Pendekatan Desain Cybernetic pada Perancangan Ruang Terapi khusus Autis

(1)

PENDEKATAN DESAIN CYBERNETIC DALAM

PERANCANGAN RUANG TERAPI KHUSUS AUTIS

TESIS

OLEH

LIZA TIFANNI ZUHRA

10 7020 019/AR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENDEKATAN DESAIN CYBERNETICS DALAM

PERANCANGAN RUANG TERAPI KHUSUS AUTIS

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Teknik Dalam Program Studi Teknik Arsitektur Pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

Oleh

LIZA TIFANNI ZUHRA

10 7020 019/AR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PERNYATAAN

PENDEKATAN DESAIN CYBERNETICS DALAM

PERANCANGAN RUANG TERAPI KHUSUS AUTIS

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 1 Mei 2013


(4)

Judul Tesis : PENDEKATAN DESAIN CYBERNETIC PADA PERANCANGAN RUANG TERAPI KHUSUS AUTIS

Nama : LIZA TIFANNI ZUHRA

Nomor Pokok : 107020019

Program Studi : MAGISTER TEKNIK ARSITEKTUR

Bidang Kekhususan : ALUR PENDIDIKAN PROFESI ARSITEK (PPAr)

Menyetujui, Komisi Pembimbing,

(Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc) (Wahyuni Zahrah, ST, MS

Ketua Anggota

)

Ketua Program Studi,

(Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia M.Sc)

Tanggal Lulus : 13 Mei 2013

Dekan,


(5)

Telah diuji pada Tanggal: 13 Mei 2013

Panitia Penguji Tesis

Ketua Komisi Penguji : Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc Anggota Komisi : 1. Wahyuni Zahrah, ST, MS

2. Beny OY Marpaung ST, MT, PhD 3. Ir. N. Vinky. Rahman, MT


(6)

ABSTRAK

Sistem pendekatan desain lingkungan cybernetics adalah sebuah pendekatan desain dalam arsitektur perilaku yang menekankan perlunya mempertimbangkan kualitas lingkungan yang dihayati oleh pengguna dan pengaruhnya bagi pengguna lingkungan tersebut. Pendekatan ini secara holistik mengaitkan berbagai fenomena yang mempengaruhi hubungan antara manusia dan lingkungannya, termasuk lingkungan fisik dan sosial.

Autis/autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Autis diklasifikasikan sebagai ketidaknormalan perkembangan neuro yang menyebabkan interaksi sosial, kemampuan komunikasi, pola kesukaan, dan pola sikap yang tidak normal sebagai karakteristik mereka. Selain tidak mampu bersosialisasi, anak penyandang autis juga tidak dapat mengendalikan emosinya. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitif, aktivitas dan minat yang obsesif.

Dalam perancangan ruang terapi khusus autis, diperlukan suatu proses desain yang mengutamakan perilaku anak autis tersebut dalam beraktivitas di dalamnya. Fokus penelitian membahas proses perancangan ruang terapi autis dengan menggunakan pendekatan desain cybernetic yang akan menghasilkan kriteria desain dan dapat diterapkan dalam perancangan ruang terapi tersebut.

Kata Kunci: Pendekatan Desain Cybernetic, Ruang Terapi Autis, Arsitektur Perilaku.


(7)

ABSTRACT

Cybernetic environment design approaching system is one of design approaching system in behavior architecture which considers in environmental quality needs in order to be internalized by users and affects for the environment users. This approaching system holistically connects various phenomenon that affects the relationship between people and their environment, including physical dan social environment.

Autism is a condition of people since they were born or at toddler age, which make them not able to built social connection or normal communication. Autisms are classified as abnormal neurotic development that cause abnormal social interaction, communication abilities, favorite pattern, dan attitude pattern as their characteristics. Besides the inability to socialize, autisms also can not control their emotions. So, those kids are isolated from other people and got in to a repetitive world, obsessive activities and interests.

In order to design a therapy room for autsm, it needs a design process that have the priorities on autism behavior . The research is focused on th design process of therapy room for autism which uses cybernetic design approaching system in order to create design criteria dan can be applied on the design of the therapy room.

Keywords: Cybernetic Design Approaching System, Therapy Room For Autism, Behavior Architecture.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah menjadi sumber kekuatan, inspirasi dan ridhaNya selama berlangsungnya pengerjaan tesis ini. Tesis ini mengambil judul Pendekatan Desain Cybernetic pada Perancangan Ruang Terapi khusus Autis.

Pada kesempatan ini, dengan tulus dan kerendahan hati, Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih serta penghargaan sebesar-besarnya kepada orang tua tercinta, Babah H. Didi Duharsa SH, M.Hum, Ibu Mulia Sri Dewi, atas segala doa, dukungan, kesabaran dan segala pengorbanannya selama ini.

Tesis ini merupakan syarat yang diwajibkan bagi mahasiswa untuk memperoleh gelar Magister Teknik.

Rasa hormat dan terima kasih yang sama juga Penulis tujukan kepada Ibu Dr. Ir. Dwira N. Aulia, M.Sc

Kepada pihak Pusat Terapi Autis Yayasan Tali Kasih dan Aliva Consultant yang telah meluangkan waktu untuk Penulis sehingga Penulis dapat melakukan survey dan wawancara kepada pengelola gedung. Kepada pihak yang sangat

, Ketua Program Studi Magister Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara sekaligus Pembimbing Tesis dan Ibu Wahyuni Zahrah, ST, MS sebagai Pembimbing Tesis, atas kesediaannya membimbing, memberikan motivasi, pengarahan dan waktu beliau kepada Penulis sehingga Penulis dapat menyelesaikan tesis ini, serta Bapak dan Ibu dosen staff pengajar dan pegawai Program Studi Magister Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.


(9)

mendukung Penulis dalam pengerjaan tesis, adik tercinta, Filza Aldina Humaira, teman seperjuang Novi dan Zhilli yang selalu memberi dukungan serta membantu Penulis dengan penuh perhatian. Terima kasih banyak atas bantuannya selama ini. Kiranya Allah SWT memberikan dan melimpahkan kasih dan anugerah-Nya bagi mereka atas segala yang telah diperbuat untuk Penulis.

Penulis sungguh menyadari bahwa tesis ini mungkin masih mempunyai banyak kekurangan. Karena itu Penulis membuka diri terhadap kritikan dan saran bagi penyempurnaan tesis ini. Dan, akhirnya Penulis berharap tulisan ini memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di lingkungan Program Studi Magister Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.

Medan, 13 Mei 2013 Penulis


(10)

RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi

Nama : Liza Tifanni Zuhra Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 28 Mei 1989

Alamat : Komplek Citra Wisata blok XIV no 37, Jl. Karya Wisata Medan.

Pendidikan

SD Swasta Harapan-1 Medan Medan, tahun 1994 SLTP Swasta Harapan-1Medan , tahun 2000 SMA Negeri-1 Medan, tahun 2003


(11)

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRAK ………... i

ABSTRACT ………. ii

KATA PENGANTAR ……….. iii

RIWAYAT HIDUP ……… v

DAFTAR ISI ……….… vi

DAFTAR GAMBAR ……….… x

DAFTAR TABEL ………..….. xv

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Alasan Pemilihan Topik Permasalahan ... 4

1.3 Perumusan Masalah ... 4

1.4 Tujuan ... 5

1.5 Manfaat ... 5

1.6 Keluaran ... 6

1.7 Metodologi ... 6

1.7.1 Metode cybernetic………..………...……. 6

1.8 Kerangka Berpikir ... 10


(12)

BAB II DESKRIPSI TEMA ... 14

2.1 Pendekatan Desain Cybernetics ... 14

2.1.1 Kerangka Cybernetic ... 16

2.1.2 Metodologi desain Cybernetics ... 18

2.2 Elaborasi Tema ... 21

2.3 Studi Banding Tematik ... 25

2.3.1 Els Colors Kindergarten ... 25

2.3.2 Kindergarten by Cercadelcielo... 30

BAB III PENERAPAN TEMA KE DALAM KASUS PROYEK ... 33

3.1 Deskripsi Proyek ... 33

3.1.1 Lokasi Tapak ………... 33

3.1.2 Analisa Tapak ………... 34

3.1.3 Analisa Sirkulasi dan Pencapaian ……… 34

3.1.4 Analisa Lingkungan Sekitar ……… 35

3.1.5 Analisa Kebisingan ……….. 35

3.1.6 Analisa View ………... 36

3.2. Studi Banding Kasus Proyek Sejenis ... 36

3.2.1 Fawood Children’s Center London, Inggris ... 36

3.2.2 Toyama Children Center ... 40

3.3 Relevansi Tema Terhadap Kasus Proyek ... 41

3.3.1 Studi sindrom gangguan autis ... 41

3.3.2 Jenis-jenis terapi autis ………... 46

3.3.3 Kriteria perancangan ruang terapi autis ………... 50

3.4 Eksplorasi Penerapan Tema ke Dalam Kasus Proyek ... 60

3.4.1 Pemetaan perilaku dalam pusat terapi khusus autis ... 60

3.4.2 Elemen-elemen pendekatan desain Cybernetic ... 64

3.4.3 Proses desain ruang terapi autis melalui pendekatan Cybernetic………... 65


(13)

BAB IV KONSEP PERANCANGAN FISIK ... 70

4.1 Konsep Ruang Terapi One-On-One ... 70

4.2 Konsep Ruang Terapi Bermain ... 74

4.3 Konsep Ruang Terapi Sosial ... 77

4.4 Konsep Ruang Terapi Fisik ... 81

BAB V RUMUSAN KRITERIA PERANCANGAN FISIK ... 83

5.1 Kriteria Perancangan Ruang Terapi One-on-One ……….... 83

5.1.1 Kebutuhan ruang ………... 83

5.1.2 Bentuk dan dimensi perabotan ………..………… 83

5.1.3 Pencahayaan ruang ……….………...…… 84

5.1.4 Penggunaan warna dan material di ruangan …...…………...…… 84

5.1.5 Posisi ruang dalam bangunan ……… 86

5.2 Kriteria Perancangan Ruang Terapi Bermain ……… 87

5.2.1 Kebutuhan ruang ………..…. 87

5.2.2 Bentuk dan dimensi perabot ………... 88

5.2.3 Pencahayaan ruang ……….... 90

5.2.4 Penggunaan warna dan material ………... 91

5.2.5 Posisi Ruangan dalam Bangunan ……….... 93

5.3 Kriteria Perancangan Ruang Terapi Sosial …...……….… 94

5.3.1 Kebutuhan ruang ……….………..… 94

5.3.2 Bentuk dan dimensi perabot ………..… 94

5.3.3 Pencahayaan ruang ………...…. 95

5.3.4 Penggunaan warna dan material …………...………. 95

5.3.5 Posisi ruang dalam bangunan ……… 97


(14)

