43 Papua New Guinea. Ketika demam tifoid merupakan endemik yang tinggi di
Negara tertentu di Amerika Selatan, insiden klinis demam tifoid pada anak- anak berumur di bawah 3 tahun adalah rendah. Di Amerika Selatan insiden tertinggi
terjadi pada murid sekolah pada usia 5 – 19 tahun dan pada usia dewasa berumur lebih dari 35 tahun WHO, 2003.
c. Jenis kelamin
Berdasarkan hasil penelitian, pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid di RSU Sari Mutiara Medan pada periode Januari 2014 – Desember 2014
diperoleh persentase tertinggi adalah pasien laki-laki dengan persentase 56,32. Hasil penelitian ini juga mirip dengan penelitian yang dilakukan RS X di
Yogyakarta yaitu ditemukan penderita demam tifoid lebih tinggi pada laki- laki dari perempuan Sulistiati, 2013. Hal ini dipengaruhi karena laki- laki lebih
sering melakukan aktifitas diluar rumah sehingga memungkinkan laki- laki mendapatkan resiko lebih besar terkena demam tifoid dibandingkan perempuan
Musnelina, 2004.
4.1.2 Profil pengobatan pada pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid
Berdasarkan hasil pengamatan pada 352 rekam medis pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid, obat yang paling banyak digunakan adalah
Paracetamol 18,61, Ranitidin 10,11, Cefotaxime 9,71, Metamizol 9,23 dan Kloramfenikol 7,28. Profil pengobatan subjek yang diteliti secara
garis besar ditunjukkan pada Tabel 4.2.
44
Tabel 4.2 Profil pengobatan pada pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid
di RSU Sari Mutiara Medan pada periode Januari 2014 – Desember 2014
No Nama obat Tingkat penggunaan
Persentase 1
Paracetamol 276
18,61 2
Ranitidin 150
10,11 3
Cefotaxime 144
9,71 4
Metamizol 137
9,23 5
Kloramfenikol 108
7,28 6
Ceftriaxon 85
5,73 7
Ampicillin 65
4,38 8
Domperidon 64
4,31 9
Ambroxol 58
3,91 10 Albuterol
47 3,17
11 Ondansetron 41
2,76 12 Levofloksasin
23 1,55
13 Unidryl 20
1,39 14 Deksametason
17 1,15
15 Metronidazol 17
1,15 16 Gentamisin
16 1,08
17 Antasida 14
0,94 18 Sucralfat
13 0,87
19 Dekstrometorphan 13
0,87 20 Siprofloksasin
12 0,81
21 Ceterizine 11
0,74 22 Dulcolax
11 0,74
23 Transamin 10
0,67 24 Amoksisilin
10 0,67
25 Dypenidramin HCL 9
0,61 26 OBH
9 0,61
27 Candistatin 9
0,61 28 Cefadroxil
9 0,61
29 Omeprazole 8
0,54 30 Budesonide
8 0,54
31 Kotrimoksazol 7
0,47 32 OB Ivy
6 0,40
33 Diazepam 6
0,40 34 Cefixime
5 0,34
45
Tabel 4.2 lanjutan
Terapi demam tifoid dibagi menjadi pengobatan simptomatik dan spesifik dengan antbiotik sehingga membutuhkan terapi kombinasi PPM IDI, 2009.
Demam adalah gejala utama demam tifoid yang dari hari ke hari intensitasnya semakin tinggi yang disertai gejala lain seperti pusing, anoreksia, mual dan
muntah, lidahkotor dan ditutupi selaput putih. Pada umumnya penderita mengalami nyeri perut dan ulu hati, hepatosplenomegali, bradikardi relatif serta
gangguan kesadaran. Pada minggu selanjutnya timbul diare. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah rose spot Depkes RI., 2006. Rose spot merupakan suatu
ruam makulo popular yang berwarna merah dengan ukuran 2- 4 μm seringkali
dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih Soedarmo, 2002.
36 Ceftrizine 5
0,34 36 Lansoprazole
4 0,27
37 Azitromisin 2
0,13 38 Fenobarbital
2 0,13
39 Oroxin 2
0,13 40 Alprazolam
1 0,067
41 Fluticason 1
0,067 42 Amlodipin
1 0,067
43 Asam mefenamat 1
0,067 44 Ibuprofen
1 0,067
45 Procaterol 1
0,067 46 Interhistin
1 0,067
47 Fenitoin 1
0,067 48 Tetrasiklin
1 0,067
43 Prednisolon 1
0,067 44 Eritromisin
1 0,067
45 Vometa 1
0,067 46 Vitamin dan suplemen
77 5,2
Total obat 1483
46 Paracetamol dan Metamizol sering digunakan sebagai analgesik dan
antipiretik. Antipiretik seperti parasetamol dan metamizole digunakan untuk menurunkan demam, yang merupakan gejala yang sering timbul pada kasus
demam tifoid. Metamizole bekerja menekan pembentukan prostaglandin, mempunyai efek antipiretik, analgetik dan antiinflamasi Anonim, 2007.
Metamizol memiliki efek antipiretik yang lebih tinggi dibandingkan dengan Paracetamol Rahmawati, 2015, tetapi efek analgesik nya lebih rendah dari
Paracetamol Lubis, 2011. Kloramfenikol merupakan antibiotik lini pertama yang digunakan untuk terapi demam tifoid PPM IDI, 2009. Kloramfenikol telah lama
digunakan untuk demam tifoid. Tetapi saat ini muncul masalah resistensi terhadap antibiotika ini. Di samping itu, angka kekambuhan tinggi, gambaran klinis tidak
jelas dan risiko komplikasi. Cefotaxime merupakan antibiotic lini kedua yang digunakan pada terapi demam tifoid. Resistensi muncul akibat penggunaan
antibiotik yang salah, penggunaan berlebihan overuse, salah penggunaan misuse, dan underuse Kalbe, 2014.
Menurut buku Pedoman Pengendalian Demam Tifoid antibiotik lini pertama untuk demam tifoid adalah kloramfenikol, ampisilin atau amoksisilin dan
trimetoprim-sulfametoksazol. Jika pemberian salah satu antimikroba lini pertama tidak efektif, maka dapat diganti dengan antibiotik lini kedua yaitu seftriakson,
sefiksim, dan golongan kuinolon Depkes RI., 2006. Pemberian obat dipengaruhi oleh penyakit penyerta pasien, seperti pada
pasien dengan diagnosis demam tifoid diikuti sindrom disentri diberikan terapi Norages, Ceftriaxon, Paracetamol, Metronidazol, OB-Ivy syrup, Ceterizine,
Dexametason, Ranitidin dan Lacto B.
47 Penggunaan obat selain antibiotik pada pengobatan demam tifoid
dipengaruhi oleh gejala yang diderita pasien dan penyakit penyertanya. Distribusi pasien berdasarkan diagnosis penyakit pada pasien demam tifoid yang didiagnosis
dengan penyakit penyerta yaitu Dengue Haemorrhagic Fever sebanyak 44 kasus 12,50, Gastroenteritis dan Bronkopneumonia masing masing sebanyak 19
kasus 5,38, Infeksi saluran pernafasan atas ISPA sebanyak 8 kasus 2,27, Dyspepsia sebanyak 4 kasus 1,14, Tonsilitis, dehidrasi dan Morbili masing –
masing sebanyak 2 kasus 0,57 dan 1 kasus masing masing disentri, konstipasi, vomitis, malaria dan tuberculosis 0,28.
4.1.3 Gambaran potensi interaksi obat subjek penelitian