76 bermatapencaharian yang berkaitan dengan unggas paling banyak dengan wilayah
yang lebih luas dibanding dua wilayah yang lain. Disamping itu lokasi peternakan di wilayah Kabupaten Tangerang memiliki kerapatan lebih tinggi
Lampiran 5, hal ini menyebabkan penyebaran virus flu burung lebih cepat dalam skala yang luas, sehingga memakan korban yang relatif tinggi dibanding wilayah
Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan.
5.1.2. Profil Kota Tangerang
Jumlah penduduk kota Tangerang pada tahun menurut Sensus Penduduk tahun 2010 adalah 1.311.746 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 653.566
jiwa dan perempuan sebanyak 658.180 jiwa. Setiap tahun jumlah penduduk Kota Tangerang selalu mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan rata-rata
sebesar 3,5 persen per tahun. Masyarakat Kota Tangerang bersifat heterogen dengan jenis mata
pencaharian yang bervariasi. Sebagian besar penduduk mempunyai mata pencaharian di sektor industri 30,50 persen, perdagangan 25,62 persen dan
jasa 20,06 persen. Sumber utama perekonomian Kota Tangerang berasal dari sektor industri pengolahan sebesar 58,45 persen, menyusul perdagangan, hotel
dan restoran. Kedua sektor ini menguasai hampir 85 persen kegiatan ekonomi dan dapat dipastikan bahwa sektor tersebut memberikan kontribusi utama pada
pendapatan asli daerah, disamping sektor industri, perdagangan dan jasa. Hal tersebut selaras dengan kondisi perekonomian daerah yang mengandalkan sektor-
sektor yang menyerap banyak tenaga kerja. APBD tahun 2010 Kota Tangerang masih didominasi oleh dana yang
merupakan dana perimbangan keuangan Pusat dan Daerah, yaitu sebesar 70 persen dari total APBD, sedangkan pendapatan asli daerah hanya memberikan
kontribusi sebesar 19 persen. Hal tersebut memperlihatkan bahwa kegiatan perekonomian yang berkembang di kota ini masih belum memberikan kontribusi
yang cukup besar pada APBD Kota Tangerang. Kota Tangerang relatif lebih sedikit penduduk yang mata pencahariannya
berkaitan dengan unggas peternak unggas dan pedagang unggas dibandingkan dengan Kabupaten Tangerang dan Tangerang Selatan Tabel 3 dan 4. Demikian
juga kasus flu burung yang menyerang unggas dan manusia juga relatif lebih
77 sedikit dibandingkan dua wilayah tersebut, wilayah yang terberat terserang flu
burung adalah Kabupaten Tangerang seperti yang sudah dijelaskan pada pendahuluan.
5.1.3. Profil Kota Tangerang Selatan
Kota Tangerang Selatan adalah wilayah yang relatif baru terbentuk pada akhir 2008 berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota
Tangerang Selatan di Provinsi Banten tertanggal 26 November 2008. Luas wilayah Kota Tangerang Selatan adalah 147,19 km
2
, jumlah kecamatan ada 7 Serpong, Serpong Utara, Ciputat Timur, Ciputat, Pamulang, Pondok Aren, dan
Setu dan jumlah penduduk 1.303.569 jiwa. Pertumbuhan ekonomi 8,5 persen dimana lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional. Luas lahan terbesar
dipergunakan untuk perumahan dan pemukiman yaitu sebesar 67,54 persen, sisanya untuk persawahan, kawasan industri, pedagangan, jasa serta danau dan
tambak. Penduduk dengan mata pencaharian yang berkaitan dengan unggas peternak unggas dan pedagang unggas, baik peternakan skala tradisional
maupun menengah-besar, relatif lebih kecil dibandingkan dengan Kabupaten Tangerang Tabel 3 dan 4. Namun kota ini tidak luput dari serangan flu burung
walaupun dalam skala lebih kecil dibanding Kabupaten Tangerang. Data tersebut merujuk pada informasi yang berasal dari Pemerintah Daerah Tangerang tahun
2011.
