dirancang dengan furnitur di dalam katalog, seringkali steril atau sebaliknya terlalu berlebihan. Lingkungan tersebut juga dapat mengingatkan siswa terlalu banyak
pengaturan klinis di kantor dokter. Menambahkan pencahayaan lembut dan perabot rumah tangga, bahkan untuk
lemari penyimpanan dan peralatan fungsional lainnya, dapat mengimbangi perasaan ini. Warna cocok untuk rumah warna hangat, warna kulit dan pastel, soft furnishing,
tekstur menarik, karya seni, tanaman, dan benda-benda dari alam dapat mengubah kelas konvensional ke tempat, pertemuan komunitas yang nyaman. Jika ruang
beristirahat diperlukan, lingkungan alternatif seperti sebuah tenda kecil atau benteng lebih dianjurkan daripada pengaturan kantor steril.
Tidak ada desain yang sempurna untuk pengobatan autisme. Namun, desainer profesional, pengelola sekolah, guru kelas dan orang tua dapat belajar banyak dari
ahli pengguna dalam mengidentifikasi atribut, mendukung lingkungan paling ketat. Ini memang praktis dan berharap untuk percaya bahwa desain yang baik bagi siswa
berkebutuhan khusus adalah desain yang baik untuk semua.
3.4 Eksplorasi Penerapan Tema ke Dalam Kasus Proyek
3.4.1 Pemetaan perilaku dalam pusat terapi khusus autis
Dalam kasus ini, saya memilih Pusat Terapi Yayasan Tali Kasih yang terdapat di Jalan Sei Alas, Medan. Pusat Terapi ini terdiri dari ruangan-ruangan sebagai
berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Sembilan ruang terapi berukuran 3m x 3m dengan kapasitas 1 anak dan 1
terapis ditambah 1 terapis lagi jika diperlukan Gambar 3.22. 2.
Ruang Tunggu dan area resepsionis Gambar 2.23. 3.
Satu ruang fisioterapi Gambar 2.24. 4.
Area Sosialisasi Gambar 2.25. 5.
Ruang Arsip. 6.
Dapur Gambar 2.26. 7.
Ruang Penjaga bangunan. 8.
KMWC. 9.
Gudang.
Gambar 3.22 Ruang Terapi Sumber: Hasil Survey, 2012
Universitas Sumatera Utara
Survey yang dilakukan pada hari Jumat, 2 November 2012 pada pukul 11.00 WIB, pukul 11.30 WIB dan pukul 12.00 WIB. behavior map ini berdasarkan person
centered mapping, yaitu pemetaan perilaku yang fokus pada pergerakan para penghuni di bangunan tersebut.
a. Terapis
Terapis datang dan masuk melalui pintu masuk khusus karyawan, setelah itu mengambil arsip anak ke ruang arsip. Setelah dari ruang arsip, terapis akan
Gambar 3.24 Ruang Fisioterapi Sumber: Hasil Survey, 2012
Gambar 3.23 Ruang Tunggu dan Area Resepsionis
Sumber: Hasil Survey, 2012
Gambar 3.25 Area Sosialisasi Sumber: Hasil Survey, 2012
Gambar 3.26 Dapur Sumber: Hasil Survey, 2012
Universitas Sumatera Utara
melakukan terapi ke ruang terapi, ruang fisioterapi, atau ruang sosialisasi. Setelah terapi selesai, terapis pulang Gambar 3.27.
b. Murid terapi.
