Potensi Konflik Antar Umat Beragama di Desa Cigugur
71
Meskipun perbedaan agama merupakan titik rawan dan hal yang cukup potensial bagi terjadinya konflik, namun selagi kerjasama antar umat
berbeda agama tersebut tetap terpelihara, dan para anggotanya merasa kebutuhannya terpenuhi, serta merasa diperlakukan secara adil tanpa
mendapat perlakuan yang berbeda dalam kerja sama tersebut, dan setiap para anggotanya konsensus untuk tetap mematuhi nilai dan norma yang
disepakati bersama maka kerukunan hidup antar umat berbeda agama akan tetap terpelihara dan konflik antar umat berbeda agama tidak akan pernah
terjadi. Sebagaimana dikemukakann Newcomb I985:297, Sejauh anggota-
anggota suatu kelompok mempunyai sikap yang sama terhadap suatu obyek, para anggotanya akan berkonsensus mengenai sikap yang bersangkutan.
Karenanya untuk dapat mewujudkan kerja sama antar kelompok keagamaan dalam bidang sosial kemasyarakatan dan ekonomi pedesaan serta konsensus
terhadap nilai dan norma yang disepakati bersama, masing-masing individu dalam kelompok yang bersangkutan harus tetap memiliki sikap kemampuan
mengendalikan diri, menegakan moral agama sebagai landasan berpijak dalam kehidupan beragama, toleransi keagamaan, dan sikap tanggung jawab
bersama tentang pentingnya kerukunan hidup beragama. Prasangka
sosial merupakan
sumber potensial
bagi perpecahandisintegrasi yang dapat mengakibatkan terjadinya konflik.
Dalam hubungannya dengan kehidupan beragama di wilayah desa cigugur, prasangka sosial antar umat berbeda agama terjadi karena kurangnya
informasi individu ataupun kelompok dalam memahami berbagai peristiwa keagamaan yang terjadi di wilayahnya.
Berdasarkan temuan
penelitian, kecurigaan-kecurigaan
antar kelompok agama memang tetap terjadi, namun melalu sikap yang arif,
kecurigaan-kecurigaan antar kelompok keagamaan yang muncul tidak menjadikan munculnya konflik, tetapi sebaliknya lebih membuat masing-
masing kelompok keagamaan untuk tetap mawas diri dengan meningkatkan sikap saling mempercayai antar kelompok keagamaan, sebab pada dasarnya
72
setiap kelompok keagaman menginginkan hidup rukun dan damai berdampingan dengan kelompok keagamaan yang lain dalam tatanan hidup
bermasyarakat. Kondisi demikian menunjukan bahwa hubungan antar kelompok keagamaan di desa cigugur berada dalam posisi yang rawan akan
terjadinya konflik antar umat beragama. Disini, peran tokoh agama sangat signifikan dalam mengarahkan
keberagamaan umat. Tokoh agama memerankan fungsi agama sebagai kemaslahatan manusia. Mereka mengembangkan interpretasi tafsir yang
memiliki semangat perdamaian dan kerukunan antar umat beragama dan mencerahkan keberagamaan umat. Sehingga ajaran agama-agama terutama
masalah ketuhanan menjadi fungsional, bahkan mampu menciptakan kedamaian, keadilan, toleransi dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya dalam
kehidupan bermasyarakatan dan berbangsa. Dari berbagai temuan dan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan
bahwa terdapat faktor-faktor atau potensi terjadinya konflik, yaitu: a.
Hubungan antar umat berbeda agama di desa cigugur memiliki potensi yang cukup kuat untuk terjadinya konflik antar kelompok keagamaan.
Melalu pengembangan sikap saling menghargai, pengendalian diri, tolong menolong, kebersamaan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan dan
melalui kerjasama yang saling menguntungkan, potensi konflik antar kelompok keagamaan dapat diminimalisasi, sehingga konflik secara
terbuka antar umat berbeda agama di desa cigugur dapat dihindarkan. b.
Prasangka sosial yang berkembang diantar kelompok keagamaan terjadi karena adanya suatu kekhawatiran penguasaan suatu kelompok keagamaan
terhadap kelompok keagamaan lainnya melalui: 1
Penguasaan lahan-lahan yang dipandang strategis 2
Pengembangan sarana-sarana peribadatan 3
Pengembangan pendidikan berlatar belakang keagamaan 4
Penguasaan sektor ekonomi 5
Penguasaan posisi dan jabatan tertentu di masyarakat 6
Perpindahan agama
73
c. Didalam masyarakat cigugur terdapat suatu nilai budaya yang mengatur
tata hubungan antar anggota masyarakatnya yang telah tertanam secara turun temurun, yakni silih asih silih asuh silih wangian. Dalam memahami
perbedaan agama, masyarakat cigugur lebih mengembangkan suatu prinsip perlu adanya sepengertian meskipun tidak harus sepemahaman. Melalu
intensitas komunikasi yang semakin meningkat diantara kelompok keagamaan lebih mengokohkan penerimaan mereka terhadap nilai dan
norma yang disepakati bersama, sehingga kerukunan hidup antar umat berbeda agama terwujud.
Dengan mengetahui faktor-faktor yang menjadi pemicu konflik, maka masing-masing
penganut agama
akan berupaya
sekuat tenaga
menghindarinya sehingga mencegah sedini mungkin terjadinya konflik tersebut. Tindakan ini disebut dengan pencegahan konflik. Namun apabila
terlanjur terjadi konflik, harus diakhiri perilaku kekerasan dan anarkis di dalamnya melalui persetujuan perdamain. Ini disebut penyelesaian konflik.
Ada juga yang dinamakan dengan pengelolaan konflik, yaitu membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perilaku perubahan yang positif
bagi pihak-pihak yang terlibat. Kemudian ada lagi resolusi konflik, yaitu menangani sebab-sebab konflik diantara kelompok-kelompok yang bertikai
dan berusaha membangun hubungan baru dan bertahan lama. Lalu yang terakhir adalah transformasi konflik, yaitu mengatasi sumber-sumber
konflik yang lebih luas dan berusaha merubahnya ke arah positif.
Konsepsi adat yang ada dalam sistem nilai masyarakat Cigugur untuk terus menjaga tatanan sosial dan sistem keyakinan yang multi religi itu
ditekankan oleh sesepuh masyarakat adat Ciigugur P.Djatikusumah, cucu dari Pangeran Sadewa
Alibasa Kusumawijayaningrat atau “Madrais” berupa konsepsi nilai “pentingnya menekankan kesamaan “pengertian”
dalam kehidupan sosial dan budaya daripada “perbedaan” yang mengarah pada potensi pertentangan dan konflik sosial budaya”. Hal lain juga yang
be rkaitan dengan pembentukan “nation character” adalah perlunya
masyarakat Indonesia
dan masyarakat
adat khsususnya
untuk memperjuangkan hak budaya dan kebangsaannya kesukubangsaannya
yang bersifat universal dan kodrati dalam persepsi konsepsi “tanah adegan”.