Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama memiliki peran amat penting dalam kehidupan manusia baik berhubungan dengan fungsi ilahiyah maupun fungsi kehidupan bermasyarakat, agama menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan suatu kehidupan bermakna, damai dan bermartabat. Menyadari betapa pentingnya peran agama bagi kehidupan maka internalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keniscayaan, yang ditempuh melalui pendidikan baik pendidikan formal ataupun informal di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Bimbingan sebagai suatu proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara terus-menerus agar individu tersebut dapat memahami dirinya sendiri sehingga dia sanggup mengarahkan dirinya dan dapat bertindak secara wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan keluarga, sekolah dan masyarakat. 1 Bimbingan agama sebaiknya ditanamkan semenjak usia dini, dengan bentuk bimbingan yang cukup bervariasi yang mencakup kebutuhan dasar anak, tidak hanya bisa belajar membaca, menulis, dan menghitung juga bimbingan keagamaan dan keterampilan si anak pun diperhatikan. Agar kedepan anak-anak tersebut mampu menjawab tantangan zaman di era pasar bebas ini. 1 Ruslan A Gani, Bimbingan Karir, Bandung: Angkasa, 1987, h. 1. 1 Dalam Konvensi PBB tentang hak anak 1990 disebutkan, Anak adalah amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Dalam diri anak melekat harkat dan martabat sebagai mana seutuhnya manusia. Dalam masa pertumbuhan, secara fisik dan mental anak membutuhkan perawatan, perlindungan khusus, serta perlindungan hukum baik sebelum maupun sesudah di lahirkan. Proses perkembangan anak untuk mengubah dirinya memerlukan bentuk kegiatan tertentu serta latihan yang diarahkan sesuai dengan keberadaan dirinya, sehingga terpenuhi kebutuhan psikologis seperti perasaan dicintai dan dapat diterima oleh orang-orang disekitarnya. 2 Anak-anak dari kaum miskin atau dhu’afa yang ada di Indonesia merupakan bagian dari komponen masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban sama dengan komponen masyarakat yang lainnya. Seharusnya mereka yang masih mendapatkan hak masa kanak-kanak mereka dan mendapatkan bekal cukup dalam pendidikan guna meneruskan pendidikan hingga jenjang yang tinggi. Banyak anak–anak tidak sempat menikmati masa kanak-kanaknya karena terpaksa atau dipaksa untuk mencari nafkah, baik dengan cara mengamen, menjual koran, pedagang asongan, pengelap mobil, ojek payung, dan lain-lain termasuk pemulung. Semua itu mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bimbingan terhadap anak asuh merupakan bentuk konkrit atas jawaban terhadap persolan kemiskinan bangsa. Sejak negara Indonesia di landa krisis ekonomi pada penghujung tahun 1997 anak jalanan tumbuh subur ibarat jamur 2 Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus, Bandung: PT Refika Aditama, 2006, h. 142. di musim hujan. Di tambah lagi dengan tingginya biaya pendidikan, untuk kalangan ekonomi bawah menyekolahkan anak sampai setinggi-tingginya adalah bagaikan mimpi. Beruntunglah mereka yang mempunyai keterampilan dan dapat membuka usaha, tapi bagi mereka yang tidak memiliki keterampilan apa-apa mereka harus mau bekerja apa saja untuk meneruskan kembali perekonomian. Tak jarang pula mereka menyuruh anak mereka untuk bekerja sehingga mau tak mau anak-anak tersebut harus meninggalkan bangku sekolahnya padahal anak-anak tersebut masih harus meneruskan pendidikannya. Dari fenomena di atas, dapat digambarkan bahwa pentingnya bimbingan agama terhadap anak asuh untuk meningkatkan kekuatan spiritual, baik menumbuhkan keimanan, responsibilitas terhadap ritual keagamaan, dan menanamkan akhlakul karimah semenjak kecil sehingga anak asuh diharapkan memiliki motivasi yang tinggi untuk berubah dari kondisi yang buruk pada kondisi yang lebih baik. Gejala di atas banyak menyadarkan sebagian masyarakat Indonesia yang bergerak di lembaga-lembaga sewadaya masyarakat LSM atau individu-individu yang mempunyai kepedulian untuk membantu hasrat dan keinginan anak-anak yang membutuhkan pendampingan khusus serta anak- anak yang orang tuanya kurang mampu dengan melakukan bimbingan atau pendampingan di berbagai rumah singgah. Kegiatan bimbingan agama terhadap anak-anak asuh dhuafa dan anak jalanan telah dilakukan seperti di Yayasan Sosial Rumah Sahabat Anak Puspita RSAP di daerah Jakarta Timur, yang merupakan salah satu dari sekian banyak rumah singgah di Jakarta memberikan bimbingan kepada anak- anak yang membutuhkan perhatian khusus untuk dapat mengenyam pendidikan formal maupun non formal. RSAP adalah yayasan sosial, yang konsentrasinya mendampingi anak- anak yang memerlukan perhatian khusus. Termasuk perlindungan dari segala sesuatu yang dapat membuat mereka mencari kehidupan di jalanan, dan juga perlindungan dari hal-hal yang dapat menjadikan anak kehilangan hak-hak dasarnya. Karena anak-anak, sangat rawan kehilangan hak mereka, anak-anak seringkali kurang mendapatkan kebebasan, kebebasan dari berbagai hal termasuk kebebasan berekspresi, menentukan sikap, bermain, apalagi untuk kebutuhan pendidikannya, bagi anak-anak yang memerlukan perhatian khusus terutama yang hidup dijalan, sering diperlakukan secara sangat tidak wajar, mereka dipekerjakan, dilacurkan atau dieksploitasi oleh lingkungan bahkan keluarganya sendiri. 3 Di antara pendidikan non formal yang di ajarkan oleh Yayasan Sosial RSAP adalah bimbingan keagamaan bagi anak-anak asuh. Untuk yang beragama Muslim, di yayasan tersebut diajarkan bagaimana tata cara beribadah yang benar terutama shalat yang lima waktu, belajar membaca kitab suci al-Qur’an, dan lain sebagainya. Bimbingan agama dimaksudkan untuk meningkatkan potensi spiritual dan membentuk anak asuh agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti dan moral sebagai wujud dari pendidikan agama. serta 3 “Profil Rumah Sahabat Anak Puspita”, Artikel ini diakses 2 Januari 2010 pada http:sahabatanakpuspita.co.cc. bertujuan untuk menghasilkan manusia yang jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling menghargai, disipilin, harmonis, baik personal maupun sosial. Peningkatan potensi spiritual mencakup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individu atau kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan untuk mengoptimalisasi berbagai potensi manusia sebagai cermin harkat dan martabat sebagai makhluk Tuhan. Sementara itu menurut keterangan dari pembina bimbingan agama Yayasan RSAP, bahwa dalam kegiatan program bimbingan agama terhadap anak-anak asuh di yayasan tersebut, menerangkan bahwa program bimbingan agama dipersepsi oleh anak dengan tanggapan yang berbeda-beda, ada yang positif, dan adapula yang menanggapi negatif. 4 Hal ini dapat dimaklumi dengan kondisi karakteristik anak kaum miskin dan anak jalanan yang unik. Bagi anak asuh yang memiliki persepsi positif terhadap bimbingan agama, dengan identifikasi bahwa mereka senantiasa memperhatikan dan menyelesaikan tugas-tugas dengan baik dan tepat waktu dan berperan aktif untuk mengikuti instruksi pembelajaran. Dan ada pula siswa yang memiliki persepsi negatif terhadap program bimbingan agama, mereka kurang memperhatikan dan nampaknya kurang senang dengan tugas-tugas tersebut. Hal ini tercermin dari masih banyaknya hasil pekerjaan siswa yang kurang memuaskan atau tidak sesuai dengan harapan. Selanjutnya dapat diidentifikasi dari adanya anak asuh yang kurang konsentrasi, kecenderungan yang nampak adalah tidak bergairah dan tidak 4 Wawancara Pribadi dengan Abdul Majid Pembimbing RSAP. Jakarta, 30 Januari 2010. bersemangat, tidak mau mengajukan atau menjawab pertanyaan yang diberikan pembimbing agama, kurang memperhatikan dan menyimak penjelasan, bahkan ada yang tidak menyalin atau mencatat materi pelajaran dengan baik. Dalam ajaran Islam, menanamkan nilai-nilai keimanan, keislaman dan akhlak diperintahkan semenjak usia dini. Dan Shalat adalah salah satu ritual religi yang penting diajarkan semenjak kecil, sehingga rasulullah SAW menjelaskan dalam hadisnya yang berbunyi: ْوأ اْوﺮ د و ة ﱠﺼ ﺎ ْ آ ﻦْﻴﻨﺳ ْﺳ ءﺂﻨْأ ْ ه . ْ هو ﺎﻬْﻴ ْ هْﻮ ﺮْﺿاو ﺮْﺸ ءﺂﻨْأ . Artinya: “Perintahlah anak-anakmu mengerjakan shalat di waktu usia mereka meningkat tujuh tahun, dan pukullah kalau enggan melakukan shalat di waktu mereka meningkat usia sepuluh tahun.”H.R. Abu Dawud 5 Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan betapa pentingnya posisi shalat dalam pembinaan karakter semenjak dini. Dengan demikian, dalam penelitian ini penulis mengangkat pengamalan shalat lima waktu pada anak asuh di Yayasan RSAP dengan indikator pengamalan shalat dan menjalankan dari sisi waktu pelaksanaan sebagai variabel keberhasilan bimbingan agama pada yayasan tersebut. Dari kenyataan ini tentu timbul masalah yang perlu dijawab, yakni apakah ada hubungannya persepsi anak asuh terhadap kegiatan bimbingan agama dengan pelaksanaan shalat lima waktu yang dilakukan anak di rumah Sahabat Anak Puspita. Mencermati masalah tersebut di atas, peneliti tertarik 5 Fahrur Muis dan Muhammad Suhadi, Shalat A-Z, Solo: Aqwan, 2009, h. 33. untuk mengadakan penelitian dengan mengangkat sebuah judul : “Hubungan Persepsi Anak Asuh Terhadap Program Bimbingan Agama Dengan Pelaksanaan Shalat Lima Waktu Di Rumah Sahabat Anak Puspita Jakarta Timur”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah