Penggunaan Tenaga Kerja DESKRIPSI SEKTOR PERTANIAN BERDASARKAN KAJIAN SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI

produksi semua sektor sebesar 4 666 475.88 milyar rupiah maka ketergantungan produksi terhadap impor adalah 10.14 persen.

5.3. Penggunaan Tenaga Kerja

Berdasarkan Tabel 18 terlihat komposisi penggunaan tenaga kerja pada pembentukan produk domestik nasional sangat dominan untuk kelompok sektor pertanian. Untuk beberapa subsektor kontribusi tenaga kerja diatas 90 persen, yang menunjukkan bahwa sektor pertanian adalah suatu kegiatan usaha yang sifatnya`padat karya. Hanya pada subsektor kehutanan dan subsektor perikanan 21 dan 22 sumbangan tenaga kerja terhadap pembentukan PDB di bawah 50 persen. Hal ini dapat dipahami karena pada ke dua sektor tersebut digunakan peralatan modal yang cukup besar berbeda dengan sektor padi yang sebagian besar nilai tambah dihasilkan dari unsur tenaga kerja. Tabel 19. Penggunaan Tenaga Kerja Untuk Sektor Pertanian Primer Sektor Produksi Neraca Tenaga Kerja Tenaga Kerja 000 orang VA dlm Rp.Milyar TKVA 1 2 3 4 13 49 420.46 6 075.66 414.68 115.00 56 025.79 59 464.30 94.22 14 13 652.01 1 370.75 100.25 34.71 15 157.72 17 789.48 85.21 15 72 788.74 8 071.35 604.83 15762 81 622.54 88 514.15 92.21 16 2 973.73 665.79 167.41 93.72 3 900.47 4 126.18 94.53 17 4 617.40 372.88 141.10 72.57 5 203.95 11 130.64 46.75 18 33 904.24 3 427.83 1 741.00 731.79 39 804.87 45 859.70 86.80 19 5 816.23 1 101.86 409.86 510.06 7 838.02 11 905.94 65.83 20 18 455.86 3 288.58 1 560.95 1 450.50 24 755.88 38 491.36 64.32 21 4 712.85 1 327.82 1 113.58 588.60 7 742.85 18 603.88 41.62 22 12 552.75 5 535.92 475.01 706.09 19 269.78 45 466.61 42.38 Jumlah 218 894.30 31 238.45 6 728.67 4 460.66 261.22 341 352.20 76.55 Kegagalan sektor industri untuk menyerap lebih banyak tenaga kerja dari sektor pertanian khususnya dan kawasan perdesaan umumnya sangat terasa pada era pasca krisis. Sektor industri mengalami pertumbuhan yang rendah bahkan minus. Hal ini menyebabkan beban tenaga kerja banyak menumpuk di sektor pertanian, sehingga mau tidak mau akan menurunkan produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian. Sudah barang tentu kondisi ini menyebabkan pelaku di sektor pertanian akan termarjinalkan. Relatif banyaknya angkatan kerja pada sektor pertanian juga meningkatkan tekanan terhadap lahan pertanian modal atau kapital yang menyebabkan pemecahan lahan pertanian sehingga akibatnya luasan lahan yang diusahakan tidak masuk dalam skala ekonomi. New entrants ke sektor pertanian membutuhkan lahan pertanian. Sampai batas tertentu, kebutuhan ini ditutupi melalui fragmentasi lahan pertanian. Manakala fragmentasi ini berlangsung dengan laju yang lebih cepat dari laju pencetakan lahan pertanian baru, maka rataan luas lahan yang diusahakan atau dikuasai oleh petani akan semakin menyempit. Data pada Tabel 19 dengan nyata menunjukkan sektor pertanian adalah aktivitas produksi yang banyak menggunakan tenaga kerja dalam menghasilkan nilai tambah atau dikenal dengan sektor padat karya. Hipotesis ini tampaknya didukung oleh data rataan luas lahan pertanian yang dikuasai oleh rumah tangga petani bahwa dalam periode 1993-2003, rataan luas lahan pertanian Indonesia menurun dari 0.8 hektar menjadi 0.7 hektar. Di pulau Jawa, penurunan tersebut ialah dari 0.47 hektar menjadi 0.37 hektar, sedangkan di luar Pulau Jawa adalah 1.20 hektar menjadi 1.10 hektar. Sudah barang tentu dengan luasan 0.7 hektar masih kurang layak untuk mencukupi kebutuhan rumahtangganya. Sebaliknya di negara-negara yang telah berhasil menjalankan reformasi agraria agrarian reform, misalnya Jepang dimana rataan luas lahan pertaniannya justru cenderung meningkat sekitar 0.6 hektar sepanjang periode 1956-2003. Melihat kondisi ini tampaknya peningkatan produktivitas yield serta perluasan lahan pertanian yang dilakukan secara hati-hati, yang secara simultan diiringi dengan pengembangan industri hasil pertanian agroindustry terutama di kawasan perdesaan, merupakan pilihan kebijakan yang lebih tepat untuk mengatasi permasalahan sektor pertanian di Indonesia. Struktur tenaga kerja dalam menghasilkan nilai tambah dapat menjadi petunjuk awal untuk mengamati sektor mana yang menjadi tumpuan banyak pekerja dan sektor mana yang sedikit menghasilkan nilai tambah dari tenaga kerja. Terkait dengan hal tersebut analisis struktur ekonomi dengan menggunakan tabel SNSE Indonesia 2003 bisa menjadi salah satu pertimbangan untuk dapat memberikan kebijakan yang tepat bagi upaya peningkatan kesejahteraan terhadap masyarakat banyak. Tabel 20. Penggunaan Tenaga Kerja untuk Sektor Agroindustri Sektor Produksi Neraca Tenaga Kerja Tenaga Kerja 000 org VA dlm Rp.Milyar TKVA 1 2 3 4 25 16 065.25 30 737.94 46 803.19 6 0501.31 77.36 26 974.90 1 198.42 2 173.32 2 5240.32 8.61 27 3 572.76 4 061.78 7 634.53 1 1228.73 67.99 28 1 776.77 2 272.57 4 049.34 2 1534.76 18.80 29 0 0 870.24 949.16 1 819.40 2176.22 83.60 30 9 911.48 26 853.01 36 764.50 7 2085.37 51.00 31 8 736.15 7 541.37 16 277.52 3 0176.97 53.94 Jumlah 41 907.55 73 614.25 115 521.81 22 2943.68 51.82 Pada Tabel 20 terlihat bahwa kelompok tenaga kerja pertanian baik yang berasal dari desa maupun kota pada sektor agroindustri kurang diberdayakan dan hampir seluruhnya menggunakan tenaga kerja bukan berasal dari pertanian. Hal ini merupakan petunjuk yang cukup jelas bahwa sektor agroindustri kurang berselaras dengan sektor pertanian. Pada subsektor industri minyak dan lemak 26, merupakan subsektor pada sektor agroindustri yang paling kecil kontribusi tenaga kerja dalam pembetukan nilai tambah, yaitu hanya 8.61 persen. Hal ini menunjukkan subsektor industri lemak dan minyak merupakan kegiatan industri yang sifatnya padat modal, dengan pengertian nilai tambah yang dihasilkan dari upah tenaga kerja hanya 8.61 persen, sedangkan sisanya sebesar 91.39 persen berasal dari modal. Demikian juga dengan industri tepung segala jenis, kontribusi yang diberikan oleh tenaga kerja hanya sebesar 18.80 persen Berbeda halnya dengan subsektor industri gula 29, komponen tenaga kerja bagi pembentukan produk nasional bruto berkisar sebesar 83.60 persen, demikian juga dengan subsektor industri makanan dan minuman 25 dengan pangsa tenaga kerja mencapai 77.36 persen, subsektorindustri penggilingan padi 27 pangsa tenaga kerja dalam menghasilkan nilai tambah mencapai 67.99 persen. Tabel 21. Penggunaan Tenaga Kerja untuk Kelompok Sektor Pertambangan Sektor Produksi Neraca Tenaga Kerja Tenaga Kerja 000 orang VA dlm Rp.Milyar TKVA 1 2 3 4 23 7 084.47 19 115.14 7 107.47 14 7674.92 4.81 24 8 582.26 5 966.30 8 606.26 19 777.83 43.51 Jumlah 1 566.73 25 081.45 15 713.73 167 452.80 9.38 Pada Tabel 21, dapat dilihat penggunaan tenaga kerja untuk kelompok sektor pertambangan secara keseluruhan menunjukkan angka 9.38 persen. Sektor minyak dan gas bumi lebih ekstreem dalam penggunaan sedikitnya tenaga kerja yaitu hanya 4.81 persen, hal ini menunjukkan pada sektor ini lebih banyak dihasilkan oleh kapital bukan oleh tenaga kerja. Dengan penggunaan tenaga kerja yang sedikit dan menghasilkan nilai tambah yang sangat besar maka sudah wajar jika pada kebijakan migas ini perlu dilakukan distribusi yang lebih mengena bagi sektor terkait lainnya. Tabel 22. Penggunaan Tenaga Kerja untuk Kelompok Sektor Manufaktur Sektor Produksi Neraca Tenaga Kerja Tenaga Kerja 000 orang VA Rp.Milyar TKVA 1 2 3 4 32 11 839.63 42 238.58 54 078.21 123 494.80 43.79 33 20 074.71 41 342.92 61 417.63 190 579.80 32.23 34 24 987.43 41 793.60 66 781.03 106 856.10 62.50 35 1 269.84 4 017.14 5 286.99 22 173.07 23.84 Jumlah 58 171.61 129 392.20 187 563.90 443 103.70 42.33 Angka pada Tabel 22 menunjukkan adanya penggunaan tenaga kerja sebagai penghasil nilai tambah pada tenaga tidak sebanyak pada sektor pertanian, demikian juga penggunaan tenaga kerja pertanian baik yang di perdesaan dan perkotaan tidak terlihat pada aktivitas produksi kelompok sektor manufaktur. Nilai tambah yang cukup besar dari tenaga kerja ada pada sektor konstruksi dan bangunan dengan besaran pangsa sebesar 62.50 persen sedangkan untuk keseluruhan pangsa produksi yang berasal dari tenaga kerja bagi pembentukan nilai tambah kelompok sektor manufaktur sebesar 42.33 persen. Tabel 23. Penggunaan Tenaga Kerja untuk Kelompok Sektor jasa Sektor Produksi Neraca Tenaga Kerja TK 000 orang VA Rp.Milyar TKVA 1 2 3 4 36 69 906.84 170 807.80 240 714.60 299 928.00 80.26 37 16 016.89 33 609.20 49 626.09 99 411.52 49.92 38 5 594.28 38 148.67 43 742.95 168 643.40 25.94 39 47 995.63 134 287.70 182 283.30 228 344.30 79.83 Jumlah 139 513.60 376 853.40 516 367.00 796 327.20 64.84 Penggunaan tenaga kerja untuk kelompok sektor jasa sebagaimana terlihat pada Tabel 23 menunjukkan pada umumnya di sektor ini, peran tenaga kerja dalam menghasilkan nilai tambah sangat berarti. Subsektor perdagangan, hotel dan restoran 26 penggunaan tenaga kerja mencakup besaran 80.26 persen, demikian juga pada subsektor jasa-jasa 39 penggunaan tenaga kerja mencapai 79.83 persen. Kegiatan aktivitas produksi yang sedikit menggunakan tenaga terdapat pada subsektor Keuangan, Jasa perusahaan dan real estate 38 dengan kontribusi tenaga kerja hanya sebesar 25.94 persen.

VI. PERANAN SEKTOR PERTANIAN BERDASARKAN ANALISIS MULTIPLIER SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI