Ketentuan Harmonisasi Tarif Bea Masuk Dalam Rangka Menghadapi Perdagangan Bebas Regional Ditinjau Dari Sudut Kepabeanan

(1)

KETENTUAN HARMONISASI TARIF BEA MASUK

DALAM RANGKA MENGHADAPI PERDAGANGAN BEBAS

REGIONAL DITINJAU DARI SUDUT KEPABEANAN

TESIS

Oleh

JOI ARIANTO SIMORANGKIR 077005125/HK

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KETENTUAN HARMONISASI TARIF BEA MASUK

DALAM RANGKA MENGHADAPI PERDAGANGAN BEBAS

REGIONAL DITINJAU DARI SUDUT KEPABEANAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

JOI ARIANTO SIMORANGKIR 077005125/HK

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : KETENTUAN HARMONISASI TARIF BEA MASUK DALAM RANGKA MENGHADAPI PERDAGANGAN BEBAS REGIONAL DITINJAU DARI SUDUT KEPABEANAN

Nama Mahasiswa : Joi Arianto Simorangkir Nomor Pokok : 077005125

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Sanwani, S.H) Ketua

(Syafruddin S. Hasibuan, S.H, M.H., DFM) (Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan Fakultas Hukum

(Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H) (Prof. Dr. Runtung S.H., M.Hum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 05 Desember 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Sanwani, S.H

Anggota : 1. Syafruddin S. Hasibuan, S.H., M.H., DFM 2. Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum 3. Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H


(5)

ABSTRAK

Sejak disepakatinya GATT pada tahun 1947 sampai dengan berdirinya WTO pada tahun 1995, liberalisasi perdagangan internasional terus diupayakan melalui kesepakatan-kesepakatan yang pada intinya bertujuan mereduksi hambatan tarif (Tariff Barriers) dan menghapuskan secara progresif hambatan non-tarif (Non-Tariff

Barriers). Pada tataran regional kebijakan itu dilanjutkan oleh negara-negara

sekawasan. Keadaan ini mendesak negara-negara tidak terkecuali Indonesia untuk melakukan penyesuaian-pennyesuaian termasuk harmonisasi tarif tentunya dalam konteks AFTA Indonesia harus memperhatikan CEPT.

Penelitian ini mencoba menganalisis kebijakan pemerintah Indonesia sehubungan dengan harmonisasi tarif di lingkungan AFTA dan secara khusus ingin melihat peran dan kedudukan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam penunjukan tarif bea masuk. Penelitian ini juga menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis normatif. Data penelitian berupa bahan hukum primer dan sekunder dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif-interpretatif-abstraktif dengan penarikan kesimpulan secara deduktif.

Pada prinsipnya tarif merupakan satu-satunya instrumen hambatan perdagangan (Tariff Barriers) yang diijinkan dalam hukum perdagangan internasional. Hambatan tarif selain dapat melindungi industri dalam negeri melalui hambatan perdagangan yang diciptakannya juga menghasilkan pemasukan bagi negara. Inilah yang membedakan hambatan tarif dan hambatan non-tarif, namun untuk menghindari kebijakan tarif antar negara yang dapat menimbulkan distorsi dalam perdagangan internasional maka diperlukan harmonisasi tarif. Pemerintah indonesia telah ikut serta dalam menandatangani Framework Agreement on

Enhancing ASEAN Economic Cooperation sekaligus menandai dicanangkannya

ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada tanggal 1 Januari 1993 dengan Common

Effective Preferential Tariff (CEPT) sebagai mekanisme utamanya. Sebagai salah

satu negara ASEAN, Indonesia telah memberlakukan sistem klasifikasi barang berdasarkan ASEAN Harmonised Tariff Nomenclature (AHTN) berdasarkan Protocol

Governing the Implementation of the ASEAN Harmonised Tariff Nomenclature

(AHTN).

Peran dan kedudukan Direktorat Jenderal Bea Cukai merekomendasikan agar pemerintah Indonesia turut serta berperan aktif dalam perundingan WTO dan dalam penetapan tarif diharapkan selain memperhatikan ketentuan tarif, juga memperhatikan kepentingan-kepentingan industri dalam negeri agar jangan sampai penetapan tarif menyulitkan perkembangan industri dalam negeri, oleh karena itu disarankan penetapan tarif melibatkan seluruh pihak terkait dalam hal ini stake holder.

Kata Kunci : Harmonisasi Tarif Bea Masuk, Perdagangan Bebas Regional, Kepabeanan


(6)

ABSTRACT

Since GATT agreement in 1947 up to the establishment of WTO in 1995, the international trade liberalization has been attempted through agreements in order to reduce the tariff barriers and progressively eliminate the non-tariff barriers. On the original level, this policy was carried out by the neighboring countries. This situation prompted these countries, including Indonesia, to make adjustments and to harmonize the tariffs. Indonesia, according to AFTA, must pay its attention to CEPT.

This research attempts to analyze the Indonesian policy, concerning the harmonization of tariffs in AFTA, especially to observe the role and status of Directorate General of Customs and Excises in setting the import duty tariffs. It applies the normative-law research method by using the normative legal approach. The data were derived from the primary and secondary laws and analyzed with the abstractive-interpretative-qualitative method by drawing conclusions deductively.

Basically, tariff is the only trade barrier which is permitted in the international trade law. The tariff barriers can protect the domestic industry and create income for the country. This is the difference between the tariff barriers and the non-tariff barriers. However, the harmonization of the tariff is needed in order to avoid the tariff policy among nations so that they do not bring about distortion in the international trade. Indonesian government participated in signing the Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation and proclaimed the ASEAN Free Trade Area (AFTA) on January 1, 1993 with Common Effrective Preferential Tariff (ECPT) as its primary mechanism. As the member of the ASEAN countries, Indonesia has applied the commodity classification system, based on the ASEAN Harmonized Tariff Nomenclature(AHTN) and on the Protocol Governing the Implementation of the ASEAN Hormonized Tariff Nomenclature (AHTN).

Directorate General of Customs and Excises, in its role and status, recommends that the Indonesian government participate actively in WTO and, in setting the tariffs, pay much attention to the tariff provision and the interest of the domestic industry so that the tariff provison does not impede the development of the domestic industry, as well as involve stakeholders in the tariff provison.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis Panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan kasih karunia-Nya sehingga Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum, Sekolah Pascasarjana Univesitas Sumatera Utara, Medan.

Adapun judul proposal penelitian ini adalah: “ Ketentuan Harmonisasi Tarif Bea Masuk Dalam Rangka Menghadapi Perdagangan Bebas Regional Ditinjau Dari Sudut Kepabeanan”. Di dalam menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat para pembimbing : Prof. Sanwani, S.H., Syafruddin S. Hasibuan, S.H., M.H., DFM dan Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum. Dimana di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan penulisan Tesis ini.

Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini, kepada:


(8)

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis DTM&H, SpA(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan.

2. Dekan Fakultas Hukum Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. H. Bismar Nasution, S.H., M.H., sebagai Ketua Program studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Sanwani, S.H, sebagai Pembimbing Utama penulis, yang telah meluangkan waktunya dan dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, saran kepada penulis.

5. Syafruddin S. Hasibuan, S.H., M.H., sebagai Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktunya dan dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, saran kepada penulis.

6. Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., sebagai Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktunya dan dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, saran dan masukan yang sangat penting kepada penulis.

7. Orang Tua tercinta Phidoris Simorangkir (Alm.) dan Berliana Hutabarat yang mendidik dengan penuh rasa kasih sayang dan senantiasa memberi semangat dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini.


(9)

8. Kepada Abang Anwar Simorangkir dan Adik Herlince Sartika Simorangkir yang Penulis sayangi, atas kesabaran dan pengertiannya serta memberikan Doa dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini. 9. Kepada Bapak Cerah Bangun, S.H., M.IH., yang telah memberi semangat

dan dorongan baik moril dan materil bagi Penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini.

10.Kepada Rekan-rekan di Sekolah pascasarjana, dan rekan-rekan kerja saya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat dan menyampaikan permintaan yang tulus jika seandainya dalam penulisan ini terdapat kekurangan dan kekeliruan, penulis juga menerima kritik dan saran yang bertujuan serta bersifat membangun untuk menyempurnakan penulisan Tesis ini.

Medan, Desember 2009 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Joi Arianto Simorangkir

Tempat/Tanggal Lahir : Kabanjahe, 18 Pebruari 1980 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Alamat : Jl. Sei Padang No. 81 Medan

Pendidikan : SD Negeri 040463 Kabanjahe Tamat Tahun 1992 SMP Negeri 2 Kabanjahe Tamat Tahun 1995 SMU Negeri 1 Kabanjahe Tamat Tahun 1998 Sekolah Tinggi Akutansi Negara (Program Diploma I) Spesialisasi Kepabeanan dan Cukai Tamat Tahun 1999

Strata Satu (S1) Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2006

Strata Dua (S2) Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2009


(11)

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK ...

ABSTRACT ...

KATA PENGANTAR ... RIWAYAT HIDUP ... DAFTAR ISI ...

i ii iii vi vii DAFTAR TABEL ... DAFTAR ISTILAH ...

ix x

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ………... 1

B. Rumusan Permasalahan ………... 14

C. Tujuan Penelitian………... 15

D. Manfaat Penelitian ………... 15

E. Keaslian Penelitian ………... 15

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 1. Kerangka Teori ... 2. Kerangka Konsepsi ... 16 16 24 G. Metode Penelitian ... 1. Jenis, sifat dan pendekatan Penelitian ... 2. Sumber Data ... 3. Teknik Pengumpulan Data ... 4. Analisis Data ... 32 32 32 33 33 H. Jadwal Rencana Penelitian ... 34

BAB II : KEDUDUKAN TARIF DALAM KEBIJAKAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL MENURUT KETENTUAN WTO DAN AFTA ... 35

A. Kedudukan Tarif Dalam Kebijakan Perdagangan Internasional Menurut Ketentuan WTO... 35

B. Tarif Sebagai Instrumen Perlindungan Industri Dalam Negeri... 46

C. Ketentuan-Ketentuan WTO Mengenai Pembentukan Tarif... 51

D. Batasan-Batasan Dalam Pemungutan Tarif ... 58

E. Hubungan Prinsip Most Favoured Nation (MFN) Dengan Perlakuan Khusus Dan Berbeda (Special And Differential Treatment/S&D Treatment) dan Status Area Perdagangan Regional... 61 BAB III : KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA


(12)

DILINGKUNGAN AFTA ... 73

A. Penggunaan Common Effective Preferential Tariff (CEPT) Dalam Perdagangan Bebas Asean (AFTA)... 73

B. Penggunaan Common Effective Preferential Tariff (CEPT) Bukan Merupakan Diskriminasi... 81

C. Pentingnya Harmonisasi di Bidang Tarif... 83

BAB IV : ATURAN TERKAIT PERAN DAN KEDUDUKAN DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DALAM PELAKSANAAN DAN PENUNJUKAN TARIF BEA MASUK ... 88