4. Flu Burung dan Dampaknya di Tiga Area Tangerang
Dampak yang ditimbulkan dari flu burung ini sangatlah luas selain di bidang ekonomi juga di bidang kesehatan, karena dengan adanya penyakit ini
orang-orang menjadi takut untuk mengonsumsi daging ayam sehingga permintaan pasar terhadap ayam juga semakin menurun, bahkan banyak diantaranya yang
bangkrut karena harus merelakan ternak unggas mereka dimusnahkan agar tidak sampai menulari masyarakat. Selain itu dengan adanya penyakit ini orang-orang
menjadi takut untuk berpergian terutama ke daerah yang dinyatakan endemi flu burung bahkan beberapa Negara sampai harus mengeluarkan travel warning
sehingga mengganggu stabilitas ekonomi negara yang bersangkutan. Walaupun
78 masyarakat sudah banyak yang tahu akan bahaya penyakit ini, namun masih
banyak juga yang kurang paham atau tidak tahu sama sekali bagaimana proses penularan penyakit ini, sehingga kadang timbul pandangan yang salah mengenai
flu burung di kalangan masyarakat, misalnya bahwa “mengkonsumsi daging ayam ras lebih berisiko flu burung dibandingkan dengan ayam buras”, padahal
baik ayam buras maupun ayam ras memiliki risiko yang sama menularkan flu burung. Karena kurangnya informasi akan bagaimana proses penyebaran
penyakitnya, maka masyarakat juga banyak yang kurang mengerti langkah- langkah apa yang harus dilakukan agar mereka terhindar dari penularan penyakit
ini. Penyebaran virus flu burung yang luas membuat pemerintah daerah
semakin serius mendalami penyakit ini. Dari laporan-laporan perkembangan penyakit ini ternyata penyakit ini menelan banyak korban jiwa manusia maupun
unggas dalam jumlah yang besar. Di Indonesia daerah yang paling parah terserang flu burung baik korban manusia maupun unggas adalah Tangerang. Flu burung
merupakan penyakit yang ditimbulkan oleh virus avian influenza H5N1 yang tergolong dalam kategori virus A yang artinya virus ini dapat menjangkit baik
manusia maupun hewan serta memiliki kemampuan mutasi gen yang tinggi. Hal itulah yang membuat virus ini sangat mudah menyebar dan sulit diberantas.
Bahkan oleh Office International des Epizooties OIE, flu burung dimasukkan sebagai salah satu dari 15 penyakit hewan menular yang paling berbahaya.
Telah diketahui bahwa virus dapat menginfeksi manusia dari aves unggas, kucing dan manusia sendiri. Wabah flu burung sangat merugikan
masyarakat, selain dari segi kesehatan terutama dalam bidang ekonomi. Hal ini disebabkan karena wabah flu burung membuat orang menjadi enggan
mengkonsumsi daging ayam serta takut berpergian di daerah yang dinyatakan positif endemi flu burung, sehingga secara tidak langsung melumpuhkan sektor
peternakan dan pariwisata di negara tersebut. Padahal jika dilihat dari data FAO pada tahun 2003 Asia tenggara termasuk Indonesia merupakan tempat peternakan
unggas terbesar kedua didunia, sehingga bisa dibayangkan berapa banyak kerugian yang akan diderita apabila sektor peternakan unggas ini lumpuh. Di
Indonesia flu burung muncul pada akhir tahun 2003, dimana virus ini diduga
79 masuk ke Indonesia melalui impor daging ayam yang dilakukan secara illegal.
Hingga tahun 2005 tercatat temuan kasus flu burung sebanyak 310 kasus dengan 189 kematian pada manusia dimana di Indonesia ditemukan 99 kasus dengan 79
kematian. Pada manusia, penyakit flu burung dicirikan dengan gejala: demam
dimana suhu badan sekitar atau di atas 38°C, sesak nafas, batuk dan nyeri tenggorokan radang paru, infeksi mata, pusing, mual dan nyeri perut, muntah,
diare, keluar lendir dari hidung, tidak ada nafsu makan. Pada fase ketidakmampuan manusia mengalami komplikasi berat. Pada fase ini orang akan
memiliki dua kemungkinan, kemungkinan pertama yaitu sembuh, dan kemungkinan yang kedua adalah orang tersebut meninggal.
