76 masyarakat. Hal ini juga dapat dikatakan sebagai cita-cita dari masyarakat sendiri
yang menginginkan sebuah wilayah dimana mereka dapat hidup layaknya masyarakat lain. Proses ini juga tidak berlangsung secara cepat dan membutuhkan
waktu bertahun-tahun untuk dapat menjadi identitas sendiri yaitu petani. Latar belakang yang sebenarnya bukan petani melainkan sebagai masyarakat pekerja di
sebuah perkebunan tidak membuat masyarakat tetap ingin menjadi pekerja atau buruh. Bukan tanpa alasan mengapa masyarakat melakukan hal ini, justru alasan-
alasan dari masyarakat semakin menguatkan dan menyatukan masyarakat. Alasan- alasan ini juga didasarkan pada status pekerja atau buruh yang semakin tidak
jelas, seperti dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa perkebunan selalu berganti kepemilikan atau pihak yang mengelola perkebunan berganti-ganti sehingga
membuat keadaan semakin susah bagi masyarakat dan tidak bisa lagi mengharapkan dari apa yang dihasilkan dari bekerja di perkebunan. Sekarang
Dusun Anggrek merupakan sebuah dusun persawahan. Persawahan tampak hijau di sekitar desa. Persawahan ini berdampingan dengan rumah. Lahan menjadi milik
masyarakat, walaupun tidak dapat dikatakan luas bagi setiap kepala keluarga. Sawah pun hanya dapat memenuhi kebutuhan akan beras.
4.2.2. Petani dan Pandangan Dunianya
Kini masyarakat Dusun Anggrek Desa Perkebunan Ramunia sudah dapat dikatakan sebagai petani walaupun mereka tidak dapat menggantungkan hidupnya
dari hasil pertanian tersebut. Masyarakat tetap harus mencari sumber pencaharian dari sektor lainnya. Terdapat ingatan-ingatan terhadap masa lalu yang dianggap
kelam bagi masyarakat dimana itu justru mempengaruhi bagaimana mereka
Universitas Sumatera Utara
77 bertindak saat ini, bagaimana masyarakat memiliki pandangan dunianya yang
dalam hal ini merupakan pandangan terhadap sebuah dusun yang berubah dalam segala hal termasuk masyarakat sendiri juga berubah.
Bagi petani di dusun Anggrek Desa Perkebunan Ramunia, lahan merupakan sumber kehidupan dimana mereka bisa tinggal di lahan tersebut,
mendirikan rumah dan bercocok tanam. Selain itu, fakta di lapangan juga terdapat masyarakat yang terpaksa harus menjual lahan. Hal ini dikarenakan kebutuhan
yang semakin tinggi, dan juga untuk membayar utang. Beberapa masyarakat yang sewaktu berjuang mendapatkan lahan mereka tidak bekerja, maka untuk
memenuhi kebutuhan keluarga, mereka menerima sumbangan masyarakat lain dan utang dengan kerabat. Ini membuat sebahagian lahan yang diperoleh dari hasil
perjuangan terpaksa harus dijual sebagian untuk menutupi utang tersebut. Petani dusun Anggrek Baru memahami dirinya sebagai orang yang sering
bersentuhan dengan tanah, tanaman, dan alam. Terkait dengan hal ini maka petani membutuhkan suatu lingkungan pendukung bagi aktivitas sehari-harinya yaitu
lingkungan ekologi desa. Aktivitas petani yang dilakukakan setiap harinya berupa mengolah lahan, menanam padi, memupuk, menyemprot, dan lain sebagainya.
pembicaraan-pembicaraan yang timbul dikalangannya yaitu seputar apa yang dilakukannya. Terkadang pembicaraan-pembicaraan ringan di lahan yaitu tentang
pekerjaan di luar aktivitas bertani masyarakat. Bagi masyarakat, bertani hanya sebatas pekerjaan sampingan. Walaupun demikian, ini adalah segala-galanya,
tidak dapat diganti dengan apapun. Seperti apa yang di ungkapkan oleh seorang Buk Ngatini,
Universitas Sumatera Utara
78 “Walaupun aku seorang penjual jamu, tetap saja lah aku
ngerjain tanaman padi ku, dulu kami susah-susahnya masyarakat berjuang demi lahan ini. makanya aku tetaplah
ngurus lahanku, ya sambil-sambil jualan jamu inilah”.
Ini membuktikan bahwa kegiatan bertani merupakan cita-cita dari setiap masyarakat di Dusun Anggrek. Latar belakang masyarakat dan orang-orang
tuanya merupakan buruh di perkebunan dan tidak ada hubungannya dengan aktivitas bertani padi. Keadaan yang sangat susah membuat keinginan dan cita-
cita tersebut muncul. Shahin dalam Redfield mengatakan bahwa pada dasarnya, sulit mencari petani yang menjadi petani, jika bukan karena faktor orang tuanya
adalah petani juga. Kebanyakan mereka menemukan dunia sebagaimana dunia petani setelah melakukan aktivitas-aktivitas kepertanian lewat kedua orang
tuanya
15
Bu Ngatini bisa dikatakan sebagai sosok perempuan yang berani dalam melakukan perjuangan lahan. Buk Ngatini sebagai perwakilan perempuan dalam
memperjuangkan lahan dusun Anggrek Baru. Pada tahun 2000, Buk Ngatini mendapat penghargaan Women’s World Summit Foundation yang merupakan
penghargaan yang diberikan terhadap perempuan yang terlibat dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat. Menurut beberapa informan lain dan
. Apa yang dikatakan Shahin mengenai hal di atas justru kebalikan dari kasus dusun Anggrek. Masyarakat justru tidak memiliki latar belakang sebagai
petani, orang tua mereka adalah buruh, dan mereka dulunya juga merupakan buruh di perkebunan.
15
Dikemukakan secara defenitif oleh Shahin tentang beberapa aspek yang melatari diri petani ; yakni ladang keluarga sebagai asas unit multaidimensional dari organisasi sosial,
pengolahan tanah sebagai sarana untuk memperoleh nafkah, pola-pola kultural spesifik berkaitan dengan pandangan hidup komunitas pedesaan kecil, posisi ketertindasan dari dominasi terhadap
kaum tani dari orang luar.Robert Redfield, Masyarakat Petani dan Kebudayaan. Jakarta: CV. Rajawali, 1982
Universitas Sumatera Utara
79 pengakuan Buk Ngatini sendiri, dia selalu berani berbicara menyampaikan
aspirasinya kepada Pemerintah saat sedang melakukan aksi massa di kantor Gubernur, dan beberapa tempat lainnya serta kepada pihak organisasi ABRI yang
kala itu menjadi musuh bagi masyarakat. Buk Ngatini memiliki seorang suami yang pekerjaannya sopir lintas hanya 1 kali seminggu pulang ke rumah. Bu
Ngatini sebagai orang yang berani, vokal dalam berbicara, apalagi saat orasi di depan kantor DPR, Berbicara di depan Tentara yang berjaga di lahan dan
menghadapi pihak-pihak pengambil kebijakan. Hal ini dapat diketahui dari cerita- cerita, hasil wawancara dengan Informan lain. Dari ungkapan Buk Ngatini yang
penuh semangat saat bercerita masa lalu, menggambarkan rekam yang terdapat di benak pikirannya dan dikeluarkan melalui kata-kata dengan nada yang kuat
mengalahkan usianya. Sekarang, sambil berjualan jamu keliling menggunakan sepeda tua yang
didominasi dengan warna karat, ia masih tetap juga mengolah lahan sawahnya. Sementara suaminya bekerja sebagai supir lintas, terkadang sesekali waktu saat
suaminya tidak bekerja, ia dibantu ke ladang dan berjualan jamu. Buk Ngatini tinggal berdua dengan suaminya, sementara ke empat anaknya sudah berumah
tangga semua, bahkan cucunya pun sudah duduk di bangku kuliah. Anak-anak Bu Ngatini dapat dikatakan berhasil semua dan tidak ada yang tinggal di Dusun
Anggrek. Anak-anaknya bekerja sebagai Tentara, PNS, dan Ibu Rumah Tangga. Pak Tukiran, seorang informan yang memang paham mengenai desa juga
masih mengolah lahan. Usianya yang tua yaitu sekitar 60 tahun tidak membuatnya berhenti mengolah lahan, kesehariannya memang mengolah lahan yang jaraknya
Universitas Sumatera Utara
80 hanya beberapa meter dari rumahnya. Bercocok tanam padi, kacang panjang,
memelihara ayam, angsa, entok adalah aktivitas sehari-harinya. Pak Tukiran tinggal bersama anak bungsunya dan suaminya serta 2 cucunya, seorang orang
anak berusia 4 tahun dan seorang lagi baru lahir. Sementara itu, istri Pak Tukiran meninggal di tahun 2012 lalu. Tepat di samping rumahnya, tinggal anak
perempuan Pak Tukiran bersama suaminya, sementara dua anaknya yang lain tinggal di daerah lain.