A. Peran Dan Kedudukan Direktorat Jenderal Bea Dan Cukai Dalam Harmonisasi Tarif Bea Masuk... 88

B. Peran dan Kedudukan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam Pemungutan Tarif Bea Masuk, Bea Masuk Anti Dumping, Bea Masuk Tindakan Pengaman, Bea Masuk Pembalasan ... 93

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 102

A. KESIMPULAN... 102

B. SARAN... 105


(13)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman 1 Jumlah Pos Tarif dalam Paket CEPT 2003 ... 80


(14)

DAFTAR ISTILAH

ASEAN : Association of Southeast Asian Nations AFTA : ASEAN Free Trade Area

AHTN : ASEAN Harmonised Tariff Nomenclature APEC : Asia-Pacific Economic Cooperation BTBMI : Buku Tarif Bea Masuk Indonesia CCC : Customs Co-operation Council CEPT : Common Effective Preferential Tariff CU : Custom Union

CCEM : Concessions Exchange Manual FTA : Free Trade Area

GATT : General Agreement on Tariffs and Trade GEL : General Exception Lists

HS : Harmonized Commodity Description and Coding System IL : Inclusion List

MFN : Most Favoured Nation

NAFTA : North American Free Trade Agreement TEL : Temporary Exclusion List

TPRM : Trade Policy Review Mechanisme SL : Sensitive List

WCO : World Customs Organization WTO : World Trade Organization


(15)

ABSTRAK

Sejak disepakatinya GATT pada tahun 1947 sampai dengan berdirinya WTO pada tahun 1995, liberalisasi perdagangan internasional terus diupayakan melalui kesepakatan-kesepakatan yang pada intinya bertujuan mereduksi hambatan tarif (Tariff Barriers) dan menghapuskan secara progresif hambatan non-tarif (Non-Tariff

Barriers). Pada tataran regional kebijakan itu dilanjutkan oleh negara-negara

sekawasan. Keadaan ini mendesak negara-negara tidak terkecuali Indonesia untuk melakukan penyesuaian-pennyesuaian termasuk harmonisasi tarif tentunya dalam konteks AFTA Indonesia harus memperhatikan CEPT.

Penelitian ini mencoba menganalisis kebijakan pemerintah Indonesia sehubungan dengan harmonisasi tarif di lingkungan AFTA dan secara khusus ingin melihat peran dan kedudukan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam penunjukan tarif bea masuk. Penelitian ini juga menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis normatif. Data penelitian berupa bahan hukum primer dan sekunder dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif-interpretatif-abstraktif dengan penarikan kesimpulan secara deduktif.

Pada prinsipnya tarif merupakan satu-satunya instrumen hambatan perdagangan (Tariff Barriers) yang diijinkan dalam hukum perdagangan internasional. Hambatan tarif selain dapat melindungi industri dalam negeri melalui hambatan perdagangan yang diciptakannya juga menghasilkan pemasukan bagi negara. Inilah yang membedakan hambatan tarif dan hambatan non-tarif, namun untuk menghindari kebijakan tarif antar negara yang dapat menimbulkan distorsi dalam perdagangan internasional maka diperlukan harmonisasi tarif. Pemerintah indonesia telah ikut serta dalam menandatangani Framework Agreement on

Enhancing ASEAN Economic Cooperation sekaligus menandai dicanangkannya

ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada tanggal 1 Januari 1993 dengan Common

Effective Preferential Tariff (CEPT) sebagai mekanisme utamanya. Sebagai salah

satu negara ASEAN, Indonesia telah memberlakukan sistem klasifikasi barang berdasarkan ASEAN Harmonised Tariff Nomenclature (AHTN) berdasarkan Protocol

Governing the Implementation of the ASEAN Harmonised Tariff Nomenclature

(AHTN).

Peran dan kedudukan Direktorat Jenderal Bea Cukai merekomendasikan agar pemerintah Indonesia turut serta berperan aktif dalam perundingan WTO dan dalam penetapan tarif diharapkan selain memperhatikan ketentuan tarif, juga memperhatikan kepentingan-kepentingan industri dalam negeri agar jangan sampai penetapan tarif menyulitkan perkembangan industri dalam negeri, oleh karena itu disarankan penetapan tarif melibatkan seluruh pihak terkait dalam hal ini stake holder.

Kata Kunci : Harmonisasi Tarif Bea Masuk, Perdagangan Bebas Regional, Kepabeanan


(16)

ABSTRACT

Since GATT agreement in 1947 up to the establishment of WTO in 1995, the international trade liberalization has been attempted through agreements in order to reduce the tariff barriers and progressively eliminate the non-tariff barriers. On the original level, this policy was carried out by the neighboring countries. This situation prompted these countries, including Indonesia, to make adjustments and to harmonize the tariffs. Indonesia, according to AFTA, must pay its attention to CEPT.

This research attempts to analyze the Indonesian policy, concerning the harmonization of tariffs in AFTA, especially to observe the role and status of Directorate General of Customs and Excises in setting the import duty tariffs. It applies the normative-law research method by using the normative legal approach. The data were derived from the primary and secondary laws and analyzed with the abstractive-interpretative-qualitative method by drawing conclusions deductively.

Basically, tariff is the only trade barrier which is permitted in the international trade law. The tariff barriers can protect the domestic industry and create income for the country. This is the difference between the tariff barriers and the non-tariff barriers. However, the harmonization of the tariff is needed in order to avoid the tariff policy among nations so that they do not bring about distortion in the international trade. Indonesian government participated in signing the Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation and proclaimed the ASEAN Free Trade Area (AFTA) on January 1, 1993 with Common Effrective Preferential Tariff (ECPT) as its primary mechanism. As the member of the ASEAN countries, Indonesia has applied the commodity classification system, based on the ASEAN Harmonized Tariff Nomenclature(AHTN) and on the Protocol Governing the Implementation of the ASEAN Hormonized Tariff Nomenclature (AHTN).

Directorate General of Customs and Excises, in its role and status, recommends that the Indonesian government participate actively in WTO and, in setting the tariffs, pay much attention to the tariff provision and the interest of the domestic industry so that the tariff provison does not impede the development of the domestic industry, as well as involve stakeholders in the tariff provison.


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Liberalisasi perdagangan sudah merupakan fenomena dunia yang nyaris tidak dapat dihindari oleh semua negara sebagai anggota masyarakat internasional. Manakala ekonomi menjadi terintegrasi, harmonisasi hukum mengikutinya. Terbentuknya WTO (World Trade Organization) telah didahului oleh terbentuknya blok-blok ekonomi regional seperti Masyarakat Eropah, NAFTA, AFTA dan APEC. Tidak ada kontradiksi antara regionalisasi dan globalisasi perdagangan. Sebaliknya integrasi ekonomi global mengharuskan terciptanya blok-blok perdagangan baru. Perdagangan dengan WTO dan kerjasamanya ekonomi regional berarti mengembangkan institusi yang demokratis, memperbaharui mekanisme pasar, dan memfungsikan sistim hukum. Bagaimanapun juga karakteristik dan hambatannya, globalisasi ekonomi menimbulkan akibat yang besar sekali pada bidang hukum. Globalisasi hukum tersebut tidak hanya didasarkan kesepakatan internasional antar bangsa, tetapi juga pemahaman tradisi hukum dan budaya antara barat dan timur.1

Sejarah perdagangan bebas internasional menunjukkan bahwa perdagangan internasional merupakan perdagangan yang fokus dalam pengembangan pasar

1

H.S. Kartadjoemena, Substansi Perjanjian GATT/WTO dan Mekanisme Penyelesaian

Sengketa: Sistem, Kelembagaan, Prosedur Implementasi, Dan Kepentingan Negara Berkembang,


(18)

terbuka.2 Disadari bahwa perdagangan bebas akan membawa manfaat3 yang lebih besar maka tuntutan untuk meliberalisasi perdagangan dunia semakin marak dilakukan oleh sejumlah negara dalam berbagai forum perundingan perdagangan. Pihak yang mendukung globalisasi perdagangan berpendapat bahwa globalisasi dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi yang selanjutnya akan meningkatkan pendapatan dan mengurangi kemiskinan. Globalisasi perdagangan juga pada dasarnya memberikan peluang bagi semua negara memperoleh manfaat berupa akses pasar yang semakin terbuka guna meningkatkan nilai dan volume perdagangan internasional, pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat.4

Upaya untuk meliberalisasikan perdagangan dunia yang lebih konseptual dan formal baru mendapat perhatian yang serius setelah berakhirnya Perang Dunia Ke-II dengan pembentukan General Agreement on Tariff and Trade (GATT) pada tahun 1947 yang diikuti dengan berbagai putaran perundingan dalam kerangka GATT dan putaran perundingan Uruguay Round yang berhasil membentuk World Trade

Organization (WTO). Pendirian WTO ini dimaksudkan antara lain untuk membangun

2

Sejarah Perdagangan Bebas, http://www.wikipedia.com diakses pada 02 April 2009. 3

Terdapat lima manfaat dibukanya liberalisasi perdangan. Pertama, akses pasar lebih luas sehingga memungkinkan diperoleh efisiensi karena liberalisasi perdagangan cenderung menciptakan pusat-pusat produksi baru yang menjadi lokasi berbagai kegiatan industri yang saling menunjang sehingga biaya produksi dapat diturunkan. Kedua, iklim usaha menjadi lebih kompetitif sehingga mengurangi kegiatan yang bersifat rent seeking dan mendorong pengusaha untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi, bukan bagaiman mengharapkan mendapat fasilitas dari pemerintah. Ketiga, arus perdangan dan investasi yang lebih bebas mempermudah proses alih teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Keempat, perdangan yang lebih bebas memberikan signal harga yang “benar”sehingga meningkatkan efisiensi investasi. Kelima, dalam perdagangan yang lebih bebas kesejahteraan konsumen meningkat karena terbuka pilihan-pilihan baru. Namun untuk dapat berjalan dengan lancar, suatu pasar yang kompetitif perlu dukungan perundang-undangan yang mengatur persaingan usaha yang sehat dan melarang praktek monopoli.

4

Harum Setiawati dan Gavriyuni Amier, Kerjasama Perdagangan Multilateral, (Jakarta : Elexmedia Komputindo, 2007), hlm. 143.


(19)

sistem perdagangan multilateral yang terintegrasi, viable dan bertahan lama.5 Indonesia sendiri telah meratifikasi Agreement Establishing WTO beserta ketentuan-ketentuannya melalui Undang-undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan

Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan

Organisasi Perdagangan Dunia).6 Pada dasarnya pertimbangan keuntungan ekonomi dari penurunan tarif dan perluasan akses pasar merupakan pertimbangan utama bagi Indonesia menandatangani hasil kesepakan Uruguay Round. Sistem perdagangan bebas dengan perlindungan tarif dalam kalkulasi ekonomis akan menguntungkan bagi Indonesia. Negara-negara industri maju berdasarkan kesepakatan GATT harus menurunkan tingkat tarif mereka pada kisaran 0-5 %, sedangkan Indonesia di sektor industri tidak perlu melakukan hal yang demikian. Bahwa Indonesia mendapatkan komitmen apabila diperlukan untuk meningkatkan lagi bea masuk sampai 40 %. Padahal dalam sektor industri, tarif yang dikenakan Indonesia jauh lebih rendah dari itu. Hal ini berarti bahwa Indonesia tidak perlu menurunkan proteksi tarif terhadap

5

Susanti Aryaji, Latar Belakang Kerjasama Perdagangan Internasional, ( Jakarta : Elexmedia Komputindo, 2007), hlm. 1. Bandingkan dengan tujuan WTO berdasarkan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia yaitu untuk membentuk suatu sistem perdagangan multilateral yang terpadu, lebih bergairah dan bertahan lama meliputi Persetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan, hasil-hasil dari upaya liberalisasi perdagangan sebelumnya, dan semua hasil Putaran Uruguay dari Perundingan Perdagangan Multilateral, Organisasi Perdagangan Dunia memberikan kerangka kelembagaan umum bagi pelaksanaan hubungan perdagangan diantara anggota-anggotanya dalam hal-hal yang berhubungan dengan persetujuanpersetujuan dan instrumen-instrumen hukum.

6

Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, Peraturan Tentang Jasa di Bidang

Keuangan (Bank dan Non Bank) Pasca GATT-GATT’s/WTO Dalam Kaitannya Dengan Ketentuan Perdagangan di Indonesia, (Bandung : Books Terrace & Library, 2007), hlm. 42.


(20)

industri dalam negeri, atau dengan kata lain proteksi tarif sektor industri tetap berlangsung sebagaimana adanya saat ini.7

GATT selalu mengupayakan terciptanya perdagangan bebas dunia. Prinsip suatu sistem perdagangan bebas dunia yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama ini cukup beralasan. Latar belakang prinsip ini tidak terlepas dari suatu konsep yang disebut dengan keunggulan komperatif (comparative

advantage) seperti dikemukakan David Ricardo. Dengan kata lain, kebijakan

perdagangan bebas yang melancarkan arus barang, jasa, dan produksi mau tidak mau harus mengandalkan produk yang mutu dan harganya bersaing.8 Pada dasarnya tujuan pendirian GATT adalah menciptakan sistem perdagangan liberal dan terbuka sehingga dunia bisnis dari masing-masing negara anggota dapat bersaing secara adil (fair) dan tanpa distorsi dan menjadikan perdagangan bebas sebagai landasan perdagangan internasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, pembangunan dan kesejahteraan manusia.9 GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap industri domestik melalui tarif (menaikkan tingkat tarif bea masuk) dan tidak melalui upaya-upaya perdagangan lainnya (non-tariff commercial measures).10 Hal lain yang

7

Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal, Studi Kesiapan

Indonesia Dalam Perjanjian Investasi Multilateral, (Medan : Universitas Sumatera Utara Sekolah

Pascasarjana, 2008), hlm. 304. 8

Huala Adolf dan A. Chandrawulan, Masalah-Masalah Hukum Dalam Perdagangan

Internasional, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1994), hlm. 12.

9

Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, Era Globalisasi Hukum dan Ekonomi,, (Bandung : Books Terrace & Library, 2007), hlm. 42.

10

Non-Tariff Measures (Tindakan Non-Tarif) adalah bertujuan untuk mengurangi atau menghapus berbagai hambatan perdagangan yang bersifat non-tarif, dengan tetap memperhatikan komitmen untuk mengurangi sebanyak mungkin hambatan perdagangan sejenis (Standstill and


(21)

menjadi ketentuan dasar GATT adalah larangan restriksi kuantitatif (quantitative

restriction)11 yang merupakan rintangan terbesar terhadap GATT.12

GATT pada dasarnya mengakui bahwa sebuah negara mempunyai hak untuk melindungi industri dalam negerinya dengan alasan-alasan tertentu, namun satu-satunya cara yang diperbolehkan adalah dengan tarif. Hambatan-hambatan selain tarif diusahakan sejauh mungkin diubah menjadi tarif, walaupun akan membuat tingkat tarif meninggi (tariffication). Pada periode 1950-1973 pengurangan tarif berlangsung secara positif. Pengurangan ini memacu tingkat produksi dan perdagangan dunia yang pada mulanya tersendat-sendat mulai bergerak cepat. Kompetisi dan efesiensi produksi terjadi yang pada akhirnya menguntungkan masyarakat dunia dengan banyaknya pilihan barang yang murah dan berkualitas. GATT mengharapkan tarif menjadi satu-satunya alat yang digunakan oleh negara-negara anggotanya dalam melindungi industri dalam negerinya dari persaingan dengan industri luar negeri karena beberapa alasan:

a. Tarif adalah mekanisme yang “kelihatan”, langsung mempengaruhi harga produk impor yang dipasarkan di pasar domestik;

b. Tarif tidak memerlukan anggaran dari negara, sehingga intervensi negara dalam perekonomian bisa diminimalisir, sebuah dogma kaum liberal, dan anggaran negara bisa disalurkan pada bidang lain yang lebih diperlukan.

11

Restriksi Kuantitatif (quantitative restriction) misalnya adalah penetapan kuota impor atau ekspor, restriksi penggunaan lisensi impor atau ekspor, pengawasan pembayaran produk – produk impor atau ekspor.

12


(22)

c. Tarif juga diharapkan bisa menjadi alat yang digunakan oleh suatu negara ketika harus membalas praktek perdagangan tidak adil yang dilakukan oleh negara anggota lainnya, walaupun sebenarnya, tarif memberikan proteksi yang kecil. Hal ini bisa dipahami karena GATT bukan hanya berkeinginan menurunkan tingkat tarif tapi juga menghilangkannya dan mengurangi, sampai pada taraf tertentu.13

Dalam perdagangan internasional, terdapat berbagai mekanisme yang digunakan oleh suatu negara untuk melakukan pembatasan atas impor mereka. Selain menerapkan kebijakan tarif, mekanisme yang digunakan untuk membatasi impor adalah kebijakan Non-Tariff Barriers (NTBs). Selain untuk membatasi impor, penerapan kebijakan tarif dan NTBs dimaksud pula untuk melindungi produk dalam negeri dari kompetisi asing. Berbagai jenis Non-Tariff Barriers tersebut antara lain

Voluntary Export Restraint (VER)14, Certificate of Origin15, Domestic Content Requirment16, Impor Licenses17, Import State Trading Enterprises (ISTEs)18,

13

Mumu Muhajir, “Non Tarif Barriers Dalam Perdagangan Internasional”,

http://www.kataloghukum.com diakses pada 04 April 2009

14

Voluntary Export Restraint (VER). Kebijakan NTBs ini dilakukan dalam bentuk kesepakatan di antara negara-negara pengekspor untuk membatasi pengapalan komoditas mereka ke negara pengimpor. Dalam beberapa kasus, suatu negara bersedia menerapkan kebijakan ini karena mereka dapat memperoleh keuntungan melalui harga yang lebih tinggi atas produk ekspor mereka di negara pengimpor.

15

Certificate of Origin (CoO). Sertifikasi ini merupakan tipe baru NTBs yang dilakukan dalam bentuk memberikan kepastian jaminan atas reputasi dan kualitas suatu produk. CoO merupakan salah satu bentuk dari subsidi biaya untuk memodifikasi kualitas investasi suatu perusahaan dan kuantitas untuk produk yang ditawarkan.

16

Domestic Content Requirement, Kebijakan NTBs ini dilakukan melalui penggunaan regulasi kandungan domestik yang bertujuan membatasi impor dan mendorong perkembangan industri domestik. Pengaturan kandungan domestik secara khusus dilakukan dengan menerapkan ketentuan prosentase tertentu dari nilai total suatu produk dapat dijual di pasar dalam negeri. Kebijakan ini umumnya diterapkan bersamaan dengan kebijakan impor substitusi untuk menggantikan produk impor.


(23)

Technical Barrier to Trade19, Exchance Rate Management Policies20, Precautionary

Principle and Sanitary Barrier to Trade21. Anggota GATTS/WTOS melalui Uruguay

Round dalam kerangka negosiasi GATT/WTO telah menyepakati untuk melakukan

berbagai kebijakan yang diperlukan dalam rangka mengatasi kendala tersebut. Berbagai upaya tersebut antara lain (i) kebijakan untuk menghapus penggunaan

import quota dan Non-Tariff Barrier (NTBs), (ii) menurunkan tarif secara gradual,

dan (iii) meningkatkan penerapan kuantitas penurunan tarif.22 Restriksi kuantitatif terhadap ekspor dan impor dalam bentuk apapun (misalnya penetapan kuota,

17

Impor Licenses. Kebijakan ini merupakan salah satu bentuk NTBs dimana importir suatu komoditas tertentu diminta memiliki izin untuk dapat melakukan pengapalan atas barang yang akan diimpor.

18

Import State Trading Enterprises (ISTEs). ISTEs merupakan agen-agen yang dimiliki oleh pemerintah yang bertindak sebagai importir pembeli tunggal secara penuh atau sebagian atas komoditas tertentu atau satu set komoditas tertentu di pasar dunia. ISTEs ini biasanya juga bertindak sebagai monopoli di pasar domestik untuk penjualan komoditas tersebut. Kegiatan ISTEs dapat membatasi impor dalam berbagai bentuk yaitu : (i) menerapkan tarif impor secara implisit (hidden

tariff) dengan membeli barang impor pada harga pasar dunia dan menawarkan komoditas tersebut

dengan harga yang lebih tinggi di pasar domestik, (ii). Impor yang dilakukan ISTEs dapat dikategorikan sebagai Kuota impor atau menerapkan peraturan impor yang secara implisit berbiaya tinggi yang membuat importir lain tidak akan mendapat keuntungan. Problem utama dengan impor yang dilakukan ISTEs adalah sulitnya untuk memperkirakan dampak operasi mereka terhadap perdagangan mengingat operasi mereka yang tidak transparan.

19

Technical Barrier to Trade, Kebijakan NTBs ini dilakukan dalam bentuk penerapan peraturan teknis mengenai packaging, definisi produk, labeling dan lain-lain. Peraturan teknis ini dapat menjadi penghambat yang efektif terhadap penjualan suatu produk suatu negara ke negara yang menerapkan kebijakan ini. Peraturan ini menyalahi ketentuan WTO yang menghendaki suatu negara memperlakukan produk impor dan domestik secara sama dan tidak ada produk dari suatu sumber diuntunkan atas yang lainnya.

20

Salah satu bentuk NTBs ini diterapkan denagan menggunakan kebijakan nilai tukar untuk menghambat impor dan pada saat yang sama mendorong ekspor semua komoditas. Selain kebijakan ini, beberapa Negara juga menargetkan spesifik tipe impor mereka melalui penerapan multiple

exchange rate diman importer diminta membayar nilai tukar yang berbeda untuk mata uang asing

mereka bergantung pada komoditas yang diimpor. Tujuan ini adalah untuk mengurangi masalah

Balance of Payment dan meningkatkan pedapatan pemerintah.

21

Precautionary Principle and Sanitary Barrier to Trade. prinsip Precautionary saat ini sering ddigunakan atau diusulkan sebagai justifikasi atas pembatasan perdagangan oleh pemerintah dalam konteks kesehatan dan lingkungan, yang terkadang sering tidak disetai bukti yang ilmiah.

22

Aswin Kootali dan Gunawan Saichu, Integrasi Ekonomi : Konsep Dasar dan Realitas, ( Jakarta : Elexmedia Komputindo, 2008), hlm. 64.


(24)

dumping, subsidi dan voluntary export restraints (VER), restriksi penggunaan lisensi impor atau ekspor, pengawasan pembayaran produk-produk impor atau ekspor), pada umumnya dilarang.23

Adapun prinsip-prinsip dasar perdagangan barang yang diatur dalam GATT sebagai berikut :

1. Protection to domestic industry through tariffs. Setiap negara anggota dapat

memproteksi industri dalam negerinya dari pihak asing dalam bentuk tarif. Sedangkan pembatasan kuantitas (quantitatif restrictions) seperti kuota tidak diperbolehkan kecuali dalam situasi tertentu.

2. Binding of tariff. Setiap negara anggota diminta untuk menurunkan dan

menghilangkan bentuk-bentuk proteksi bagi industri dalam negeri degan cara menurunkan tarif dan menghilangkan hambatan lainnya. Tarif yang telah diturunkan diwajibkan untuk terus diturunkan dan penurunan tarif tersebut harus didaftarkan pada GATT sehingga menjadi bagian tidak terpisahkan dari GATT legal system. Penurunan tarif secara rata-rata pada awal berdirinya WTO turun menjadi :

a. Negara maju dari 6,3 % menjadi 3,8 %

b. Negara berkembang dari 15,3 % menjadi 12,3 % dan c. Negara transisi ekonomi dari 8,6 % menjadi 6 %

23

Wahyu Pratomo, Teori Kerjasama Perdagangan Internasional, (Jakarta : Elexmedia Komputindo, 2007), hlm. 28.


(25)

3. Most Favoured Nation (MFN) Treatment. Dasar dari pelaksanaan prinsip non

diskriminasi ini menghendaki penentuan tarif dan persyaratan perdagangan lainnya harus diterapkan tanpa diskriminasi pada setiap negara anggota.

4. National Treatment Rule. Setiap negara anggota tidak dibenarkan

mengenakan pajak lebih tinggi terhadap produk impor dibandingkan dengan pajak untuk produk domestik.24

Namun ada beberapa pengecualian terhadap prinsip Most Favoured Nation (MFN) Treatment ini. Pengecualian tersebut yang antara lain, Pertama, perlakuan preferensi di wilayah-wilayah tertentu yang sudah ada, tetap boleh terus dilaksanakan namun tingkat batas preferensinya tidak boleh dinaikkan. Kedua, anggota-anggota GATT yang membentuk suatu Customs Union atau Free Trade Area yang memenuhi persyaratan Pasal XXIV25 tidak harus memberikan perlakuan yang sama kepada negara anggota lainnya. Ketiga, Preferensi tarif oleh negara-negara maju kepada produk impor dari negara sedang berkembang atau negara-negara kurang beruntung

(least developed) melalui fasilitas Generalised System of Preferences (sistem

preferensi umum).26 GATT juga memungkinkan negara-negara untuk memberikan

24

Bismar Nasution, op.cit., hlm. 12. 25

Kesatuan Pabean, Wilayah Perdagangan Bebas dan persetujuan sementara dalam pembentukan Kesatuan Pabean dan FTA, harus konsisten dengan Pasal XXIV, dan harus sesuai dengan paragraph 5,6,7 dan 8 dari Kesepakatan Tentang Penafsiran Pasal XXIV Dari Peraturan Umum Tarif Dan Perdagangan 1994 (Understanding on The Interpretation of Article XXIV of The General

Agreement on Tariffs And Trade 1994). Kesepakatan Tentang Penafsiran Pasal XXIV Dari Persetujuan

Umum Tentang Tarip dan Perdagangan 1994, Pasal 1 yaitu : kesatuan pabean, wilayah perdagangan bebas dan persetujuan sementara dalam pembentukan kesatuan pabean dan FTA, harus konsisten dengan Pasal XXIV.

26

Herry Soetanto, Catatan Mengenai Ketentuan Asal Barang (Rules Of Origin) Dalam

Perdagangan Internasional, (Jakarta : Direktorat Kerjasama Perdagangan Internasional, Departemen


(26)

konsesi khusus terhadap negara-negara berkembang tanpa perlu memberikan hal yang sama untuk seluruh anggota WTO. Hal ini disebut “perlakuan khusus dan berbeda”

(special and diffrential treatment-S&D). 27

Meskipun GATT menganut prinsip Most Favoured Nation (MFN) atau

non-discriminatory, konsep kerjasama perdagangan dalam bentuk Free Trade Area (FTA)

dan Custom Union (CU) diakomodasi dalam perjanjian dan diberikan pengecualian dalam Pasal 24.28 Suatu argumen yang mendukung munculnya banyak kerjasama liberalisasi perdagangan regional adalah bahwa kerjasama tersebut didasari spirit untuk mewujudkan perdagangan bebas, sama seperti spirit WTO. Spirit yang sama inilah yang diyakini menjadi pertimbangan WTO untuk mengijinkan negara-negara anggotanya terlibat dalam Free Trade Area atau pun Custom Union, meski perlakuan

preferential itu sendiri bertentangan dengan non-diskriminasi dalam WTO. Seperti di

ketahui pembentukan Free Trade Area atau Customs Union mencakup langkah menghilangkan tarif sesama negara anggota akan mempercepat proses liberalisasi perdagangan dunia.29

putusan mengenai pemberian perlakuan yang lebih menguntungkan dan partisipasi yang lebih besar bagi negara sedang berkembang dalam perdagangan dunia (‘enabling clause’). Keputusan tersebut mengakui bahwa negara sedang berkembang juga adalah pelaku yang permanen dalam sistem perdagangan dunia. Pengakuan ini juga merupakan dasar hukum bagi negara industri untuk memberikan GSP (Generalized System of Preferences atau sistem preferensi umum) kepada negara-negara sedang berkembang.

27

Herry Soetanto, World Trade Organizatioan (WTO) dan Negara Berkembang, ( Jakarta : Direktorat Jenderal Perdagangan Internasional, Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2007), hlm.5.

28

Rahmat Dwi Saputra, Kerjasama Perdagangan Regional, ( Jakarta : Elexmedia Komputindo, 2007), hlm. 163. Kesepakatan Tentang Peraturan Umum Tarif Dan Perdagangan 1994 Pasal XXIV tentang Kesatuan Pabean atau Wilayah Perdagangan Bebas atau persetujuan sementara dalam rangka pembentukan Kesatuan Pabean atau Wilayah Perdagangan Bebas.

29


(27)

Salah satu yang menjadi pertimbangan suatu negara untuk melakukan Free

Trade Agreement (FTA) adalah kekhawatiran kehilangan pangsa pasar yaitu

kemungkinan beralihnya mitra dagang ke negara lain yang telah melakukan FTA dengan mitra dagang dagang tersebut. Hal ini dapat terjadi karena anggapan bahwa daya tarik suatu negara akan meningkat dengan menjadi anggota suatu FTA atau RTA (Regional Trade Agreement) yang mendorong antara lain terjadinya trade

creation.30 FTA adalah bentuk perjanjian perdagangan dengan preferensi yang

melakukan diskriminasi terhadap pihak luar perjanjian melalui penerapan tarif dan hambatan dalam bentuk ketentuan. Untuk lebih meningkatkan kerjasama ekonomi dan perdagangan ASEAN, pada tahun 1992 disepakati permbentukan ASEAN Free

Trade Area (AFTA), pada tahun yang sama saat KTT ke-5 ASEAN di Singapura

tahun 1992 telah ditandatangani Framework Agreement on Enhancing ASEAN

Economic Cooperation sekaligus menandai dicanangkannya ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada tanggal 1 Januari 1993 dengan Common Effective Preferential Tariff (CEPT) sebagai mekanisme utama. Pendirian AFTA memberikan impikasi

dalam bentuk pengurangan dan eliminasi tarif, penghapusan hambatan-hambatan non-tarif, AFTA diwujudkan dengan cara menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan, berupa tarif maupun non tarif dalam waktu 15 tahun kedepan terhitung tanggal 1 Januari 1993 dengan menggunakan skema Common Effective Preferential

Tariff (CEPT) sebagai mekanisme utamanya. Skema Common Effective Preferential

30

Heri Ispriyahadi dan Mutiara Sibarani, Kerjasama Perdagangan Bilateral, ( Jakarta : Elexmedia Kompetindo, 2007), hlm. 209.


(28)

Tariffs For ASEAN Free Trade Area ( CEPT-AFTA) merupakan suatu skema untuk

mewujudkan AFTA melalui : penurunan tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan pembatasan kuantitatif dan hambatan-hambatan non tarif lainnya.

