62
konsumen sebab mungkin dengan menaikan tingkat harga kemungkinan akan memicu konsumen pelaku
usaha posisi dominan tersebut untuk beralih ke pesaingnya. Pelaku usaha yang memiliki posisi
dominan masih memberikan sedikit ruang bagi pelaku usaha lain untuk berpartisipasi di pasar, sedangkan
pelaku usaha yang monopolis memiliki ruang gerak yang cukup besar tanpa harus memperhatikan reaksi
konsumen ketika menaikan tingkat harga dan hambatan yang diciptakan pelaku usaha monopoli
sangat kuat.
B. Penyalahgunaan Posisi Dominan
1. Pengaturan Penyalahgunaan Posisi Dominan di
Uni Eropa dan Amerika Serikat.
a. Uni Eropa
Dasar pelarangan
penyalahgunaan posisi
dominan di negara-negara Uni Eropa yaitu EU Article
102 ex Article 82 European Community Treaty yang
berjudul Treaty Establishing The European Economic Community,
14
yaitu:
Any abuse by one or more undertakings of a dominant position within the common market or in a substantial part
14
Ibrahim, Johnny, Hukum Persaingan Usaha Filosofi, Teori, dan Impikasi Penerapannya di Indonesia, Bayumedia Publising, Jawa Timur, 2009 hal. 178
63
of it shall be prohibited as incompatible with the common market in so far as it may affect trade between Member
States. Such abuse may, in particular, consist in: a
directly or indirectly imposing unfair purchase or selling prices or unfair trading conditions;
b limiting
production, markets
or technical
development to the prejudice of consumers; c
applying dissimilar conditions to equivalent transactions with other trading parties, thereby
placing them at a competitive disadvantage; d
making the conclusion of contracts subject to acceptance by the other parties of supplementary
obligations which, by their nature or according to commercial usage, have no connection with the
subject of such contracts.
Intinya dari Article 102 ini menyatakan bahwa pelarangan ini ditujukan pada perusahaan yang
memegang posisi dominan di pasar market dominance dan dengan demikian memiliki kekuatan untuk
mengontrol pasar.
15
Hal lain
yang menarik
dalam pengaturan
penyalahgunaan posisi dominan di Eropa adalah Pricing Abuses and non- Abuses Pricing.
Pricing Abuses other than Excessive Pricing
15
Siswanto, Arie, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Bogor Selatan,
2004, hal. 46
64
Pricing Abuses menekankan pada Predatory Pricing. Predatory Pricing adalah tindakan pelaku
usaha memberikan harga produknya sangat murah sehingga
pesaing-pesaingnya tidak
mampu menyainginya kemudian terpaksa keluar dari pasar.
Setelah pesaing-pesaing tersebut keluar dari pasar, pelaku usaha tersebut dapat menaikkan harga pada
tingkat monopoli dan dapat menutupi kerugian- kerugian yang telah dialami.
16
Di European
Commission dalam
kasus AKZO,
menegaskan bahwa harga di atas Average Variable Cost, asalkan di bawah Average Total Cost yang
ditentukan dengan tujuan untuk menghilangkan persaingan, tetap dapat dikatakan melanggar.
