Latar Belakang Masalah Kerukunan umat beragama antara islam, kristen dan sunda wiwitan: Studi Kasus Kelurahan Cigugur Kecamatan Cigugur, Kuningan-Jawa Barat.
serius, khususnya bagi demokrasi dan keadilan. Sebabnya adalah kekakuan identitas komunal yang mempercayai dirinya sebagai
otentik dan superior, atau kekakuan identitas universalis yang berusaha untuk mempengaruhi yang laim dengan cara memaksa
”.
3
Setidaknya ada tiga kata kunci yang tersirat dari pemaparan diatas: pertama, agama sama sekali tidak bisa meninggalkan untuk tidak
menyebutnya lengket “emosi”, sedangkan “emosi” merupakan cikal bakal agresivitas yang mudah berbelok kepada tindakan kekerasan. Kedua, aktivitas
dan kegiatan keagamaan dapat mengurangi tindak kekerasan, jika ia berfungsi dengan baik sebagai alat peredam katarsis. Tetapi sebaliknya aktivitas
keagamaan bisa menjelma menjadi daya dorong yang hebat dan memicu kekerasan, jika ia justru menimbulkan perasaan frustasi dan tidak puas bagi
para pemeluknya. Dan yang ketiga, masyarakat beragama yang tidak agresif biasanya dikondisikan oleh corak dan model pendidikan agama yang
ditawarkan oleh para pimpinan agama, masyarakat, atau kelompok agama yang santun secara sosial
4
Setiap pemeluk agama umumnya meyakini bahwa agama yang dianutnya adalah jalan yang paling benar baginya. Dalam intern umat
beragama sendiri, walaupun dengan teks dan kitab suci yang sama. Karena berbagai faktor, terdapat penafsiran dan pemahaman yang juga bisa berbeda.
Perbedaan interpretasi terhadap teks-teks suci tersebut mengakibatkan timbulnya kelompok-kelompok keagamaan yang berbeda diantara para
penganut agama yang sama tersebut. Semua itu tentu tidak masalah sejauh keyakinan dan pemahaman tersebut tidak dibarengi dengan prasangka bahwa
diluar agama yang dipeluk oleh kelompoknya dan diluar paham yang dia anut adalah sesuatu yang salah dan sesat. Sayangnya, diantara problem yang
paling dekat dan menghadang dalam mewujudkan masyarakat pluralis saaat ini antara lain adalah berkembangnya faham keagamaan eksklusif yang secara
3
Muhamad Ali, Teologi Pluralis Multikultural: Menghargai Kemajemukan, Menjalin Kebersamaan Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS, 2008, h. 71-72
4
M. Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multi Kultural Multi Religius, Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005, h. 18-19
esensi memandang bahwa hanya agamanya saja yang paling benar sedangkan yang lain salah belaka. Karenanya demi tegaknya kebenaran versi mereka
semua yang salah itu harus dieleminasi, kalau perlu dengan kekerasan. Kelompok eksklusif semacam inilah yang cenderung menampilkan agama
dalam wadah yang keras dan radikal dan biasanya ekstrim. Kelompok semacam ini terdapat pada setiap agama. Hanya saja, baik intensitas
ekstrimitas maupun besar kecilnya perkembangan gerakan tersebut sangat tergantung pada kesempatan yang ada atau yang dapat mereka raih.
Syukurlah bahwa secara keseluruhan kelompok seperti ini kecil jumlahnya, tetapi seringkali suara dan gemanya lebih nyaring dari yang lain sehingga
dapat berdampak pada citra keseluruhan kelompok agama yang bersangkutan dan bagi umat beragama diluarnya. Sebaliknya, kelompok arus utama the
main stream dari berbagai kelompok agama yang ada pada umumnya adalah moderat, namun biasanya suaranya kalah nyaring dibanding kelompok
eksklusif. Keberadaan berbagai kelompok eksklusif dan ekstrem tersebut tak urung telah menyulut terjadinya sejumlah konflik baik internal dalam satu
agama maupun eksternal antar agama, walau agama secara esensial mengajarkan hidup rukun dan damai baik antar sesama maupun antar sesama
dengan lingkungan.
5
Jika bangsa yang multi-agama dan budaya bertekad untuk keluar darin krisis multi-dimensi, maka tidak ada jalan lain kecuali mengakui
multikulturalisme dengan dukungan teologi yang relevan. Ancaman disintegrasi dan konflik horizontal dalam berbagai bentuknya tetap akan
menghantui para pemimpin dan rakyat kita jika pemahaman akan multikulturalisme begitu dangkal, yang memudahkan siapa saja untuk berlaku
tidak adil terhadap yang lain. Seorang multikulturalis tidak beragama secara mutlak-mutlakan.
Artinya ketika klaim kebenaran yang dianutnya dilihat dari luar maka ia menjadi tidak mutlak. Ini bisa disebut dengan sikap keberagamaan
‘relatively
5
Muhaimin AG, Damai di Dunia Damai Untuk Semua Perspektif Berbagai Agama, Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2004, h. 3-4
absolut’ dengan mengatakan, “Apa yang saya anut memang benar dan saya berjuang untuk mempertahankannya, tetapi tetap saja relatif ketika
dihubungkan dengan apa yang dianut orang lain, karena orang lain melihat apa yang saya anut dari kacamata anutan orang lain itu”. Keberagamaa
mutlak-mutlakan dalam banyak kasus cukup berbahaya dalam konteks interaksi antar agama dan antar budaya. Klaim kebenaran absolut merupakan
benih bagi tumbuhnya fundamentalisme radikal yang bisa membenarkan segala cara.
6
Selain itu keberagamaan multikulturalis merupakan keberagamaan yang tidak kering. Kekakuan yang berlebihan dalam menjalankan agama
seringkali menyebabkan kurangnya kesadaran spiritual. Salah satu nikmatnya beragama adalah merasakan apa yang kita lakukan secara sadar dan tanpa
paksaan, misalkan merasakan betapa indahnya kemajemukan dan kebersamaan.
7
Keberagamaan multikulturalis tidak melepaskan simbol, tetapi selalu berupaya melihat makna. Bagaimana, simbol memegang peranan
penting dalam setiap agama. Tanpa simbol, tudak ada agama. Namun, keberagamaan multikulturalis bergerak lebih jauh dan lebih dalam dari
sekedar simbol. Ia menerima ekspresi-ekspresi keberagamaan simbolik, namun menyadari makna dari setiap simbol itu.
Keberagamaan multikulturalis tidak dimaksudkan semata-mata demi agama itu sendiri, tetapi lebih dari itu untuk kemanusiaan. Seorang
multikulturalis tidak akan mengatakan bahwa dirinya lebih berjuang lebih membela Tuhan, ketimbang orang lain. Ketuhanan dan kemanusiaan memang
bersifat fitrah, tetapi selalu berbeda dalam ruang dan waktu. Seorang multikulturalis memahami mengapa dia beragama dan berusaha sesuai
kemampuannya untuk menjalankan agamanya, sambil menyadari bahwa dirinya adalah produk sejarah dan bahwa kemajemukan ekspresi kebudayaan
manusia adalah hal yang lumrah. Kesadaran multikulturalis dalam beragama paling tidak akan mengurangi tumbuhnya budaya kekerasan atas nama agama
6
Ibid., h. 79
7
ibid
yang dalam dekade belakangan ini menjadi bagian masalah nasional dan global.
8
Agama dan budaya menjadi sangat problematik ketika memiliki implikasi horizontal. Yaitu, ketika satu keberagamaan atau keberbudayaan
seseorang atau kelompok tertentu bergesekan dengan keberagamaan atau keberbudayaan orang atau kelompok lain. Perjumpaan antar iman dan budaya
dewasa ini, akibat faktor-faktor eksternal seperti globalisasi, politik domestik, dan kondisi sosial budaya, selain faktor-faktor internal seperti penafsiran
agama dan budaya, telah melahirkan problem-pronlem fundamentalisme, konflik antar agama, konflik etnis, serta ketegangan budaya.
Dalam perjalanan sejarah Indonesia, ketegangan dan konflik etnis, agama, budaya, dan politik belum juga menurun dan masih menjadi bagian
potret interaksi masyarakat. Sejak menjelang kemerdekaan hingga era reformasi sekarang ini, perbedaan-perbedaan lebih sering menjelma menjadi
pertentangan, sehingga pada gilirannya melahirkan ketidaknyamanan hidup bersama dan ketidakproduktifan. Pergantian rezim seakan tidak berarti
pergantian mental dan budaya konflik dan kekerasan, sementara masyarakat tidak harmonis dalam perbedaan itu.
9
Namun fenomena konflik yang dilatar belakangi agama dan budaya diatas berbanding terbalik dengan fenomena yg penulis jumpai di Desa
Cigugur. Cigugur adalah sebuah Desa di lerang Gunung Ciremai yang sekarang sudah menjadi sebuah kelurahan bahkan kecamatan. Secara
administratif, Cigugur terletak di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat yang berjarak sekitar 35 km ke arah selatan kota Cirebon, atau sekitar 168 km dari
kota Bandung
10
. Masyarakat di Desa Cigugur hidup dalam sebuah perbedaan. Dan
yang menjadi perbedaan mendasar pada masyarakat Cigugur adalah perbedaan agama pada masing-masing individunya. Dimana, perbedaan
8
Ibid, h. 80
9
Ibid., h. 87-88
10
Mustafid Sawunggalih, Menyusur Agama Djawa Sunda Dari Cigugur, 2012, Www.Nusantaraislam.Blogspot.Com Di Akses Selasa, 29 Januari 2013
tersebut tidak hanya terdapat pada masing-masing warganya melainkan perbedaan tersebut juga ada dalam satu keluarga. Misalkan, Ayah dan Ibunya
penganut agama Islam, dan anak-anaknya ada yang menganut agama Katolik, Hindu, Budha, atau agama Islam juga sesuai dengan orang tuanya. Dan itu
sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka. Suatu hal yang perlu diketahui disini adalah bahwa perbedaan yang ada pada masyarakat Cigugur tersebut
tidaklah menjadikan mereka hidup dalam ketegangan hingga menimbulkan suatu konflik seperti konflik-konflik yang sering terjadi dewasa ini yang
dilatarbelakangi oleh perbedaan agama, namun kehidupan mereka justru sangat harmonis, bisa hidup secara berdampingan, dan sangat menjunjung
tinggi Toleransi dalam beragama. Yang mana pada setiap masyarakatnya bukan hanya mengakui keberadaan hak agama lain, tetapi juga terlibat dalam
usaha memahami perbedaan dan persamaan dari setiap masing-masing penganut agama yang ada. Faktanya, bahwa setiap masyarakat yang berbeda
agama tersebut dapat berinteraksi secara positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut.
Dengan latar belakang tersebut, penulis bermaksud mengadakan penelitian mengenai
“Kerukunan Umat Beragama Antara Islam, Kristen dan Sunda Wiwitan Studi Kasus: di Desa Cigugur Kec. Cigugur
– Kuningan
”.