5.4.1 Kebutuhan ruang ……….………..… 98

5.4.2 Bentuk dan dimensi perabot ………..… 98

5.4.3 Pencahayaan ruang ………..… 100

5.4.4 Penggunaan warna dan material ……….. 100

5.2.5 Posisi Ruangan dalam Bangunan ……… 101

BAB VI PENERAPAN KRITERIA PERENCANAAN DAN PERANCANGAN FISIK ... 103

6.1 Hasil Perancangan ….……… 103

6.1.1 Ruang terapi one-on-one ………..……..….. 104

6.1.2 Ruang terapi bermain …...………..……….. 105

6.1.3 Ruang terapi sosial ………...………..….. 107

6.1.4 Ruang terapi fisik ……….……… 108

6.2 Penerapan Kriteria Perancangan …….………...…...… 109

6.2.1 Ruang terapi one-on-one ………..……….... 109

6.2.2 Ruang terapi bermain ………...……… 111

6.2.3 Ruang terapi sosial ………...……… 115

6.2.4 Ruang terapi fisik ……….... 118

BAB VII EVALUASI AKHIR ………..……… 121

7.1 Evaluasi Akhir……… 121

7.2 Rekomendasi ………..122


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Hal

1.1 Analisa Data Teoritis ………..…… 9

1.2 Kerangka Berpikir ... 11

2.1 Proses Mendesain pada Pendekatan Cybernetics ... 15

2.2 Proses Mendesain pada Pendekatan Cybernetics secara Spesifik ………...………... 19

2.3 Proses Feedback Rancangan pada Pendekatan Cybernetics ... 21

2.4 Proses Pengerjaan Rancangan Metodologi pada Pendekatan Cybernetics... 22

2.5 Els Colors Kindergarten ... 25

2.6 Suasana Interior Els Colors Kindergarten ... 26

2.7 Suasana Interior Els Colors Kindergarten ... 27

2.8 Denah Els Colors Kindergarten ... 28

2.9 Tampak Els Colors Kindergarten ... 28

2.10 Potongan Els Colors Kindergarten ... 29

2.11 Jalur Sirkulasi ... 29

2.12 Diagram Skematik Proses Desain Tk Els Colors Kindergarten dengan Pendekatan Desain Cybernetics ... 30

2.13 Kindergarten by Cercadelcielo ... 31

2.14 Interior Kelas Kindergarten by Cercadelcielo ... 31

2.15 Suasana Koridor dan Kamar Mandi Kindergarten by Cercadelcielo ... 31


(16)

2.17 Diagram Skematik Proses Desain Kindergarten by Cercadelcielo

dengan Pendekatan Desain Cybernetics ... 32

3.1 Lokasi Tapak ………. 34

3.2 Analisa View ………. 35

3.3 Eksterior Bangunan Fawood Children’s Center London, Inggris …... 37

3.4 Eksterior Bangunan Fawood Children’s Center London, Inggris …...…. 37

3.5 Interior Bangunan Fawood Children’s Center London, Inggris …...…... 37

3.6 Ground Plan Fawood Children’s Center London, Inggris ... 38

3.7 Denah Lantai 2 Fawood Children’s Center London, Inggris ... 38

3.8 Potongan Fawood Children’s Center London, Inggris ... 39

3.9 Toyama Children Center ... 40

3.10 Terapi Wicara ... 46

3.11 Terapi Okupasi ... 47

3.12 Terapi Sosial ... 47

3.13 Terapi Bermain ... 48

3.14 Terapi Perilaku ... 48

3.15 Penggunaan Sudut Ruang untuk Imajinasi Anak …….……… 51

3.16 Penggunaan Pencahayaan Tidak Langsung ………..………..…….. 52

3.17 Ruang dengan Furniture Lembut ………... 53

3.18 Sudut Aktivitas yang Menyediakan Karya-Karya Kerajinan Anak …..… 54

3.19 Transparansi pada Pintu sebagai Lubang Intip ………….……… 54


(17)

3.21 Ruang Kelas Imajinatif ……….………. 56

3.22 Ruang Terapi ……….… 60

3.23 Ruang Tunggu dan Area Resepsionis ……….. 61

3.24 Ruang Fisioterapi ……….. 61

3.25 Area Sosialisasi ………….……… 61

3.26 Dapur ………..………... 61

3.27 Pemetaan Perilaku Terapis ……….………... 62

3.28 Pemetaan Perilaku Murid Terapi ……….……… 63

3.29 Diagram Kegiatan Murid Terapi ……….……… 63

3.30 Diagram Kegiatan Perilaku Terapis ……..……… 64

4.1 Konsep Pola Orientasi Ruang Terpusat ……… 70

4.2 Konsep Layout Meja dan Kursi dalam Ruangan …..……… 71

4.3 Konsep Sirkulasi pada Ruang ……...……… 71

4.4 Konsep Bukaan dan Pencahayaan pada Ruang ………….……… 72

4.5 Contoh Bentuk Meja yang Tidak Tajam ………...………..….. 72

4.6 Contoh Warna Pastel …………..………... 73

4.7 Konsep Penggunaan Material Akustik pada Ruang ……….. 73

4.8 Konsep Pembagian Zoning Area Ruang Bermain ………...………. 74

4.9 Konsep Bukaan dan Pencahayaan …...……….. 75

4.10 Beanbag, Sofa dan Permainan-Permainan Puzzle ………. 75

4.11 Ruang Kelas Inajinatif …………...……… 76


(18)

4.13 Contoh Warna Pastel ………. 77

4.14 Konsep Pola Orientasi Ruang Terpusat ………….………... 77

4.15 Konsep Kebutuhan Kursi dan Meja pada Ruang ………..………… 78

4.16 Konsep Pencahayaan dalam Ruang ………... 78

4.17 Layout Perletakan Kursi dan Meja dalam Ruang ………... 79

4.18 Konsep Sirkulasi dalam Ruang …….……… 79

4.19 Contoh Penggunaan Perabot dalam Ruang …….……….. 80

4.20 Contoh Warna Pastel ………. 80

4.21 Konsep Bukaan dan Pencahayaan ………….……… 81

4.22 Peralatan Fisioterapi ………….………. 81

4.23 Transparansi pada Dinding Ruang Sehingga Anak Merasa Diawasi …… 82

4.24 Contoh Warna Pastel ………. 82

5.1 Dimensi dan Bentuk Meja ……….. 83

5.2 Dimensi dan Bentuk Bangku ……...………..………… 84

5.3 Material Vinyl untuk Lantai dan Contoh Pemakaian Pada Lantai ……… 85

5.4 Material Foam yang Dilapisi Kulit untuk Dinding ……...……… 86

5.5 Pilihan Warna untuk Dinding ………..………..……… 86

5.6 Posisi Ruangan Jauh dari Pusat Kebisingan ……… 87

5.7 Sirkulasi Antar Ruang Berbentuk Linier ………... 87

5.8 Bentuk dan Dimensi Set Permainan Anak ………...………. 88

5.9 Bentuk dan Dimensi Meja Aktivitas …...……….. 89


(19)

5.11 Bentuk dan Dimensi Single Sofa …..……… 89

5.12 Bentuk dan Dimensi Meja ………….……… 90

5.13 Bentuk dan Dimensi Kursi ………..……….. 90

5.14 Material Vinyl untuk Lantai dan Contoh Pemakaian Pada Lantai ……… 91

5.15 Material Busa untuk Lantai dan Contoh Pemakaian Pada Lantai …..…... 91

5.16 Pilihan Warna untuk Dinding ……… 92

5.17 Pilihan Wallpaper/Wallsticker untuk Dinding ……….………. 92

5.18 Posisi Bukaan untuk Memasukkan Pencahayaan Alami ……… 93

5.19 Sirkulasi Antar Ruang Berbentuk Linier ………... 93

5.20 Bentuk dan Dimensi Beanbag ………..…. 94

5.21 Bentuk dan Dimensi Bangku ………...…… 94

5.22 Material Vinyl untuk Lantai ………..……. 95

5.23 Material Karpet untuk Lantai …….………..…. 95

5.24 Material Foam yang Dilapisi Kulit untuk Dinding Akustik ……..…..…. 96

5.25 Pilihan Warna Biru Pastel untuk Dinding ………...………..… 96

5.26 Posisi Ruangan Jauh dari Pusat Kebisingan ……….. 97

5.27 Sirkulasi Antar Ruang Berbentuk Linier ………... 97

5.28 Bentuk dan Dimensi Alat Latihan Jalan Miring …………..…………..… 98

5.29 Bentuk dan Dimensi Alat Latihan Jalan Lurus …………...…………..… 98

5.30 Bentuk dan Dimensi Alat Panjat …...………..….. 99

5.31 Bentuk dan Dimensi Bangku Bench ………...………..…. 99


(20)

5.33 Pilihan Material Vinyl untuk Lantai ………...………..…... 100

5.34 Pilihan Warna Kuning Pastel untuk Dinding ……… 101

5.35 Posisi Bukaan untuk Memasukkan Pencahayaan Alami ……… 102

5.36 Sirkulasi Antar Ruang Berbentuk Linier ……… 102

6.1 Ground Plan ………. 103

6.2 Denah Ruang Terapi One-On-One …….………. 104

6.3 Potongan Ruang Terapi One-On-One ……….……… 104

6.4 Suasana Ruang Terapi One-On-One ………... 105

6.5 Denah Ruang Terapi Bermain ………. 105

6.6 Potongan Ruang Terapi Bermain ……… 106

6.7 Suasana Ruang Terapi Bermain ………..……… 106

6.8 Denah Ruang Terapi Sosial ………....………. 107

6.9 Suasana Ruang Terapi Sosial …………..……… 107

6.10 Denah Ruang Terapi Fisik ………...… 108

6.11 Suasana Ruang Terapi Fisik ………..……….. 108

6.12 Penerapan Layout Perabot dan Sirkulasi dalam Ruang ……….……….. 109

6.13 Penggunaan Indirect Lighting pada Ruang Terapi One-on-One …...…. 110

6.14 Penggunaan Material dan Warna pada Ruang Terapi One-on-One…… 111

6.15 Pembagian Area pada Ruang Terapi Bermain ……… 112

6.16 Bukaan-Bukaan pada Ruang Terapi Bermain ……….……… 113

6.17 Penggunaan Indirect Lighting pada Ruang Terapi Bermain …………... 113


(21)

6.19 Penggunaan Material dan Warna dinding pada Ruang Terapi Bermain.. 115 6.20 Penerapan Layout Perabot dan Sirkulasi dalam Ruang ..………. 116 6.21 Penggunaan Indirect Lighting pada Ruang Terapi Sosial ….………….. 116 6.22 Penggunaan Material dan Warna pada Ruang Terapi Sosial ………….. 117 6.23 Penerapan Layout Perabot dan Sirkulasi dalam Ruang …..………. 118 6.24 Bukaan-Bukaan pada Ruang Terapi Fisik ……….……….. 119 6.25 Penggunaan Indirect Lighting pada Ruang Terapi Fisik ………….…… 119 6.26 Penggunaan Warna dan Material dalam Ruang Terapi Fisik ………….. 120


(22)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Hal

1.1 Pembagian Jenis Data untuk Penelitian ... 8 3.1 Gejala-Gejala Autis ... 43 3.2 Tabel Proses Desain Perancangan Terapi Autis dengan

Pendekatan Cybernetics ... 66 5.1 Kriteria Luasan Ruang Terapi One-On-One ... 83

5.2 Kriteria Luasan Ruang Terapi Bermain ………...……….. 88 5.3 Kriteria Luasan Ruang Terapi Sosial ………..………. 94 5.4 Kriteria Luasan Ruang Terapi Fisik ………..……… 98


(23)

ABSTRAK

Sistem pendekatan desain lingkungan cybernetics adalah sebuah pendekatan desain dalam arsitektur perilaku yang menekankan perlunya mempertimbangkan kualitas lingkungan yang dihayati oleh pengguna dan pengaruhnya bagi pengguna lingkungan tersebut. Pendekatan ini secara holistik mengaitkan berbagai fenomena yang mempengaruhi hubungan antara manusia dan lingkungannya, termasuk lingkungan fisik dan sosial.

Autis/autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Autis diklasifikasikan sebagai ketidaknormalan perkembangan neuro yang menyebabkan interaksi sosial, kemampuan komunikasi, pola kesukaan, dan pola sikap yang tidak normal sebagai karakteristik mereka. Selain tidak mampu bersosialisasi, anak penyandang autis juga tidak dapat mengendalikan emosinya. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitif, aktivitas dan minat yang obsesif.

Dalam perancangan ruang terapi khusus autis, diperlukan suatu proses desain yang mengutamakan perilaku anak autis tersebut dalam beraktivitas di dalamnya. Fokus penelitian membahas proses perancangan ruang terapi autis dengan menggunakan pendekatan desain cybernetic yang akan menghasilkan kriteria desain dan dapat diterapkan dalam perancangan ruang terapi tersebut.

Kata Kunci: Pendekatan Desain Cybernetic, Ruang Terapi Autis, Arsitektur Perilaku.


(24)

ABSTRACT

Cybernetic environment design approaching system is one of design approaching system in behavior architecture which considers in environmental quality needs in order to be internalized by users and affects for the environment users. This approaching system holistically connects various phenomenon that affects the relationship between people and their environment, including physical dan social environment.

Autism is a condition of people since they were born or at toddler age, which make them not able to built social connection or normal communication. Autisms are classified as abnormal neurotic development that cause abnormal social interaction, communication abilities, favorite pattern, dan attitude pattern as their characteristics. Besides the inability to socialize, autisms also can not control their emotions. So, those kids are isolated from other people and got in to a repetitive world, obsessive activities and interests.

In order to design a therapy room for autsm, it needs a design process that have the priorities on autism behavior . The research is focused on th design process of therapy room for autism which uses cybernetic design approaching system in order to create design criteria dan can be applied on the design of the therapy room.

Keywords: Cybernetic Design Approaching System, Therapy Room For Autism, Behavior Architecture.


(25)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sistem pendekatan desain lingkungan cybernetics adalah sebuah pendekatan desain dalam arsitektur perilaku yang menekankan perlunya mempertimbangkan kualitas lingkungan yang dihayati oleh pengguna dan pengaruhnya bagi pengguna lingkungan tersebut. Pendekatan ini secara holistik mengaitkan berbagai fenomena yang mempengaruhi hubungan antara manusia dan lingkungannya, termasuk lingkungan fisik dan sosial. Seperti halnya makhluk hidup lain, manusia mencari keseimbangan dalam lingkungan yang dinamis dan selalu berubah-ubah.

Cybernetics memberikan penekanan yang lebih besar pada pandangan fungsional, dinamis dan teleconomic sistem daripada ke tampilan fisik, struktural dan topologi. Dengan demikian, deskripsi cybernetic sistem fokus pada peran yang berbeda yang harus datang bersama-sama dan pertukaran informasi untuk memungkinkan regulasi dan koordinasi terhadap tujuan tertentu, pada bagian-bagian dari sistem dan hubungan struktural antara mereka. Namun perspektif ini saling melengkapi, karena fungsi harus diwujudkan dalam dunia nyata. Arus informasi tidak dapat terjadi antara dunia nyata elemen sistem seperti orang kecuali "saluran fisik" yang memungkinkan arus informasi menghubungkan mereka.


(26)

Autis/autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Autis diklasifikasikan sebagai ketidaknormalan perkembangan neuro yang menyebabkan interaksi sosial, kemampuan komunikasi, pola kesukaan, dan pola sikap yang tidak normal sebagai karakteristik mereka. Selain tidak mampu bersosialisasi, anak penyandang autis juga tidak dapat mengendalikan emosinya. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitif, aktivitas dan minat yang obsesif.

Jumlah kasus autisme mengalami peningkatan yang signifikan. Jika tahun 2008 rasio anak autis 1 dari 100 anak, maka di 2012 terjadi peningkatan yang cukup memprihatinkan dengan jumlah rasio 1 dari 88 orang anak saat ini mengalami autisme. Berdasarkan data di Poliklinik Jiwa Anak Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada 1989 tercatat hanya 2 pasien autisme. Pada 2000, meningkat menjadi 103 anak. Di RSUD Soetomo Surabaya, pada 1997 jumlahnya meningkat drastis sampai 20 anak per tahun, dari hanya 2-3 orang anak di tahun-tahun sebelumnya. Data yang diungkapkan oleh ahli autisme di Indonesia, pada tahun-tahun 80-an pasien autis masih sangat jarang tapi memasuki tahun 90-an kasus autisme mulai muncul 1-2 pasien baru setiap harinya dan terus meningkat jumlahnya hingga 4-5 pasien baru di tahun 2000. Jumlah tersebut belum dapat disebut angka pasti karena jumlah pengidap autisme yang tidak terdeteksi bisa jadi lebih banyak lagi, akibat ketidaktahuan masyarakat mengenai gangguan perkembangan ini serta biaya


(27)

diagnosa autisme yang memang relatif mahal. Di Medan sendiri, Pusat Penanganan Autis Terpadu Yayasan Ananda Karsa Mandiri (Yakari), Juni Wati Rusly mengatakan penanganan anak penyandang autis mencapai 500 orang sejak berdirinya Yakari tahun 2000. Namun pemerintah setempat khususnya Dinas Pendidikan Kota Medan maupun provinsi belum ada perhatian kepada anak penyandang autis yang ada di kota Medan.

Pada tahun 2011 terdapat wacana yang dikemukakan oleh pemerintah bahwa telah direncanakan pembangunan pusat terapi autis di Sumatera Utara dengan anggaran biaya sebesar Rp. 5 Milyar yang disampaikan oleh Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Utara, Drs. H Syaiful Safri MM .

Pendekatan desain cybernetic dianggap sangat cocok dengan perancangan ruang terapi khusus autis karena pendekatan desain tersebut berasal dari tema arsitektur perilaku yang mana mengangkat perilaku para penyandang autis untuk menciptakan ruangan-ruangan yang sesuai dengan kebutuhan dan kenyamanan anak-anak autis tersebut.

Rencana Kemediknas RI itu berawal dari permintaan sejumlah komunitas autis di Sumut. Sebenarnya, sudah ada sembilan sekolah luar biasa (SLB) di Sumut yang juga diperuntukkan bagi anak autis. Namun ternyata penderita autis tidak mau disamakan dengan SLB.


(28)

1.2Alasan Pemilihan Topik Permasalahan

Masyarakat Indonesia sebenarnya telah memiliki perhatian khusus kepada anak autis ditandai dengan telah berdirinya pusat-pusat terapi khusus autis di beberapa kota besar di Indonesia, termasuk di kota Medan. Terdapat 113 pusat terapi khusus autis yang tersebar di Indonesia, diantaranya terdapat 6 pusat terapi yang menangani penderita autis di Medan. Akan tetapi, dari enam pusat terapi tersebut hanya dua pusat terapi yang menkhususkan kepada penderita autis dan belum ada satu pusat pun terapi pun yang menerapkan arsitektur perilaku dalam ruang terapi. Aksitektur perilaku sangat berperan untuk dapat menghasilkan desain yang baik dan sesuai dengan perilaku para anak penyandang autis yang akan mendapatkan terapi di pusat terapi tersebut. Dalam merancang ruang tersebut, diperlukan metoda pendekatan desain berupa pendekatan desain cybernetic. Maka dari itu, tesis ini akan membahas tentang penerapan arsitektur perilaku dengan metoda pendekatan desain cybernetic dalam perancangan pusat terapi khusus autis di kota Medan.

1.3Perumusan Masalah

Adapun masalah-masalah yang dihadapi adalah:

a. Bagaimana menganalisa permasalahan perilaku di lingkungan ruang terapi khusus autis.

b. Bagaimana menghasilkan konsep dan kriteria desain ruang terapi dengan metoda pendekatan desain cybernetic.


(29)

c. Bagaiamana penerapan konsep dan kriteria yang telah dihasilkan dalam perancangan ruang terapi khusus autis.

1.4Tujuan

Adapun tujuan dari penerapan arsitektur perilaku dalam perancangan pusat terapi khusus autis ini adalah:

a. Menganalisa permasalahan perilaku di lingkungan ruang terapi khusus autis, b. Membuat konsep dan criteria desain ruang terapi khusus autis dengan

metoda pendekatan desain cybernetic.

c. Menghasilkan rancangan yang sesuai dengan kriteria desain.

1.5Manfaat

Manfaat yang akan didapatkan dalam penerapan arsitektur perilaku dalam perancangan pusat terapi khusus autis ini adalah:

a. Memberikan panduan atau contoh kepada masyarakat tentang bagaimana merencanakan ruang-ruang terapi khusus autis yang sesuai dengan perilaku para penyandang autis.

b. Memberikan kontribusi untuk pemerintah dalam hal menciptakan pedoman perancangan untuk ruang terapi khusus autis.


(30)

1.6Keluaran

Bentuk keluaran dari kegiatan pendekatan desain cybernetic dalam perancangan ruang terapi khusus autis ini adalah menghasilkan konsep dan perancangan sebuah ruang terapi khusus untuk penyandang autis dengan proses pendekatan desain cybernetic dengan mempertimbangkan perilaku manusia yang terlibat di dalamnya.

1.7Metodologi

Untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang akan dihadapi dalam proses penerapan arsitektur perilaku dalam perancangan pusat terapi khusus autis ini dilakukan pendekatan desain cybernetics dengan cara dibuat evaluasi perbandingan antara apa yang dihayati atau dialami pengguna dengan apa yang menjadi kriteria kinerja yang diinginkan atau yang menjadi sasaran klien ataupun yang disusun secara eksplisit oleh arsitek. Tahap-tahap yang dilalui adalah sebagai berikut:

1.7.1 Metode Cybernetic

Proses perancangan Ruang Terapi Khusus Autis memiliki beberapa tahapan seperti tahap pengumpulan masalah, menganalisa masalah, mencari solusi dan pemecahan dari masalah yang ada, menghasilkan konsep desain sesuai solusi yang ada, dan akhirnya mengkaji desain apakah sesuai dengan keinginan klien.

a. Pengumpulan masalah.


(31)

1. Survey dan Pemetaan Perilaku.

Proses yang dilakukan adalah dengan mencatat pola aktifitas perilaku para penghuni di pusat terapi autis yang sudah ada Proses ini dilakukan dengan cara survey lansung ke sebuah tempat terapi autis di Medan. Pemetaan perilaku dilakukan di saat sesi terapi dan setelah sesi terapi dilakukan. Yang perlu diamati adalah bagaimana sifat anak autis yang berada dalam linkungan sosial seperti di pusat terapi; tingkah pola mereka, kebiasaan mereka, dan bagaimana usaha mereka dalam menunjukkan jati diri mereka. Dengan adanya survey dan pemetaan perilaku tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana merancang sebuah terapi autis yang baik.

2. Wawancara.

Wawancara yang dilakukan kepada para pihak yang terkait dalam sebuah tempat terapi anak autis tersebut, yaitu pemilik yayasan, para terapis, psikolog, dokter, dan orang tua murid. Pertanyaan-pertanyaan bisa berupa apa yang dirasakan, apa yang dipikirkan, apa yang dilakukan, apa yang diketahui dan apa yang diharapkan.

3. Kuesioner.

Kuesioner diambil untuk mengetahui evaluasi desain dan untuk mengetahui harapan pengguna di masa yang akan datang.


(32)

Berikut merupakan susunan data yang dibutuhkan, disusun dalam bentuk Tabel 1.1:

Data Teoritis Data Fisik

1. Pendekatan desain cyb a.

ernetic. Pengertian cyb

b.

ernetic.

Teori pendekatan desain cyb

c.

ernetic.

Elaborasi tema pendekatan desain cybernetic.

a.

2. Teori autisme. b.

Pengertian autisme. c.

Kriteria perilaku anak autisme. d.

Jenis terapi autisme.

Eksplorasi teori autisme terhadap arsitektur perilaku.

a. 1. Data Site.

b. Lokasi. c. Luas site. d. Batas-batas site. e. Pencapaian site. Peraturan daerah. a.

2. Data studi banding proyek sejenis. b. Lokasi. c. Luas site. d. Data bangunan.

Sistem dan organisasi yang diterapkan.

Sumber: Olah data, 2012

b. Analisa Permasalahan.

Analisa dilakukan pada pusat terapi khusus autis yang telah ada sebagai landasan perancangan pusat terapi khusus autis yang sesuai dengan standar dan kebutuhan pengguna. Analisa ini untuk mengadopsi dan mempelajari pola perilaku yang mempengaruhi di dalam proses perancanannya, apa yang dapat dicontoh dan apa yang harus diperbaiki.

Hasil data yang telah dikumpulkan akan dianalisa sesuai dengan teori-teori arsitektur. Melalui analisis tersebut diperoleh potensi-potensi serta permasalahan yang terjadi dalam proses desain sehingga akan melahirkan konsep-konsep perancangan yang sesuai dengan tema arsitektur perilaku (Gambar 1.1).


(33)

Solusi permasalahan merupakan pedoman dalam menhasilkan konsep desain.

c. Kajian Konsep.

Kajian konsep berfungsi untuk melihat dari solusi permasalahan yan telah dianalisa dan melihat perbaikan dan penambahan apa saja yang harus dilakukan untuk penyempurnaan konsep. Kajian konsep tersebut meliputi beberapa variabel dalam konsep perancangan yang akan dihasilkan, yaitu:

1. Dimensi, proporsi, dan skala. 2. Sirkulasi ruang.

3. View dan Orientasi. 4. bukaan dan pencahayaan. 5. Material, warna dan tekstur.

Gambar 1.1 Analisa data teoritis Sumber: Hasil Analisa Masalah

perancanan

Solusi permasalahan

Teori Arsitektur Perilaku ANALISA


(34)

Kajian ini dapat berlangsung berulang kali untuk penyempurnaan menuju konsep akhir.

d. Keluaran Konsep Akhir dan Desain.

Konsep akhir merupakan konsep yang sudah disempurnakan dari kajian konsep awal. Di dalamnya telah dicantumkan variabel-variabel konsep perancangan yang dihasilkan. Konsep akhir yang diterapkan dalam desain dapat dikeluarkan setelah konsep dinilai cukup sempurna dan dipakai dalam mendesain proyek.

1.8Kerangka Berpikir

Kerangka dasar penelitian ini menggunakan definisi operasional pada dasarnya melekatkan arti pada suatu variabel dengan cara menetapkan kegiatan-kegiatan atau tindakan-tindakan yang perlu untuk mengukur variabel. Kerangka penelitian yang terdiri dari definisi operasional, indikator empiris, pengukuran, kerangka hubungan, penarikan sampel, metode pengumpulan data dan analisis data (Gambar 1.2).


(35)

Gambar 1.2 Kerangka Berpikir Sumber: Hasil analisa

PERMASALAHAN

• Bagaimana menganalisa permasalahan perilaku di lingkungan ruang terapi khusus autis

• Bagaimana menghasilkan konsep dan kriteria desain ruang terapi dengan metoda pendekatan desain cybernetic

• Bagaiamana penerapan konsep dan kriteria yang telah dihasilkan dalam perancangan ruang terapi khusus autis

LATAR BELAKANG KASUS

• Pendekatan desain cybernetic merupakan metoda proses desain dalam Arsitektur perilaku

• Pusat terapi autis yang membutuhkan pertimbangan perilaku manusia di dalamnya yang dikaji dengan pendekatan desain cybernetic

MAKSUD DAN TUJUAN

a. Menganalisa permasalahan perilaku di lingkungan ruang terapi khusus autis

b. Membuat konsep dan criteria desain ruang terapi khusus autis dengan metoda pendekatan desain cybernetic

c. Menghasilkan rancangan yang sesuai dengan kriteria desain

ANALISA MASALAH • Perilaku anak autis

• Solusi sesuai dengan teori arsitektur

PENGUMPULAN MASALAH •Dimensi, proporsi, dan

skala

•Sirkulasi ruang

•View dan Orientasi

•bukaan dan pencahayaan

•Material, dan warna

MODEL DESAIN • model-model solusi

desain dari masing-masing elemen perancangan

KONSEP DAN KRITERIA DESAIN

• Konsep perancanan desain yan merupakan kesimpulan dari analisa masalah dan model desain

• Rumusan kriteria dalam merancang fisik bangunan yang dalam hal ini adalah sebuah pusat terapi khusus autis

PENERAPAN KONSEP PADA DESAIN BANGUNAN

Mengacu kepada hasil analisa data teoritis dan hasil analisa data fisik hingga mendapatkan guidelines dalam mendesain, yang kemudian akan dikaji ulang hingga mengeluarkan konsep akhir desain.


(36)

1.9Sistematika Penulisan Tesis

Hasil-hasil dari pengamatan, yang akan disusun kedalam tahapan yang mana urutan satu dengan yang lain saling berkaitan, urutan tersebut adalah sebagai berikut:

BAB 1 PENDAHULUAN, berisi tentang latar belakang, alasan pemilihan topik permasalahan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat, metodologi dan sistematika penulisan tesis.

BAB 2 DESKRIPSI TEMA, menjelaskan pengertian dan elaborasi tema arsitektur perilaku untuk menyelesaikan perancangan pusat terapi khusus autis, disertai dengan contoh studi banding sesuai dengan tema tersebut.

BAB 3 PENERAPAN TEMA KE DALAM KASUS PROYEK, menjelaskan kasus proyek, studi banding kasus proyek sejenis, teori umum tentang autisme, dan proses pencapaian konsep dengan menggunakan metodologi cybernetic.

BAB 4 KONSEP PERANCANGAN FISIK, berisi tentang konsep-konsep perancangan proyek yang berkaitan dengan tema yang dipilih.

BAB 5 RUMUSAN KRITERIA PERANCANGAN FISIK, berisi tentang rumusan-rumusan dan criteria-kriteria dalam merancang fisik bangunan yang dalam hal ini adalah sebuah pusat terapi khusus autis.

BAB 6 PENERAPAN KRITERIA PERENCANAAN DAN PERANCANGAN FISIK, berisi tentang rencana dan rancangan skematik berupa dokumentasi tekstural,


(37)

peta, gambar, diagram, tabel, sketsa, maket studi, foto slide, dll. Selain itu, bab ini juga berisi model penerapan dan pengujian berupa presentasi akhir, peta, gambar terukur, diagram, tabel, sketsa suasana, maket studi, simulasi komputer, foto, slide, dll.

BAB 7 EVALUASI AKHIR DAN REKOMENDASI, berisi tentang evaluasi akhir dan rekomendasi terhadap desain akhir.

DAFTAR PUSTAKA, memuat perbendaharaan pustaka yang benar-benar diacu dalam tesis ini.

LAMPIRAN, berisi keterangan atau informasi yang diperlukan pada pelaksanaan kegiatan, misalnya rencana anggaran biaya, lembar kuesioner yang dipergunakan dalam penelitian, dan sifatnya hanya melengkapi proposal.


(38)

BAB 2

DESKRIPSI TEMA

2.1 Pendekatan Desain Cybernetics

Sistem pendekatan desain lingkungan cybernetics menekankan perlunya mempertimbangkan kualitas lingkungan yang dihayati oleh pengguna dan pengaruhnya bagi pengguna lingkungan tersebut. Pendekatan ini secara holistik mengaitkan berbagai fenomena yang mempengaruhi hubungan antara manusia dan lingkungannya, termasuk lingkungan fisik dan sosial. Seperti halnya makhluk hidup lain, manusia mencari keseimbangan dalam lingkungan yang dinamis dan selalu berubah-ubah itu.

Semua sistem cybernetic termasuk "fungsi kontrol" yang menjamin sistem tetap sedekat mungkin dengan beberapa keadaan yang diinginkan. Jika ada perbedaan antara negara-negara saat ini dan yang diinginkan, perilaku sistem dipengaruhi sesuai dengan nilai-nilai atau keinginan "controller". Ini interaksi internal yang dinamis memungkinkan sistem untuk membimbing dirinya sendiri terhadap negara yang diinginkan.

Cybernetics memberikan penekanan yang lebih besar pada pandangan fungsional, dinamis dan teleconomic sistem daripada ke tampilan fisik, struktural dan topologi. Dengan demikian, deskripsi cybernetic sistem fokus pada peran yang berbeda yang harus datang bersama-sama dan pertukaran informasi untuk


(39)

memungkinkan regulasi dan koordinasi terhadap tujuan tertentu, bukan pada bagian-bagian dari sistem dan hubungan struktural antara mereka. Namun perspektif ini saling melengkapi, karena fungsi harus diwujudkan dalam dunia nyata. Arus informasi tidak dapat terjadi antara dunia nyata elemen sistem seperti orang kecuali "saluran fisik" yang memungkinkan arus informasi menghubungkan mereka.

Merancang dapat dilihat sebagai sistem cybernetic. Peserta dalam proses desain dapat dilihat sebagai "pengendali". Mereka mengembangkan dan menggunakan metode dan model proses untuk memandu tanggapan mereka terhadap keadaan yang dirasakan, sehingga menjadi "aktuator" yang mempengaruhi proses sesuai dengan tujuan mereka (Gambar 2.1).

Desain lingkungan sibernetik ini dapat menjadi wahana untuk mengubah dampak negatif dari perencanaan lingkungan yang berwawasan sempit, menjadi lingkungan yang dapat mempunyai kualitas sebagai ruang tempat berhuni yang nyaman.

Gambar 2.1 Proses mendesain pada pendekatan cybernetics Sumber: A Cybernetic Perspective On Methods And Process Models In


(40)

2.1.1 Kerangka Cybernetic

Kerangka cybernetic akan menawarkan wawasan yang kuat tentang masalah kontrol dan komunikasi dalam situasi yang kompleks dan bantuan metodologis untuk mendukung kerja dari pemecahan masalah. Pemecahan masalah, seperti yang tersirat di atas, adalah penemuan dan produksi perubahan yang layak dan diinginkan untuk mencapai stabilitas dalam interaksi interpersonal. Stabilitas dirasakan oleh pengamat, tidak ada stabilitas obyektif dan independen dari pengamat tertentu. Secara metodologis, fokus ini menyoroti bahwa dalam pemecahan masalah adalah penting untuk menetapkan sudut pandang yang tepat dan sifat mekanisme komunikasi mereka. Cybernetics menawarkan kerangka konseptual yang kuat untuk tujuan tersebut.

Foerster, dalam buku Arsitektur dan Perilaku Manusia (2004),

Elemen-elemen yang terdapat dalam pendekatan desain cybernetics adalah: menjelaskan bahwa dalam sistem pendekatan sibernetik dibuat evaluasi perbandingan antara apa yang dihayati atau dialami pengguna dengan apa yang menjadi kriteria kinerja yang diinginkan atau yang menjadi sasaran klien ataupun yang disusun secara eksplisit oleh arsitek. Proses umpan balik cybernetics ini bertujuan memberi koreksi sebagai hasil evaluasi bagi perencanaan.

a. Keinginan klien, dikelompokkan ke dalam tiga tingkat kinerja sejalan dengan kebutuhan pengguna, yaitu tingkat kesehatan atau keselamatan dan


(41)

keamanan, tingkat fungsi dan efisiensi, dan tingkat kenyamanan dan kepuasan psikologis.

b. Setting, yaitu elemen-elemen yang termasuk dalam kerangka penghunian. c. Penghuni, dibedakan berdasarkan siklus kehidupan, misalnya anak-anak,

remaja, orang tua, atau penyandang cacat fisik dan cacat mental. Masing-masing kelompok mempunyai kebutuhan tersendiri.

d. Kebutuhan lain, seperti kebutuhan budaya dan adat.