Murid datang dan masuk melalui pintu masuk utama, setelah itu melakukan proses terapi di ruang terapi, ruang sosialisasi atau ruang fisioterapi. Setelah selesai,
mereka yang telah dijemput orang tuanya pulang, sedangkan yang belum akan menunggu di ruang sosialisasi ditemani para terapis Gambar 3.28.
murid terapi terapis
Gambar 3.27 Pemetaan Perilaku Terapis Sumber: Hasil Survey, 2012
Universitas Sumatera Utara
Dari Pemetaan perilaku di atas, maka dapat dikaji bahwa setiap kelompok individu murid dan terapis memiliki proses ke
g
iatan sendiri-sendiri di pusat terapi ini, seperti yan
g
akan dijabarkan dalam dia
g
ram pola perilaku di bawah ini Gambar 3.29 dan 3.30
1. Murid
murid terapi terapis
Pulan
g
Menunggu dijemput
Pulan
g
Terapi Datang
Gambar 3.28 Pemetaan Perilaku Murid Terapi Sumber: Hasil Survey, 2012
Gambar 3.29 Diagram Kegiatan Murid Terapi Sumber: Hasil Survey, 2012
Universitas Sumatera Utara
2. Terapis
3.4.2 Elemen-elemen pendekatan desain Cybernetic
Pada perancanan Pusat Terapi Autis melalui pendekatan desain cybernetic, terdapat beberapa elemen yang perlu dipelajari untuk mendapatkan desain yang
sesuai. Elemen-elemen tersebut adalah sebagai berikut: e.
Keinginan klien, dalam hal ini klien yang dimaksud adalah pemilik Pusat Terapi Autis, yang merupakan pihak swasta. Keinginan klien adalah
bagaimana memberikan tempat terapi yang aman untuk para anak autis, memiliki ruangan-ruangan yang fungsional, efisien, tidak melupakan
estetika bangunan dan memiliki tingkat keamanan dan kepuasan psikologis yang tinggi.
f. Setting, yang dimaksudkan adalah bagaimana tapak dan lingkungan
sekitar tapak dapat mempengaruhi bangunan pusat terapi tersebut ke arah yang dikehendaki klien atau sebaliknya.
Datang Terapi
Pulan
g
Duduk- duduk
Pulan
g
parkir
Gambar 3.30 Diagram Kegiatan Perilaku Terapis Sumber: Hasil Survey, 2012
Universitas Sumatera Utara
g. Penghuni, adalah anak autis, terapis, orang tua murid, dan karyawan non
terapis. Bagaimana para penghuni bangunan pusat terapi ini dapat melakukan aktivitas mereka dengan nyaman dan aman, tidak terganggu
satu sama lain, tetapi tetap berada dalam satu aktivitas sosial. h.
Kebutuhan lain, seperti kebutuhan agama, budaya dan adat. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah agama, budaya dan adat lokal, yaitu
Indonesia pada umumnya dan Medan pada khususnya.
3.4.3 Proses desain ruang terapi autis melalui pendekatan Cybernetic
Proses desain ruang terapi autis memiliki beberapa langkah yang harus dilalui Tabel 3.2. Yang pertama adalah proses sensoring. Proses sensoring ini memiliki
dua aspek di dalamnya, yaitu bagaimana masalah perilaku atau sifat anak autis yang menyimpang dari perilaku anak pada umumnya, dan bagaimana solusi yang dapat
diberikan sesuai dengan teori arsitektur secara umum. Teori tersebut terdiri dari tiga aspek yaitu dimensi dan skala, bukaan dan pencahayaan, serta penggunaan warna dan
material. Dari proses sensoring, kemudian proses selanjutnnya adalah proses modelling. Di proses ini dijabarkan jenis ruang seperti apa yang dibutuhkan serta
kriteria-kriteria yang menyangkut dengan pengaplikasian dari teori arsitektur yang telah dijabarkan di proses sebelumnya. Setelah proses modelling, proses selanjutnya
adalah proses actuating. Proses ini adalah proses pengaplikasian ke desain ruang terapi autis.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3.2 Proses Desain Ruang Terapi Autis Melalui Pendekatan Desain Cybernetic No
Jenis Terapi
Sensoring Modelling
Actuating Perilaku anak autis
Solusi desain menurut teori arsitektur 1
Terapi Wicara
a. Sulit dalam
mengatakan kebutuhannya.
b. Tidak pernah atau
jarang sekali kontak mata.
c. Tidak tanggap
terhadap isyarat kata-kata.
d. Echolalia
mengulangi kata dan kalimat.
Dimensi dan skala ruang.
Dibutuhkan ruang dengan dimensi dan skala yang dapat
membantu anak untuk memusatkan perhatian pada
terapi. Ruang yang dibutuhkan:
ruang terapi One on One.
Konsep ruang:
a. Ruang yang dapat memusatkan
perhatian. b.
ruang yang dibutuhkan tidak terlalu besar, cukup untuk satu anak dan satu
terapis lengkap dengan meja dan kursi.
c. tidak ada bukaan seperti jendela kaca
yang dapat mengganggu konsentrasi ketika sedang melakukan kegiatan
terapi.
d. Lay out dibuat berhadapan agar
kegiatan terapis dan anak autis untuk melakukan kontak mata, konsentrasi
dapat berjalan dengan baik.
e. Sirkulasi ruang sederhana.
f. penggunaan bahanbahan yang tidak
mengandung racun, non toksik, aman, tidak licin, bentuk tidak tajam.
g. pencahayaan yang tidak langsung,
agar mereka merasa lebih nyaman. h.
warna-warna yang dibutuhkan adalah warna pastel dengan intensitas tidak
penuh. i.
Kebutuhan berikutnya adalah rasa nyaman dan hangat dalam ruang,
suasana tersebut dapat diciptakan dengan menghadirkan komposisi
warna-warna hangat dengan intensitas rendah.
Kapasitas ruang 2 orang: 1 terapis dan 1 anak. Penggunaan skala intim untuk memberikan kesan
dekat dan fokus kepada anak dalam melakukan terapi.
Pencahayaan murni pencahayaan buatan memakai sistem indirect lighting.
Penggunaan warna hijau pastel yang memiliki efek psikologis menyeim
b an
g kan ener
g i tu
b uh,
mem b
antu proses penyem b
uhan. Penggunaan material vinyl pada lantai karena
aman dan meminimalisir luka pada anak. Pengunaan material akustik ruangan.
Bukaan dan
pencahayaan. Tidak diperlukannya bukaan yang
lebar yang dapat mengalihkan perhatian anak dari terapi.
Pencahayaan buatan diperlukan dengan intensitas tertentu
sehingga tidak menyilaukan mata anak.
Warna dan Material.
konsep warna interior yang sesuai dengan karakter anak
autis adalah warna-warna yang dapat meningkatkan
konsentrasi, menimbulkan suasana ruang aman, lembut, dan
nyaman.
Warna-warna yang digunakan secara psikologis tidak
menakutkan, menekan, seperti penggunaan warna
hitam. Sedangkan aman dalam warna
adalah warnatidak menyilaukan sehingga tidak menyebabkan
mata cepat lelah.
2 Terapi
Okupasi a.
Kesulitan dalam menanggapi sistem
motorik halus tubuh, seperti susah
menggerakkan tangan untuk
menulis dan menggambar.
Dimensi dan skala ruang.
Dibutuhkan ruang dengan dimensi dan skala yang dapat
membantu anak untuk memusatkan perhatian pada
terapi.
Bukaan dan pencahayaan.
Tidak diperlukannya bukaan yang lebar yang dapat mengalihkan
perhatian anak dari terapi. Pencahayaan buatan diperlukan
dengan intensitas tertentu sehingga tidak menyilaukan mata.
anak.
Warna dan material
Konsep warna interior yang sesuai dengan karakter anak autis
adalah warna-warna yang dapat
Universitas Sumatera Utara
No Jenis
Terapi Sensoring
Modelling Actuating
Perilaku anak autis Solusi desain menurut teori arsitektur
meningkatkan konsentrasi, menimbulkan
suasana ruang aman, lembut, dan nyaman.
Warna-warna yang digunakan secara psikologis tidak
menakutkan, menekan, seperti penggunaan warna
hitam. Sedangkan aman dalam warna
adalah warnatidak menyilaukan sehingga tidak menyebabkan
mata cepat lelah. Penggunaan material-material
yang aman untuk anak autis.
