28
Secara dogmatis, tidak ada nash dalam Al- Qur’an ataupun sunnah
yang mengatur pencatatan untuk perkawinan, tetapi Al- Qur’an
memberikan perhatian besar kepada pencatatan setiap transaksi utang dan jual beli. Semestinya jika dalam urusan muamalah seperti utang saja
pencatatan diperintahkan, apalagi dalam perkawinan yang akan melahirkan hukum lain seperti hak pengasuhan anak, hak waris dan hak-
hak lainnya. Oleh karena itu, memenuhi aturan Agama dan aturan negara
amatlah penting karena kita selain sebagai agamawan juga sebagai warga negara, sehingga perjalanan rumah tangga tidak hanya bersentuhan
dengan aturan agama tetapi juga aturan negara. Dengan demikian jika kelangsungan hidup rumah tangga tidak lepas dari aturan negara dan
mematuhinya maka dari itu mematuhi aturan tersebut wajib hukumnya.
27
3. Dampak Pernikahan di Bawah Tangan dalam Masyarakat
Ada banyak dampak yang terjadi dalam Pernikahan di bawah tangan yaitu:
a. Terhadap Istri
Perkawinan di bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi istri yaitu:
1. Isteri tidak dianggap sebagai isteri sah.
27
http:bimasIslam.kemenag.go.idindex.php?option=com_contentview=articleid=313c atid=493AartikelItemid=79
, diakses pada hari jum’at, 22 Juli 2011
29
2. Isteri tidak memiliki kekuatan hukum jika terjadi perselisihan serta pembagian harta waris jika suami meninggal dunia.
3. Isteri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perceraian, karena secara hukum pernikahan itu dianggap tidak pernah terjadi.
b. Terhadap Anak
Sementara status terhadap anak dari perkawinan di bawah tangan memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di
mata hukum. Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah.
Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai
hubungan hukum terhadap ayahnya pasal 100 Kompilasi Hukum Islam di dalam akta kelahirannyapun status anak dianggap sebagai
anak luar nikah. Sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkan, tentunya hal semacam ini adalah dampak yang sangat
merugikan anak dan ibunya. Ketidak jelasan status si anak di muka hukum mengakibatkan
hubungan antara ayah dan anak tidak kuat. Sehingga bisa saja suatu waktu si ayah menyangkal bahwa anak tersebut adalah bukan anak
kandungnya. Sehingga anak tidak berhak atas biaya kehidupan, pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya.
30
B. Hukum Positif Perkawinan di Indonesia
Hukum yang berlaku saat ini di Indonesia adalah Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan berbagai peraturan pelaksanaannya. Undang-Undang tersebut
merupakan hukum perkawinan bagi bangsa Indonesia yang sudah dirintis penyusunannya sejak tahun 1950.
Dalam UU No.1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
28
. Kemudia tiap-tiap perkawinan dicata menurut PP No.9 Tahun 1975, yang menerangkan pencatatan bagi mereka yang
melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam dilakukan oleh Pegawai pencatat. Sebagaimana dimaksud dalam UU No.32 Tahun 1945 tentang pencatatn
nikah, talak dan rujuk. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 berlaku secara efektif hubungannya
dengan PP No.9 Tahun 1975, PP No.10 Tahun 1983, KHI pasal 7 ayat 1 sd 3, tentang perkawinan. Disamping itu ada Undang-Undang lain yang sangat erat
kaitannya dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yaitu Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
29
28
Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet.40, Jakarta: Pradnya Paramita, 2009, h.538.
29
Ibid, h.23.