9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rumah sakit
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Tujuan penyelenggaraan Rumah Sakit:
a. mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
b. memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit
c. meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit d. memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya
manusia rumah sakit dan rumah sakit Pada hakikatnya Rumah Sakit berfungsi sebagai tempat penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan dan fungsi dimaksud memiliki makna tanggung jawab yang seyogyanya merupakan tanggung jawab pemerintah dalam
meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat Menkes RI., 2010.
2.2 Rekam medik
Rekam medik merupakan kumpulan data medik seorang pasien mengenai pemeriksaan, pengobatan dan perawatannya di rumah sakit. Data yang dapat
diperoleh dari rekam medik, antara lain: data demografi pasien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit terdahulu, riwayat penggunaan obat,
10 riwayat keluarga, riwayat sosial, pemeriksaan fisik, laboratorium, diagnostik,
diagnosis dan terapi Depkes RI., 2009.
2.3 Interaksi Obat
Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat drug-related problem yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi
obat yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Sebuah interaksi obat terjadi ketika farmakokinetika atau farmakodinamika obat dalam tubuh diubah
oleh kehadiran satu atau lebih zat yang berinteraksi Piscitelli, 2005. Suatu interaksi terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat
lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam lingkungannya. Definisi yang lebih relevan kepada pasien adalah ketika obat
bersaing satu dengan yang lainnya, atau apa yang terjadi ketika obat hadir bersama satu dengan yang lainnya Stockley, 2008.
Meningkatnya kejadian interaksi obat dengan efek yang tidak diinginkan adalah akibat makin banyaknya dan makin seringnya penggunaan apa yang
dinamakan polipharmacy atau multiple drug therapy Gapar,2003.Polifarmasi merupakan penggunaan obat dalam jumlah yang banyak dan tidak sesuai dengan
kondisi kesehatan pasien. Meskipun istilah polifarmasi telah mengalami perubahan dan digunakan dalam berbagai hal dan berbagai situasi, tetapi arti dasar
dari polifarmasi itu sendiri adalah obat dalam jumlah yang banyak dalam suatu resep dan atau tanpa resep untuk efek klinik yang tidak sesuai. Jumlah yang
spesifik dari suatu obat yang diambil tidak selalu menjadi indikasi utama akan
11 adanya polifarmasi akan tetapi juga dihubungkan dengan adanya efek klinis yang
sesuai atau tidak sesuai pada pasien Rambadhe, et al., 2012. Interaksi obat didefenisikan oleh Committee for Proprietary Medicine
Product CPMP sebagai suatu keadaan bilaman suatu obat dipengaruhi oleh penambahan obat lain dan menimbulkan pengaruh klinis. Biasanyah, pengaruh ini
terlihat sebagai suatu efek samping, tetapi terkadang terjadi pula perubahan yang menguntungkan. Obat yang mempengaruhi disebut dengan precipitant drug,
sedangkan obat yang dipengaruhi disebut Object drugDalimunthe, 2009. Secara farmakologis, obat yang bertindak sebagai precipitant drug
mempunyai sifat sebagai berikut: a.
Obat yang terikat banyak olh protein plasma, akan menggeser obat lain dari ikatannya.
b. Obat yang menghambat atau merangsang metabolisme obat lain.
c. Obat yang mempengaruhi renal clearance object drug.
Sedangkan object drug, biasanya merupakan obat yang mempunyai kurva dose response yang curam. Obat- obat ini menimbulkan perubahan reaksi terapeutik
yang besar dengan perubahan dosis kecil. Kelainan yang ditimbulkan bisa memperbesar efek terapinya. Juga bila dosis toksik suatu object drug, dekat
dengan dosis terapinya, maka mudah keracunan obat bila terjadi suatu interaksi. Pada umumnya akan terjadi dua hal, yaitu pengurangan efek terapinya dan
terjadinya efek samping Dalimunthe, 2009. Diperkirakan, insidensi terjadinya interaksi obat sekitar 7 dari semua
efek samping obat dan kematian akibat ini sekitar 4. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
12 i.
Kurangnya dokumentasi ii.
Seringkali lolos dari pengamatan karena kurangnya pengetahuan para dokter tentang mekanisme dan kemungkinan terjadinya interaksi obat.
iii. Faktor keturunan, fungsi hati dan ginjal, usia bayi dan lansia, ada atau
tidaknya suatu penyakit, jumlah obat yang digunakan dan juga faktor sensitivitas penderita Dalimunthe, 2009 .
Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi terutama bila
menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit indeks terapi yang rendah, misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat sitostatik
Setiawati, 2007. Efek dan keparahan interaksi obat dapat sangat bervariasi antara pasien
yang satu dengan yang lain. Faktor-faktor penderita yang berpengaruh terhadap Interaksi Obat:
a. Umur Penderita
i. Bayi dan balita
Proses metabolik belum sempurna, efek obat dapat berbeda. ii.
Orang Lanjut usia Orang lanjut usia relatif lebih sering berobat, lebih sering menderita
penyakit kronis seperti hipertensi, kardiovaskuler, diabetes, arthritis. Orang lanjut usia sering kali fungsi ginjal menurun, sehingga ekskresi obat terganggu
kemungkinan fungsi hati juga terganggu, dan diet pada lanjut usia sering tidak memadai.
13 b.
Penyakit yang sedang diderita Pemberian obat yang merupakan kontra-indikasi untuk penyakit tertentu.
c. Fungsi Hati Penderita
Fungsi hati yang terganggu akan menyebabkan metabolisme obat terganggu karena biotransformasi obat sebagian besar terjadi di hati.
d. Fungsi ginjal penderita
Fungsi ginjal terganggu akan mengakibatkan ekskresi obat terganggu. Ini akan mempengaruhi kadar obat dalam darah, juga dapat memperpanjang waktu
paruh biologik t½ obat. Dalam hal ini ada 3 hal yang dapat dilakukan, yaitu: i.
Dosis obat dikurangi ii.
Interval waktu antara pemberian obat diperpanjang, atau iii.
Kombinasi dari kedua hal diatas. e.
Kadar protein dalam darahserum penderita Bila kadar protein dalam darah penderita dibawah normal, maka akan
berbahaya terhadap pemberian obat yang ikatan proteinnya tinggi. f.
pH urin penderita pH urine dapat mempengaruhi ekskresi obat di dalam tubuh.
g. Diet penderita
Diet dapat mempengaruhi absorpsi dan efek obat Joenoes, 2002.
2.3.1 Mekanisme interaksi obat
Secara umum, ada dua mekanisme interaksi obat : a. Interaksi Farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat mempengaruhi absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lainnya sehingga meningkatkan atau
14 mengurangi jumlah obat yang tersedia untuk menghasilkan efek farmakologisnya
BNF 58, 2009. Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe : i. Interaksi pada absorbsi obat
a Efek perubahan pH gastrointestinal Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung
pada apakah obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan. Absorpsi ditentukan oleh nilai pKa obat, kelarutannya dalam lemak, pH isi
usus dan sejumlah parameter yang terkait dengan formulasi obat. Sebagai contoh adalah absorpsi asam salisilat oleh lambung lebih besar terjadi pada
pH rendah daripada pada pH tinggi Stockley, 2008. b Adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek
Arang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap di dalam usus untuk pengobatan overdosis obat atau untuk menghilangkan bahan
beracun lainnya, tetapi dapat mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan dalam dosis terapetik. Antasida juga dapat menyerap sejumlah
besar obat-obatan. Sebagai contoh, antibakteri tetrasiklin dapat membentuk khelat dengan sejumlah ion logam divalen dan trivalen, seperti kalsium,
bismut aluminium, dan besi, membentuk kompleks yang kurang diserap dan mengurangi efek antibakteri Stockley, 2008.