5. Kebijakan Flu Burung yang Telah Dilakukan Pemerintah Di Tiga Area
Tangerang
Pemerintah mengujicobakan kesiapsiagaan pandemi influenza nasional di di Kabupaten dan Kota Tangerang, Banten. Pelaksanaan bekerja sama
dengan pemerintah Singapura dengan tujuan mendeteksi dini penularan virus flu burung pada suatu wilayah secara efektif. Beberapa hal disiapkan dalam uji coba
ini, antara lain ; rumah sakit rujukan, tenaga medis, laboratorium pendeteksi dini hingga juru flu burung yang direkrut dari masyarakat. Petugas kesehatan kasus
flu burung disiapkan untuk memantau kesehatan unggas dan warga di setiap rumah di wilayah masing-masing. Tangerang dipilih karena kasus pertama flu
burung di Indonesia terjadi. Selain itu karena daerah peternakan di Tangerang cukup luas dan paling dekat dengan ibukota. Uji coba dipimpin oleh Departemen
Kesehatan dan Departemen Pertanian. Pendayagunaan sistem pengamatan oleh petugas kesehatan berbasis desa
dapat meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap H5N1 yang selanjutnya dapat mengenali secara cepat apabila merebak wabah H5N1 baik pada unggas
maupun pada manusia. Deteksi cepat permasalahan merupakan tindakan pengamanan yang cepat dan sangat perlu, baik oleh petugas kesehatan hewan,
maupun petugas kesehatan untuk mengurangi dampak dari wabah tersebut terhadap kesehatan masyarakat. Dengan mengembangkan sistem pengamatan
avian influenza H5N1 berbasis desa, membutuhkan tenaga serta pelatihan dari
80 para petugas desa ini untuk dapat melaksanakan berbagai macam kegiatan yang
dilaksanakan termasuk dalam hal melaksanakan kegiatan pengamatan dan pengendalian penyakit baik pada hewan maupun pada penduduk secara terpadu.
Di tingkat perdesaan, jajaran Penyuluh Pertanian Petugas Kesehatan Hewan bertugas membantu penduduk desa untuk mengatasi permasalahan
kesehatan ternak mereka termasuk ternak unggas. Kerja sama dapat dilakukan antara petugas kesehatan desa dan petugas kesehatan hewan desa. Setiap petugas
pengamatan desa akan dilengkapi dengan sepeda, termometer dan masker, kemudian dilatih mengenai pengetahuan tentang pengenalan penyakit unggas.
Beberapa kegiatan yang merupakan implementasi dari kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan upaya penanggulangan flu burung adalah :
1. Mengadakan seleksi untuk menentukan penduduk desa yang akan dilatih sebagai petugas
pengamatan avian influenza 2. Mempersiapkan pelatihan untuk menyeleksi calon petugas pengamatan flu
burung desa 3. Membentuk Komite Terpadu mempersiapkan kemungkinan terjadinya
pandemik influenza. 4. Merancang sistem pencatatan dan pelaporan akan kasus flu burung di tiap
tingkat desa secara terkoordinasi dengan semua tingkatan administrasi, seperti tingkat kecamatan, kabupatenkota, propinsi serta tingkat pusat.
5. Mengumpulkan laporan pengamatan harian ke Polindes serta laporan pengamatan berkala dari Polindes ke Puskesmas
6. Memberikan laporan pengamatan sesuai dengan permintaan Bagian Kesehatan Hewan di tingkat Kecamatan.
7. Melengkapi petugas pengamatan desa dengan sepeda, termometer, masker, sabun dan alat tulis.
8. Secara rutin mengadakan supervisi dan bimbingan kegiatan petugas pengamatan avian influenza desa dan Kelompok Kerja Terpadu di tingkat
desa. 9. Mendukung kegiatan Tim Gerak Cepat untuk menyikapi wabah avian
influenza pada unggas dan kasus pada manusia di tingkat pedesaan.
81 10. Mempersiapkan pendidikan kesehatan masyarakat kepada penduduk desa
tentang avian influenza pada hewan dan manusia, termasuk pendidikan kesehatan tentang pencegahan penyakit untuk menurunkan risiko penularan
avian influenza dari unggas ke manusia.
Upaya pencegahan serta penanggulangan alam menanggulangi flu burung yang dilakukan oleh pemda menyangkut beberapa hal yang dapat dilakukan antara
lain, seperti yang tertera dalam SK. Dirjen 2004: 1.Pencegahan primer, adalah pencegahan yang dilakukan pada orang orang yang berisiko terjangkit flu burung
antara lain : a melakukan promosi kesehatan terhadap masyarakat luas, terutama mereka yang berisiko terjangkit flu burung seperti peternak unggas, b melakukan
biosekuriti yaitu upaya untuk menghindari terjadinya kontak antara hewan dengan mikro organisme yang dalam hal ini adalah virus flu burung, seperti dengan
melakukan desinfeksi serta sterilisasi pada peralatan ternak yang bertujuan untuk membunuh mikroorganisme pada peralatan ternak sehingga tidak menjangkiti
hewan, c melakukan vaksinasi terhadap hewan ternak untuk meningkatkan kekebalannya. Proses vaksinasi dilakukan dengan menggunakan HPAI H5H2
inaktif dan vaksin rekombinan cacar ayam atau fowlpox dengan memasukan gen virus avian influenza H5 ke dalam virus cacar, d menjauhkan kandang ternak
unggas dengan tempat tinggal, e menggunakan alat pelindung diri seperti masker, topi, baju lengan panjang, celana panjang dan sepatu boot saat memasuki kawasan
peternakan, f memasak dengan matang daging sebelum dikonsumsi. Hal ini bertujuan untuk membunuh virus yang terdapat dalam daging ayam, karena dari
hasil penelitian virus mati pada pemanasan 60°C selama 30 menit, g melakukan pemusnahan hewan secara massal pada peternakan yang positif ditemukan virus
flu burung pada ternak dalam jumlah yang banyak, h melakukan karantina terhadap orang-orang yang dicurigai maupun sudah positif terjangkit flu burung, i
melakukan surveilans dan monitoring yang bertujuan untuk mengumpulkan laporan mengenai morbilitas dan mortalitas, laporan penyidikan lapangan, isolasi
dan identifikasi agen infeksi oleh laboratorium, efektifitas vaksinasi dalam populasi, serta data lain yang gayut untuk kajian epedemiologi.
82 2. Pencegahan sekunder, yaitu pencegahan yang dilakukan dengan tujuan
untuk mencegah dan menghambat timbulnya penyakit dengan deteksi dini dan pengobatan tepat. Dengan melakukan deteksi dini maka penanggulangan penyakit
dapat diberikan lebih awal sehingga mencegah komplikasi, menghambat perjalanannya, serta membatasi ketidakmampuan yang dapat terjadi. Pencegahan
ini dapat dilakukan pada fase presimptomatis dan fase klinis. Pencegahan sekunder dilakukan dengan melakukan screening yaitu upaya untuk menemukan
penyakit secara aktif pada orang yang belum menunjukkan gejala klinis. Screening terhadap flu burung misalnya dilakukan pada bandara dengan
memasang alat detektor panas tubuh sehingga orang yang dicurigai terjangkit flu burung bisa segera diobati dan dikarantina sehingga tidak menular pada orang
lain. 3. Pencegahan tersier adalah segala usaha yang dilakukan untuk membatasi
ketidakmampuan. Upaya pencegahan tersier yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pengobatan intensif dan rehabilitasi.
5.2.Faktor Lingkungan Fisik, Biologi dan Sosial Sebagai Perantara Penyebaran Virus AI
5.2.1. Peternak Unggas
Dalam bagian ini akan dijelaskan mengenai pengolahan data primer dengan menggunakan software SAS dan analisis regresi logistik. Berikutnya akan
dijelaskan pula arti besaran angka Odd Ratio yaitu: jika angka OR 1 variabel lingkungan tersebut merupakan faktor resiko, jika OR = 1 bukan merupakan
faktor resiko, jika angka OR 1 merupakan faktor pencegah preventif. Namun ada beberapa variabel yang tidak disertakan karena beberapa alasan : 1 terdapat
cel pada tabel display SAS yang jumlahnya kurang dari lima, 2 terdapat cel pada tabel display SAS yang jumlah nya 0 tidak ada, 3 beberapa variabel
memiliki pola jawaban yang sama, yaitu pada variabel yang memiliki pertanyaan yang hampir mirip, sehingga memiliki korelasi yang sangat kuat antar variabel itu
sendiri.
83
1.Karakteristik Peternak
Beberapa variabel karakteristik peternak diantaranya umur, pendidikan dan tujuan usaha dapat dicermati pada tabel berikut ini:
Tabel 10 Hasil Analisis Estimasi Untuk Karaktreistik Peternak
Paramtr. Estimate
Pr ChiSq Standad
Error Odds Ratio Estimates
Effect Point
Est. Intercept
0,8733 0,0184
0,3703 Umur 1
-0,8290 0,0174
0,3485 X11 vs 2
0,436 Pendidikan.1
-1,7642 0,0005
0,5066 X2 1 vs 4
0,171 Pendidikan.2
-0,5132 0,2604
0,4559 X2 2 vs 4
0,599 Pendidikan.3
0,5708 0,0970
0,3440 X2 3 vs 4
1,770 Tuj.usaha.0
-0,6024 0,0245
0,2678 X3 0 vs 1
0,548 Lama penglmn.1
0,1986 0,5910
0,3697 X4 1 vs 3
1,220 Lama penglmn.2
-0,1386 0,7264
0,3959 X4 2 vs 3
0,871 Penghasilan.1
-0,1949 0,6532
0,4339 X5 1 vs 4
0,823 Penghasilan.2
0,2419 0,6191
0,4866 X5 2 vs 4
1,274 Penghasilan.3
0,5635 0,3763
0,6369 X5 3 vs 4
1,757
signifikan pada taraf 5 R
2
=0,4156 ProbLR Chi
2
=0,0001 Hasil olahan pada Tabel 10 dapat dijelaskan sebagai berikut: H1 diterima, bahwa
peternak yang berusia lebih dari 30 tahun mempunyai peluang ternaknya terinfeksi lebih kecil dibanding peternak yang berumur kurang dari 30 tahun. Hal
ini ditandai oleh nilai koefisien estimasi estimate = -0,829 yang bertanda negatif. Angka OR=0,436 yang berarti bahwa peternak yang berusia diatas 30 tahun
mempunyai peluang 0,436 kali dibanding peternak yang berusia dibawah 30 tahun. Dalam hal ini berarti peternak yang berusia relatif lebih tinggi diatas 30
tahun berdasarkan referensi ahli pakar serta hasil riset terdahulu lebih berpengalaman dalam mengelola unggas dibandingkan yang relatif lebih muda
dibawah 30 tahun. Demikian juga peternak yang berpendidikan PT mempunyai peluang ternaknya terinfeksi lebih kecil dibandingkan dengan peternak yang
berpendidikan SD Sekolah Dasar, dengan koefisien -1,7642. Peluang tersebut adalah 0,171 kali dibandingkan peternak yang berpendidikan SD. Sedangkan
peternak yang menganggap usaha ternaknya sebagai usaha pokok memiliki peluang ternaknya terinfeksi flu burung semakin kecil dibandingkan peternak
yang menganggap usahanya hanya sebagai usaha sambilan, dengan angka koefisien estimasi -0,6024. Peluang peternak yang menganggap peternakan
84 sebagai usaha pokok memiliki peluang ternaknya terinfeksi sebesar 0,548 kali
dibanding peternak yang menganggap peternakan adalah usaha sampingan. Hal ini seiring dengan hipotesa bahwa semakin serius seseorang mengelola peternakan
unggasnya tujuan utama semakin kecil kemungkinan unggasnya terkena infeksi. Mengingat angka odd ratio ketiga variabel tersebut lebih kecil dari satu OR 1
maka variabel ini adalah sebagai faktor pencegah terkenanya resiko terinfeksi.
2.Lingkungan Fisik
Tabel 11 Hasil Analisis Estimasi untuk Lingkungan Fisik Paramtr.
Estimate Standard
Pr ChiSq Odds Ratio Estimates
Error Effect
Point Est.
Intercpt. 0,5798 0,4307
0,1783 Tempat.0
-0,1985 0,2550
0,4364 X7 0 vs 1
0,820 jarak kdg.0
-0,5625 0,2420
0,0201 X8 0 vs 1
0,570 Saluran limbah.0
-0,6748 0,2872
0,0188 X10 0 vs 1
0,509 Kolam.0
0,3244 0,2686
0,2270 X11 0 vs 1
1,383 Densitas.0
-0,2591 0,2253
0,2500 X12 0 vs 1
0,772 Kebershn.halmn. kdg.1
-0,7001 0,4640
0,1314 X18 1 vs 3
0,497 Kebershn halmn kdg.2
-1,2471 0,4120
0,0025 X18 2 vs 3
0,287 signifikan pada taraf 5 R
2
=0,4015 ProbLR Chi
2
=0,0001
Data Tabel 11 dapat dijelaskan bahwa peternak yang peternakannya berjarak lebih dari satu kilometer dari kandang peternak lain mempunyai peluang
lebih kecil dibanding peternakan yang berjarak lebih kecil dari satu kilometer, dengan angka estimasi -0.5625. Peternak yang kandangnya berjarak sama atau
lebih dari satu kilometer memiliki peluang ternaknya terinfeksi 0,570 kali dibanding peternak yang jarak kandangnya kurang dari satu kilometer. Jarak lebih
dari 1 kilometer berdasarkan referensi peternakan dianggap relatif aman untuk kemungkinan menyebarnya virus melalui udara ke kandang unggas pemilik
lainnya. Sedangkan saluran limbah kotoran unggas tertutup mempunyai peluang ternaknya terinfeksi lebih kecil dibandingkan dengan peternak yang membuat
saluran buangan limbah unggas terbuka tanpa tutup, dengan angka koefisien estimasi yang negatif -0,6748. Unggas berpeluang terinfeksi relatif lebih kecil
yaitu 0,509 kali dibanding unggas peternak bersaluran limbah terbuka. Hal ini dikarenakan saluran limbah yang terbuka sangat dimungkinkan tercemar virus dan
dikonsumsi unggas disekitarnya. Peternak yang memiliki halaman kandang yang relatif lebih bersih memiliki peluang ternaknya terinfeksi flu burung lebih kecil
dibandingkan peternak yang memiliki halaman kandang yang relatif kotor estimate=-0.7001. Peluang peternak yang halaman kandangnya lebih bersih
85 mempunyai peluang unggasnya terinfeksi 0,287 kali dibanding peternak yang
memiliki halaman kandang ternak yang relatif kotor. Karena ketiga variabel tersebut angka OR 1 maka variabel ini adalah sebagai faktor pencegah
terkenanya resiko terinfeksi.
3.Lingkungan Biologi dan Sosial
Terdapat beberapa variabel lingkungan biologi dan sosial yang dapat dicermati pada Tabel 12 dan Tabel 13 sebagai berikut:
Tabel 12 Hasil Analisis Estimasi untuk Lingkungan Biologi
Paramtr. Estimate
Standard Pr ChiSq
Odds Ratio Estimates Error
Effect Point
Est. Intercpt.
1,0632 0,4494
0,0180 Unggas domstk.0
0,0017 0,2439
0,9942 X19 0 vs 1
1,002 Binatang lain.0
-0,4907 0,2395
0,0405 X20 0 vs 1
0,612 Pupuk kdg.0
-1,3058 0,4090
0,0014 X21 0 vs 1
0,271 Pelepasan unggs.0
-0,5046 0,3264
0,1222 X23 0 vs 1
0,604 Sumber pakan.1
0,2110 0,3962
0,5944 X24 1 vs 3
1,235 Sumber pakan.2
0,2355 0,3727
0,5273 X24 2 vs 3
1,266 Ayam afkir.0
0,0359 0,3157
0,9095 X25 0 vs 1
1,037
signifikan pada taraf 5 R
2
=0,4597 ProbLR Chi
2
=0,0001
Untuk Lingkungan biologi dan lingkungan sosial pada peternak juga
menunjukkan bahwa H0 tidak ada variabel yang berpengaruh ditolak Tabel 12 dan 13. Peternak yang tidak mempunyai binatang piaraan lain di sekitar kandang
memiliki peluang ternaknya terinfeksi lebih kecil dibanding peternak yang memiliki binatang piaraan selain unggas estimate = -0,4907, dimana peluang
unggas terinfeksi 0,612 kali dibanding peluang peternak yang memiliki binatang piaraan lain disekitar kandang peternakan.
86 Tabel 13 Hasil Analisis Estimasi untuk Lingkungan Sosial
Paramtr. Estimate
Standard Pr ChiSq
Odds Ratio estimates Error
Effect Point Est.