3 Terapi
Bermain a.
Suka benda-benda yang berputar.
b. Menekuni
permainan dengan cara aneh dalam
waktu lama.
c. Kecakapan motorik
kasarmotorik halus yang
tidak seimbang seperti
tidak mau menendang bola
namun dapat menumpuk balok-
balok. Dimensi dan
skala ruang. Dibutuhkan ruangan yang cukup
luas untuk anak leluasa bermain. Ruang yang dibutuhkan: Ruang Bermain.
Konnsep ruang:
a. Penggunaan sudut-sudut ruangan yang
sering tidak terpakai sebagai area imajinasi anak.
b. bukaan pencahayaan alami lebih
diutamakan. c.
Penggunaan elemen-elemen yang lembut dan dapat meransang sensor
fisik dan motorik anak, seperti kursi beanbag, sofa busa, karpet,
permainan-permainan seperti ayunan
d. ruang kelas imajinatif.
e. Transparansi yang jelas pada ruang
sehingga anak merasa aman karena merasa diawasi.
j. warna-warna yang dibutuhkan adalah
warna pastel dengan intensitas tidak penuh.
Kapasitas ruang 15 orang: 10 anak dan 5 terapis. Pencahayaan alami berasal dari bukaan-bukaan
dan pencahayaan buatan berasal dari sistem indirect lighting.
Penggunaan warna oranye dengan tone warna yang lembut karena memberikan nuansa ceria dan
se
g ar, mem
b eri ran
g san
g an kreativitas pada otak.
Penggunaan material vinyl, karpet dan busa pada lantai karena aman dan meminimalisir luka pada
anak. Penggunaan transparansi pada sebagian dinding
untuk memberikan kesan aman dan merasa diawasi.
Bukaan dan pencahayaan.
Pencahayaan alami lebih diutamakan.
Bukaan luas dan transparan perlu dilakukan yang berguna untuk
pengawasan dari luar ruangan.
Warna dan material.
Penggunaan warna yang dapat merangsang perilaku anak untuk
mau bergerak dan melakukan permainan sesuai terapi.
Penggunaan material lembut untuk lantai untuk meminimalisir
luka Penggunaan material plastik
untuk pera bot dan alat permainan anak.
4 Terapi
Sosial a.
Tentrum ā suka mengamuk tanpa
ada alas an yang jelas.
b. Sulit bersosialisasi
dengan anak-anak lainnya.
c. Tertawa tidak pada
Dimensi dan skala ruang.
Dibutuhkan ruangan berkapasitas untuk beberapa anak agar anak
dapat melatih kemampuan sosial dan komunikasi.
Ruang yang dibutuhkan: Ruang sosialisasi.
Konsep ruang:
a. Ruang yang dapat memusatkan
perhatian. b.
Ruang yang dibutuhkan tidak terlalu besar, cukup untuk 3 anak dan 2
Kapasitas ruang 5 orang: 3 anak 2 terapis. Penggunaan skala intim untuk memberikan kesan
dekat dan focus kepada anak dalam melakukan terapi.
Pencahayaan murni pencahayaan buatan memakai sistem indirect lighting.
Bukaan dan Pencahayaan.
Tidak diperlukannya bukaan yang lebar yang dapat mengalihkan
perhatian anak dari terapi. Pencahayaan buatan diperlukan
Tabel 3.2 Lanjutan
Universitas Sumatera Utara
No Jenis
Terapi Sensoring
Modelling Actuating
Perilaku anak autis Solusi desain menurut teori arsitektur
tempatnya. d.
Lebih suka menyendiri.
e. Hiperaktif.
dengan intensitas tertentu sehingga tidak menyilaukan mata
anak. terapis lengkap dengan meja dan
kursi. c.
Tidak ada bukaan seperti jendela kaca yang dapat mengganggu konsentrasi
ketika sedang melakukan kegiatan terapi.
d. Lay out meja anak dibuat berbentuk
huruf āUā dengan terapis berada di tengah-tengah mereka agar kegiatan
terapis dan anak autis untuk melakukan kontak mata, konsentrasi
dapat berjalan dengan baik.
e. Sirkulasi ruang sederhana.
f. penggunaan bahanbahan yang tidak
mengandung racun, non toksik, aman, tidak licin, bentuk tidak tajam.
g. pencahayaan yang tidak langsung,
agar mereka merasa lebih nyaman. h.
warna-warna yang dibutuhkan adalah warna pastel dengan intensitas tidak
penuh. i.
Kebutuhan berikutnya adalah rasa nyaman dan hangat dalam ruang,
suasana tersebut dapat diciptakan dengan menghadirkan komposisi
warna-warna hangat dengan intensitas rendah.
Penggunaan warna biru pastel yang memiliki efek psikologis efek menenan
g kan, memper
b aiki kerja
penyem b
uhan. Penggabungan komposisi warna kuning yang
memiliki efek psikologis men g
uran g
i rasa letih, dan perasaan tertekan.
Penggunaan material vinyl dan karpet pada lantai karena aman dan meminimalisir luka pada anak.
Pengunaan material akustik ruangan. Warna dan
material. Penggunaan warna yang dapat
merangsang perilaku anak untuk mau bergerak dan melakukan
permainan sesuai terapi. Penggunaan material lembut
untuk lantai untuk meminimalisir luka.
Penggunaan material plastik untuk pera bot dan alat permainan
anak.
5 Terapi
Fisik a.
Tidak peduli bahaya.
b. Tidak peka terhadap
rasa sakit. Dimensi dan
skala ruang. Dibutuhkan ruangan yang cukup
luas untuk peralatan fisioterapi. Ruang yang dibutuhkan: Ruang
fisioterapi. Konsep Ruang:
a. Bukaan pencahayaan alami lebih
diutamakan. b.
Penggunaan elemen-elemen yang lembut dan dapat meransang sensor
fisik dan motorik anak, seperti seperti peralatan fisioterapi.
c. ruang kelas imajinatif.
d. Transparansi yang jelas pada ruang
sehingga anak merasa aman karena merasa diawasi.
e. warna-warna yang dibutuhkan adalah
Kapasitas ruang 4 orang: 2 terapis 2 anak. Pencahayaan alami berasal dari bukaan-bukaan
dan pencahayaan buatan berasal dari sistem indirect lighting.
Penggunaan warna Kuning dengan tone warna yang lembut karena men
g uran
g i rasa letih, dan
perasaan tertekan. Penggabungan komposisi warna biru pastel yang
memiliki efek psikologis efek menenan
g kan,
memper b
aiki kerja penyem b
uhan. Penggunaan material vinyl pada lantai karena
aman dan meminimalisir luka pada anak. Bukaan dan
pencahayaan. Pencahayaan alami lebih
diutamakan. Bukaan luas dan transparan perlu
dilakukan yang berguna untuk pengawasan dari luar ruangan.
Warnadan material
Penggunaan warna yang dapat merangsang perilaku anak untuk
mau bergerak dan melakukan permainan sesuai terapi.
Penggunaan material lembut untuk lantai untuk meminimalisir
luka. Penggunaan material plastik
untuk pera bot dan alat permainan Tabel 3.2 Lanjutan
Universitas Sumatera Utara
No Jenis
Terapi Sensoring
Modelling Actuating
Perilaku anak autis Solusi desain menurut teori arsitektur
anak. warna pastel dengan intensitas tidak
penuh. Penggunaan transparansi pada sebagian dinding
untuk memberikan kesan aman dan merasa diawasi.
Sumber: Hasil Analisis, 2013 Tabel 3.2 Lanjutan
Universitas Sumatera Utara
BAB IV KONSEP PERANCANGAN FISIK
4.1 Konsep Ruang Terapi One-on-One