c Perubahan motilitas gastrointestinal Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus
kecil, obat-obatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat mempengaruhi absorpsi. Propantelin misalnya, menghambat pengosongan
15 lambung dan mengurangi penyerapan parasetamol asetaminofen,
sedangkan metoklopramid memiliki efek sebaliknya Stockley, 2008. d Induksi atau inhibisi protein transporter obat
Ketersediaan hayati beberapa obat dibatasi oleh aksi protein transporter obat. Saat ini, transporter obat yang terkarakteristik paling baik
adalah P-glikoprotein. Digoksin adalah substrat P-glikoprotein, dan obat- obatan yang menginduksi protein ini, seperti rifampisin, dapat mengurangi
ketersediaan hayati digoksin Stockley, 2008. e Malabsorbsi dikarenakan obat
Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat mengganggu penyerapan sejumlah obat-obatan termasuk digoksin dan
metotreksat Stockley, 2008. ii. Interaksi pada distribusi obat
a Interaksi ikatan protein
Setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh tubuh oleh sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan plasma, yang
lainnya diangkut oleh beberapa molekul dalam larutan dan sisanya terikat dengan protein plasma, terutama albumin. Ikatan obat dengan protein
plasma bersifat reversibel, kesetimbangan dibentuk antara molekul-molekul yang terikat dan yang tidak. Hanya molekul tidak terikat yang tetap bebas
dan aktif secara farmakologi Stockley, 2008. b
Induksi dan inhibisi protein transport obat Distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti testis,
dibatasi oleh aksi protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein ini
16 secara aktif membawa obat keluar dari sel-sel ketika obat berdifusi secara
pasif. Obat yang termasuk inhibitor transporter dapat meningkatkan penyerapan substrat obat ke dalam otak, yang dapat meningkatkan efek
samping CNS Stockley, 2008. iii. Interaksi pada metabolisme obat
a Perubahan pada metabolisme fase pertama
Meskipun beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak berubah dalam urin, banyak diantaranya secara kimia diubah menjadi
senyawa lipid kurang larut, yang lebih mudah diekskresikan oleh ginjal. Jika tidak demikian, banyak obat yang akan bertahan dalam tubuh dan
terus memberikan efeknya untuk waktu yang lama. Perubahan kimia ini disebut metabolisme, biotransformasi, degradasi biokimia, atau kadang-
kadang detoksifikasi. Beberapa metabolisme obat terjadi di dalam serum, ginjal, kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang
ditemukan di membran retikulum endoplasma sel-sel hati. Ada dua jenis reaksi utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi tahap I melibatkan
oksidasi, reduksi atau hidrolisis obat-obatan menjadi senyawa yang lebih polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat
lain misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi untuk membuat senyawa yang tidak aktif. Beratitas reaksi oksidasi fase I
dilakukan oleh enzim sitokrom P450 Stockley, 2008. b
Induksi Enzim Ketika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik, perlu
terus dilakukan peningkatan dosis seiring waktu untuk mencapai efek
17 hipnotik yang sama, alasannya bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas
enzim mikrosom sehingga meningkatkan laju metabolisme dan ekskresinya Stockley, 2008.
c Inhibisi enzim
Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga obat terakumulasi di dalam tubuh. Berbeda dengan induksi
enzim, yang mungkin memerlukan waktu beberapa hari atau bahkan minggu untuk berkembang sepenuhnya, inhibisi enzim dapat terjadi dalam
waktu 2 sampai 3 hari, sehingga terjadi perkembangan toksisitas yang cepat. Jalur metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase I
oksidasi oleh isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak interaksi inhibisi enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan
serum obat. Jika serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara klinis Stockley, 2008.
d Faktor genetik dalam metabolisme obat
Peningkatan pemahaman genetika telah menunjukkan bahwa beberapa isoenzim sitokrom P450 memiliki polimorfisme genetik, yang
berarti bahwa beberapa dari populasi memiliki varian isoenzim yang berbeda aktivitas. Contoh yang paling terkenal adalah CYP2D6, yang
sebagian kecil populasi memiliki varian aktivitas rendah dan dikenal sebagai metabolisme lambat. Sebagian lainnya memiliki isoenzim cepat
atau metabolisme ekstensif. Kemampuan yang berbeda dalam metabolisme obat-obatan tertentu dapat menjelaskan mengapa beberapa pasien
18 berkembang mengalami toksisitas ketika diberikan obat sementara yang
lain bebas dari gejala Stockley, 2008. e
Interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi Siklosporin dimetabolisme oleh CYP3A4, rifampisin menginduksi
isoenzim ini, sedangkan ketokonazol menghambatnya, sehingga tidak mengherankan bahwa rifampisin mengurangi efek siklosporin sementara
ketokonazol meningkatkannya Stockley, 2008. iv. Interaksi pada ekskresi obat
aPerubahan pH urin Pada nilai pH tinggi basa, obat yang bersifat asam lemah pKa 3-
7,5 sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi larut lipid, yang tidak dapat berdifusi ke dalam sel tubulus dan karenanya akan tetap dalam
urin dan dikeluarkan dari tubuh. Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa 7,5 sampai 10.5. Dengan demikian, perubahan pH yang meningkatkan
jumlah obat dalam bentuk terionisasi, meningkatkan hilangnya obat Stockley, 2008.
b Perubahan ekskresi aktif tubular renal
Obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama di tubulus ginjal dapat bersaing satu sama lain dalam hal ekskresi. Sebagai
contoh, probenesid mengurangi ekskresi penisilin dan obat lainnya. Dengan meningkatnya pemahaman terhadap protein transporter obat pada
ginjal, sekarang diketahui bahwa probenesid menghambat sekresi ginjal banyak obat anionik lain dengan transporter anion organik OATs
Stockley, 2008.