Tujuan adanya elemen-elemen di atas adalah untuk mengetahui serinci mungkin kebutuhan lingkungan yang harus dipenuhi, yaitu dengan mengetahui bagaimana pribadi yang berbeda beraksi berbeda pula terhadap lingkungan yang beragam (misalnya perbedaan perilaku penghuni dan pengunjung sebuah sekolah terapi autis dengan sekolah biasa), bagaimana kombinasi tertentu antara individu dan setting-nya (misalnya siapa yang berkunjung ke sebuah sekolah terapi autis) berinteraksi menghasilkan berbagai pola perilaku tertentu. Hal-hal yang disebutkan di atas dapat dicapai dengan mengadakan survey langsung dan pemetaan perilaku pada sebuah pusat terapi autis yang telah ada di Medan. Pemetaan tersebut berisi perilaku para terapis, anak-anak, orang tua murid dan lain-lain pada saat berlangsungnya terapi dan sesudah terapi selesai.

Dengan demikian, kerangka penghunian ini dapat menghubungkan lingkungan fisik dengan manusia pengguna dan kebutuhannya secara lebih tepat atau lebih sesuai.


(42)

2.1.2 Metodologi Desain Cybernetics

Penekanan dari metodologi cybernetic dalam mekanisme komunikasi antara peserta dalam situasi masalah. Dikatakan bahwa mekanisme yang tidak memadai menyebabkan apresiasi memadai tentang situasi, dan bahwa perbaikan dalam situasi tergantung pada perubahan struktural.

Metodologi cybernetic menyoroti fakta bahwa penciptaan kegiatan manusia sangat dipengaruhi oleh mekanisme komunikasi yang mendasari interaksi individu. Pandangan cybernetic adalah bahwa individu dibatasi untuk derajat yang berbeda dengan struktur organisasi di mana mereka tertanam, dan karena itu, bahwa dengan perubahan dan modifikasi dalam struktur ini, adalah mungkin bagi mereka untuk mengembangkan apresiasi yang berbeda dari situasi masalah. Selain itu, sementara beberapa struktur dapat menghambat apresiasi mereka atau menghasilkan apresiasi yang buruk, orang lain mungkin melepaskan pandangan mereka dan membuat apresiasi lebih mungkin kaya situasi. Oleh karena itu, pendekatan cybernetic berpendapat bahwa pemecahan masalah yang efektif berarti penciptaan sebagai konteks organisasi yang efektif karena budaya layak (untuk menciptakan organisasi semacam itu harus mengakui kendala ditentukan oleh lingkungan budaya). Penjelasan dirangkum pada Gambar 2.2.


(43)

Pendekatan di atas menyiratkan mempelajari cybernetics dari situasi masalah, yaitu, mempelajari kontrol dan mekanisme komunikasi yang mendasari situasi. Penelitian ini dilakukan untuk organisasi-organisasi disebut sebagai relevan dengan situasi masalah. Hasil dari penelitian cybernetic adalah model mekanisme komunikasi dan kontrol seperti yang dirasakan di dunia nyata. Model ini kemudian dibandingkan dengan kriteria efektifitas. Ketidaksesuaian antara "model dunia nyata" dan "model yang efektif" mendefinisikan daerah yang mungkin untuk perbaikan. Dengan demikian, hasil dari kegiatan pemodelan merupakan masukan bagi perdebatan antara klien dalam situasi tersebut. Masukan ini ditujukan untuk mendukung penemuan perubahan yang diinginkan dan layak dalam situasi cybernetics, sehingga

Mencari tahu tentang situasi masalah Membuat struktur situasi masalah: menanalisa masalah Membentuk model yang relevan untuk masalah yan telah dianalisa Melakukan pendekatan cybernetic terhadap situasi masalah Membentuk kondisi-kondisi yang efektif untuk pemecahan masalah Mengatur proses dari pemecahan masalah

Gambar 2.2 Proses mendesain pada pendekatan cybernetics secara spesifik Sumber: A Cybernetic Methodology To Study And Design Human Activities, 1988


(44)

menciptakan kondisi untuk pemecahan masalah yang efektif. Tentu perubahan tersebut mempengaruhi situasi itu sendiri.

Sementara perbaikan cybernetic mungkin tidak berhubungan langsung dengan gejala tertentu dari situasi masalah, mereka dimaksudkan untuk menciptakan kondisi struktural untuk pemecahan masalah yang efektif, yaitu untuk apresiasi yang efektif dan tindakan. Mekanisme regulasi yang memadai mengurangi kemungkinan berurusan dengan masalah yang ditimbulkan diri. Hal ini dalam kondisi yang para peserta lebih cenderung untuk fokus pemecahan masalah mereka kemampuan dalam perbedaan asli di tujuan, nilai-nilai dan preferensi, bukan dalam konflik dipicu oleh buruknya proses komunikasi organisasi.

Model ini dapat berupa konseptual atau deskriptif dalam tujuan. Yang pertama menetapkan kegiatan logis disyaratkan oleh sistem pada tingkat abstrak, yang terakhir menetapkan kegiatan dunia nyata seperti yang dirasakan oleh seorang analis. Perbandingan dari kedua jenis model harus memungkinkan seseorang untuk mendeteksi daerah-daerah yang mungkin untuk perbaikan.

Yang terakhir, dan mungkin yang paling relevan dari kegiatan dalam pembelajaran (luar) loop metodologi adalah mengelola proses pemecahan masalah. Ini adalah pada tahap ini bahwa pengelolaan kompleksitas masalah yang terjadi. Perdebatan harus memungkinkan untuk membangun seperti apa perbaikan yang diinginkan, dan negosiasi politik harus memungkinkan untuk menetapkan kelayakan mereka. Sejak memproduksi "perubahan layak" akan membutuhkan kemungkinan besar kontribusi dari orang lain, keberhasilan dalam pemecahan masalah berkaitan


(45)

dengan keberhasilan dalam melaksanakan transformasi disepakati. Namun, sementara implementasi ini dapat difasilitasi oleh penggunaan yang efektif dari loop cybernetic, kemungkinan besar, akan menghasilkan masalah yang lembut kepada peserta lain yang beroperasi pada tingkat yang lebih tinggi dari resolusi, untuk siapa pendekatan metodologis yang sama mungkin sekarang berguna (Gambar 2.3).

2.2 Elaborasi Tema

Perspektif cybernetic diuraikan di atas dapat digunakan untuk menganalisa proses kolaboratif membangun dan menggunakan metode dan model proses untuk mengoperasikan atau memperbaiki proses desain. Bagian ini menyajikan hipotetis yang menggambarkan bagaimana lensa cybernetic dapat diadopsi untuk menggambarkan situasi yang sebenarnya dan wawasan apa yang dapat diperoleh.

Gambar 2.3 Proses feedback rancangan Pada Pendekatan Cybernetics Sumber: Arsitektur Manusia dan Perilaku, 2004


(46)

Tujuan keseluruhan dari proses desain adalah untuk mencapai tujuan tingkat tinggi umum menciptakan desain, dalam batasan kualitas tinggi, biaya rendah, waktu pengembangan produk yang rendah, dan sebagainya. Situasi ini digambarkan dalam Gambar 2.4.

Gambar 2.4 menunjukkan bagaimana tim desain, desainer/pemodel, dan model yang tertanam bersama-sama dalam sistem cybernetic, yaitu desain kolaboratif atau merancang. Sebuah model proses dan metode ekologi yang ada dalam sistem ini, dan mereka tersedia untuk digunakan untuk mengatur proses yang terjadi sebagai desain yang muncul. Sebagai masalah tertentu yang dihadapi (atau diharapkan tiba-tiba), proses yang dimulai untuk menyelesaikannya, dan model yang berbeda dan metode Gambar 2.4 Proses pengerjaan rancangan metodologi Pada Pendekatan Cybernetics Sumber: A Cybernetic Perspective On Methods And Process Models In Collaborative


(47)

dapat digunakan untuk mengatur proses-proses menuju tujuan mereka, dengan demikian seluruh sistem ke arah tujuan secara keseluruhan. Peserta proses dan model sendiri bertindak sebagai pembawa sifat cybernetic dibahas sebelumnya, misalnya, posisi individu dalam organisasi akan mempengaruhi kemungkinan aktuasi mereka, dan dengan demikian membatasi utilitas dari setiap sistem pemodelan di mana mereka berpartisipasi.

Salah satu situasi yang memerlukan regulasi adalah bahwa desain proses peserta harus bekerja sesuai dengan jaringan yang sering implisit, hubungan antara tujuan dan sub-tujuan, dan cara-cara yang diusulkan pertemuan mereka. Misalnya, satu tujuan mungkin untuk "mengidentifikasi kendala desain". Hal ini mungkin akan diikuti oleh "mengidentifikasi kerusakan sistem", dan akhirnya oleh "merancang subsistem dengan karakteristik kinerja tertentu dalam kendala desain tertentu". Tujuan-tujuan lain berhubungan dengan proses desain itu sendiri, yaitu, "menyelesaikan tugas tersebut dalam jangka waktu tertentu". Namun orang lain mungkin berhubungan dengan lingkungan perusahaan, seperti "membuat penggunaan efektif dari platform produk". Pada satu sisi, regulasi dapat dipandang sebagai suatu proses mencapai kesepakatan mengenai tujuan, memantau kemajuan, dan mengambil tindakan korektif ketika pemantauan mengungkapkan perlu. Tindakan korektif mungkin termasuk mengubah tujuan atau rencana untuk mengatasi mereka. Dalam kedua kasus ini kemungkinan akan melibatkan percakapan dan negosiasi di antara peserta proses.


(48)

Untuk memperjelas peran model proses dan metode dalam kegiatan peraturan, dapat membantu untuk membayangkan mereka menyediakan "teori tindakan" bahwa peserta proses digunakan untuk memandu tindakan mereka dalam desain itu sendiri dan, melalui kegiatan analisis menyadari itu tidak memenuhi tujuan kinerja mereka, mengambil tindakan untuk mengubahnya. Situasi ini bisa ditafsirkan sebagai cybernetic "penginderaan" informasi tentang kekurangan melalui kegiatan analisis, menafsirkan informasi ini baru diperoleh melalui model mengambil bentuk aturan mental yang praktis. Ini memungkinkan tindakan desain yang sesuai untuk dipilih untuk "mengatur" desain yang muncul sehubungan dengan tujuan tertentu. Aturan praktis sendiri bertanggung jawab untuk mengubah, karena mereka mungkin hanya memegang dalam konteks tertentu. Seiring waktu, aturan, atau interpretasi daripadanya, secara bertahap akan berkembang sebagai perancang belajar bagaimana membuat mereka lebih efektif melalui aplikasi berulang untuk berbagai masalah. Pendekatan yang terbukti berhasil akan dirinci dan lulus secara lisan kepada rekan-rekan atau mungkin dikodifikasi untuk membentuk dasar dari sebuah metode desain. Terlepas dari keberhasilan, seluruh pendekatan mungkin perlu mengubah jika tidak lagi cocok untuk konteks yang berubah. Misalnya, bahan baru atau alat desain mungkin berarti bahwa cara mapan melakukan hal-hal yang tidak berlaku lagi. Mengurangi berat badan mungkin menjadi kurang penting daripada meningkatkan siklus hidup biaya.


(49)

2.3 Studi Banding Tematik

2.3.1 Els Colors Kindergarten

Bangunan Els Colors Kindergarten (Gambar 2.5) berada di Manlleu, Barcelona, Spanyol , dirancang oleh RCR Arquitectes pada tahun 2002. Luas bangunan tersebut adalah 928 m2.