Tujuan AFTA adalah untuk meningkatkan kerjasama ekonomi antar negara ASEAN guna mencapai pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang berkesinambungan bagi semua negara anggota ASEAN dimana hal tersebut sangat penting bagi pencapaian stabilitas dan kemakmuran kawasan. Tujuan strategis AFTA adalah untuk meningkatkan competitive advantage kawasan sebagai suatu kawasan unit produksi tunggal (single production unit) dan pasar tunggal (single market). Pengurangan tarif dan non-tarif negara-negara ASEAN diharapkan akan menciptakan efisiensi ekonomi yang lebih besar, peningkatan produktifitas dan daya saing.31

ASEAN terus mengupayakan langkah-langkah untuk mewujudkan ASEAN sebagai kawasan perdangan bebas melalui pengurangan dan penghapusan hambatan perdagangan baik tarif maupun non-tarif. Karena dengan cara demikian perdagangan kawasan ASEAN diharapkan dapat meningkat karena arus barang tidak terhambat. Pada gilirannya kondisi tersebut akan menjadikan ASEAN sebagai kawasan basis produksi yang kompetitif (terutama dalam menarik investasi asing) sekaligus mewujudkan ASEAN sebagai pasar yang potensial. Skema penurunan dan pengurangan tarif dalam kerangka AFTA dilakukan melalui instrumen Common

Effective Preferential Tariff (CEPT). Komoditas yang terdapat dalam skema CEPT

dikelompokkan dalam suatu daftar (list) yang terdiri dari Inclusion List (IL),

31


(29)

Temporary Exclusion List (TEL), Sensitive/Highly Sensitive List (SL/HSL), dan General Exception List (GEL). Produk yang akan diliberalisasi dan diberikan atau

menerima konsesi penurunan/penghapusan tarif diletakan dalam IL, sedangkan produk yang tidak termasuk dalam IL diletakkan dalam TEL, yang disusun dengan menggunakan HS hingga 8 atau 9 angka. Penggunaan HS hingga 8 atau 9 angka tersebut dimaksudkan untuk meminimalkan jumlah kelompok produk yang termasuk dalam TEL. Pada pertemuan menteri ekonomi ASEAN ke-26 tahun 1994, diputuskan daftar komoditas dalam TEL harus dikurangi secara bertahap sebesar 20 % setiap tahunnya selama lima tahun sehingga pada akhirnya kelompok barang yang berada di TEL dapat masuk dalam IL.32

Sebagai konsekuensi legal dari keikutsertaan Indonesia dalam meratifikasi pembentukan WTO, Indonesia harus melaksanakan semua ketentuan dibawah GATT termasuk persetujuan-persetujuannya.33 Masalah utama yang menghambat kelancaran arus barang yang melintasi suatu perbatasan negara adalah diterapkannya prosedur kepabeanan yang rumit dan berbeda-beda serta diberlakukannya berbagai macam persyaratan baik impor maupun ekspor. Untuk mengatasi masalah tersebut

Worl Custom Organization (WCO) atau organisasi kepabeanan dunia dimana

Indonesia merupakan salah anggotanya, telah menerapkan salah satu tujuannya, yaitu menjamin tercapainya tingkat harmonisasi dan keseragaman sistem kepabeanan yang

32

Joko Siswanto dan Aditya Rachmanto, Menuju Kawasan Bebas Aliran Barang ASEAN

2015, ( Jakarta : Elexmedia Kompetindo, 2008), hlm. 96.

33

Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Pengantar Nilai Pabean, ( Jakarta : Pusdiklat Bea dan Cukai, 2005), hlm. 8.


(30)

memadai dalam rangka memperlancar perdagangan.pencapaian tersebut menjadi tanggung jawab the permanent technical commitee (PTC). Untuk memperlancar perdagangan pada tahun 1973 PTC telah menghasilkan the international convention

on the simplication and harmonization of customs prosedures, dikenal dengan nama Kyoto Convention. Direktorat Jenderal Bea dan cukai melalui Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan diharapkan akan mendukung perdagangan bebas. Perubahan Undang-Undang Kepabeanan tersebut lebih dipengaruhi oleh konvensi dan situasi perdagangan internasional yang menghendaki keterbukaan dan transparansi dan juga untuk menghilangkan hambatan-hambatan dalam dunia perdagangan internasional baik berupa tarif maupun yang bukan tarif.34

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana kedudukan tarif dalam hukum perdagangan internasional menurut ketentuan-ketentuan WTO dan AFTA ?

2. Bagaimana kebijakan Pemerintahan Indonesia sehubungan dengan harmonisasi tarif di lingkungan AFTA ?

3. Bagaimana aturan terkait dengan peran dan kedudukan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam pelaksanaan dan penunjukan tarif bea masuk ?

34

Ali Purwito, Reformasi Kepabeanan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Pengganti


(31)

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan tarif dalam kebijakan perdagangan internasional menurut ketentuan WTO dan AFTA;

2. Untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan Pemerintah Indonesia sehubungan dengan harmonisasi tarif di lingkungan AFTA;

3. Untuk mengetahui dan menganalisis peran dan kedudukan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam Penetapan dan penunjukan tarif bea masuk;

D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis

Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan atau data informasi di di bidang ilmu hukum, khususnya di bidang hukum perdagangan internasional bagi kalangan akademisi, untuk mengetahui dinamika perkembangan perdagangan bebas (free

trade) atau liberalisasi perdagangan (trade liberalization), khususnya harmonisasi

tarif bea masuk dalam perdagangan bebas regional. 2. Secara Praktis

Secara praktis, pembahasan dalam tesis ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi kalangan praktisi, pemerintah, DPR dan pelaku dalam dunia bisnis yang melakukan kegiatan di bidang perdagangan internasional khususnya perdagangan bebas regional antara negara-negara ASEAN.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti dan tenaga administrasi di Sekretariat Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana


(32)

Universitas Sumatera Utara bahwa terdapat sejumlah tesis yang menganalisis topik yang terkait dengan perdagangan internasional dalam konteks multilateral maupun regional, antara lain :

a. Penerapan Ketentuan Country of Origin Making Di Bea dan Cukai Medan, ditulis oleh Supratignya;

b. Eksistensi dan Harmonisasi Kebijakan Pengamanan Perdagangan (Safeguard) Indonesia, ditulis oleh Ramziati.

Tetapi penelitian tentang Ketentuan Harmonisasi Tarif Bea Masuk Dalam Rangka Menghadapi Perdagangan Bebas Regional Ditinjau dari Sudut Kepabeanan dilakukan dengan pendekatan dan perumusan masalah yang berbeda dengan beberapa tulisan terdahulu. Oleh sebab itu penelitian ini adalah “asli”, karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yakni : jujur, rasional, objektif dan terbuka/trasnsparan. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan dan kritikan, serta saran-saran yang bersifat membangun.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Dalam sejarah perdagangan internasional yaitu pada Era Merkantilisme Thomas Mun dalam bukunya yang berjudul England’s Treasure by Foreign berpendapat bahwa untuk meningkatkan kekayaan negara, cara yang biasa dilakukan adalah lewat perdagangan dan karena itu pedoman yang harus dipegang teguh oleh suatu negara adalah mengusahakan agar nilai ekspor ke luar negeri harus lebih besar dibandingkan dengan yang diimpor oleh negara itu. Pada Era Klasik ketika Adam


(33)

Smith mengeluarkan bukunya yang berjudul An Inquiry into Nature and Causes of

the Wealth of Nations, yang biasa disingkat dengan Wealth of Nations, berpendapat

bahwa jika suatu Negara menghendaki adanya persaingan, perdagangan bebas dan spesialisasi di dalam negeri, maka hal yang sama juga dikehendaki dalam hubungan antar bangsa. Karena hal itu ia mengusulkan bahwa sebaiknya semua negara lebih baik berspesialisasi dalam komoditi-komoditi di mana ia mempunyai keunggulan yang absolut dan mengimpor saja komoditi-komoditi lainnya. Sedangkan David Ricardo dalam bukunya The Principles of Political Economy and Taxation (1817),35 menekankan bahwa perdagangan internasional dapat saling menguntungkan jika salah satu negara tidak usah memiliki keunggulan absolut atas suatu komoditi seperti yang diungkapkan oleh Adam Smith, namun cukup memiliki keunggulan komparatif di mana harga untuk suatu komoditi di negara yang satu dengan yang lainnya relatif berbeda.36

Konsep perdagangan bebas saat ini tidak terlepas dari pemikiran pada era klasik tersebut, dimana GATT selalu mengupayakan terciptanya perdagangan bebas dunia. Prinsip suatu sistem perdagangan bebas dunia yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama ini tidak terlepas dari suatu konsep yang disebut dengan keunggulan komperatif (comparative advantage). Prinsip-prinsip hukum dalam GATT menginginkan perlakuan sama atas setiap produk impor maupun produk domestik. Tujuan utamanya adalah agar terciptanya perdagangan bebas yang

35

Wahyu Pratomo, op.cit., hlm.18. 36

Andreas Limongan, Perdagangan Internasional dan ngunanKemiskinan


(34)

teratur dan berdasarkan norma-norma hukum GATT. Masalah perdagangan antarnegera dihadapkan pada dua kepentingan yaitu kepentingan nasional dan kepentingan internasional. GATT berusaha untuk berkompromi antara kepentingan tersebut melalui peraturan dan pencantuman skedul tarif GATT. 37 GATT berupaya menghilangkan hambatan perdagangan internasional dengan menghilangkan hambatan berupa tarif ataupun non-tarif. Perdagangan bebas saat ini juga dilakukan melalui pengahapusan hambatan tarif dan non-tarif, tetapi GATT pada dasarnya melegalkan tarif sebagai satu-satunya instrumen bagi sebuah negara untuk melindungi industri dalam negerinya. Ada beberapa alasan penggunaan instrumen tarif dalam perdagangan internasional yakni :

a. Tarif bisa menjadi alat yang digunakan oleh suatu negara ketika harus membalas praktek perdagangan tidak adil yang dilakukan oleh negara anggota lainnya, walaupun sebenarnya, tarif memberikan proteksi yang kecil.

b. Tarif merupakan instrumen lebih mudah dan dapat diubah sewaktu-waktu dibandingkan dengan instrumen non-tarif.

Tarif yang berbeda-beda pada setiap negara dalam perdagangan internasional akan menimbulkan distorsi pasar dan pasar tersebut juga menjadi tidak dapat di prediksi. Dalam praktek perdagangan internasional saat ini distorsi tersebut dapat berupa subsidi produksi, tarif, kuota tarif dan sebagainya.38 Untuk menghindari

37

Syahmin A.K., Aspek-Aspek Hukum Perdagangan Internasional dalam GATT dan WTO, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006), hlm, 50.

38

Executive Summary, Current State Play in WTO, (Jakarta : Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, 2009). hlm.3.


(35)

distorsi dan hambatan-hambatan dalam perdagangan internasional tersebut setidak-tidaknya ada bebarapa faktor yang perlu di perhatikan dalam pembaharuan hukum menuju ekonomi perdagangan internasional. Menurut Burg’s mengenai hukum dan pembangunan ekonomi terdapat beberapa unsur yang harus dikembangkan supaya tidak menghambat ekonomi yaitu apakah hukum mampu menciptakan "stability",

"predictability" dan "fairness". Dua hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistem

ekonomi apa saja untuk berfungsi. Termasuk dalam fungsi stabilitas (stability) adalah potensi hukum menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Kebutuhan fungsi hukum untuk dapat meramalkan (predictability) akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil khususnya penting bagi negeri yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial yang tradisional. Aspek keadilan (fairness), seperti perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku Pemerintah adalah perlu untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan.39 Hal yang sama juga diungkapkan J.D. Ny Hart bahwa konsep dasar pembangunan ekonomi yaitu hukum harus dapat membuat prediksi (predictability), yaitu apakah hukum itu dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi pelaku dalam memprediksi kegiatan apa yang dilakukan untuk proyeksi pengembangan ekonomi.40 Seperti halnya tarif, GATT juga mensyaratkan negara-negara anggotanya untuk menerapkan prinsip

39

Erman Rajagukguk, Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional,

Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, ( Jakarta : Universitas

Indonesia), hlm. 7. 40

Bismar Nasution, Reformasi Hukum Dalam Rangka Era Globalisasi Ekonomi, (Medan : Sekolah Pasca Sarjan Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2008), hlm. 3.


