan menarik dari kaum muda di setiap komunitas.
- Ingin menempatkan kaum muda sebagai ujung tombak dan berharap mendapatkan porsi yang cukup dari lingkungan untuk berkreasi.
(102-108)
(238-244)
(518-523)
Mendapat porsi yang cukup & menjadi ujung tombak serta mendapat kepercayaan oleh dewan untuk sebuah dinamika yang lebih hidup dari kaum muda di komunitas
Kebutuhan akan pengakuan untuk sebuah eksistensi
- Mempunyai banyak peran karena keterbatasan SDM.
(167-170) Punya banyak peran, pengalaman & aktivitas di komunitas
(2)
- Aktivitas di komunitas dirasa tidak mengganggu, tetapi justru dianggap mendukung perkembangan pribadi, yaitu seperti berkomunikasi dengan orang lain, berperilaku di perusahaan tempat bekerja.
- Banyak pengalaman di Mudika yang tidak didapatkan di pendidikan formal.
(362-372)
(372-375)
mendukung perkembangan diri
Potensi dan minat (internal)
- Kesadaran untuk memaksimalkan & mengembangkan talenta yang diberikan Tuhan serta dapat berguna bagi diri sendiri, orang lain, khususnya pelayanan Gereja dalam hal ini kaum muda.
- melakukan pendekatan secara personal terhadap orang yang punya pengaruh di tingkat basis untuk nantinya lebih mudah masuk & koordinasi
- Rencana pengolahan barang bekas tertunda karena kegiatan Gereja, tetapi dianggap bukan suatu masalah karena memang merupakan salah satu cita-cita.
(7-23)
(78-90)
(397-401)
Berkegiatan & mengkoordinasi teman OMK adalah sebuah cita-cita untuk melayani Gereja
Melayani Gereja
- Mempunyai banyak peran karena keterbatasan SDM.
- Bantuan orang lain dianggap sebagai sebuah motivasi dan penyemangat - Merasa bangga karena mampu
memberdayakan diri untuk kepentingan orang lain
- Menjadi senang serta sebagai sebuah dorongan ketika antusias peserta panitia dan atau umat banyak.
(167-170) (208-211)
(171-177)
(178-175)
Rasa bangga & penghargaan terhadap diri atas sebuah keberhasilan suatu peran adalah sebuah motivasi eksternal
↓
Kebanggaan dan penghargaan atas diri
- Mempunyai banyak peran karena keterbatasan SDM.
- Mendapatkan pengakuan, diandalkan dan masih diajak kerja sama oleh lingkungan serta wilayah.
(167-170) (350-354)
Diberi peran, diandalkan serta diajak kerjasama oleh lingkungan & wilayah
↓
(3)
dan tempat
- Melakukan pendampingan karena sebuah keprihatinan dimana kegiatan OMK menurun
- mengkonsolidasi dan menjadi mediator bagi komunitas-komunitas yang bermasalah
- mengetahui bahwa ada masalah antar wilayah pasca Natal 2009
- Dilakukan pendekatan terhadap teman-teman. Sudah dilakukan usaha dengan masuk di kelompok musik & pendekatan personal juga dilakukan di dunia olahraga karena juga memang suka olahraga. Ketika sudah mendapatkan simpati kemudian mulai menggiring untuk terlibat dalam kegiatan Gereja
(55-57)
(65-67)
(96-98) (483-490)
Tahu ada masalah kemudian melakukan pendekatan dan mengajak untuk terlibat
Kepekaan terhadap suatu masalah
dan keinginan untuk menyelesaikannya
- Diadakannya refreshing untuk menghilangkan kebosanan yang akhirnya teman-teman dapat bertugas lebih baik.
- Merasa senang, sedih dan refleksi atas kegagalan
- Tetap berkepala dingin & berfikir positif terhadap masalah ketidakhadiran serta teman yang mempunyai motif lain
- Memaklumi masalah penghargaan orang lain karena pikiran dan karakter orang bermacam-macam.
(146-153)
(161-166) (282-287)
(339-340)
Refreshing untuk menghilangkan kebosanan, refleksi atas kegagalan, tetap berkepala dingin & berpikir positif serta berusaha memahami orang lain
Usaha mendapatkan peran/membangun peran
- Kegagalan yang disebabkan karena kurang koordinasi
- Merasa sedih dan malu ketika suatu sesi acara terlewatkan dan tidak berjalan dengan baik.
- Peran mengalami pasang surut karena masalah menejemen waktu yang
(156-157) (317-325)
(344-346)
Peranan tidak maksimal & acara tidak berjalan baik
↓ Kegagalan peran
(4)
kurang baik.
- Merasa belum memaksimalkan diri karena rasa capek dan malas.
- Sedih ketika tidak mampu membagi waktu dan ini dialami beberapa teman.
- Peran mengalami pasang surut karena masalah menejemen waktu yang kurang baik.
- Mempunyai jadwal kapan harus menikah dan kapan harus mewujudkan cita-cita. Hal ini berdampak pada pengurangan kegiatan-kegiatan Gereja.
(130-133) (300-307)
(344-346)
(407-415)
Hambatan berkegiatan (internal): Capek, malas, tidak mampu bagi waktu & jadwal yang terlalu padat
Sikap, skala prioritas & menejemen waktu yang kurang baik
- Adanya kelemahan dimana banyaknya pekerjaan sehingga kurang koordinasi.
- Konsistensi rendah, perbedaan karakter, dan kurangnya totalitas adalah kendala dalam koordinasi
- Adanya tendensi lain di luar kepentingan utama
- Merasa sedih ketika yang datang rapat hanya sedikit. Hal ini coba untuk dimaklumi.
- Memaklumi adanya penurunan kegiatan Gereja yang disebabkan karena OMK dituntut untuk kegiatan di masyarakat, belajar dan bekerja. - Dukungan partisipasi orang tua untuk
kaum muda dirasa kurang.
(138-141)
(252-259)
(273-278) (327-337)
(422-429)
(263)
Hambatan berkegiatan (eksternal): Banyak pekerjaan, konsistensi rendah, beda karakter, totalitas kurang, adanya tendensi lain dan dukungan orang tua yang kurang
Masalah sosialitas dan hubungan dengan orang tua yang tidak baik.
(5)
Struktural subyek I
Struktural
Subyek mempunyai kesadaran dan keinginan berperan aktif, mengembangkan talenta serta dapat berkreasi. Hal tersebut merupakan kebutuhan subyek akan aktualisasi dan pengembangan diri.
Subyek beralasan bahwa ia mempunyai keinginan mencari teman, kesadaran untuk bekerjasama, dan ingin saling mengenal karakter demi sebuah kekompakan agar terwujud dinamika yang lebih hidup di komunitas. Ini menunjukkan kebutuhan subyek akan sosialisasi diri.
Subyek berharap ada sebuah media dan komunitas untuk mengkonsolidasi teman-teman agar dapat beraktivitas, berperan, dan menambah pengalaman. Hal ini memperlihatkan adanya kebutuhan dan harapan subyek akan peran dan tempat. Subyek ingin mendapat porsi yang cukup & berharap menjadi ujung tombak serta mendapat kepercayaan oleh dewan untuk sebuah dinamika yang lebih hidup dari kaum muda di komunitas. Ini merupakan kebutuhan subyek akan pengakuan untuk sebuah eksistensi.
Pada kenyataannya subyek mempunyai banyak peran, pengalaman & aktivitas di komunitas yang mendukung perkembangan diri. Hal ini adalah potensi dan minat subyek yang dapat menjadi sebuah motivasi internalnya.
Berkegiatan & mengkoordinasi teman OMK adalah sebuah cita-cita subyek untuk melayani Gereja. Hal ini adalah wujud pelayanan subyek pada Gereja.
Subyek merasa bangga & berharga karena sebuah keberhasilan suatu peran. Hal ini menjadi sebuah motivasi eksternal dan bukti adanya kebanggaan dan penghargaan atas diri pada subyek.
Subyek diberi peran oleh orang lain, diandalkan serta diajak kerjasama oleh lingkungan & wilayah. Subyek bisa dikatakan bahwa ia telah mendapat pengakuan atas diri akan aktulisasi dan tempat.
Subyek mengetahui ada masalah kemudian melakukan pendekatan dan mengajak untuk terlibat. Hal ini merupakan bukti bahwa subyek memiliki kepekaan terhadap suatu masalah dan keinginan untuk menyelesaikannya.
Pernah dilakukannya refreshing untuk menghilangkan kebosanan dan mencoba untuk refleksi atas kegagalan. Subyek berusaha tetap berkepala dingin & berpikir positif serta berusaha memahami orang lain. Ini adalah bentuk kompensasi subyek terhadap peran, walaupun pernah terjadi juga peranan yang tidak maksimal, peran gagal & suatu kegiatan acara tidak berjalan dengan baik.
Subyek mengalami hambatan berkegiatan karena faktor internal, seperti; capek, malas, tidak mampu bagi waktu & jadwal yang terlalu padat. Ini menunjukkan bahwa subyek memiliki sikap, skala prioritas & menejemen waktu yang kurang baik.
Subyek juga mengalami hambatan berkegiatan karena faktor eksternal, yaitu; Banyaknya pekerjaan, konsistensi rendah dari diri dan rekan-rekan lain, beda karakter, totalitas kurang, adanya tendensi lain dan dukungan orang tua yang kurang. Hal ini merupakan masalah sosialitas dan hubungan dengan orang tua yang tidak baik dari subyek.
(6)
Struktur Umum
Dalam berkegiatan subyek memperlihatkan adanya kebutuhan akan aktualisasi dan pengembangan diri. Ia juga mempunyai keinginan untuk bersosialisasi diri. Beberapa perilaku menunjukkan adanya kebutuhan & harapan subyek akan peran serta tempat. Subyek juga mempunyai kebutuhan akan pengakuan untuk sebuah eksistensi pada Gereja. Ia juga telah mendapat pengakuan atas diri akan pengakuan dan tempat.
Subyek memiliki potensi & minat yang dapat menjadi sebuah motivasi internalnya. Hal lain adalah keinginan subyek melayani Gereja. Ini menjadi sebuah motivasi eksternal dan bukti adanya kebanggaan serta penghargaan atas diri pada subyek. Subyek juga memiliki kepekaan terhadap suatu masalah dan keinginan untuk menyelesaikannya.
Saat berkegiatan subyek juga melakukan suatu bentuk kompensasi terhadap peran. Pernah terjadi juga peranan yang tidak maksimal, peran gagal & suatu kegiatan acara tidak berjalan dengan baik. Subyek mengalami hambatan berkegiatan karena faktor internal. Di sini menunjukkan bahwa subyek memiliki sikap, skala prioritas & menejemen waktu yang kurang baik. Sedangkan hambatan berkegiatan karena faktor eksternal yang terjadi merupakan masalah sosialitas dan hubungan dengan orang tua yang tidak baik dari subyek.