Konstruksi dari bangunan ini seperti sebuah permainan, dibentuk dari penjajaran dan superposisi dari bentuk-bentuk yang simpel. Komposisi bangunan terbentuk dari ukuran yang identik dari masing-masing bagian ruangan membentuk keseluruhan bangunan, dan identifikasi dari tiap ruangan berdasarkan warna (Gambar 2.6).

Gambar 2.5 Els Colors Kindergarten Sumber: Wiki Arquitectura, 2012


(50)

Persepsi spasial dari setiap anak berbeda; sudut pandang mereka cenderung lebih rendah dibanding orang dewasa, dan dengan mendongak, mereka mengumpulkan perspektif-perspektif yang berbeda yang memperbesar ukuran dari objek-objek disekitar mereka. Itulah mengapa di Els Colors Kindergarten terdapat dinding-dinding dengan ketinggian yang tidak biasa, yang mungkin akan terlihat aneh dan salah di mata orang dewasa, tetapi akan terlihat normal di mata anak-anak yang berada dalam gedung tersebut, yang mana anak-anak tersebut merupakan penilai dimana bangunan tersebut dapat berkomunikasi dengan baik atau tidak (Gambar 2.7).

Gambar 2.7 Suasana interior Els Colors Kindergarten Sumber: Wiki Arquitectura, 2012

Gambar 2.6 Suasana interior Els Colors Kindergarten Sumber: Wiki Arquitectura, 2012


(51)

Tujuan dari bangunan ini bukan untuk menyelesaikan masalah tentang kebutuhan orang tua akan sebuah tempat untuk dapat meninggalkan anak mereka selama satu jam. Akan tetapi, bangunan ini bertujuan untuk melengkapi kebutuhan anak untuk berinteraksi dengan anak lainnya dalam lingkungan mereka sendiri, tidak dengan orang tua mereka, di sebuah area penuh dengan pengetahuan, kesenangan, dan terjangkau bahkan untuk anak terkecil sekalipun.

Ruang-ruang kelas, ruang publik, dan kafetaria didistribusikan dalam dua bentuk persegi panjang, yang mana dihubungkan dengan jalur sirkulasi yang mana juga terhubung ke halaman dalam. Pada lantai satu terdapat pintu masuk utama dan area multifungsi. Dinding-dinding kaca berwarna merah, oranye, dan kuning memberikan atmosfir yang baik dimana imajinasi anak akan berkembang (Gambar 2.8, 2.9, 2.10 dan 2.11).

Gambar 2.8 Denah Els Colors Kindergarten Sumber: Wiki Arquitectura, 2012


(52)

Gambar 2.9 Tampak Els Colors Kindergarten Sumber: Wiki Arquitectura, 2012

Gambar 2.10 Potongan Els Colors Kindergarten Sumber: Wiki Arquitectura, 2012


(53)

Dalam pendekatan desain Cybernetics, dapat dilihat bahwa skema proses perancangan TK ini terlihat pada Gambar 2.12.

Gambar 2.11 Jalur sirkulasi Sumber: Wiki Arquitectura, 2012

Gambar 2.12 Diargam Skematik Proses Desain Els Colors Kindergarten Dengan Pendekatan Desain Cybernetics

Sumber: Hasil Analisa, 2012

Sasaran Klien: Taman Kanak-kanak Kriteria Kinerja: yang mewakili perspektif anak-anak Programmer/Desain: Mengeluarkan konsep-konsep yang berkaitan

dengan perilaku

Lingkungan binaan: aplikasi ke bangunan

dengan cara perancangan bentuk bangunan sederhana, dengan skala ruang dan

perabotan disesuaikan dengan skala anak-anak Ukuran Kinerja:

Evaluasi hasil perancangan apakah dapat memenuhi kriteria

kerja yang telah disebutkan.


(54)

2.3.3 Kindergarten by Cercadelcielo

Taman kanak-kanak ini didesain di Murcia, Spanyol. Bangunan sengaja didesain seperti ruang terbuka sehingga anak-anak dapat berlari dan bermain dengan bebas. Hanya terdapat tiga kotak febrikasi, semi transparan, dan melingkupi fungsi yang lebih spesifik, seperti dapur dan ruang istirahat (Gambar 2.13, 2.14, 2.15, dan 2.16).

Gambar 2.13 Kindergarten by Cercadelcielo

Sumbe

Gambar 2.14 Interior kelas Kindergarten by Cercadelcielo


(55)

Dalam pendekatan desain Cybernetics, dapat dilihat bahwa skema proses perancangan TK ini dapat dilihat pada Gambar 2.17.

Gambar 2.15 Suasana Koridor dan Kamar Mandi Kindergarten by Cercadelcielo

Sumbe

Gambar 2.16 Denah Kindergarten by Cercadelcielo


(56)

Sasaran Klien: Taman

Kanak-kanak

Kriteria Kinerja: membuat

anak-anak bebas bergerak

Programmer/Desain: Mengeluarkan konsep-konsep yang berkaitan dengan perilaku pengguna

Lingkungan binaan: aplikasi ke bangunan dengan cara perancangan

bentuk bangunan sederhana, tidak banyak perabotan, dengan dinding

semi transparan. Ukuran Kinerja:

Evaluasi hasil perancangan apakah dapat

memenuhi kriteria kerja yang telah disebutkan.

Gambar 2.17 Diagram Skematik Proses Desain Kindergarten by Cercadelcielo

Dengan Pendekatan Desain Cybernetics Sumber: Hasil Analisa, 2012


(57)

BAB III

PENERAPAN TEMA KE DALAM KASUS PROYEK

3.1 Deskripsi Proyek

Proyek yang akan dirancang dalam tesis ini adalah ruang terapi khusus untuk anak-anak penyandang autis di Medan. Perancangan tempat terapi tersebut akan melalui sebuah proses pendekatan desain, yaitu pendekatan desain cybernetic, yang mana akan membantu dan menjadi landasan untuk menghasilkan rancangan yang baik dan sesuai dengan yang diinginkan.

3.1.1 Lokasi Tapak

Lahan yang dipilih adalah lahan kosong yang berada di Jalan Dr. Mansyur (Gambar 3.1), Medan dengan batas-batas site sebagai berikut:

Utara : Jalan sekunder, sungai.

Selatan : Jalan sekunder, pemukiman penduduk. Timur : rumah penduduk, YPPIA.


(58)

3.1.2 Analisa Tapak

Unsur potensial utama tapak adalah:

- Aksesibilitas yang mudah dijangkau karena berada dekat dengan jalan utama dan dekat dengan pemukiman warga.

- Suasana sekitar tapak yang tenang dan tidak berisik cocok untuk terapi autis.

3.1.3 Analisa Sirkulasi dan Pencapaian

Sirkulasi di sekitar lahan merupakan sirkulasi dua arah dengan kepadatan kendaraan rendah. Lebar jalan sekitar 6 m. Pencapaian ke lahan juga cukup mudah, hanya berjarak 6 km dari pusat kota Medan.

Gambar 3.1 Lokasi Tapak Sumber: Google Earth, 2012


(59)

3.1.4 Analisa Lingkungan Sekitar

Lingkungan lahan merupakan lingkungan pemukiman penduduk dan pendidikan. Terdapat empat sekolah dan lembaga pendidikan dalam jarak radius 250 m, yaitu SMK Negeri 10, Taman Kanak-kanak, YPPIA, dan Yayasan Syafiatul Amaliah.

3.1.5 Analisa Kebisingan

Tidak terjadi kebisingan yang berarti di sekitar lahan karena berada pada lingkungan pemukiman penduduk yang tidak ramai.

3.1.5 Analisa View (Gambar 3.2)

A

D

C

B

Gambar 3.2 Analisa View Sumber: Analisis Pribadi, 2012


(60)

A: Pada sisi ini, view ke luar dari tapak adalah jalan utama, sungai dan pemukiman penduduk.

B: Pada sisi ini, view ke luar dari tapak adalah pemukiman penduduk.

C: Pada sisi ini, view ke luar dari tapak adalah jalan sekunder dan pemukiman penduduk.

D: Pada sisi ini, view ke luar dari tapak adalah jalan utama, sungai dan lahan kosong.

Dari analisa di atas, dapat disimpulkan bahwa view ke luar yang paling baik terdapat pada titik A, dan D.

3.2 Studi Banding Kasus Proyek Sejenis

3.2.1 Fawood Children’s Center London, Inggris

Fawood Children’s Centre ini memiliki luas sekitar 1.220m2. Eksterior bangunan ini menggunakan warna-warna yang berani dan terang yang mencerminkan semangat anak-anak. Fasilitas yang diberikan adalah kamar untuk anak-anak berkebutuhan khusus dan autis yang berumur 3–5 tahun. Struktur primer bangunan ini adalah penutup trapesium segi empat yang menggunakan struktur baja dengan overhang atap yang lebar, terbentuk dari penutup atap dari polycarbonat opal dan penutup baja profil berlapis warna merah muda terang (Gambar 3.3, 3.4, 3.5, 3.6, 3.7, dan 3.8).


(61)

Gambar 3.3 Eksterior Bangunan Fawood Children’s Center London, Inggris Sumber: Schools and Kindergartens - A Design Manual

Gambar 3.4 Eksterior Bangunan Fawood Children’s Center London, Inggris Sumber: Schools and Kindergartens - A Design Manual

Gambar 3.5 Interior Bangunan Fawood Children’s Center London, Inggris Sumber: Schools and Kindergartens - A Design Manual


(62)

Gambar 3.6 Ground Plan Fawood Children’s Center London, Inggris Sumber: Schools and Kindergartens - A Design Manual

Gambar 3.7 Denah Lantai 2 Fawood Children’s Center London, Inggris Sumber: Schools and Kindergartens - A Design Manual


(63)

3.2.2 Toyama Children Center

Toyama Children Center (Gambar 3.9) adalah suatu bangunan yang berfungsi sebagai tempat bermain bagi anak-anak yang berusia 5-12 tahun, dimana anak-anak tersebut masih didampingi oleh orang tua/pengasuh. Di dalamnya anak-anak dapat melakukan kegiatan-kegiatan seperti bermain aktif dan pasif, baik di dalam maupun di luar ruangan, membuat ketrampilan, berlatih kesenian, belajar, dan membaca. Fasilitas yang tersedia di dalamnya adalah hall bermain, relaxion area, workshop hall, galeri mainan, perpustakaan, galeri boneka, ruang belajar, dll.

Gambar 3.8 Potongan Fawood Children’s Center London, Inggris Sumber: Schools and Kindergartens - A Design Manual


(64)

Toyama Children Center ini dikhususkan untuk anak-anak berumur 5-12 tahun. Bentuk massa berupa gabungan dari dua buah lingkaran yang menampilkan keceriaan, imajinatif dan kreativitas. Ruang yang berada di bagian lengkung digabung dengan elemen lurus sehingga menciptakan ruang yang lebih dinamis. Pencahayaan alami dan penghawaan alami diterapkan pada bangunan ini. Interiornya didominasi oleh bentuk segienam dan lingkaran, sedangkan untuk warna yang digunakan merupakan perpaduan antara warna alami dan menyolok. Sistem sirkulasi yang linear bercabang dan berkelok-kelok memberi kesan mengalir dan tidak monoton. Hal-hal yang dapat dipelajari dari kasus ini adalah:

a. Bentuk massa bangunan dengan penggabungan bidang lengkung dengan bidang lurus untuk menimbulkan kesan dinamis.

b. Penampilan bangunan yang kreatif dan imajinatif, dengan warna-warna, bertujuan untuk merangsang daya tarik anak-anak.

c. Pemanfaatan pencahayaan dan penghawaan alami. Gambar 3.9 Toyama Children Center


(65)

3.3 Relevansi Tema Terhadap Kasus Proyek

3.3.1 Studi sindrom gangguan autis

Istilah autisme dikemukakan oleh Dr Leo Kanner pada 1943. Ada banyak definisi yang diungkapkan para ahli. Chaplin menyebutkan: “Autisme merupakan cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau oleh diri sendiri, menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri, dan menolak realitas, keasyikan ekstrem dengan pikiran dan fantasi sendiri”.