Intercpt. 1,0624
0,7418 0,1521
ungg baru.0 -0,2856
0,3295 0,3860
X26 0 vs 1 0,752
barang kotor.0 -0,7275
0,4654 0,1180
X27 0 vs 1 0,483
kontak ungg.0 -0,7988
0,5043 0,1132
X28 0 vs 1 0,450
pensucihamn.0 -0,6133
0,4980 0,2181
X30 0 vs 1 0,542
pembr vaksin.1 0,9968
1,1082 0,3684
X32 1 vs 4 2,710
pembr vaksin.2 0,0538
0,6162 0,9304
X32 2 vs 4 1,055
pembr vaksn.3 1,2536
0,7995 0,1169
X32 3 vs 4 3,503
pelaporan.0 -1,3641
0,5040 0,0068
X35 0 vs 1 0,256
penyuluhan.1 0,7662
0,6117 0,2104
X36 1 vs 4 2,152
penyuluhan.2 2,0119
0,6824 0,0032
X36 2 vs 4 7,478
peyuluhan.3 -1,1219
0,6712 0,0947
X36 3 vs 4 0,326
lalu lints ungg.0 -1,5277
0,5539 0,0058
X37 0 vs 1 0,217
signifikan pada taraf 5 R
2
=0,6519 ProbLR Chi
2
=0,0001 Demikian juga peternak yang tidak menggunakan kotoran unggas sebagai
pupuk tanaman estimate=-1,3058 peluangnya lebih kecil dibanding peternak yang menggunakan kotoran unggas sebagi pupuk, dimana peluangnya sebesar
0,271 kali dibandingkan peternak yang menggunakan kotoran unggas sebagai pupuk. Angka OR1 menunjkkan kedua variabel tersebut adalah sebagai faktor
pencegah terkenanya resiko terinfeksi. Peternak yang menyampaikan laporan jika ada unggas mati memiliki
peluang yang lebih kecil dibandingkan peternak yang tidak melaporkan estimate=-1,3641. Peternak yang melaporkan kematian unggas berpeluang
ternaknya terinfeksi sebesar 0,256 kali dibandingkan peternak yang tidak melaporkan adanya unggas yang mati. Sedangkan peternak yang pernah
mendapatkan penyuluhan memiliki peluang ternaknya terinfeksi flu burung semakin kecil dibandingkan peternak yang tidak pernah mendapat penyuluhan
estimate =-1,1219. peluang peternak yang pernah mendapat penyuluhan sebanyak 2 kali dari petugas memiliki peluang ternaknya terinfeksi sebesar 7,478
kali dibanding peternak yang tidak pernah mendapat penyuluhan dari petugas. Angka OR 1 maka variabel ini adalah sebagai faktor penyebab terkenanya
resiko terinfeksi. Hal ini bisa saja terjadi karena walau ternak mendapat penyuluhan tetapi jika hal yang lain mendukung terinfeksinya unggas, maka
87 unggas tak terelakkan akan terkena infeksi, seperti misalnya keberadaan binatang
lain yang bisa menularkan virus, selokan yang terbuka serta tidak adanya pensucihamaan pada kandang.
Sedangkan peternak yang menerima penyuluhan 1 kali memiliki peluang 0,326 kali dibanding yang tidak pernah mendapat penyuluhan. Jadi variabel ini
adalah faktor pencegah. Berikutnya peternak yang melakukan pensucihamaan dengan disinfektan di pintu gerbang peternakan memiliki peluang ternaknya
terinfeksi lebih kecil dibanding peternak yang tidak melakukan hal tersebut estimate= -1,5277. Peluang peternak yang melakukan pensucihamaan di pintu
gerbang peternakan yaitu sebesar 0,217 kali dibandingkan peternak yang tidak melakukan pensucihamaan di pintu gerbang. Angka OR 1 maka kedua variabel
ini adalah sebagai faktor pencegah terkenanya resiko terinfeksi. Hal ini sejalan dengan hipotesa bahwa pensucihamaan di pintu gerbang akan mencegah
tersebarnya virus yang kemungkinan besar menempel di pakaian, sepatu, tangan ataupun kendaraaan dari peternak.
5.2.2. Pedagang Unggas 1.Karakteristik Pedagang