35
D. Konsekuensi Hukum
Konsekuensi orang yang melakukan perkawinan di bawah tangan, Baik di Indonesia maupun di Malaysia adalah tidak dicatat oleh petugas pencatat
perkawinan Petugas KUA karena dianggap sudah menyimpang dari Undang- Undang perkawinan yang berlaku. Disamping itu juga si anak tidak akan
mendapatkan akte kelahiran yang menjadi bukti otentik untuk mendapatkan nafka, biaya pendidikan dan harta waris.
Undang-Undang No.22 tahun 1946 jo. Undang-Undang No.32 tahun 1945 penjelasan pasal 1 maupun dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 pasal 2
mengharuskan pencatatan pada tiap-tiap perkawinan.
34
Kemudian dalam PP No. 9 tahun 1975 yang merupakan peraturan tentang pelaksanaan Undang-Undang No.1
Tahun 1974 disebut bahwa perkawinan bagi penganut Islam dilakukan oleh pegawai pencatat dengan tata cara pencatatan yang dimulai dengan:
1. Pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan.
2. Pelaksanaan akad nikah dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua
orang saksi 3.
Penandatanganan akta perkawinan oleh kedua saksi, pegawai pencatat dan wali dengan penandatanganan tersebut proses perkawinan telah selesai, bagi orang
yang tidak memberitahu kepada pegawai pencatat tentang kehendak melaksanaan perkawinan atau melaksanakan perkawinan tidak dihadapan pegawai pencatat,
34
Arso Sosroatmojo, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cet.1, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, h.55.
36
termasuk perbuatan melanggar hukum yang dapat dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500 Tujuh ribu lima ratus rupiah
35
Pasal 45 peraturan pelaksanaan memuat ancaman pidana bagi mempelai dan pegawai pencatat yang melakukan pelanggaran ketentuan-ketentuan tentang
pencatatan. Mempelai diancam dengan pidana denda setingi-tingginya Rp. 7.500 apabila ia:
1. Tidak melakukan pemberitahuan untuk kawin
2. Perkawinan tidak dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat.
Pegawai pencatat diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 tiga bulan atau denda setingi-tingginya Rp. 7.500 apabila ia:
1. Tidak melakukan penelitian
2. Tidak memberitahukan adanya halangan perkawinan
3. Tidak menyelenggarakan pengumuman
4. Tidak menandatangani pengumuman atau
5. Melaksanakan perkawinan sebelum hari kesepuluh dari pengumuman
6. Tidak menyiapkan dan menandatangani akta perkawinan,
7. Tidak menyimpan helai pertama, tidak memberikan helai kedua kepada
panitra pengadilan dan kutipan akta perkawinan kepada suami istri. Adapun yang mengadili perkara pelanggaran ini yang menjatuhkan
pidananya adalah peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Bukan peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama, walaupun yang melakukan pelanggaran itu
beragama Islam.
36
35
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, Studi Terhadap Perundang- undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, h. 149
36
Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976, h.21.
37
BAB III MASALAH HUKUM PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN
DI MALAYSIA
A. Hukum Positif Perkawinan di Malaysia
Sebelum lahirnya Undang-Undang khusus yang mengatur tentang perkawinan dan masalah-masalah perkawinan disetiap negara Malaysia telah
ditetapkan dalam Undang-Undang Agama Islam.
1
Hukum yang mengatur tentang perkawinan dan hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan dicantumkan dalam
satu bab dari Undang-Undang tersebut. Seperti Undang-Undang Islam, salah satu bagiannya adalah tentang perkawinan dan hal-hal yang muncul akibat
perkawinan. Undang-Undang yang di maksud adalah sebagai berikut:
1. Enakmen undang-undang yang ditetapkan dalam hukum Syarak 1952, atau
Undang-Undang hukum Islam No.3 Tahun 1952. 2.
Undang-Undang Islam Terengganu No.4 Tahun 1955. 3.
Undang-Undang Agama Pahang 1956 atau dalam Undang-Undang Agama Islam No.5 Tahun 1956.
4. Undang-Undang Islam, Negara Sembilan No.15 Tahun 1960.
5. Undang-Undang Islam, Kedah 1978.
1
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, Studi Terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Cet.1, Jakarta: INIS, 2002, h.84.