(36)

transparansi. Prinsip ini pula yang menjadi kunci bagi prasyarat perdagangan yang pasti (predictable).

Untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang bersaing dalam perdagangan internasional dan bagi negara berkembang yang masih berada dalam tahap awal pembangunan ekonominya dalam memasuki hubungan-hubungan perdagangan internasional dan agar dapat meramalkan langkah-langkah yang diambil dapat memperhatikan prinsip-prinsip GATT yaitu prinsip Most Favoured Nation,

National Treatment dan Reciprocity dimana semua negara diperlakukan atas dasar

yang sama dan semua negara menikmati keuntungan dari suatu kebijaksanaan perdagangan. Negara yang sedang berkembang juga memperoleh perlakuan yang sama dengan adanya “perlakuan khusus dan berbeda” (special and diffrential

treatment-S&D), dimana negara-negara maju juga tidak akan meminta balasan dalam

perundingan penurunan atau penghilangan tarif dan rintangan-rintangan lain terhadap perdangan negara-negara berkembang. John Rawls dalam A Theory of Justice, juga mengkonsepkan keadilan sebagai fairness dimana setiap negara berkembang yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya dalam perdagangan internasional hendaknya juga memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi negara berkembang untuk memasuki perdagangan internasional.41

41

Eman Suparman, Perjanjian Internasional Sebagai Model Hukum Bagi Pengaturan

Masyarakat Global, Menuju Konvensi ASEAN Sebagai Upaya Harmonisasi Hukum, (Bandung :


(37)

GATT dalam pasal XXIV mengakui adanya integrasi yang erat dalam bidang ekonomi melalui perdagangan yang lebih bebas. Bentuk pengelompokan dalam pasal XXIV tersebut dapat berupa custom union dan free trade area. Dalam free trade

area, sekelompok negara setuju untuk menghapus tarif diantara mereka namun tetap

mempertahankan tarif mereka masing-masing terhadap impor dari negara-negara di luar FTA. Agar negara anggota FTA dapat memprediksi langkah-langkah yang diambilnya dalam menghadapi perdagangan bebas maka mekanisme penurunan tarif dilakukan melalui penerapan common effective preferential tariff (CEPT) dan atas dasar prinsip MFN. Dalam penyusunan pengaturan domestik negara anggota didorong untuk merujuk standar harmonisasi internasional. Penomoran tarif akan diseragamkan (diharmonisasikan) demikian juga dengan prosedur sistem penilaian dan kepabeanan.42 Harmonisasi hukum dapat juga digambarkan sebagai suatu upaya yang dilaksanakan dengan proses untuk membuat hukum nasional dari negara-negara anggota ASEAN mempunyai prinsip atau pun pengaturan yang sama tentang masalah yang serupa di masing-masing jurisdiksinya. Harmonisasi dalam bidang hukum merupakan salah satu tujuan penting dalam menyelenggarakan hubungan-hubungan hukum. Terlebih lagi kawasan ASEAN telah bersepakat membentuk AFTA sebagai kawasan perniagaan negara-negara di Asia Tenggara. Kerjasama bidang hukum yang berujung pada adanya harmonisasi itu penting agar hubungan-hubungan hukum yang

42

Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 137.


(38)

diatur oleh satu negara akan sejalan atau tidak begitu berbeda dalam penerapannya dengan ketentuan yang berlaku di negara lain.43

Harmonisasi adalah proses membawa dua atau lebih standar, peraturan teknis dan prosedur kesesuaian (conformity assessment procedures) kedalam kesesuaian satu sama lain. Harmonisasi tersebut dapat terjadi dalam dua konteks sebagai berikut : (1). Secara bilateral atau multilateral diantara negara-negara yang berbeda, dan (2). Antara negara-negara dengan organisasi-organisasi yang menetapkan standar internasional.44 Secara historis tujuan utama harmonisasi adalah untuk integrasi

ekonomi dan pengurangan hambatan-hambatan perdagangan. Secara teoritis, harmonisasi standar dan prosedur akan meningkatkan akses pasar, mengurangi biaya, meningkatkan produktivitas melalui spesialisasi atas dasar keuntungan komparatif dan menaikkan pertumbuhan secara keseluruhan.45

Pada dasarnya ada dua macam harmonisasi, yaitu harmonisasi penuh (full

harmonization) dan model kesetaraan (equivalence model). Berdasarkan harmonisasi

penuh, dua negara atau lebih menyetujui untuk mengadopsi standar yang sama. Negara-negara dapat menyamakan standarnya dalam satu dari tiga cara sebagai berikut : (1). harmonisasi yang mengikat (upward harmonization), dimana negara dengan standar yang lebih rendah memperketat standarnya untuk menyamakan standar yang lebih tinggi ; (2) harmonisasi menurun (downward harmonization),

43

Eman Suparman, op.cit, hlm. 30. 44

Alexander M. Donahue, “ Equivalence : Not Quite Close Enough for the International

Harmonization of Environmental Standards” Environmental Law, (Vol. 30 : 2000), hal. 367.

45

Alberto Bernabe – Riefkohl, “To Dream the Impossible Dream : Globalization and Harmonization of Environmental Laws, “ Notrh Carolina Journal of International Law and


(39)

dimana negara dengan standar yang lebih tinggi menurunkan standarnya untuk menyamakan dengan standar yang lebih rendah ; (3) harmonisasi kompromi (compromise harmonization), dimana dua negara atau lebih memperundingkan standar baru pada tingkat menengah.46

Model harmonisasi yang kedua adalah model kesetaraan, yang juga disebut

convergence, approximation, or less-than-full harmonization. Berdasarkan model

kesetaraan ini, suatu negara menyetujui untuk menerima standar negara lain yang berbeda karena setara dengan standar yang dimiliknya, tanpa sebenarnya menyamakan standar. Ketika dua negara atau lebih setuju untuk menerima standar masing-masing negara lain sebagai kesetaraan, maka mutual recognition agreement

(MRA) terbentuk. Setara dalam hal ini tidak berarti sama. Negara pada intinya

menyatakan bahwa standar dan sistim pengaturan negara lain sangat dekat dengan standar yang dimilikinya sehingga mempercayakan perlindungan warga negaranya dalam hal tersebut kepada negara lain.47

Konsekuensi logis atas keikutsertaan Indonesia dalam meratifikasi GATT

Agreement maupun AFTA, APEC, dan lain-lain, memberikan kewenangan yang

semakin besar Kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai institusi Pemerintah untuk dapat memainkan perannya sesuai dengan lingkup tugas dan fungsi yang diemban, dimana kewenangan yang semakin besar ini pada dasarnya adalah keinginan dari para pengguna jasa internasional. Untuk mengantisipasi berbagai

46

Alexander M. Donahue, op.cit, hal. 369. 47


(40)

prakarsa bilateral, regional, dan multilateral di bidang perdagangan yang semakin diwarnai oleh arus liberalisasi dan globalisasi perdagangan dan investasi, Pemerintah Indonesia melalui kebijaksanaanya telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang kepabeanan yang diharapkan mampu menghadapi tantangan-tantangan di era perdagangan bebas saat ini.48

2. Kerangka Konsepsi

Bagian kerangka konsepsi ini akan dijelaskan hal-hal yang berkenan dengan konsep yang digunakan oleh peneliti dalam penulisan Tesis ini. Konsep pada dasarnya berperan dalam penelitian Tesis ini adalah untuk menghubungkan Teori hukum dalam perdagangan internasional dan observasi mengenai ketentuan dan kebijakan pemerintah indonesia dalam menghadapi perdagangan bebas, Konsep ini juga dapat diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus yang biasa disebut dengan defenisi operasional. Definisi operasional ini mempunyai peranan penting dalam menghindarkan perbedaan (diskriminasi). Pengertian antara penafsiran mendua (double) atau biasa juga disebut dengan istilah “debius” dari suatu istilah yang dipergunakan. Dalam proses penelitian tesis ini dipergunakan juga defenisi operasional untuk memberikan pegangan bagi penulis, yakni sebagai berikut :

48

Sekilas Tentang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai


(41)

Pengertian harmonisasi berasal dari ilmu musik, yang kemudian digunakan Ilmu Seni. Dalam musik dikenal harmonisasi nada-nada dan seni berkembang harmonisasi warna-warna, kata-kata, frase dan sebagainya. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) tidak diberikan perumusan mengenai kata harmoni atau harmonisasi. Yang ada ialah padanan kata harmoni yaitu serasi, selaras, sepadan.

Dalam Collins Cobuild Dictionary (1991) ditemukan kata-kata : harmonious dan harmonize dengan penjelasan sebagai berikut :

1. A Relationship, agreement etc. That harmonius is friendly and peaceful.

2. Things which are harmonius have parts which make up an attractive whole

and which are proper proportion to each other

3. When people harmonize, they agree about issue or subject in a friendly,

peaceful ways;suitable, reconcile

4. If you harmonize teo things, they fit in with each other is part of a system, society etc.

Beberapa unsur dapat ditarik dari perumusan-perumusan dalam beberapa kamus tersebut antara lain :

1. Adanya hal-hal yang bertentangan, kejanggalan.

2. Mencocokkan hal-hal yang bertentangan secara proporsional agar membentuk satu keseluruhan yang menarik, sebagai bagian dari satu sistem itu, atau masyarakat.

3. Terciptanya suasana persahabatan dan damai.

Pada tahun 1902 Rudolf Stambler di Jerman telah mengutarakan suatu konsep bahwa tujuan atau fungsi hukum adalah harmonisasi pelbagai maksud, tujuan dan kepentingan antar individu dengan individu dan atar individu dengan masyarakat.


(42)

Prinsip-prinsip hukum yang adil, yang mencakup harmonisasi antara maksud tujuan serta kepentingan perorangan dan maksud tujuan serta kepentingan umum terdiri dari dua unsur yaitu :

1. Saling menghormati maksud tujuan dan kepentingan masing-masing 2. Partisipasi semua pihak dalam usaha mencapai maksud dan tujuan

bersama.49

Harmonisasi hukum dapat juga diartikan sebagai upaya/proses untuk menjadikan hukum nasional suatu negara mempunyai prinsip ataupun kaedah yang sama tentan masalah yang sama dengan negara-negara lainnya, baik secara regional maupun global. Tujuan harmonisasi hukum adalah agar hubungan-hubungan hukum yang diatur oleh suatu negara sejalan atau tidak begitu berbeda penerapannya dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku pada negara-negara lain.50 Harmonisasi hukum dapat juga digambarkan sebagai suatu upaya yang dilaksanakan dengan proses untuk membuat hukum nasional dari negara-negara anggota ASEAN mempunyai prinsip atau pun pengaturan yang sama tentang masalah yang serupa di masing-masing jurisdiksinya.51

Tarif, atau bea impor adalah pajak-pajak yang dikenakan atas barang-barang impor dengan tujuan utama untuk meningkatkan harga jualnya di pasar negara

49

LM. Gandhi, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Responsif, (Jakarta : Fakutas Hukum Universitas Indonesia, 1995), Hlm., 4.

50

Suhaidi , Hukum Transaksi Internasional, (Medan : Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Univeristas Sumatera Utara, 2009), Hlm., 1.

51

Komar Kantaatmadja, Harmonisasi Hukum Negara-Negara ASEAN, Kertas Kerja Pada Simposium Nasional Aspek-aspek Hukum Kerjasama Ekonomi antara Negara-negara ASEAN dalam rangka AFTA, (Bandung : Fakultas Hukum UNPAD, 1993), Hlm. 3.


(43)

pengimpor dengan tujuan utama mengurangi persaingan bagi pada produsen domestik. Beberapa negara yang lebih kecil juga menggunakannya untuk meningkatkan penerimaan baik dari impor maupun ekspor.52 Tarif juga dapat diartikan sebagai klasifikasi barang dan pembebanan bea masuk atau bea keluar.53

Bea masuk adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang yang diimpor.

GATT pada dasarnya mengakui bahwa sebuah negara mempunyai hak untuk melindungi industri dalam negerinya dengan alasan-alasan tertentu, namun satu-satunya cara yang diperbolehkan adalah dengan tarif. Hambatan-hambatan selain tarif diusahakan sejauh mungkin diubah menjadi tarif, walaupun akan membuat tingkat tarif meninggi (tariffication). Tarif juga diharapkan bisa menjadi alat yang digunakan oleh suatu negara ketika harus membalas praktek perdagangan tidak adil yang dilakukan oleh negara anggota lainnya, walaupun sebenarnya, tarif memberikan proteksi yang kecil. Hal ini bisa dipahami karena GATT bukan hanya berkeinginan menurunkan tingkat tarif tapi juga menghilangkannya dan mengurangi, sampai pada taraf tertentu menghilangkan, regulasi pemerintah dalam bidang perdagangan.

Bentuk-bentuk hambatan non tarif dalam Putaran Tokyo dan putaran-putaran perundingan GATT dan WTO antara lain :

52

Donald A. Ball, dkk., International Business, Bisnis Internasional Tantangan Persaingan

Global, (Jakarta : Salemba Empat , Buku 1, Edisi 9, 2004), Hlm. 160.

53

Pasal 1 ayat 21 Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan.


(44)

a. Subsidi dan tindakan balasan atas subsidi;54 b. Hambatan teknis;55

c. Hambatan Administratif;56

d. Government Procurement (Pembelian Negara);57

e. Dumping dan Bea Masuk Anti Dumping;58

54

Subsidi adalah penyaluran bantuan dalam bentuk finansial yang dilakukan oleh pemerintah atau instansi publik tertentu. Subsidi disalurkan dalam rangka pembangunan ekonomi baik dalam rangka bantuan, pengembangan dan atau perlindungan suatu industri atau sektor ekonomi yang dipandang sensitif serta untuk memperkuat daya saing ekspor. Subsidi bisa berupa subsidi domestik atau juga subsidi ekspor. Subsidi ekspor dilarang oleh GATT dalam pasal VI, sedangkan bentuk subsidi lainnya ada yang diperbolehkan, diperbolehkan dengan syarat dan dilarang.

55

Putaran Tokyo mengatur hambatan non tarif jenis ini dalam Agreement on Technical

Barriers to Trade atau lebih dikenal dengan standar code. Standar code ini merupakan

penyempurnaan dari aturan GATT, yaitu pasal I dan III, yang mengatur tentang dilarangnya spesifikasi yang digunakan untuk melindungi industri dalam negeri; pasal IX tentang aturan dalam merk; pasal X mengatur tentang publikasi peraturan administratif yang mencakup juga standar-standar produk; pasal XI dan XX berkenaan dengan referensi umum mengenai standar dan peraturan-peraturan yang terkait.

56

Hambatan administrasi adalah hambatan yang terjadi di kepabeanan yang menyangkut penilaian pada produk impor yang masuk. Penilaian ini harus sesuai dengan kenyataan praktek dunia perdagangan dan melarang cara penentuan penilaian yang arbiter/semena-mena dan fiktif. Dikenal sebagai custom valuation. Masalah penilaian yang bertele-tele akan sangat merugikan pihak importir karena akan ada keterlambatan waktu karena barang tertahan di pelabuhan yang akan menambah beban biaya karena harus membayar lebih atas keterlambatan itu. Harga produk pun bisa berpengaruh. Penilaian di pabean ini penting untuk menentukan tingkat bea masuk barang tersebut. GATT mengaturnya dalan pasal VII. Putaran Tokyo mengenai custom valuation ini mengandung serangkaian peraturan mengenai valuasi, bersifat meluaskan dan merinci aturan valuasi yang sudah diatur dalam Pasal VII GATT.

57

Putaran Tokyo menghasilkan Code on Government Procurement dengan maksud untuk membuka terjadinya kompetisi internasional dalam hal pembelian yang dilakukan oleh suatu negara untuk pembangunan infrastruktur seperti waduk, jalan atau jembatan dan lain-lain ataupun untuk keperluan pelayanan publik. Banyak negara, terutama negara-negara maju serta para pengusahanya, yang sangat berkepentingan dengan keterbukaan tender dalam hal pembelian negara ini dan menginginkan masuk dalam perjanjian GATT karena melihat bahwa masalah ini bisa menjadi alat untuk mendiskriminasi produk dan pemasok dari luar negeri dan memproteksi industri dalam negeri yang pastinya melanggar prinsip GATT tentang Most Favoured Nation serta National Treatment. Sedangkan di lain pihak negara-negara berkembang, yang sektor pemerintahnya umumnya adalah pembeli terbesar, berkepentingan untuk tidak membuka terlalu lebar bagi masuknya tender bagi pihak asing dalam pembelian negara karena bisa menjadi stimulus bagi industri dalam negerinya untuk mendapatkan keuntungan.

58

Dumping mempunyai dua definisi. Pertama, dumping adalah praktek yang dilakukan oleh sebuah perusahaan yang menjual produk ekspornya pada harga yang lebih rendah daripada harga produk itu jika dijual di negara asalnya. Definisi dumping ini dipakai dalam Putaran Kennedy dan Putaran Tokyo mengenai anti dumping duties. Sementara definisi dumping yang disepakati dalam


(45)

Regionalisme dapat diartikan sebagai paham pengelompokan geografis yang sesuai dengan kriteria homogenitas para anggotanya. Tujuan terbentuknya kawasan regional dalam perekonomian :

1. Meningkatkan pembangunan ekonomi dan sosial negara-negara anggota; 2. Meningkatkan pertumbuhan dan efisiensi ekonomi nasional

masing-masing negara anggota;

3. Menyeimbangkan peta kekuatan ekonomi dunia sehingga benar-benar tercipta interpedensi;

4. Memperkuat posisi negara-negara anggotanya dalam berbagai forum perundingan internasional;59

Selain itu juga terdapat istilah regionalisation (regionalisasi) dan regionalism (regionalisme). Regionalisasi adalah upaya penyatuan perkonomian yang didorong oleh pasar dan biasanya didorong oleh kekuatan pasar dan perkembangan teknologi yang sama dengan proses globalisasi. Sedangkan menurut Lamberte, regionalisasi adalah upaya penyatuan perekonomian yang didorong oleh pasar yang dimulai dari

Putaran Uruguay adalah praktek yang dilakukan oleh suatu perusahaan yang menjual produk ekspornya pada harga yang lebih rendah daripada harga normal produk itu. Putaran Uruguay juga menentukan kriteria sebuah perusahaan dianggap melakukan dumping, yaitu : (i) Harga ekspornya lebih rendah daripada harga perbandingan untuk barang sejenis yang digunakan untuk konsumsi di dalam negeri pengekspor. (ii) Bila tidak ada penjualan dipasar domestik, maka digunakan perbandingan harga ekspor ke pasar negara ketiga. (iii) Bila ukuran pertama dan kedua tidak ada, maka digunakan suatu ukuran ketiga yakni dengan diadakan pembentukan harga yang didasarkan pada biaya produksi ditambah dengan satu jumlah biaya untuk administrasi, pemasaran dan biaya lainnya ditambah dengan suatu jumlah keuntungan yang wajar.

59


(46)

proses reformasi perkonomian secara unilateral di masing-masing negara dalam suatu kawasan.60

Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar.61 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah unsur pelaksana tugas pokok dan fungsi Departemen Keuangan di bidang kepabeanan dan cukai.62 Pesatnya perkembangan industri dan perdagangan menimbulkan tuntutan masyarakat agar pemerintah dapat memberikan kepastian hukum dalam dunia usaha. Pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang berfungsi sebagai memfasilitasi perdagangan harus dapat membuat suatu hukum kepabeanan yang dapat mengantisipasi perkembangan dalam masyarakat dalam rangka memberikan pelayanan dan pengawasan yang lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah.

Perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu kepada

Harmonized Commodity Description and Coding System (HS) dengan ketentuan dari World Customs Organization yang berpusat di Brussels, Belgium, penjualan produk

antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau hambatan perdagangan lainnya. Perdagangan bebas juga dapat didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antar

60

Mario B. Lamberte, An Overview of Economic Cooperation and Integration in Asia, dalam

Asian Economic Cooperation and Integration, (Manila : Asian Development Bank, 2005), hlm. 4.

61

Pasal 1 Ayat 1 Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan.

62

Pasal 1 Ayat 10 Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan.


(47)

individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda.63 Pengertian kawasan perdagangan bebas dalam Kyoto Convention yang mendefinisikan free zone sebagai berikut : “Free Zone” means a part of the territory

of a Contracting Party where any goods introduced are generally regarded, insofar as import duties and taxes are concerned, as being outside the Customs territory.64

Daerah perdagangan bebas (Free Trade Area) adalah suatu kawasan dimana tarif dan kuota antara negara anggota dihapuskan, namun masing-masing negara tetap menerapkan tarif mereka masing-masing terhadap negara bukan anggota.65

Common Effective Preferential Tarif Scheme (CEPT) adalah program tahapan

penurunan tarif dan penghapusan hambatan non-tarif yang disepakati bersama oleh negara-negara ASEAN.66

Industri Dalam Negeri adalah: keseluruhan produsen dalam negeri barang sejenis atau produsen dalam negeri Barang Sejenis yang produksinya mewakili sebagian besar (lebih dari 50%) dari keseluruhan produksi barang yang bersangkutan67

63

http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_bebas diakses pada tanggal 10 Juli 2009 64

Text of The Revised Kyoto Convention : International Convention on The Simplification

And Harmonization Of Customs Procedures (as Amended), Specific Annex D, Chapter 1, Customs Warehouses And Free Zones Chapter 2 Free Zones E1./ F1. (Brussels : 1999), hlm.1.

