Latar Belakang KESIMPULAN DAN SARAN A.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rumah mempunyai peran yang sangat strategis sebagai sarana pembinaan keluarga dan pendidikan dasar dan juga berfungsi dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa dan pengakaran nilai-nilai budaya sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif baik untuk saat ini maupun bagi kemajuan di masa akan datang. Sehingga terpenuhinya kebutuhan tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia. 1 1 Penjelasan Umum, UU No. 1 tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. kualitas dan kuantitas rumah yang dibutuhkan manusia akan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Perkembangan ini akan berpengaruh pula pada pola penyediaan perumahan bagi masyarakat terutama dengan lahirnya UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman UUPP yang baru diberlakukan. Masalah perumahan adalah masalah yang cukup kompleks, sebab tidak hanya menyangkut proses pembangunan secara fisiknya saja, melainkan berkaitan erat pula dengan masalah tanah sebagai faktor penting yang menentukan dimana dan bagaimana perumahan tersebut akan didirikan. Universitas Sumatera Utara Kebutuhan terhadap tanah sebagai sumber bagi kelangsungan hidup terus meningkat seiring dengan perkembangan manusia. Keberadaan tanah secara fisik yang relatif selalu tetap, kerap menimbulkan benturan kepentingan dan sering kali justru berujung pada sumber konflik di tengah kehidupan masyarakat. Saat ini, masalah pertanahan bukan hanya timbul sebagai reaksi dari ego kepentingan antar individu, antar kelompok masyarakat, ataupun antara masyarakat dengan pemerintah saja, melainkan telah berkembang menjadi permasalahan yang lebih kompleks menyangkut tindakan tarik-menarik kewenangan antar lembaga di dalam tubuh pemerintahan itu sendiri. Pemerintahan yang dimaksud disini adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Regulasi yang dibentuk dan ditetapkan oleh pemerintah menyangkut bidang pertanahan seringkali bersifat multitafsir. Pada dasarnya permasalahan tersebut muncul akibat interpretasi yang keliru dalam hal memahami peraturan perundang-undangan khususnya mengenai kewenangan pemerintah di bidang pertanahan. Dalam sistem ketatanegaraan, hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sangat tergantung pada bentuk dan susunan negara, yakni apakah negara itu berbentuk republik dengan susunan negara kesatuan atau dengan susunan negara serikat. Negara kesatuan memegang prinsip bahwa tampuk kekuasaan tertinggi ialah pemerintah pusat. Pelaksanaan Pemerintahan di daerah di dasarkan pada asas desentralisasi dengan implikasi bahwa penyerahan atau pelimpahan kewenangan kepada daerah tidak dapat lepas dari campur tangan Universitas Sumatera Utara pemerintah pusat untuk mengawasi pelaksanaannya sebagai konsekuensi bentuk negara kesatuan. 2 Hal ini sejalan dengan ketentuan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria UUPA yang menyatakan bahwa kewenangan pertanahan itu adalah kewenangan negara dalam arti pemerintah pusat, yang dalam hal ini memang dapat dikuasakan kepada daerah, dengan syarat sesuai dengan kepentingan nasional dan peraturan perundangan yang berlaku. Format negara kesatuan inilah yang memberikan pengaruh kuat terhadap karakter hubungan pusat dan daerah di Indonesia selama ini termasuk dalam hal kebijakan pertanahan. Kewenangan Pemerintah Pusat dalam bidang pertanahan yaitu berkaitan dengan peraturan perundang-undangan dan kebijakan pertanahan, norma, standar, pedoman, dan termasuk pula mengenai pelaksanaan koordinasi pelayanan di bidang pertanahan, yang dapat diacu secara nasional. Hal ini diperlukan demi keseragaman, kesatuan, dan keutuhan sistem pertanahan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3 2 Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah, Kajian Politik dan Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2007, hal. 4. 3 Lihat Pasal 2, UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria. Kebijakan pertanahan tidak akan terlepas dari kewenangan lembaga pelaksananya. Mengenai kelembagaan yang berwenang menjalankan kebijakan pertanahan, sejak berlakunya UUPA tahun 1960 telah mengalami beberapa kali pergantian penguasaan dalam hal bentuk kelembagaan. Bentuk kelembagaan tersebut erat kaitannya dengan kedudukan dan kewenangannya dalam menaungi masalah pertanahan. Universitas Sumatera Utara Semula, urusan agraria termasuk wewenang Menteri Agaria. Lalu tahun 1960 UUPA mulai diberlakukan. Tahun 1962 terjadi perubahan dalam struktur organisasi pemerintahan. Dengan Keputusan Presiden Nomor 94 Tahun 1962, digabungkanlah Departemen Pertanian dan Departemen Agraria. Kemudian, dengan ditetapkannya Kepres Nomor 170 Tahun 1966, Departemen Agraria ditiadakan dan dimasukkan ke dalam Departemen Dalam Negeri. Ketentuan ini turut memperluas wewenang bidang agraria yang dilimpahkan kepada instansi di daerah. Kewenangan tersebut dapat dilihat pada ketentuan PMDN Nomor 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak atas Tanah, yang memberikan kewenangan pemberian hak atas tanah kepada masing-masing Kepala Daerah dalam kedudukan dan fungsinya sebagai wakil pemerintah pusat. 