17
Predatory Pricing jarang terjadi karena mungkin harus ada „pengorbanan‟ terlebih dahulu yang harus
dilakukan oleh
pelakunya yakni
pengorbanan penghasilan bersih untuk sementara. Predatory Pricing
dalam arti yang sebenarnya tidak bisa terjadi kecuali ada pengorbanan kehilangan keuntungan bersih
untuk sementara dengan harapan dapat memperoleh pendapatan yang lebih besar di masa yang akan
datang. Tindakan ini bertujuan untuk menghalau
16
M. Hawin, dkk, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Perkembangannya, CICODS FH-UGM, Yogyakarta, 2009, hal. 90
17
Ibid
65
pesaing dari pasar, kemudian pelakunya akan dapat menutupi
kerugiannya recoupment
dengan memperoleh laba yang tinggi karena tidak ada
pesaingnya. Bagi pelaku, pengorbanan kehilangan keuntungan tersebut merupakan investasi untuk
mendapatkan kuntungan
monopolistic di
masa mendatang. Pelaku harus dapat memprediksi bahwa
keuntungan yang akan datang harus melebihi investasi yang telah dikeluarkan. Jadi, wajar apabila
Predatory Pricing jarang terjadi. Posisi EU adalah cenderung tidak menggunakan
syarat the Recoupment Test
18
. dalam kasus AKZO tersebut di atas, syarat ini tidak disinggung oleh
European Commission. Bahkan penetapan harga di atas Average Variable Cost asalkan di bawah Average
Total Cost
yang dilakukan
untuk tujuan
menghilangkan persaingan dapat dikatakan Predatory. Dalam kasus Tetra Pak II,
19
European Court of Justice juga mengatakan:
18
Recoupment Test dipergunakan untuk mengkaji apakah pelaku usaha yang melakukan praktik tersebut telah sukses mencapai tujuannya, yaitu
menyingkirkan pesaingnya ke luar pasar dan menghalangi pesaing lainnya masuk ke dalam pasar. Tes ini kemudian juga melihat apakah pelaku usaha
predator akan mampu mendapatkan keuntungan yang melebihi keuntungan kompetitif untuk menutupi kerugian yang dideritanya selama menjalankan
praktik predatory. Peraturan KPPU N.6 tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 20 UU NO.5 tahun 1999, hal. 20.
19
Case C – 33394 P, Tentra Pak International SA v. Commission 1996 ECR I –
5951, 1997 4 CMLR 662.
66
“[I] would not be appropriate, in the circumstances of t
he present case, to require … proof that Tetra Pak had a realistic chance of recouping its losses. It
must be possible to penalize predatory pricing whenever there is a risk that competitors will be
eliminated.”
20
Dari pernyataan tersebut jelas bahwa Pengadilan dalam Tentra Pak II tidak mengharuskan the
Recoupment Test dalam Predatory Pricing. Pengadilan ini menekankan bahwa faktor yang penting dalam
menentukan Predatory Pricing adalah resiko bahwa pesaing-pesaing akan tergeser.
Posisi hukum antimonopoly Indonesia lebih cenderung mirip atau mengikuti posisi di EU yang
ketat karena ketentuan Pasal 25 aya 1, secara tidak langsung melarang Predatory Pricing yang dilakukan
oleh pemegang posisi dominan secara per se dengan syarat intent atau purpose. Namun KPPU dalam
menangani Predatory Pricing bisa saja bersikap lunak dengan melihat Pasal 20 yang mensyaratkan adanya
intent untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaing danatau mensyaratkan bahwa tingkat harga
pelaku harus di bawah Average Cariable cost.
Non-Pricing Abuses
20
Ibid, alinea 44
67
Non-Pricing Abuses ini menekankan pada Tying. Tying merupakan salah satu strategi penjualan yang
juga berpeluang untuk mengganggu persaingan. Secara sederhana tying bisa didefenisikan sebagai
penjualan suatu produk dengan syarat bahwa si pembeli harus juga membeli produk lain yang
sebenarya bisa dibeli oleh pembeli dari penjual lain. Persyaratan pembelian ini dianggap bersifat ilegal
apabila menggangu persaingan. Mengenai tying umumnya hukum persaingan
negara-negara menentukan bahwa pada dasarnya praktik ini tidak dengan sendirinya ilegal. Pengecer
menawarkan satu kantung terigu merek A setengah harga apabila pembeli juga membeli satu kantung gula
pasir merek A, merupakan contoh dari tying yang diperbolehkan jika perusahaan A, sebagai produsen
terigu merek A, tidak memegang monopoli, baik di pasar produk terigu atau pun gula pasir.