Pakar lain mengatakan: “Autisme adalah ketidaknormalan perkembangan yang sampai sekarang tidak ada penyembuhannya dan gangguannya tidak hanya mempengaruhi kemampuan anak untuk belajar dan berfungsi di dunia luar tetapi juga kemampuannya untuk mengadakan hubungan dengan anggota keluarganya.”

Semua masalah perilaku anak autis menunjukkan 3 serangkai gangguan yaitu: kerusakan di bidang sosialisasi, imajinasi, dan komunikasi. Sifat khas pada anak autistik adalah:

a. Perkembangan hubungan sosial yang terganggu.

b. Gangguan perkembangan dalam komunikasi verbal dan non-verbal. c. Pola perilaku yang khas dan terbatas.

d. Manifestasi gangguannya timbul pada tiga tahun yang pertama.

Teori awal menyebutkan, ada 2 faktor penyebab autisme, yaitu faktor psikososial, karena orang tua “dingin” dalam mengasuh anak sehingga anak menjadi


(66)

“dingin” pula; dan Teori gangguan neuro-biologist yang menyebutkan gangguan neuroanatomi atau gangguan biokimiawi otak.

Gangguan autisme mulai tampak sebelum usia 3 tahun dan 3-4 kali lebih banyak pada anak laki-laki dengan ciri fungsi abnormal dalam tiga bidang: interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang terbatas dan berulang, sehingga kesulitan mengungkapkan perasaan maupun keinginannya yang mengakibatkan hubungan dengan orang lain menjadi terganggu. Gangguan perkembangan yang dialami anak autistik menyebabkan tidak belajar dengan cara yang sama seperti anak lain seusianya dan belajar jauh lebih sedikit dari lingkungannya bila dibandingkan dengan anak lain. Autisme merupakan kombinasi dari beberapa kegagalan perkembangan, biasanya mengalami gangguan pada:

a. Komunikasi, perkembangan bahasa sangat lambat atau bahkan tidak ada sama sekali. Penggunakan kata-kata yang tidak sesuai dengan makna yang dimaksud. Lebih sering berkomunikasi dengan menggunakan gesture dari pada kata-kata; perhatian sangat kurang.

b. Interaksi Sosial, lebih senang menyendiri dari pada bersama orang lain; menunjukkan minat yang sangat kecil untuk berteman; response terhadap isyarat sosial seperti kontak mata dan senyuman sangat minim.

c. Gangguan Sensorik, mempunyai sensitifitas indra (penglihatan, pendengaran, peraba, pencium dan perasa) yang sangat tinggi atau bisa pula sebaliknya.


(67)

d. Gangguan Bermain, anak autistik umumnya kurang memiliki spontanitas dalam permainan yang bersifat imajinatif; tidak dapat mengimitasi orang lain; dan tidak mempunyai inisiatif.

e. Perilaku, bisa berperilaku hiper-aktif ataupun hipo-pasif; marah tanpa sebab jelas; perhatian yang sangat besar pada suatu benda; menampakkan agresi pada diri sendiri dan orang lain; mengalami kesulitan dalam perubahan rutinitas.

Melihat gangguan-gangguan yang biasanya menyertai gejala autisme seperti yang dikemukakan di atas, menyebabkan banyak orang beranggapan bahwa penyandang autisme tidak mempunyai harapan untuk sembuh dan hidup normal. Namun intervensi behavioral, biologis, dan edukasional terbukti dapat dijadikan alat untuk mengurangi efek-efek autisme yang merusak.

No Gejala-gejala autis Ilustrasi

1 Sulit bersosialisasi dengan anak-anak lainnya.

2 Tertawa atau tergelak tidak pada tempatnya.

3 Tidak pernah atau jarang sekali kontak mata. Tabel 3.1 Gejala-Gejala Autis


(68)

No Gejala-gejala autis Ilustrasi 4 Tidak peka terhadap rasa sakit.

5 Lebih suka menyendiri; sifatnya agak menjauhkan diri.

6 Suka benda-benda yang berputar / memutarkan benda.

7 Ketertarikan pada satu benda secara berlebihan.

8 Hiperaktif/melakukan kegiatan fisik secara berlebihan atau malah tidak melakukan apapun (terlalu pendiam).

9 Kesulitan dalam mengutarakan kebutuhannya; suka menggunakan isyarat atau menunjuk dengan tangan daripada kata-kata.

10 Menuntut hal yang sama; menentang perubahan atas hal-hal yang bersifat rutin.


(69)

No Gejala-gejala autis Ilustrasi 11 Tidak peduli bahaya.

12 Menekuni permainan dengan cara aneh dalam waktu lama.

13 Echolalia (mengulangi kata atau kalimat, tidak berbahasa biasa).

14 Tidak suka dipeluk (disayang) atau menyayangi.

15 Tidak tanggap terhadap isyarat kata-kata; bersikap seperti orang tuli.

16 Tidak berminat terhadap metode pengajaran yang biasa.

17 Tentrums, suka mengamuk/memperlihatkan kesedihan tanpa alasan yang jelas.

18 Kecakapan motorik kasar/motorik halus yang tidak seimbang (seperti tidak mau menendang bola namun dapat menumpuk balok-balok).

Tabel 3.1 (Lanjutan)


(70)

3.3.2 Jenis-jenis terapi autis

Dibawah ini terdapat 10 jenis terapi yang benar-benar diakui dan dilakukan oleh para professional. Terapi harus dilakukan secara terpadu dan setiap anak membutuhkan jenis terapi yang berbeda.

a. Applied Behavioral Analysis (ABA), sistem yang dipakai adalah memberi pelatihan khusus pada anak dengan memberikan positive reinforcement (hadiah/pujian).

b. Terapi Wicara, membantu anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam bicara dan berbahasa, individu autistic yang non-verbal atau kemampuan bicaranya sangat kurang, dan mereka yang tidak mampu untuk memakai bicaranya untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain (Gambar 3.10).

Gambar 3.10 Terapi Wicara Sumber: www. google.com


(71)

c. Terapi Okupasi, sangat penting untuk melatih mempergunakan otot -otot halusnya dengan benar (Gambar 3.11).

d. Terapi Fisik, fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak menolong untuk menguatkan otot-ototnya dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya.

e. Terapi Sosial, membantu dengan memberikan pertolongan dalam ketrampilan berkomunikasi 2 arah, membuat teman dan main bersama ditempat bermain (Gambar 3.112).

Gambar 3.11 Terapi Okupasi Sumber: www. google.com

Gambar 3.12 Terapi Sosial Sumber: www. google.com


(72)

f. Terapi Bermain, seorang anak autistik membutuhkan pertolongan dalam belajar bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara, komunikasi dan interaksi sosial (Gambar 3.13).

g. Terapi Perilaku, seorang terapis perilaku terlatih untuk mencari latar belakang dari perilaku negatif tersebut dan mencari solusinya dengan merekomendasikan perubahan lingkungan dan rutin anak tersebut untuk memperbaiki perilakunya (Gambar 3.14).

Gambar 3.13 Terapi Bermain Sumber: www. google.com

Gambar 3.14 Terapi Perilaku Sumber: www. google.com


(73)

h. Terapi Perkembangan, anak dipelajari minatnya, kekuatannya dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional dan Intelektualnya.

i. Terapi Visual, metode belajar komunikasi melalui gambar-gambar, misalnya dengan metode PECS (Picture Exchange Communication System). Beberapa video games bisa juga dipakai untuk mengembangkan ketrampilan komunikasi.

j. Terapi Biomedik, anak-anak ini diperiksa secara intensif, pemeriksaan, darah, urin, feses, dan rambut. Semua hal abnormal yang ditemukan dibereskan, sehingga otak menjadi bersih dari gangguan. Ternyata lebih banyak anak mengalami kemajuan bila mendapatkan terapi yang komprehensif, yaitu terapi dari luar dan dari dalam tubuh sendiri (biomedis).

Melinda Smith, M.A dari UCLA Center for Autism Research and Treatment mengungkapkan bahwa ada berbagai macam terapi dan pendekatan yang dapat dilakukan dalam menangani anak autis. beberapa terapi autisme berfokus untuk mengurangi perilaku yang bermasalah dan mengembangkan komunikasi dan keterampilan sosial, sementara terapi lain menangani masalah interaksi sensorik, keterampilan motorik, masalah emosional, dan kepekaan terhadap makanan.

Para peneliti telah mengembangkan sejumlah model intervensi dini yang efektif. beberapa model ini adalah sebagai berikut:


(74)

1. Anak menerima terapi yang terstruktur selama minimal 25 jam per minggu. 2. Terapis yang terlatih bisa memberikan intervensi di bawah pengawasan

seseorang profesional yang berpengalaman.

3. Terapi ini bertujuan mengajarkan kemampuan yang spesifik kepada anak. Kemajuan dalam target dievaluasi dan dicatat secara teratur.

4. Intervensi berfokus pada aspek utama yang terkena autisme, misalnya: keterampilan sosial, bahasa dan komunikasi, imitasi, keterampilan bermain, kehidupan sehari-hari dan keterampilan motorik.

5. Program ini memberikan anak kesempatan untuk berinteraksi dengan teman-teman sebayanya.

6. Program ini secara aktif melibatkan orangtua dalam intervensi, baik dalam pengambilan keputusan dan melakukan terapi.

7. Para terapi menekankan pada nilai-nilai unik serta keutuhan anak dan keluarga.

3.3.3 Kriteria perancangan ruang terapi autis

Dalam merancang sebuah ruang terapi autis diperlukan kriteria-kriteria umum yang sesuai dengan perilaku dan aktivitas anak autis di dalam ruangan tersebut. Hal ini berguna dalam proses mendesain untuk menghasilkan konsep ruang yang sesuai dengan anak autis. Berikut beberapa kriteria umum dalam merancang ruang terapi autis, bersumber dari jurnal Classroom Design for Living and Learning with Autism, (2008).


(75)

1. Flexibilitas dan adaptasi.

Fleksibilitas adalah standar paling utama dalam perancangan ruang kelas terapi. Fleksibilitas tidak berarti harus mengubah semuanya, tetapi dapat berubah sesuai keperluan. Perabotan, pengarahan spasial dan pencahayaan merupakan elemen-elemen pembuat fleksibilitas. Rak-rak yang dapat diputar dan perabot-perabot yang dapat dipindah tempat dengan mudah dan multifungsi sangat diperlukan di ruang terapi ini. Dengan hal ini anak-anak dan para terapis dapat menyesuaikan ruang terapi dengan terapi yang akan dipakai pada saat itu.

Solusi desain yang dapat diberikan adalah:

a. Penggunaan sudut-sudut ruangan yang sering tidak terpakai sebagai area imajinasi anak (Gambar 3.15).

b. Bukaan pencahayaan alami lebih diutamakan.

c. Penggunaan ‘dimmer’ untuk pencahayaan buatan sehingga cahaya dapat dikontrol untuk area-area berbeda di ruang terapi.

Gambar 3.15 Penggunaan Sudut Ruang untuk Imajinasi Anak Sumber: www. google.com


(76)

d. Penggunaan pencahayaan tidak langsung di lantai, dinding, dan plafond serta hindari penggunaan cahaya flourecent lansung (Gambar 3.16).