4 Akhirnya, pada tahun 1988 dengan Kepres Nomor 26 Tahun 1988 dibentuk Badan Pertanahan Nasional BPN yang merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berkeduduk an di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. 5 4 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakrta, Djambatan, 2008, hal. 121. 5 Lihat Pasal 1 ayat 1 Keppres No.26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional. Ketentuan Pasal 2 menyatakan bahwa Badan Pertanahan bertugas membantu Presiden dalam mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan, baik berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria maupun peraturan perundang-undangan lain yang meliputi pengaturan penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah, pengurusan hak-hak tanah, pengukuran dan pendaftaran tanah dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah pertanahan berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Presiden. Hal ini Universitas Sumatera Utara menunjukkan sifat sentaralistik sistem pertanahan Indonesia, sebab seluruh kebijakan di bidang pertanahan merupakan kewenangan pemerintah pusat. Kemudian keadaan menjadi berubah dengan lahirnya kebijakan otonomi daerah. UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah sebagai produk euforia reformasi membawa perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia dari yang bersifat sentralistik menjadi desentralistik. Pasal 11 ayat 2 UU ini menyatakan bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja, telah memberikan kekuasaan yang amat besar kepada daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya masing-masing. Peraturan ini kemudian disempurnakan kembali dengan lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Menyangkut masalah pertanahan, ketentuan yang ditetapkan dalam undang-undang ini tidak pula jauh berbeda dengan undang-undang terdahulunya. Berdasarkan rumusan Pasal 13 ayat 1 dan Pasal 14 ayat 1 UU Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah adalah pertanahan. Undang-undang ini tidak memberikan penjelasan seperti apa bentuk dan mekanisme kebijakan pertanahan tersebut sehingga menimbulkan interpretasi yang beragam. 6 Interpretasi yang umumnya terbentuk dalam pemahaman penyelenggara pemerintahan di daerah adalah aturan tersebut pada dasarnya telah menyerahkan 6 Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, Jakarta, Rajawali Pers, 2009, hal. 11. Universitas Sumatera Utara seluruh kewenangan pertanahan menjadi kewenangan daerah. Arus orde reformasi yang kuat menimbulkan gejolak di daerah untuk menuntut pemerintah pusat segera menyerahkan kewenangan pertanahan dalam rangka otonomi daerah. Tetapi sampai pada perubahan kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 berdasarkan UU No. 12 Tahun 2008, juga tidak diupayakan untuk menyempurnakan kebijakan mengenai kewenangan pertanahan yang lebih jelas. Sehingga dalam pelaksanaan tugas teknis di lapangan terjadi keraguan dan kebingungan, baik dari pihak aparatur penyelenggara pelayanan maupun masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan pertanahan. Konflik kepentingan ini semakin nyata dengan keluarnya peraturan yang menguatkan fungsi dan kewenangan Badan Pertanahan Nasional BPN berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, menyangkut pelimpahan kewenangan pertanahan. Peraturan tersebut dinilai mengurangi kewenangan daerah dan bertentangan dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Pemerintah pusat dianggap sangat menguasai kebijakan pertanahan melalui BPN. Pemerintah pusat beralasan bahwa kebijakan tersebut diambil atas dasar kewenangan konstitusional melalui Pasal 33 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dalam rangka mewujudkan konsepsi, kebijakan, dan sistem pertanahan yang utuh dan terpadu, maka pemerintah pusat selaku pemegang kekuasaan tertinggi atas lapangan agraria, merasa memiliki kekuasaan yuridis untuk menetapkan kebijakan pertanahan yang bersifat nasional. Pokok Universitas Sumatera Utara permasalahannya adalah bagaimana pemerintah pusat dapat meletakkan kebijakan tersebut secara proporsional tanpa mengabaikan hak-hak pemerintahan di daerah sebagai daerah otonom. Dinamika kebijakan pemerintah dalam mengelola masalah pertanahan tersebut, tentu akan berpengaruh pada pola penyelenggaraan perumahan di Indonesia terutama menyangkut masalah kewenangan dalam proses perizinan dan administrasi pertanahan.

B. Pokok Permasalahan