Pak Tukiran memandang, petani di dusun Anggrek berbeda dengan mereka dulu. Hal ini dikarenakan kebanyakan lahan sudah diwariskan. Tapi bukan berarti
masyarakat tidak kompak, keseharian masyarakat memang tidak menunjukkan kebersamaan, apalagi jarak rumah yang tidak begitu dekat. Pak Tukiran juga
mengatakan bahwa sudah menjadi hal yang umum apabila melihat sesama masyarakat terlihat acuh. Ini sudah menjadi biasa dan bukan berarti
mencerminkan tidak kompaknya masyarakat. Bersama Pak Tukiran selama penelitian menunjukkan hal yang berbeda yaitu bahwa ia sering disapa dan
disinggahi masyarakat lain. Kadang-kadang, ada petani-petani lain yang singgah ke rumahnya sebelum berangkat ke ladang ataupun selesai dari ladang. Di sinilah
peneliti mendengar pembicaraan-pembicaraan mengenai tanaman, dan kadang- kadang tentang hal-hal umum sambil diselingi canda tawa.
Sekarang ini, Dusun Anggrek Baru tidak memiliki masalah, terutama permasalahan lahan. Tetapi, ini Bukan berarti masalah-masalah baru tidak akan
muncul. Berikut ini sebuah perkataan yang dilontarkan oleh seorang Pak Misran, “Sekarang ini kita baik-baik saja, lahan uda punya, ya
walaupun sedikit. Kalo sekarang selagi kita-kita ini masih ada,
Universitas Sumatera Utara
81 ya orang-orang yang berjuang dulu itu masih ada, kita gak kan
takut apabila ada pihak-pihak yang ingin mengganggu kita. Kalau ada ya kita bersatu, langsung aja pukul kentongan di
Mesjid, kalo uda dengar itu, warga kita uda tau semua bahwa sedang ada masalah. Jadi tetap kuat persatuan kami ini, ya
walaupun kadang seperti Situ lihat sehari-hari kami kayaknya biasa-biasa aja.”
Kondisi lahan kampung atau lahan pertanian saat ini masih dikelola oleh masyarakat. Masyarakat tidak takut apabila ada pihak yang mengganggu lahan
mereka. Apalagi masih terdapat tokoh-tokoh penting dalam perjuangan dahulu yang memahami betul bagaimana sejarah desa ini dan bagaimana perjuangan
dilakukan. Permasalahan baru dapat menjadikan persatuan masyarakat seperti saat berjuang. Sekarang masyarakat adalah petani yang bercocok tanam di lahannya
sendiri. Rentetan perjuangan yang dilakukan membuahkan hasil seperti sekarang ini, bertani padi merupakan cita-cita masyarakat yang telah terwujud dengan lahan
yang tidak begitu luas. Walaupun demikian, masyarakat tetap merasa ada hal yang belum lengkap. Hal ini dikarenakan mereka mengolah lahan sendiri dan telah
menjadi milik masing-masing walaupun lahan yang dikelola tersebut tidak memiliki sertifikat.
Pengakuan lahan di dusun Anggrek Baru hanya sebatas surat keterangan Kepala Desa dan Camat. Ini menjadi keinginan masyarakat akan pengakuan
kepemilikan lahan secara sah dan legal. Tidak adanya sertifikat ini membuat kekhawatiran masyarakat terhadap lahan yang sekarang dikelola. Tanggapan dari
pihak BPN Badan Pertanahan Nasional kabupaten Deli Serdang yang dalam hal ini merupakan sebuah lembaga negara yang menangani pertanahaan
mengkonfirmasi bahwa mereka tidak tahu soal pengurusan sertifikat masyarakat
Universitas Sumatera Utara
82 dusun Anggrek. Pihak BPN Deli Serdang menanggapi bahwa hal ini dikarenakan
lahan tersebut merupakan bagian dari HGU Puskopad sejak tahun 1984 yang selalu berubah-ubah luasnya. Pihak BPN tidak mengetahui dusun Anggrek Baru
Desa Perkebunan Ramunia berada dibagian mana dari sejarah HGU Puskopad. Lembaga pertanahan ini juga mengatakan bahwa apabila masyarakat dusun
Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia ingin mengurus sertifikat, maka BPN harus mengukur kembali dan mengambil titik koordinat batas-batas HGU
Puskopad, terkait sertifikat maka menyangkut perorangan, bukan satu wilayah dusun atau desa.
Kekhawatiran masyarakat adalah apabila tanah tersebut sudah diturunkan atau diserahkan tanpa sertifikat lahan kepada anak-anak mereka yang tidak
memahami secara betul bagaimana lahan tersebut dan sejarahnya. Masyarakat tidak ingin apabila nanti ketika anak-anak mereka yang mengurus lahan diganggu
oleh pihak-pihak tertentu yang mau mengambil lahan. Oleh karena itu, masyarakat ingin memiliki sertifikat atas lahannya untuk menghindari hal-hal
yang tidak diinginkan di masa depan. Berbeda kondisi dengan sekarang ini dimana tokoh-tokoh perjuangan petani desa masih ada.
4.2.3. Konflik Horizontal Masyarakat Dusun Anggrek Baru dengan Desa Tetangga