2. ‘Tidak mengancam’.

Untuk ruangan fisikal yang tidak mengancam maka susunan tata ruang harus welcoming dan memelihara komunikasi dan hubungan terhadap anak dan para terapis. Pengaturan tata ruang harus memberikan perasaan tenang, menyembuhkan dan menawarkan sensasi keamanan.

Penyediaan titik-titik dengan level lantai dan lebih tinggi (balkon) dan area dengan level plafon yang lebih rendah (gua), tetapi tetap terjangkau untuk pengawasan oleh terapis. Penyediaan ruangan yang luas juga diperlukan untuk kegiatan grup. Namun, ruangan yang luas itu juga dapat difungsikan menjadi ruang-ruang yang lebih kecil jika diperlukan dengan menggunakan partisi yang tidak permanen. Penggunaan elemen-elemen yang lembut dan dapat meransang sensor fisik dan motorik anak, seperti kursi beanbag, sofa busa, karpet, permainan-permainan seperti ayunan, kerajinan-kerajinan dan elemen air.

Solusi desain yang dapat diberikan adalah:

Gambar 3.16 Penggunaan Pencahayaan Tidak Langsung Sumber: www. google.com


(77)

a. Sediakan area yang memiliki furnitur-furnitur lembut seperti kursi beanbag, sofa-sofa empuk, karpet, mainan-mainan yang aman, boneka dll (Gambar 3.17).

b. Hindari ruang terbuka yang luas untuk anak-anak yang mempunyai kecenderungan perilaku yang tidak dapat mengendalikan tubuh mereka.

c. Hiasi ruang terapi dengan warna-warna lembut, furnitur polos dan tidak bertekstur.

d. Desain ruangan yang membuat anak-anak nyaman dan menganggap ruangan itu milik mereka misalnya dengan menyediakan area yang berisi foto-foto mereka dan keluarga, karya-karya kerajinan mereka dll (Gambar 3.18).

Gambar 3.17 Ruang dengan Furniture Lembut Sumber: www. google.com

Gambar 3.18 Sudut Aktivitas yang Menyediakan Karya-Karya Kerajinan Anak Sumber: www. google.com


(78)

e. Gunakan kaca transparan untuk jendela dan pintu, atau gunakan bukaan kecil pada pintu sebagai “lubang intip” (Gambar 3.19).

3. Bebas dari gangguan.

Ruangan yang bebas dari gangguan adalah ruangan yang bebas dari kekacauan, bebas dari bebauan, dan memiliki aura dan visualisasi yang menyembuhkan. Dengan kata lain, ruangan tersebut dapat menurunkan kepekaan yang berlebih. Pengarahan ruang terapi dapat berkontribusi dalam pemahaman anak terhadap urutan dan ruang. Lingkungan yang rapi dan bersih membantu anak dengan gangguan autis untuk dapat memfokuskan perhatiannya dalam belajar.

Menghilangkan material visual yang tidak perlu seperti poster-poster dan tanda-tanda yang tidak pada tempatnya, dan memblokir gangguan dari luar ruang terapi dengan menggunakan shading pada jendela. Tempat penyimpanan yang kurang memadai juga membuat ruangan terlihat kacau dan berantakan. Untuk menghindari kelrip dari lampu flourecent, diperlukan pengurangan intensitas cahaya dengan

Gambar 3.19 Transparansi pada Pintu sebagai Lubang Intip Sumber: www. google.com


(79)

menggunakan sedikit bola lampu, dan memperbanyak intensitas pencahayaan alami. Pengurangan intensitas suara dari luar dan dalam ruangan juga diperlukan dengan cara pengaturan akustik yang baik pada dinding maupun pada material-material perabotan.

Solusi desain yang dapat diberikan:

a. Warna permukaan ruangan dan material dapat diselaraskan dalam satu tone warna sehingga papan atau gambar instruksional dapat terlihat dengan jelas b. Gunakan cermin satu arah untuk pengawasan.

c. Hindari penggunaan lampu fluorescent, kurangi penggunaan pencahayaan buatan dan perbanyak bukaan untuk memasukkan pencahayaan alami ke dalam ruangan.

d. Gunakan material yang dapat menyerap suara untuk mengontrol suara yang masuk ke dalam kelas (Gambar 3.20).

Gambar 3.20 Material Penyerap Suara yang Masuk ke Dalam Kelas Sumber: www. google.com


(80)

4. Mudah diprediksi.

Setiap orang menginginkan bangunan yang memiliki sirkulasi yang mudah. Kuncinya adalah mudah diprediksi, terutama untuk orang-orang yang memerlukan konsistensi dan petunjuk visual. Karena anak penyandang autis terbiasa menjadi pelajar visual, solusi yang paling sering digunakan adalah dengan menggantungkan jadwal terapi, dan papan gambar pada ruang terapi. Selain itu, ruang kelas tetap harus imajinatif (Gambar 3.21).

5. Dapat diawasi.

Pengawasan merupakan hal yang sangat penting dalam perancangan ruangan terapi autis. ketika anak-anak sudah mengerti lingkungan mereka, perasaan aman meningkat yang mengakibatkan peningkatan dalam pengawasan. Kelas terapi untuk anak autis harus memberikan keleluasan untuk berinteraksi sosial dan menyediakan kesempatan untuk membuat-keputusan.

Gambar 3.21 Ruang Kelas Imajinatif Sumber: www. google.com


(1)

c. Penggunaan warna dan material.

Pada lantai menggunakan material vinyl yang tidak keras, tidak bertekstur kasar maupun tidak licin. Hal ini disebabkan untuk meningkatkan keamanan dan keselamatan anak dan mengurangi efek luka yang disebabkan oleh material lain jika anak terjatuh. Pada dinding menggunakan material dinding biasa yaitu batu bata dengan warna dinding kuning pastel mendominasi ruangan. Warna kuning adalah warna yang cocok digunakan karena dapat mengurangi rasa letih dan tertekan (Gambar 6.25).

Penggunaan warna kuning pastel pada dinding

Penggunaan vinyl pada lantai

Gambar 6.25 Penggunaan Warna dan Material dalam Ruang Terapi Fisik Sumber: Hasil Perancangan, 2013


(2)

BAB VII

EVALUASI AKHIR DAN REKOMENDASI

7.1 Evaluasi Akhir

Merancang dapat dilihat sebagai sistem cybernetic. Peserta dalam proses desain dapat dilihat sebagai "pengendali". Mereka mengembangkan dan menggunakan metode dan model proses untuk memandu tanggapan mereka terhadap keadaan yang dirasakan, sehingga menjadi "aktuator" yang mempengaruhi proses sesuai dengan tujuan mereka

Proses desain ruang terapi autis memiliki beberapa langkah yang harus dilalui. Yang pertama adalah proses sensoring. Proses sensoring ini memiliki dua aspek di dalamnya, yaitu bagaimana masalah perilaku atau sifat anak autis yang menyimpang dari perilaku anak pada umumnya, dan bagaimana solusi yang dapat diberikan sesuai dengan teori arsitektur secara umum. Teori tersebut terdiri dari tiga aspek yaitu dimensi dan skala, bukaan dan pencahayaan, serta penggunaan warna dan material.

Dari proses sensoring, kemudian proses selanjutnnya adalah proses modelling. Di proses ini dijabarkan jenis ruang seperti apa yang dibutuhkan serta kriteria-kriteria yang menyangkut dengan pengaplikasian dari teori arsitektur yang telah dijabarkan di proses sebelumnya.

Setelah proses modelling, proses selanjutnya adalah proses actuating. Proses ini adalah proses pengaplikasian ke desain ruang terapi autis.


(3)

7.2 Rekomendasi

Dari proses desain di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap bentuk terapi penyembuhan untuk autis memerlukan ruangan yang berbeda. Ruang-ruang tersebut memiliki kebutuhan dan desain arsitektural yang berbeda sesuai dengan kegiatan dan perilaku anak di dalamnya, sehingga setiap ruangan memiliki konsep perancangan yang berbeda satu dengan yang lainnya.

Kriteria perancangan ruang terapi bertujuan sebagai arahan dan acuan bagi masyarakat dan pemerintah dalam merancang ruang terapi sesuai dengan konsep yang telah diterapkan. Kriteria perancangan berisi kebutuhan ruang, bentuk dan dimensi perabot, penggunaan material pada dinding dan lantai ruang dan penggunaan sistem pencahayaan dalam ruang, baik alami maupun buatan. Kriteria-kriteria tersebut dibentuk dari analisa terhadap perilaku dan kegiatan anak dalam ruang-ruang terapi dan mengacu pada standar arsitektur yang sesuai untuk kegiatan terapi dan dimensi ruang anak.

Hasil perancangan dan penerapan merupakan hasil simulasi desain dari proses desain cybernetic yaitu proses sensoring, modeling dan kemudian actuating. Sehingga hasil perancangan dapat dijadikan sebagia panduan dalam merancang ruang terapi autis.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

1. Laurens, Joyce Marcella. 2004. Arsitektur dan Perilaku Manusia, Grasindo, Jakarta.

2. Jessica. 2011. Autism Care Center (Arsitektur Perilaku), Reporsitory USU 3. Halim, Deddy. 2005. Psikologi Arsitektur, Grasindo, Jakarta.

4. Maier, A. M;Wynn, D. C; Andreasen, M. M; Clarkson, P. J. 2012. A Cybernetic Perspective On Methods And Process Models In Collaborative Designing, International Design Conference – Design, Kroasia.

5. Espejo, Raul. 1988. A Cybernetic Methodology To Study And Design Human Activities, The University of Aston, Birmingham.

6. Dudek, Mark. 2007. Schools and Kindergartens - A Design Manual. Birkhauser Verlag AG, Germany.

7. Ruth, Linda Cain. 2000. Design Standards for Children’s Enviroments. McGraw-Hill, USA.

8. Iswanto, Danoe. 2006. Kajian Ruang Publik Ditinjau Dari, Segi Proporsi / Skala Dan Enclosure. Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan Permukiman, Jakarta.

1. Nuryawan, Prima Haris; Gunarti, Winny; Darmawani, Sri Rahayu. 2008. 101 Kombinasi Warna Monokromatis, Gramedia, Jakarta.


(5)

3. Ariani, Rifda. 2012. Desain Sistem Furniture Untuk Terapi Anak Autis. Jurnal Desain Idea, Surabaya.

4. Neufert, Ernst. 2002. Data Arsitek: Jilid 1, Erlangga, Jakarta.

5. Wikipedia Ensiklopedia Bebas. 2012. Autisme,

6. Autis.info: Situs Informasi Seputar Autisme. 2010. 10 Jenis Terapi Autisme, (http://www.autis.info/index.php/terapi-autisme/10-jenis-terapi-autisme, diakses 12 September 2012).

7. Harnowo, Putra Agus. 2012. Anak Autis Butuh Penanganan yang

Berbeda-beda

8. Harnowo, Putro Agus. 2012. Jumlah Anak Autis di 2012 Makin Banyak,

9. Autis.info: Situs Informasi Seputar Autisme. 2012. Kurikulum Khusus Penyandang Autis

10. Autis.info: Situs Informasi Seputar Autisme. 2012. Sindrom Gangguan Autisme (Autism Syndrome Disorder),


(6)

11. The National Autistic Society. 6 september 2012. Behaviour guidelines,

12. Wiki Arquitectura. 2010. Els Colors Kindergarten,

24 September 2012).

13. Coolboom.

24 September 2012).

14. Vogel, Clare L. 2008. Classroom Design for Living and Learning with Autism. diakses 2 Desember 2012).