1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Nikah dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum dan mempunyai kekuatan hukum positif, jika nikah tersebut dilakukan menurut ketentuan hukum yang
berlaku secara positif seperti yang diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 dan PP No.9 Tahun 1975 serta UU Islam 1974. Sebagai suatu perbuatan hukum
perkawinan mempunyai akibat hukum baik bagi suami istri maupun anak yang lahir dalam perkawinan atau akibat dari perkawinan tersebut. Seperti penyelesaian
harta bersama, pengasuhan anak, memikul biaya pendidikan anak bila bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhi, penentuan kewajiban memberi
biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri, sah atau tidak seorang anak, pencabutan kekuasaan orang tua, asal usul anak, termasuk mengenai kewarisan.
Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
1
Selain itu juga perkawinan merupakan salah satu kebutuhan rohani dan jasmani yang sudah menjadi kodrat alam, bahwa
1
Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet.40, Jakarta: Pradnya Paramita, 2009, h.537.
2
dua manusia dengan jenis yang berlainan di sunatkan untuk menikah sesuai dengan ketentuan Allah SWT yang antara lain tujuannya untuk melanjutkan
keturunan dan tujuan-tujuan lainya
2
Sebagaimana Firman Allah SWT dalam surah Al-Dzariyat: 49
51 49
Artinya: ”Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat akan kebesaran Allah” Q.S. Al-Dzariyat51: 49
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa perkawinan itu merupakan sunatullah yang berlaku baik pada manusia maupun makhluk lainnya. Dengan
demikian Allah menciptakan mahkluk-Nya bukan tanpa tujuan, tetapi di dalamnya terkandung rahasia yang amat dalam, supaya hidup hamba-hamba-Nya di dunia
ini menjadi tentram sebagaimana dalam Firman Allah Qs.Al-Rum:21
30 21
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-nya ialah dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan di jadikan-nya diantaramu rasa kasih
dan sayang, sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi kaum yang berfikir” Q.S. Al-Rum30: 21 Allah sengaja menumbuhkan rasa kasih dan sayang ke dalam hati masing-
masing pasangan, supaya di antar keduanya saling melengkapi satu dengan yang
2
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Cet.1, Jakarta: Sinar Grafika, 2006 , h.43.
3
lain. Agar terciptanya kehidupan yang tentram dalam membina suatu rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Serta memberikan keturunan yang
baik dan sehat secara jasmani dan rohani.
3
Dari pengertian ini bahwa Islam mengatur manusia hidup berpasang-pasangan yaitu melalui jenjang perkawinan
yang ketentuannya dirumuskan dalam aturan-aturan dalam hukum perkawinan. Di samping itu juga pemerintah membuat Undang-Undang perkawinan
yang mengatur sekaligus menjadi petunjuk bagi umat Islam demi kemaslahatan, kepentingan, ketertiban, keadilan dan kesejahteraan masyarakat yaitu Undang-
undang No.1 Tahun 1974 di Indonesia dan Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia. Yang bertujuan mengatur tentang perkawinan yang sempurna, bahagia,
kekal dan tercipta rasa kasih sayang. Dalam Undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat 1 dan
2, bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agama dan kepercayaannya itu. Serta tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4
Sedangkan dalam Undang-Undang keluarga Islam Tahun 1984 mengharuskan adanya pendaftaran perkawinan atau
pencatatan perkawinan
5
. Dari penjelasan Undang-Undang diatas telah tegas menyebutkan bahwa
perkawinan sekarang akan dianggap sah oleh hukum apabila perkawinannya itu
3
Amir Taat Nasution, Pekawinan dalam Islam, Cet.3, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994, h.1.
4
Republik Indonesia Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Cet.1, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, h.1.
5
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, Studi Terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Cet.1, Jakarta: INIS, 2002, h.150.
4
dicatat oleh pegawai pencatat nikah dan tidak ada perkawinan yang diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan UUD 1945.
Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agama dan
kepercayaannya itu, sepanjang tidak bertentangan dalam Undang-Undang ini. Kemudian dalam pasal 2 ayat 2 menegaskan tiap-tiap perkawinan dicatat.
6
Tetapi pada kenyataannya dalam masyarakat kita sering terjadi perkawinan di bawah tangan. Perkawinan yang sah secara hukum Agama apabila
rukun dan syaratnya terpenuhi, namun tidak mempunyai kekuatan hukum tidak sah dimata hukum negara. Perkawinan dengan cara inilah yang mempunyai
akibat hukum dan mendapat pengakuan dan perlindungan hukum yang dibuktikan dengan akta nikah.
Akta nikah merupakan bukti otentik suatu perkawinan, ia memiliki manfaat dan maslahat yang sangat besar bagi diri dan keluarganya istri dan anak-
anaknya untuk menolak kemungkinan dikemudian hari adanya pengingkaran atas perkawinannya atau suami istri melakukan tindakan yang menyimpang, misalnya
suami tidak memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya. Dengan adanya bukti otentik akta nikah, maka perkawinan yang
dilangsungkan oleh seseorang akan mempunyai kekuatan yuridis. Sebagaimana
6
Tentang pencatatan ini terdapat dua pendapat, menurut pendapat pertama pencatatan nikah oleh PPN tidak merupakan syarat sahnya nikah, tetapi hanya kewajiban Administrasi saja. Pendapat
kedua pencatatan nikah oleh PPN merupakan syarat sahnya nikah, lihat Masjfuk Zuhdi, NIkah Siri, Nikah di Bawah Tangan, Serta Status Anak menurut Hukum Islam dan Hukum Positif, Mimbar
Hukum, No.28 Tahun VIII, 1996, h.11-12
5
disebutkan pada pasal 7 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah.
7
Dengan demikian pencatatan perkawinan adalah merupakan kewajiban bagi mereka yang akan melangsungkan perkawinannya.
Dalam Perkawinan di bawah tangan, petugas pencatat perkawinan tidak akan mencatat perkawinanya tersebut, karena dianggap menyimpang dari
Undang-Undang perkawinan. Disamping itu juga kedua pasangan itu tidak akan mendapatkan surat nikah dan anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut sulit
untuk mendapatkan akta kelahiran. Melihat pentingnya pencatatan perkawinan, maka sudah seharusnya
masyarakat menyadari dan melaksanakan aturan pencatatan perkawinan. Seperti yang ditetapkan dalam pasal 2 ayat 2 Undang-undang No.1 Tahun 1974.
8
Tiap- tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku atau
bagi suami istri yang karena suatu hal perkawinannya tidak dibuktikan dengan akta nikah maka memohon isbat nikah ke Pengadilan Agama.
Oleh karena itu adanya keharusan pencatatan perkawinan bagi mereka yang ingin melangsungkannya, karena mempunyai nilai yuridis yang sangat
urgen, sebagai bukti otentik bahwa mereka telah melangsungkan pernikahan dan
7
Abdurohman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Cet.2, Jakarta: Akademika Pressindo, 1995, h.8.
8
Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet.40, Jakarta: Pradnya Paramita, 2009, h.538.
6
membina rumah tangga. Selain itu juga sebagai alat untuk mendapatkan hak-hak masing-masing pihak sebagai suami istri.
Dengan demikian perkawinan di bawah tangan semestinya dihindari, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Akan tetapi pada kenyataannya
masyarakat masih banyak yang belum sadar akan kepentingan hukum yang berlaku, khususnya mengenai perkawinan. Sehingga masih banyak masyarakat
yang melakukan perkawinan di bawah tangan dan terjadinya penyimpangan- penyimpangan terhadap hukum itu sendiri.
9
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang
“PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DAN SOLUSI HUKUMNYA DI INDONESIA DAN MALAYSIA
”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah