Dasar Hukum Perkawinan Pengertian Perkawinan di Bawah Tangan

16 wanita sebagai suami istri, dengan tujuan mambentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. 7 Di samping definisi yang dijelaskan oleh Undang-Undang No.1 Tahun 1974 di atas, kompilasi hukum Islam di Indonesia juga memberikan definisi dan tujuan lain yang dicantumkan dalam pasal 2 dan 3 yang tidak bertentangan dengan Undang-undang perkawinan. Namun bersifat menambah penjelasan dengan rumusan sebagai berikut: ’ Perkawinan menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati printah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah pasal 2, selanjutnya tujuan perkawinan menurut kompilasi hukum Islam pasal 3 adalah mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah. 8 Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa suatu akad dalam perkawinan adalah untuk menjalankan perintah Allah juga merupakan salah satu ibadah yang sangat dianjurkan bahkan cenderung diperintahkan.

2. Dasar Hukum Perkawinan

Tentang hukum melakukan perkawinan Ulama fiqih fuqaha berbeda pendapat dalam menentukan kedudukan hukumnya. Secara umum ada pendapat tentang hukum nikah yakni Jumhur mayoritas ulama berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunah, golongan Zhahiriah berpendapat bahwa nikah itu wajib, para ulama Malikiahyah Mutaakhirin berpendapat bahwa 7 Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet.1, Jakarta: PT Pranada Paramita, 2010, h.537. 8 Abdurohman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Cet.2, Jakarta: Akademika Pressindo, 1995, h.7. 17 nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunah untuk sebagian orang lainnya dan mubah untuk sebagian orang lainnya. 9 Perbedaan pendapat ini, menurut Ibnu Rusyid disebabkan adanya perbedaan apakah bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah ini harus diartikan wajib, sunah ataukah mungkin mubah sebagaimana tertera dalam surat An-Nisa:3                               ءاسنلا 4 : 3 Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak- hak perempuan yang yatim, bilamana kamu mengawininya, Maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. ” Q.S. An-Nisa4: 3 Dari penjelasan diatas, bahwa pernikahan itu diwajibkan bagi meraka yang sudah mampu untuk menikah, serta dibolehkan memiliki dua orang istri apabila mereka berlaku adail. Akan tetapi, diharamkan bagi mereka untuk menikahi yang ketiga apabila dia hanya mampu untuk memenuhi hak dua istri saja. 9 Ahmad Sudirman Abas, Pengantar Pernikahan Analisis Perbandingan Antar Madzhab, Cet.1, Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006, h.7. 18 Di Indonesia pada umumnya masyarakat memandang bahwa hukum asal melakukan perkawinan ialah mubah. Hal ini banyak dipengaruhi pendapat U lama Syafi’iyah, terlepas dari pendapat Imam-imam mazhab berdasarkan nash-nash baik Al- Qur’an maupun As-Sunah, Islam sangat menganjurkan kaum muslimin yang mampu untuk melangsungkan perkawinan. Namun demikian dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan serta tujuan melaksanakannya, maka melakukan perkawinan itu dapat dikenakan hukum wajib, sunah, haram, makruh ataupun mubah. 10 1. Wajib, yaitu bagi orang yang telah mampu menikah, serta ingin menjaga jiwa dan pandangan dari perbuatan haram. 2. Sunah, yaitu bagi orang-orang yang sudah mampu untuk menikah, tetapi ia masih sanggup untuk menahan dirinya dari perbuatan haram. Dalam hal seperti ini maka nikah lebih baik dari pada hidup sendiri karena hidup sendiri tidak diajarkan oleh Islam. 3. Haram, yaitu bagi orang yang tahu bahwa dirinya tidak mampu untuk melaksanakan hidup berumah tangga dan melaksanakan kewajiban lahir dan batin. Seperti memeberi nafkah, pakaian, tempat tinggal serta mencampuri istri. 4. Mubah, yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah dan dorongan untuk nikah belum membahayakan dirinya. 10 Abd Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Cet.1, Bogor: Predana Media, 2003, h.7. 19 Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dasar perkawinan menurut hukum Islam pada dasarnya bisa menjadi wajib, haram, sunah dan mubah tergantung dengan keadaan maslahat atau mafsadatnya 11 .

3. Rukun dan Syarat Perkawinan

Dokumen yang terkait

Pendugaan Cadangan Karbon Tumbuhan Bawah di Arboretum USU

5 73 61

Eksplorasi Jamur Perombak Serasah di Bawah Tegakan Pinus (Pinus merkusii Jungh et de vriese) dan Rasamala (Altingia excelsa Noronha)

1 80 38

Pelimpahan Hak Asuh Anak Di Bawah Umur Kepada Bapak Akibat Perceraian (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Nomor:411/Pdt.G/2012/PN.Mdn)

15 223 118

Kekuatan Pembuktian Akta Di Bawah Tangan Dikaitkan Dengan Kewenangan Notaris Dalam Legalisasi Dan Waarmerking Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

0 46 80

Perhitungan Kuat Medan Listrik Di Bawah Saluran Transmisi Studi Kasus : Perencanaan Transmisi 275 kV Galang-Binjai

8 119 87

Analisis Hukum Klausul Perjanjian Kredit Bank Di Bawah Tangan Dalam Hubungannya Dengan Penyelesaian Utang Debitur Yang Wanprestasi Pada Bank Perkreditan Rakyat Yekti Insan Sembada Boyoyali Kabupaten Boyolali Jawa Tengah

1 57 59

Kedudukan Anak Di Bawah Umur Atas Harta Peninggalan Orangtuanya Pada Masyarakat Minangkabau...

0 15 5

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR DAN AKIBAT HUKUMNYA Tinjauan Yuridis Tentang Perkawinan Anak Di Bawah Umur Dan Akibat Hukumnya (Studi Kasus di Pengadilan Agama Sukoharjo).

0 3 14

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR DAN AKIBAT HUKUMNYA Tinjauan Yuridis Tentang Perkawinan Anak Di Bawah Umur Dan Akibat Hukumnya (Studi Kasus di Pengadilan Agama Sukoharjo).

0 10 21

Kedudukan Anak Hasil Perkawinan Di Bawah Tangan Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif Di Indonesia

0 0 12