19 c
Perubahan aliran darah renal Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi vasodilator
prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi beberapa obat dari ginjal dapat berkurang Stockley, 2008.
b. Interaksi Farmakodinamik Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang
memiliki efek farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama. Interaksi ini dapat terjadi karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obat-
obat yang bekerja pada sistem fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diprediksi dari pengetahuan tentang farmakologi obat-obat yang berinteraksi
BNFC, 2009. i.
Interaksi aditif atau sinergis Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan
bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan SSP, jika diberikan dalam jumlah sedang dosis terapi normal sejumlah besar obat
misalnya ansiolitik, hipnotik, dan lain-lain, dapat menyebabkan mengantuk berlebihan. Kadang-kadang efek aditif menyebabkan toksik misalnya aditif
ototoksisitas, nefrotoksisitas, depresi sumsum tulang dan perpanjangan interval QT Stockley, 2008.
ii. Interaksi antagonis atau berlawanan
Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasang obat dengan kegiatan yang bertentangan satu sama lain. Misalnya kumarin dapat memperpanjang waktu
pembekuan darah yang secara kompetitif menghambat efek vitamin K. Jika asupan vitamin K bertambah, efek dari antikoagulan oral dihambat dan waktu
20 protrombin dapat kembali normal, sehingga menggagalkan manfaat terapi
pengobatan antikoagulan Stockley, 2008. 2.3.2 Tingkat keparahan interaksi obat
Potensikeparahaninteraksisangat pentingdalam menilairisikodanmanfaatterapi alternatif. Denganpenyesuaiandosis yang tepatatau
modifikasijadwalpenggunaan obat, efek negatif darikebanyakaninteraksidapat dihindari. Tigaderajatkeparahandidefinisikan sebagai:
a. Keparahan minor
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika efek biasanya ringan, konsekuensi mungkin mengganggu atau tidak terlalu mencolok tapi
tidak signifikan mempengaruhi hasil terapi. Pengobatan tambahan biasanya tidak diperlukan Tatro, 2009.
b. Keparahan moderate
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate sedang jika efek yang terjadidapat menyebabkanpenurunanstatus klinispasien. Pengobatan
tambahan, rawat inap, ataudiperpanjangdirawat di rumah sakitmungkin diperlukan Tatro, 2009.
c. Keparahan major
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan majorberat jika terdapat probabilitas yang tinggi,berpotensimengancam jiwaataudapat
menyebabkankerusakan permanen Tatro, 2009. Profesional perawatan kesehatan perlu menyadari sumber interaksi obat
yang mengidentifikasi kedekatan dan tingkat keparahan interaksi, dan mampu menggambarkan hasil potensi interaksi dan menyarankan intervensi yang tepat.
21 Hal ini juga tugas para profesional kesehatan untuk dapat menerapkan literatur
yang tersedia untuk setiap situasi. Profesional harus mampu untuk merekomendasi secara individu berdasarkan parameter-pasien tertentu.
Meskipun beberapa pihak berwenang menyarankan efek samping yang dihasilkan dari interaksi obat mungkin kurang sering daripada yang terjadi,
profesional perawatan kesehatan harus melindungi pasien terhadap efek berbahaya dari obat-obatan, terutama ketika interaksi tersebut dapat
diantisipasi dan dicegah Tatro, 2009.
2.4 Pasien pediatrik
Menurut American academy of pediatriks AAP, pediatrik adalah spesialisasi ilmu kedokteran yang berkaitan dengan fisik, mental dan sosial
kesehatan anak sejak lahir sampai dewasa muda. Pediatrik juga merupakan disiplin ilmu yang berhubungan dengan pengaruh biologis, sosial, lingkungan dan
dampak penyakit pada perkembangan anak. Anak- anak berbeda dari orang dewasa secara anatomis, fisiologis, imunologis, psikologis, perkembangan dan
metabolisme AAP, 2012. Secara internasional populasi pediatrik dikelompokkan menjadi:
a. Bayi premature baru lahir preterm newborn infants.
b. Bayi yang baru lahir atau neonatus umur 0-28 hari term newborn infants.
c. Bayi dan anak kecil yang baru belajar berjalan umur 28 hari sampai 23
bulan infants and toddlers. d.
Anak- anak umur 2- 11 tahun children.
22
e. Anak remaja umur 12 sampai 16 sampai 18 tahun tergantung daerah