Ekonomi Penyakit TINJAUAN PUSTAKA

11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan digambarkan dan dijelaskan mengenai flu burung dalam kerangka bangunan besar economics of disease, tentang penyakit flu burung serta bagaimana virus flu burung menyebar dengan perantara beberapa factor lingkungan yaitu linkungan fisik, biologi dan soial. Beberapa penjelasan merujuk pada literature yang berkaitan dengan tiga aspek lingkungan tersebut.

2.1 Ekonomi Penyakit

Economics of Disease Epidemik flu burung AI berdampak pada banyak aspek pada saat yang bersamaan secara tak terhindarkan. Hal ini menyebabkan beberapa economic losses yang relatif cukup besar bagi pemerintah, peternak dan semua partisipan dari rantai produksi unggas. Sejak penyebaran virus AI terjadi pada kalangan unggas dan burung di Negara Asia Timur, kerugian ekonomi awalnya tidak terlalu besar dan tergantung pada tingkat keparahan negara masing masing. Namun secara global dengan meningkatnya jumlah kasus dan kesinambungan penyebaran virus AI ini menyebabkan kerugian yang meningkat secara signifikan Smith 2005. Menurut Smith 2005 kerugian yang disebabkan oleh merebaknya AI adalah 0,7 persen dari GDP dunia.Tetapi untuk negara berkembang kerugian yang terjadi lebih signifikan sebesar 1,2 persen dari GDP, sedangkan untuk negara Asia dan Pasifik terjadi kerugian sebesar 2,4 persen dari GDP. Kerugian ini dikarenakan adanya keterkaitan antar sektor baik sektor yang terkait secara langsung misalnya industri unggas, peternakan menengah dan peternakan tradisional, maupun sektor yang terkait tidak langsung misalnya restoran, transportasi, pariwisata dan beberapa sektor lain. Negara berkembang mengalami kerugian yang relatif besar karena juga menyangkut hilangnya kesempatan kerja sekitar 0,2 persen serta kebangkrutan beberapa peternakan unggas. Beberapa negara yang terkena dampak virus AI yang relatif parah adalah Sub Saharan Afrika, Thailand, Vietnam, Nigeria dan urutan berikutnya adalah negara Asia Timur dan Pasifik, diantaranya Camboja, China, Indonesia dan Laos. Smith 2005 menjelaskan bahwa kontribusi industri unggas pada ekonomi nasional Negara Asia Timur sekitar 0,6 persen sampai dengan 2 persen. Sementara penurunan output umumnya terjadi rata rata 15 juta dollar untuk Vietnam dan 500 juta dollar untuk Indonesia. 12 Penyebaran virus AI di Indonesia terjadi sejak tahun 2003 tidak hanya menyerang kalangan unggas tetapi juga berdampak pada manusia. Terhitung sampai tahun 2008 telah tercatat 126 kasus dan meninggal 112 orang Krisnamurti 2008. Pada tahun 2010 korban meninggal telah mencapai 134 jiwa di 31 propinsi di Indonesia. Sedangkan untuk seluruh dunia sampai tahun 2008 tercatat 359 kasus dan meninggal 226 orang WHO 2008. Menurut Osterholm 2005 kematian manusia yang disebabkan oleh virus AI merupakan ‘the third most deadly infectious disease’ setelah AIDS dan TBC. Sedangkan WHO 2005 memperkirakan bahwa penduduk dunia yang terinfeksi virus ini sebesar 35 persen, di mana sebagian besar terjadi di negara berkembang karena memiliki kepadatan penduduk yang lebih tinggi dan tingkat kemiskinan yang lebih parah. Secara umum, biaya yang ditanggung akibat merebaknya virus AI adalah sebesar 12 persen dari total biaya, adalah menyangkut kematian manusia, 28 persen manusia menderita sakit biaya pengobatan dan tidak masuk kerja dan 60 persen adalah upaya untuk menghindari infeksi. Jadi dapat disimpulkan secara umum pengeluaran lebih banyak ditargetkan untuk upaya preventif mencegah meluasnya virus AI. Pemerintah menginstruksikan pemakaian desinfektan untuk mencegah menyebarnya virus AI Sumiarto dan Arifin 2009, namun dampak Virus AI terhadap kesehatan manusia masih juga cukup meluas. Banyaknya korban yang meninggal hingga kini memberikan dampak psikologis terhadap konsumsi daging ayam khususnya dan pada akhirnya akan memberikan dampak ekonomi baik terhadap konsumen maupun produsen. Lebih jauh, pandemik virus H5N1 bukan hanya memberikan dampak terhadap kesejahteraan individu, namun juga mengakibatkan kepada ketahanan sosial ekonomi dan keamanan. Dampak ini bisa lebih serius terjadi karena sebagian besar masyarakat terutama di negara berkembang tidak siap akan serangan ini. Pada tataran dampak ekonomi dan sosial, flu burung seharusnya tidak berpengaruh terhadap ketahanan pangan karena konsumen dapat memilih sumber pangan protein lainnya Andrea 2004. Namun sejauh ini sektor produksi unggas menunjukan permintaan yang terus menurun terhadap daging unggas karena konsumen takut tertular wabah ini Arifin 2005. Pengembangan industri perunggasan nasional membutuhkan dukungan dari kebijakan pemerintah khususnya dibidang pakan ternak. Dari seluruh total pakan ternak yang ada sekitar 83 persen digunakan untuk peternakan unggas. Penggunaan pakan 13 pada produksi unggas mencapai 60 sampai 70 persen dari total biaya produksi. Sedangkan penyediaan bahan baku pakan masih tergantung pada impor, khususnya jagung. Dengan demikian pasokan jagung domestik bisa diharapkan dapat meredam gejolak harga pakan ternak Daryanto 2009. Jumlah populasi unggas dari berbagai jenis, yang meliputi ayam kampung, ayam buras, ayam ras petelur, ayam ras pedaging, dan berbagai jenis itik atau bebek mencapai 1,3 miliar ekor. Jumlah ini belum termasuk jutaan rumah tangga yang memelihara berbagai jenis unggas sebagai binatang peliharaan atau hobi yang dapat mencapai 30 juta rumah tangga. Total investasi di industri unggas modern dan semi modern diperkirakan US3 miliar-US3,5 miliar. Jumlah penjualan dari usaha perunggasan setiap tahun mencapai sekitar US5 miliar. Dari industri peternakan unggas, Indonesia mampu menghasilkan daging sekitar 1,2 miliar ton per tahun dan memberikan konstribusi sekitar 56 persen dari total kebutuhan penyediaan daging hasil ternak. Jumlah produksi telur dari industri perunggasan yang tercatat hingga saat ini hampir 1,2 miliar ton yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan telur di dalam negeri. Delgado 1999 menjelaskan bahwa revolusi peternakan memberikan perubahan dan mempengaruhi perkembangan sektor peternakan di Indonesia. Permintaan daging, telur dan susu diperkirakan meningkat signifikan seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perbaikan ekonomi pasca krisis ekonomi tahun 1997. Di tahun 1999 konsumsi daging, telur dan susu di Indonesia adalah sebesar 41 kgkapitatahun, 2,7 kgkapitatahun dan 5,09 kgkapitatahun. Tahun 2003 konsumsi tiga produk tersebut terus mengalami peningkatan, dimana tingkat pertumbuhan konsumsi daging, telur dan susu masing-masing tumbuh pada tingkat 6,08 kgkapitatahun, 4,47 kgkapitatahun BPS 2005. Lebih spesifik, konsumsi per kapita komoditi unggas seperti daging ayam ras dan kampung, daging bebek dan telur dapat dijelaskan sebagai berikut, selama periode 2004-2006 konsumsi daging ayam terutama ayam ras adalah tertinggi, dimana pada tahun 2004 mencapai 2,08 kgkapitatahun dan pada tahun 2006 mencapai 2,3 kgkapitatahun. Konsumsi telur ayam ras juga yang tertinggi mencapai 3,45 kgkapitatahun ditahun 2004 dan mencapai 3,31 kgkapitatahun di tahun 2006. Hal ini menunjukan bahwa meski virus H5N1 telah menyebar di Indonesia, namun konsumsi daging ayam ras dan telurnya belum dapat tergantikan dengan konsumsi protein 14 hewani lainnya. Hal ini karena telur dan daging ayam merupakan protein hewan paling murah dibanding sumber protein yang lain Daryanto 2009. Walaupun menurut You 2007 merebaknya virus flu burung menyebabkan keengganan masyarakat mengkonsumsi unggas sehingga menyebabkan turunnya permintaan unggas sehingga dan mendorong harga unggas menurun. Data dari BPS menunjukkan konsumsi perminggu perkotaan dan pedesaan untuk daging, ayam, telur serta itik ada kecenderungan mengalami penurunan. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2 di bawah ini : Tabel 1. Konsumsi Rata-Rata Perkapita Perminggu Beberapa Bahan Makanan Perkotaankg 1993 1996 1999 2002 2005 2008 Daging Sapi Kerbau 0,028 0,025 0,015 0,018 0,016 0,011 Daging Ayam RasKampung 0,070 0,102 0,049 0,095 0,107 0,096 Telur Ayam 0,098 0,120 0,083 0,124 0,130 0,131 Telur Itik Manila AsinButir 0,14 0,123 0,063 0,122 0,118 0,083 Sumber: BPS 2008 Pada Tabel 2 disajikan data mengenai konsumsi rata-rata perkapita perminggu beberapa bahan makanan untuk daerah pedesaan, dimana menunjukkan konsumsi yang relatif lebih rendah dibanding daerah perkotaan, kecuali konsumsi telur asin. Tabel 2 Konsumsi Rata-Rata Perkapita Perminggu Beberapa Bahan Makanan Pedesaankg 1993 1996 1999 2002 2005 2008 Daging Sapi Kerbau 0,007 0,006 0,006 0,006 0,005 0,003 Daging Ayam RasKampung 0,031 0,050 0,022 0,039 0,052 0,052 Telur Ayam 0,045 0,070 0,046 0,073 0,087 0,094 Telur Itik Manila AsinButir 0,166 0,126 0,092 0,124 0,111 0,092 Sumber: BPS 2008

2.2. Flu Burung dan Faktor Lingkungan