21
Praktik tying bisa dibenarkan adalah jika si penjual bisa menunjukkan bahwa tying dilakukan atas
dasar sensitivitas teknologi yang mengharuskan supaya produk tertentu digunakan untuk menghindari
kerusakan.
21
Siswanto, Arie, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Bogor Selatan,
2004, hal. 37
68
Alasan efisiensi terkadang juga merupakan alasan yang sering kali bisa diterima di pengadilan. Di
Jerman, misalnya, dalam kasus Wirtschaft und Wettbewerb, pengadilan membolehkan tindakan dua
surat kabar di Stuttgart yang melakukan praktik tying dengan cara mengharuskan pemasang iklan di salah
satu surat kabar untuk juga beriklan di surat kabar lainnya.
b. Amerika Serikat
Putusan-Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan bahwa Section 2 Sherman Act
22
tidak menyalahkan pemilikan kekuatan monopoli yang diperoleh secara sah natural or legal monopoly power
tetapi melarang
tindakan yang
menggunakan kekuatan monopoli monopolize dengan melihat pada
purpose dan intent pelaku. Namun, beberapa putusan telah berbeda dalam menafsirkan kedua istilah
tersebut. Menurut Standart Oil dan American Tobacco, actual purpose or intent harus ada, yakni pelaku usaha
22
Section ini berbunyi: E ery perso ho shall o opolize, or atte pt to
monopolize, or combine or conspire with any other person or person, to monopolize any part of the trade or commerce among the several States, or
with foreign nations, shall be deemed guilty of a felony, felony, and, on
conviction thereof, shall be punished by fine not exceeding 10,000,000 if a corporation, or, if any other person, 350,000, or by imprisonment not
exceeding three years, or by both said punishments, in the discretion of the court.
69
harus mempunyai “positive drive to monopolize”.
Artinya, harus ada praktik-praktik “predatory” yang
menghalangi kemampuan pelaku usaha lain untuk bersaing. Namun, putusan hakim Hand dalam Alcoa
menunjukkan bahwa bukti actual intent kurang diperlukan, yang penting adalah bukti adanya
kesengajaan deliberateness oleh pemegang kekuatan monopoli
untuk mempertahankan
posisi monopolinya.
23
Dalam Alcoa, hal ini ditunjukkan dengan tindakan aktif
Alcoa memperbesar
kapasitas produksi
aluminium untuk mengantisipasi permintaan dan mempertahankan kapasitas produksi yang eksesif
sehingga dapat menghambat pelaku usaha baru masuk ke pasar. Alcoa dianggap mempunyai tujuan
atau intent terhadap akibat dari tindakan-tindakannya tersebut. Pengadilan dalam United Shoe mengikuti
Alcoa. United Shoe memperkuat Alcoa dengan menyatakan
bahwa penyalahgunaan
kekuatan monopoli dalam Section 2 Sherman Act cukup dengan
menunjukkan praktik-praktik yang dilakukan dengan sengaja yang menghambat pesaing masuk ke pasar
walaupun tindakan-tindakan itu sendiri tidak illegal.
23
M. Hawin, dkk, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Perkembangannya, CICODS FH-UGM, Yogyakarta, 2009, hal. 86
70
Namun, pengadilan-pengadilan
semenjak tahun
1870an tidak lagi mengikuti pendekatan Alcoa dan United Shoe membatasi cakupan pelanggaran Section
2 Sherman Act. Jadi telah terjadi perkembangan di Amerika Serikat. Standart Oil 1911 dan American
Tobacco 1911 mengunakan “teori penyalahgunaan”
the abuse theory, Alcoa 1945 dan United Shoe 1953 kemudian meninggalkannya. Selanjutnya mulai tahun
1979, pengadilan
kembali menggunakan
teori penyalahgunaan.
Artinya, sebagaimana
dalam Standard Oil dan American Tobacco, actual purpose or
intent harus terbukti untuk penyalahgunaan posisi dominan.
24
2. Pengaturan Penyalahgunaan Posisi Dominan di