65

Aswin Kootali dan Gunawan Saichu, Integrasi Ekonomi : Konsep Dasar dan Realitas,

Loc.Cit, hlm. 33.

66

http://www.depperin.go.id/Ind/publikasi/djkipi/afta.htm diakses pada tanggal 20 Agustus 2009.

67

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1996 Tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan, Pasal 1 ayat 8. Ayat 9 : Barang Sejenis adalah barang yang identik atau sama dalam segala hal dengan barang impor dimaksud atau barang yang memiliki karakteristik fisik, teknik, atau kimiawi menyerupai barang impor dimaksud


(48)

G. Metode Penelitian

1. Jenis, sifat dan pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif menurut Ronald Dworkin disebut juga penelitian doctrinal (doctrinal

research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it by the judge trough judicial process.68

Penelitian yang dilakukan terhadap Ketentuan Harmonisasi Tarif Bea Masuk dalam Menghadapi Perdagangan Bebas Regional Ditinjau Dari Sudut Kepabeanan dilakukan melalui pendekatan perundang-undangan (statute-approach), yaitu bagaimana hukum didayagunakan sebagai instrumen dalam memfasilitasi perdagangan internasional. Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif yang bertujuan untuk melukiskan ketentuan tarif dalam perdagangan bebas internasional khususnya AFTA.

2. Sumber Data

Sumber bahan hukum pada penelitian ini didasarkan pada bahan-bahan berupa perpustakaan dan dokumen legislasi dan regulasi yaitu dari :

1. Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang terdiri atas undang-undang yang berkaitan dengan perdagangan Internasional dan Kepabeanan, antara lain : Undang-Undang

68

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, (Medan : Majalah Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2003), hlm., 1.


(1)

Hata, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO, Aspek-Aspek Hukum dan Non Hukum, Badung : Refika Aditama, 2006.

Ispriyahadi, Heri., Mutiara Sibarani, Kerjasama Perdagangan Bilateral, Jakarta : Elexmedia Kompetindo, 2007.

Ibrahim, Johnny., Teori dan Penelitian Hukum Normatif, Surabaya : Bayu Media Publishing, 2005.

Josep Pelawi, Freddy., Penyelesaian Sengketa WTO dan Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional, Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2007.

Kantaatmadja, Komar., Harmonisasi Hukum Negara-Negara ASEAN, Kertas Kerja Pada Simposium Nasional Aspek-aspek Hukum Kerjasama Ekonomi antara Negaranegara Asean dalam rangka AFTA, Bandung : Fakultas Hukum UNPAD, 1993.

Kartadjoemena, H.S., Substansi Perjanjian GATT/WTO dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa: sistem, kelembagaan, prosedur implementasi, dan kepentingan negara berkembang, Jakarta : UI Press, 2000.

Kootali, Aswin., Gunawan Saichu, Integrasi Ekonomi : Konsep Dasar dan Realitas, Jakarta : Elexmedia Komputindo, 2008.

Lamberte, Mario B., An Overview of Economic Cooperation and Integration in Asia, dalam Asian Economic Cooperation and Integration, Manila : Asian Development Bank, 2005.

M. Donahue, Alexander., “ Equivalence : Not Quite Close Enough for the International Harmonization of Environmental Standards” Environmental Law, (Vol. 30), 2000.

Nasution, Bismar., Hukum Kegiatan Ekonomi I, Peraturan Tentang Jasa di Bidang Keuangan (Bank dan Non Bank) Pasca GATT-GATT’s/WTO Dalam Kaitannya Dengan Ketentuan Perdagangan di Indonesia, Bandung : Books Terrace & Library, 2007.

, Hukum Kegiatan Ekonomi I, Era Globalisasi Hukum dan Ekonomi, Bandung : Books Terrace & Library, 2007.

, Reformasi Hukum Dalam Rangka Era Globalisasi Ekonomi, Medan : Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2008.


(2)

, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Medan : Majalah Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2003.

, Peraturan Tentang Jasa Di Bidang Keuangan (Bank, Non Bank) Pasca GATT-GATS/WTO Dalam Kaitannya Dengan Ketentuan Perdagangan Di Indonesia, Medan : Universitas Sumatera Utara, 2007.

, Bismar Nasution, Pengaruh Globalisasi Ekonomi Pada Hukum Indonesia, ( Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2003), hlm. 3.

Pratomo, Wahyu., Teori Kerjasama Perdagangan Internasional, Jakarta : Elexmedia Komputindo, 2007.

Purwito, Ali., Reformasi Kepabeanan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan, Jakarta : Graha Ilmu, 2007.

Rajagukguk., Erman, Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, Jakarta : Universitas Indonesia, 2009.

Suparman, Eman., Perjanjian Internasional Sebagai Model Hukum Bagi Pengaturan Masyarakat Global, Menuju Konvensi ASEAN Sebagai Upaya Harmonisasi Hukum, Bandung : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2000.

Suhaidi, Hukum Transaksi Internasional, Medan : Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Univeristas Sumatera Utara, 2009.

Susan Nongsina, Flora, Pos M. Hutabarat, Pengaruh Kebijakan Liberalisasi Perdagangan Terhadap Laju Pertumbuhan Ekspor-Impor Indonesia, Jakarta : Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2007.

Siswanto, Joko dan Aditya Rachmanto., Menuju Kawasan Bebas Barang ASEAN 2015, Jakarta : Elex Media Kompetindo, 2008.

Sutrisno, Nandang., Eksistensi Ketentuan Khusus Bagi Negara Berkembang Dalam Perjanjian World Trade Organization, Jakarta : Fakultas Hukum UII, 2008. Situmorang, Boris., Perjanjian Perdagangan Regional dan WTO, (Jakarta :

Direktorat Kerjasama Perdagangan Internasional, Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2005.


(3)

Satria Iswara, Dandy., Indonesia dan WTO, Ketentuan Asal Barang (Rules of Origin), Jakarta : Direktorat Kerjasama Bilateral, Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2007.

Samosir, Alfons., Catatan Singkat Tentang World Organization, Jenewa-Swiss : Atase Perdagangan Repulik Indonesia.

Setiawati, Harum., Gavriyuni Amier, Kerjasama Perdagangan Multilateral, Jakarta : Elexmedia Komputindo, 2007.

Siregar, Mahmul., Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal, Studi Kesiapan Indonesia Dalam Perjanjian Investasi Multilateral, Medan : Universitas Sumatera Utara Sekolah Pascasarjana, 2008.

Siswanto, Joko., Aditya Rachmanto, Menuju Kawasan Bebas Aliran Barang ASEAN 2015, Jakarta : Elexmedia Kompetindo, 2008.

Soetanto, Herry., World Trade Organizatioan (WTO) dan Negara Berkembang, Jakarta : Direktorat Jenderal Perdagangan Internasional, Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2007.

Tim Teknis Tarif Bea Masuk dan Pungutan Ekspor, Program Harmonisasi Tarif Bea Masuk 2005-2010, Jakarta : Depatemen Keuangan, 2004.

Widayanto, Sulistyo., Negosiasi Untuk Mengamankan Kepentingan Nasional di Bidang Perdagangan, Jakarta: Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional, Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2007.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan.

Keputusan Presiden Nomor 35 Tahun 1993 Tentang Pengesahan International Convention on The Harmonized Commodity Description and Coding System, beserta protocol-nya.


(4)

Keputusan Presiden Nomor : 59 Tahun 1993, Tanggal : 7 Juli 1993 Tentang : Pengesahan International Convention On Mutual Administrative Assistance For The Prevention, Investigation And Repression Of Customs Offences, konvensi ini mengatur kerjasama international di dalam pencegahan dan pemberantasan berbagai bentuk penyelundupan dan pelanggaran dalam bidang pabean (Customs Administration).

Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2002 tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor (Safeguards).

Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2002 tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 130 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Asean Agreement on Customs (Persetujuan ASEAN di Bidang Kepabeanan). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1996 Tentang Bea Masuk

Antidumping dan Bea Masuk Imbalan.

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 94 /KMK.01/1997 Tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Atas Importasi Barang Dalam Rangka Skema Common Effective Preferential Tarif (CEPT).

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 110/PMK.010/2006 Tanggal 15 Nopember 2006, Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor.

Surat Edaran Direktur Bea dan Cukai Nomor SE-37/BC/2006 Tentang Petunjuk Penggunaan Buku Tarif Bea Masuk Indonesia 2007 (BTBMI 2007).

C. Jurnal

Legal Texts : GATT 1947 The General Agreement on Tariffs And Trade (GATT 1947), Article I, General Most-Favoured-Nation Treatment.

, Article III, GATT 1947 The General Agreement on Tariffs And Trade (GATT 1947), National Treatment on Internal Taxation and Regulation.

, Article VII, GATT 1947 The General Agreement on Tariffs And Trade (GATT 1947), Valuation for Customs Purposes.


(5)

, Article XIX, GATT 1947 The General Agreement on Tariffs And Trade (GATT 1947)Emergency Action on Imports of Particular Products.

, Article XXIV, GATT 1947 The General Agreement on Tariffs And Trade (GATT 1947), Territorial Application, Frontier Traffic, Customs Unions and Free-trade Areas.

, Article Artikel XXV, GATT 1947 The General Agreement on Tariffs And Trade (GATT 1947), Joint Action by the Contracting Parties Legal Texts GATT 1947,

, Article XXVII, GATT 1947 The General Agreement on Tariffs And Trade (GATT 1947), Withholding or Withdrawal of Concessions.

The Revised Kyoto Convention : International Convention on The Simplification And Harmonization Of Customs Procedures.

Agreement On The Common Effective Preferential Tariff (CEPT) Scheme For The ASEAN Free Trade Area Singapore, 28 January 1992.

The Revised Arusha Declaration, Tanzania, 7 Juli 1993.

The Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS). The Agreement on Agriculture.

The Agreement on Trade-Related Investment Measures (TRIMs).

The Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs). The Agreement on Import Licensing Procedures(ILP).

D. Internet

Andreas Limongan, “Perdagangan Internasional dan Kemiskinan” http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2001/05/24/0015.html Diakses pada 30 Maret 2009.

Mumu Muhajir, “Non Tarif Barriers Dalam Perdagangan Internasional”, http://www.kataloghukum.com diakses pada 04 April 2009.


(6)

“Sekilas Tentang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai”, http://www.beacukai.go.id/bout_us/sekilas.php diakses 18 Mei 2009.

http://www.depperin.go.id/Ind/publikasi/djkipi/afta.htm diakses pada tanggal 20 Agustus 2009.

http://www.beacukai.go.id/bout_us/tugas.php diakses pada tanggal 30 September 2009.

http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/agrm11_e.htm diakses pada 4 Juli 2009.

http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/fact2_e.htm, diakses pada 25