Simulasi 1 : Peningkatan produksi output sektor pertanian sebesar 10
triliun rupiah. Simulasi 2
: Peningkatan produksi output sektor agoindustri sebesar 10 triliun rupiah.
Simulasi 3 : Peningkatan produksi output sektor pertanian dan agroindustri
sebesar 10 triliun rupiah. Simulasi 4
: Pengeluaran pembangunan sebesar 10 triliun rupiah dibagi secara proporsional pada sektor non pertanian.
Simulasi 5 : Bantuan tunai ke rumahtangga buruh tani dan rumahtangga
golongan rendah di desa sebesar 10 triliun secara merata Simulasi 6
: Dukungan terrhadap harga gabah sebesar 10 triliun melalui transfer pendapatan untuk menambah keuntungan sektor padi
yang kemudian terdistribusi kepada 2 kelompok RT buruh tani dan RT pengusaha tani.
Simulasi 7 : Kenaikan ekspor pertanian sebesar 10 triliun rupiah
Simulasi 8 : Kenaikan ekspor pertanian dan agroindustri sebesar 10 triliun
rupiah Simulasi 9
: Kenaikan ekspor sektor non pertanian 10 triliun rupiah
7.1. Dampak Kebijakan di Sektor Perekonomian terhadap Tenaga Kerja dan Pendapatan Rumahtangga
Pada Tabel 33 dan Gambar 14 disampaikan hasil dari 9 simulasi kebijakan yang dilakukan, dalam bentuk nilai persentase perubahan pendapatan
faktor produksi terhadap nilai dasar base line. Jika dibaca secara horisontal, ada indikasi kuat bahwa kebijakan pembangunan yang dapat menaikkan pendapatan
Tabel 33.
Simulasi Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Faktor Produksi
Faktor Produksi Base
Dampak perubahan Rp Juta
Sim- 1
Sim- 2
Sim- 3
Sim- 4
Sim- 5
Sim- 6
Sim- 7
Sim- 8
Sim- 9
TK Pert Desa 218
894.26 2.91 1.42 2.17 0.72 1.32 1.27 2.94 1.91 0.67 TK Pert Kota
312 38.45 2.9 1.38 2.14 0.7 1.32 1.27 2.56 1.78 0.66
TK Non Pert Desa 262
223.44 0.77 0.9 0.84 0.75 0.8 0.76 0.76 0.84 0.67 TK Non Pert Kota
610 144.69 0.77 0.88 0.82 0.79 0.84 0.8 0.75 0.84 0.71
Kapital 857
257.46 0.83 0.84 0.84 0.66 0.78 0.76 0.79 1.01 0.6 Jumlah Total TK
1 122 501 1.25 1.00 1.13 0.77 0.94 0.89 1.23 1.07 0.69
0.00 0.50
1.00 1.50
2.00 2.50
3.00 3.50
TK Pert Desa TK Pert Kota
TK Non Pert Desa TK Non Pert Kota
Kapital Sim-1
Sim-2 Sim-3
Sim-4 Sim-5
Sim-6 Sim-7
Sim-8 Sim-9
Gambar 14. . Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Faktor Produksi
tenaga kerja di sektor pertanian relatif lebih tinggi adalah melalui Simulasi 1 dan Simulasi 7, masing-masing merupakan kebijakan pengeluaran pembangunan
untuk sektor produksi pertanian dan ekspor sektor pertanian sebesar 10 triliun rupiah. Dua kebijakan yang saling terkait ini, produksi dan ekspor, dapat
menaikkan pendapatan tenaga kerja pertanian di desa kurang lebih sekitar 2.9 persen dan 2.94 persen dari nilai dasar sebesar 218 894.26 juta rupiah, perhatikan
juga Gambar 14. Kondisi ini memberi implikasi kebijakan bahwa upaya pemerintah untuk menaikkan pendapatan tenaga kerja yang berada di sektor
pertanian sebaiknya dilakukan dengan cara meningkatkan pengeluaran pembangunan untuk sektor pertanian baik itu melalui subsidi maupun bantuan-
bantuan program. Hal yang lebih penting lagi adalah mengupayakan peningkatan ekspor sektor pertanian. Terdapat dampak ganda yang diberikan melalui kebijakan
ini, selain meningkatkan pendapatan tenaga kerja, dapat juga menambah penerimaan devisa.
Adanya integrasi pasar antara produksi di sektor pertanian dengan sektor agroindustri, semestinya dapat memberi dampak tidak langsung yang cukup besar
terhadap upaya untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian. Akan tetapi dalam kenyataannya, dampak pembangunan agroindustri tersebut
dirasakan sangat kecil terhadap perubahan pendapatan tenaga kerja pertanian. Sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 33 dan Gambar 14, dampak
dari kebijakan agroindustri Simulasi 2 hanya dapat meningkatkan penerimaan tenaga kerja pertanian di desa sebesar 1.42 persen, kalah jauh dibandingkan
dengan dampak dari kenaikan produksi di sektor pertanian sebesar 2.91 persen Simulasi 1. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa pengembangan agroindustri
di negara Indonesia sampai kini belum mampu mentransfer keuntungannya lebih baik terhadap perubahan pendapatan tenaga kerja pertanian.
Meskipun demikian, bila perbandingan itu dilakukan antara perubahan pendapatan faktor produksi, hasilnya sangat berbeda. Kebijakan pembangunan
agroindustri tampaknya memberi dampak lebih besar terhadap perubahan pendapataan tenaga kerja pertanian dibandingkan tenaga kerja non pertanian dan
modal, walaupun dari sisi nilai pendapatan terlihat tenaga kerja pertanian masih menerima jauh di bawah tenaga kerja non pertanian dan modal. Situasi ini
merupakan suatu petunjuk bahwa pengembangan agroindustri di Indonesia lebih terasa dampaknya terhadap perubahan kesejahteraan tenaga kerja non pertanian.
Adapun dampaknya yang kelihatan lebih kecil dibandingkan kebijakan pembangunan pertanian lainnya, diakibatkan karena transfer pendapatan dari hasil
pembangunan agroindustri tidak langsung diterima oleh tenaga kerja pertanian, namun melalui satu atau dua variabel antara intervening variable aktivitas
produksi produsen lebih dahulu, lalu kemudian yang paling akhir diterima oleh tenaga kerja. Jalur seperti ini dapat dilihat kembali melalui SPA sebelumnya.
Satu-satunya kebijakan pembangunan pertanian yang langsung menyentuh sektor riil dan paling efektif menaikkan pendapatan rumahtangga buruh tani
tenaga kerja pertanian di desa adalah kebijakan price support yakni berupa kebijakan dukungan terhadap harga gabah melalui transfer terhadap rumah
tangga buruh tani dan rumahtangga pengusaha tani sebesar 10 triliun rupiah, perhatikan Simulasi 6 pada Tabel 33 dan Gambar 14. Kebijakan ini mampu
meningkatkan pendapatan RT buruh tani hingga 6.24 persen dari nilai dasar. Sedangkan kebijakan di sektor riil lainnya seperti peningkatan pengeluaran
pembangunan di sektor pertanian dan atau agroindustri, serta kenaikan ekspor pertanian, hanya sedikit dampaknya terhadap perubahan pendapatan buruh tani,
rata-rata sekitar 0.9 persen sampai dengan 1.29 persen dari nilai dasar.
Sebenarnya kebijakan pembangunan yang paling besar memberi dampak terhadap kenaikan pendapatan rumahtangga buruh tani adalah transfer langsung
berupa bantuan tunai kepada buruh tani Simulasi 5. Akan tetapi hal ini diyakini hanya memiliki dampak yang bersifat temporer saja, karena buruh tani akan lebih
banyak menggunakan bantuan tersebut untuk tujuan konsumtif. Sehingga, saat bantuan yang diterima telah habis dipakai, pendapatan mereka akan kembali
seperti semula. Beda halnya dengan kebijakan price support, kebijakan ini mampu mendorong kenaikan produktifitas buruh tani secara tidak langsung, yang pada
akhirnya akan menaikkan pendapatan mereka secara berkesinambungan dan kontinu.
Hal yang menarik untuk dibandingkan, jika dampak kebijakan price support
tersebut kita perhatikan antara perubahan pendapatan buruh tani dengan pengusaha tani. Dalam Tabel 34, tampak jelas bahwa kebijakan dukungan harga
gabah ternyata membawa dampak lebih besar terhadap perubahan pendapatan buruh tani dibandingkan pengusaha tani, masing-masing sebanyak 6.24 persen
dan 2.41 persen. Keadaan ini menggambarkan ketergantungan pengusaha tani, khususnya untuk tanaman padi, masih sangat besar terhadap tenaga buruh tani.
Saat terjadi kenaikan harga dasar gabah akibat kebijakan price support akan direspon cepat oleh pengusaha tani untuk menaikkan produksinya dengan cara
menambah jumlah jam kerja buruh tani. Dengan kata lain dampak kebijakan harga tersebut dapat merespon permintaan tenaga kerja buruh tani lebih banyak dari
pengusaha tani. Hal ini memang sangat dimungkinkan, karena upah buruh tani di negara kita ini sangat rendah, sehingga tidak menjadi kendala bagi pengusaha tani
untuk cepat menambah jumlahnya. Selain itu buruh tani yang ada sekarang ini
jumlahnya paling banyak terdapat dalam usaha tani padi, sehingga pengusaha tidak akan kesulitan untuk mencarinya.
Tabel 34.
Simulasi Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Institusi
Institusi Base
Dampak Perubahan Rp Juta
Sim- 1
Sim- 2
Sim- 3
Sim- 4
Sim- 5
Sim- 6
Sim- 7
Sim- 8
Sim- 9
RT Buruh
Pert 94
524.77 1.29 0.91 1.10 0.71 6.25 6.24 1.25 1.26 0.67 RT
Pengusaha Pert
354 160.57 1.71 1.07 1.39 0.73 1.03 2.41 1.70 0.93 0.67
RT Non
Pert Desa
Gol.Bawah 251
003.64 1.02 0.92 0.97 0.76 2.85 0.83 1.01 1.02 0.70 RT
Non Pert
Desa Gol.Atas
141 480.40 1.19 0.97 1.08 0.78 0.90 0.87 1.17 0.84 0.71
RT Non
Pert Kota
Gol Bawah
409 807.44 0.82 0.86 0.84 0.79 0.85 0.82 0.79 0.84 0.73
RT Non
Pert Kota
Gol Atas
387 118.60 0.83 0.88 0.85 0.80 0.84 0.80 0.80 0.78 0.77
Perusahaan 467
566.60 0.81 0.83 0.82 0.75 0.77 0.75 0.78 1.17 0.70 Jumlah
Pndpt RT
1 638
095.42 1.10 0.93 1.02 0.75 1.51 1.48 1.08 0.97 0.69
0.00 1.00
2.00 3.00
4.00 5.00
6.00 7.00
RT Buruh Pert RT Pengusaha Pert
RT Non Pert Desa
Gol.Bawah RT Non Pert
Desa Gol.Atas RT Non Pert
Kota Gol Bawah RT Non Pert
Kota Gol Atas Perusahaan
Sim-1 Sim-2
Sim-3 Sim-4
Sim-5 Sim-6
Sim-7 Sim-8
Sim-9
Gambar 15. Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Rumahtangga
Apabila dampak dari kebijakan harga di atas hanya terfokus pada besarnya perubahan kenaikan pendapatan, memang buruh tani yang paling besar merasakan
dampaknya. Akan tetapi jika diperhatikan dari nilai pendapatannya, ternyata pengusaha tani masih lebih diuntungkan dibandingkan buruh tani, dimana
pendapatan pengusaha tani naik menjadi 5 901.02 juta rupiah, sedangkan buruh tani hanya 8 529.90 juta rupiah. Penyebab dari keadaan ini sebenarnya sudah
dideteksi dari awal melalui SPA yang digambarkan melalui jalur dasar sektor padi ke rumahtangga. Dalam SPA terlihat jelas bahwa dampak dari perubahan
penerimaan produksi padi lebih banyak dipancarkan kepada rumahtangga pengusaha tani baik itu melalui variabel antara faktor produksi maupun sektor
produksi lainnya. Sedangkan buruh tani sedikit menerima dampak dari sektor padi, yang diindikasikan dengan jumlah jalur dasar yang masuk ke rumahtangga
buruh tani hanya 4 jalur, bahkan diantaranya ada yang datang dari pengusaha tani lebih dahulu. Dengan demikian, kebijakan dukungan harga gabah yang dapat
mendorong kenaikan produksi padi dipastikan membawa dampak terhadap pendapatan pengusaha tani selalu lebih besar dibandingkan buruh tani. Bahkan
bila ditelusuri lebih jauh lagi, nilai pendapatan yang diterima buruh tani melalui kebijakan tersebut jauh lebih rendah dibandingkan rumahtangga kota.
Rumahtangga golongan bawah di kota pendapatannya bertambah menjadi 3366.55 juta rupiah, sedangkan golongan atas kota sebesar 3 113.40 juta rupiah.
Terkait dengan perubahan pendapatan rumahtangga di perdesaan baik itu rumahtangga pertanian maupun non pertanian, kebijakan distribusi pendapatan
secara langsung Simulasi 5 menjadi kebijakan yang paling besar menaikkan pendapatan rumahtangga ini, yaitu sebanyak 6.25 persen dari nilai dasar.
Sedangkan kebijakan pembangunan pertanian lainnya, baik itu yang menyentuh langsung ke sektor riil, maupun ekspor, hanya dapat menaikkan pendapatan
rumahtangga perdesaan kurang lebih 3 persen saja. Dan yang paling rendah adalah kebijakan peningkatan ekspor untuk seluruh sektor non pertanian Simulasi
9 yang memberi dampak sebesar 0.9 persen terhadap perubahan pendapatan. Kondisi faktual ini menandakan bahwa kebijakan sektor riil pertanian selama ini
tidak dapat mentransfer banyak pendapatannya kepada rumahtangga di perdesaan. Jika kita amati kembali pada dampak multiplier dan jalur yang terrekam
dalam SPA, tampak nyata bahwa posisi rumahtangga di perdesaan terjepit oleh rumahtangga di perkotaan. Kepemilikan modal, upah tenaga kerja dan
pengembangan sektor agroindustri semuanya lebih banyak berada di perkotaan. Padahal seluruh aktifitas ekonomi ini merupakan sumber-sumber pendapatan bagi
rumahtangga, akibatnya sudah pasti hanya kebijakan distribusi dan redistribusi pendapatan saja yang mampu meningkatkan pendapatan mereka lebih tinggi. Jelas
kondisi semacam itu bukan merupakan jalan yang paling baik. Karena bantuan langsung hanya dapat merubah kesejahteraan mereka sesaat saja.
Sebenarnya jika dilihat secara parsial pada kebijakan produksi dan ekspor pertanian, semuanya memberi dampak perubahan pendapatan rumahtangga di
perdesaan lebih besar dibandingkan dampak yang diterima oleh rumahtangga perkotaan. Sebagai misal kebijakan pengeluaran pembangunan dan peningkatan
ekspor di sektor pertanian Simulasi 7 mampu menaikkan pendapatan rumahtangga pertanian persentase yang lebih tinggi dibandingkan kenaikan
pendapatan rumahtangga perkotaan. Kebijakan peningkatan produksi di sektor pertanian rata-rata dapat meningkatkan pendapatan rumahtangga pertanian
sebesar 1.50 persen, sedangkan pada rumahtangga perkotaan sebesar 0.96 persen. Sementara untuk kebijakan peningkatan ekspor di sektor pertanian
meningkatkatkan pendapatan sebesar 1.48 persen untuk rumahtangga perdesaan, 0.94 persen untuk rumahtangga perkotaan. Melihat potret seperti ini, maka
kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia masih lebih berdaya guna terhadap perubahan pendapatan rumahtangga perdesaan. Agar kebijakan tersebut lebih
efektif maka perlu banyak pembenahan untuk memperbaikinya. Sekarang, jika dilakukan perbandingan antara simulasi kebijakan yang
dilakukan, khususnya Simulasi 1, 2, 3 dengan Simulasi 4 atau dengan kata lain membandingkan pengeluaran pembangunan sebesar 10 triliun rupiah kepada
sektor pertanian dengan pengeluaran pembangunan bukan untuk sektor pertanian, maka kelihatan jelas bahwa pendapatan faktor produksi dan rumahtangga lebih
besar meningkat ketika dilakukan simulasi kebijakan 1, 2 dan 3, dibandingkan dengan simulasi kebijakan 4. Dimana melalui Simulasi 1, terjadi peningkatan
pendapatan upah sebesar Rp 13 997.5 milyar rupiah 1.25 persen, Simulasi 2 sebesar Rp 11 264.3 milyar 1.00 persen dan Simulasi 3 sebesar Rp 12 630.9
milyar 1.13 persen. Sementara melalui Simulasi 4 yakni berupa pengeluaran pembangunan untuk sektor non pertanian sebesar 10 triliun rupiah hanya mampu
meningkatkan upah tenaga kerja sebesar Rp. 860.1 milyar 0.77 persen. Demikian juga halnya simulasi kebijakan untuk meningkatkan ekspor
nasional sebesar 10 triliun rupiah pada sektor pertanian dan agroindustri Simulasi 7 dan 8 dengan sektor non pertanian Simulasi 9, menunjukkan bahwa kebijakan
ekspor yang dilakukan melalui Simulasi 7 dan 8 mempunyai dampak yang lebih besar dibandingkan dengan Simulasi 9. Dimana melalui Simulasi 7 akan terjadi
kenaikan upah nasional oleh faktor produksi tenaga kerja sebesar Rp 13 800.2 milyar 1.23 persen dan Simulasi 8 memberi dampak kenaikan sebesar
Rp 12 050.5 milyar 1.07 persen. Kedua simulasi kebijakan tersebut memberi dampak jauh lebih tinggi disandingkan dengan Simulasi 9 yang hanya mampu
memberikan kontribusi kenaikan sebesar Rp 7 782.4 milyar. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan yang terfokus pada sektor pertanian lebih memberikan
kontribusi yang lebih besar dalam upaya pemerintah untuk memperbaiki tingkat upah nasional yang pada akhirnya dapat menaikkan tingkat kesejahteraan secara
nasional. Dampak simulasi kebijakan terhadap pendapatan rumahtangga jika dirunut
kembali ke belakang, tampak jelas bahwa Simulasi 5 dan 6 memberikan kontribusi kenaikan yang paling tinggi terhadap pendapatan rumahtangga petani.
Kondisi faktual ini dapatlah dimengerti, mengingat kedua kebijakan tersebut merupakan bantuan langsung kepada rumahtangga petani. Simulasi 5 merupakan
kebijakan bantuan tunai kepada rumahtangga buruh tani dan rumahtangga golongan rendah di desa sebesar 10 triliun rupiah, sementara Simulasi 6 berupa
dukungan terhadap harga gabah sebesar 10 triliun rupiah melalui transfer pendapatan untuk menambah keuntungan sektor padi dengan distribusi pada
kelompok rumahtangga buruh tani dan rumahtangga pengusaha tani. Kedua kebijakan tersebut secara eksplisit telah memberi gambaran yang jelas bahwa
kontribusi yang dihasilkan terhadap rumahtangga petani akan lebih besar dibanding dengan simulasi kebijakan lainnya.
Namun yang perlu diperhatikan dari kebijakan ini perolehan peningkatan pendapatan oleh kelompok rumahtangga tersebut tidak mengarah pada usaha yang
bersinergi dengan produktivitas usahanya untuk meningkatkan output suatu sektor, melainkan lebih bersifat konsumtif dan dikhawatirkan peningkatan
pendapatan ini tidak terus menerus jika suatu saat bantuan tunai langsung tersebut dihentikan.
Jika dikaitkan
dengan peningkatan
output nasional maka terlihat bahwa Simulasi 1, 2, 3 dan 7 simulasi kebijakan yang terkait dengan pengeluaran
pembangunan terhadap sektor pertanian jauh lebih baik dibandingkan dengan kebijakan pembangunan ke sektor-sektor non pertanian yang direpresentasikan
pada Simulasi 4 dan 9. Sebagai misal Simulasi 1 mampu memberikan kontribusi peningkatan pendapatan rumahtangga secara nasional sebesar Rp 8 090.8 milyar
1.10 persen, dan Simulasi 7 sebesar Rp 17 729 milyar 1.08 persen, sementara Simulasi 4 dan 9 yang berupa kebijakan peningkatan produksi dan ekspor sektor
non pertanian hanya mampu memberi kontribusi peningkatan pendapatan rumahtangga masing-masing sebesar Rp 12 326 milyar 0.75 persen dan
Rp 1 334.4 milyar 0.69 persen. Dari seluruh hasil perbandingan kebijakan ini, tersirat bahwa kebijakan pembangunan di pertanian dapat memberi hasil yang
lebih baik dibandingkan kebijakan di sektor non pertanian, terutama dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan
kelompok rumahtangga secara nasional.
7.2. Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Sektoral dan Output Nasional