Pola Sebaran Spasial Vertikal Perjumpaan Satwa Pendugaan Parameter Demografi

26

4.5. Analisis Data

4.5.1. Pola Sebaran Spasial Vertikal

Untuk menentukan strata penggunaan ketinggian pohon oleh satwa yang diamati, dilakukan dengan menentukan rata-rata pemanfaatan tiap strata ketinggian oleh satwa yang dijumpai pada jalur transek, pada setiap tipe penutupan lahan yang diamati. Rata-rata ketinggian dihitung pada dua waktu pengamatan yaitu pengamatan yang masuk ke dalam kategori pagi hari, yaitu pukul 07.00–09.00 dan pengamatan yang masuk ke dalam kategori siang hari, pukul 09.01–12.00. Setelah diketahui nilai rata-rata ketinggian pemakaian strata tajuk oleh satwa, dilakukan analisis deskriptif mengenai strata mana yang paling disukai satwa untuk melakukan aktivitas hariannya. Uji beda dengan metode klasifikasi dua arah digunakan untuk menguji ada tidaknya pengaruh perbedaan tipe hutan dan waktu pengamatan terhadap pola penggunaan ketinggian pohon. Kriteria uji yang digunakan adalah jika F hitung F tabel, maka tolak Ho’, sedangkan jika F hitung F tabel, maka terima Ho.

4.5.2. Perjumpaan Satwa

Analisis terhadap perjumpaan satwa sighting rates dilakukan untuk mengetahui pengaruh perbedaan waktu pengamatan pagi dan siang hari dan pengaruh perbedaan tipe penutupan lahan hutan, terhadap angka perjumpaan satwa pada tiap jalur yang diamati. Dari hasil analisis tersebut selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis terhadap faktor yang mempengaruhi jumlah perjumpaan satwa baik waktu pengamatan maupun tipe penutupan lahan yang menjadi habitat satwa tersebut. Uji beda dengan metode klasifikasi dua arah digunakan untuk menguji ada tidaknya pengaruh perbedaan tipe hutan dan waktu pengamatan terhadap jumlah perjumpaan satwa sighting rates. Kriteria uji yang digunakan adalah jika F hitung F tabel, maka tolak Ho, sedangkan jika F hitung F tabel, maka terima Ho.

4.5.3. Pendugaan Parameter Demografi

27 Perhitungan parameter demografi M.o. brunnescens dilakukan pada ke- empat tipe penutupan lahan yag ada. Masing-masing tipe penutupan lahan terdiri atas satu sampai dengan 2 areal hutan yang diteliti stasiun penelitian. Tiap stasiun penelitian terdiri atas empat jalur transek, sehingga total jalur transek yang dihitung adalah sebanyak 24 jalur. Luas masing-masing stasiun penelitian yang ditentukan dengan menjumlah luas tiap jalur yang ada.

4.5.3.1. Ukuran dan Kepadatan Populasi

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan selanjutnya dihitung ukuran dan kepadatan populasinya. Data yang digunakan untuk menghitung pendugaan ukuran kepadatan populasi adalah data yang diperoleh dari perjumpaan langsung dengan satwa. Terlebih dahulu dihitung dugaan ukuran dan kepadatan populasi untuk masing-masing areal hutan yang ada dengan menggunakan metode Distance. Tahapannya adalah sebagai berikut: Intensitas Sampling f f = luas jalur yang diamati luas areal pengamatan Nilai Kepadatan Per Stasiun Penelitian d hi km 2 D hi max = Jumlah Individu ditemukan tiap Camp Minimum Area Survey MAS dimana, MAS = Panjang Transek x 2 x lebar minimum pengamatan D hi min = Jumlah Individu ditemukan tiap Camp Maksimum Area Survey M x AS dimana, M x AS = Panjang transek x 2x lebar maksimum pengamatan ___ Dhi = Jumlah rata-rata kepadatan tiap perjumpaan dalam Camp ke-i Jumlah seluruh perjumpaan dalam Camp ke-i

4.5.3.2. Ukuran dan Kepadatan Kelompok

Ukuran dan kepadatan kelompok ditentukan dengan menganalisis data primer hasil pengamatan dalam 24 jalur transek yang diamati. Ukuran dan kepadatan kelompok juga dapat ditentukan dengan menganalisa data hasil pengamatan habituasi terhadap satu kelompok M.o. brunnescens yang diamati secara intensif selama 2 hari. Untuk mengetahui ukuran kelompok monyet dari hasil pengamatan dalam jalur transek, data diperoleh dengan cara membagi jumlah seluruh individu yang ditemukan selama pengamatan dengan jumlah perjumpaan sighting rates.

4.5.3.3. Seks Rasio dan Struktur Umur

Pendugaan seks rasio dan struktur umur satwa dilakukan hanya pada individu jantan dan individu betina dewasa dari hasil pengamatan habituasi, dengan alasan sulitnya menentukan jenis kelamin satwa dalam jalur transek. Untuk menghitung dugaan seks rasio, dilakukan penghitungan sebagai berikut: Dugaan Seks Rasio S = Jumlah individu Jantan Dewasa Hasil Pengamatan Habituasi Jumlah individu Betina Dewasa Hasil Pengamatan Habituasi Struktur umur ditentukan dengan mengidentifikasi jumlah individu yang tergolong kedalam kelompok kelas umur bayi new born, anak juvenile, muda sub-adult, dan dewasa adult, dari satu kelompok satwa yang diamati selama dua hari pengamatan, dari mulai pagi 05.30 sampai sore hari 18.00.

4.5.3.4. Analisis Pola Sebaran Spasial

Pola sebaran spasial suatu komunitas ekologi dapat ditentukan dengan berbagai macam indeks penyebaran dispersion index, yaitu: indeks dispersi ID, indeks Agregatif IC, dan Indeks Greens GI. Dalam analisis ini, indeks yang digunakan adalah indeks dispersi ID, dengan formula: 31 x S ID 2 = Keterangan: S 2 = keragaman contoh x = rata-rata contoh. Pola penyebaran spasial diketahui dengan menggunakan uji Chi-Square. Uji Chi-Square yang digunakan untuk N30, adalah persamaan λ 2 = ID N-1, dimana N adalah jumlah kontak dengan satwa. Kriteria uji yang digunakan adalah: 1. Jika λ 2 λ 2 0.975 , maka pola sebaran yang terjadi adalah seragam. 2. Jika λ 2 0.975 ≤ λ 2 ≤ λ 2 0.025 , maka pola sebaran yang terjadi adalah acak. 3. Jika λ 2 λ 2 0.025 , maka pola sebaran yang terjadi adalah kelompok. 32

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Kondisi Penutupan Lahan

Areal lokasi penelitian merupakan areal hutan yang masuk ke dalam kelompok hutan Lambusango dengan luas keseluruhan + 65.000 ha, yang merupakan tipe hutan hujan dataran rendah lowland evergreen rainforest dan terletak di Kabupaten Buton. Areal hutan Lambusango terdiri atas beberapa status hutan, yaitu Suaka Margasatwa SM Lambusango seluas 28.510 ha, Cagar Alam CA Kakinauwe seluas + 810 ha, Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas HPT seluas + 35.000 ha Purwanto, 2005. Dalam penelitian ini areal hutan diklasifikasikan menjadi delapan tipe penutupan lahan, yaitu: hutan primer tidak terganggu, hutan primer terganggu, hutan sekunder tidak terganggu, hutan sekunder terganggu, areal bukan hutan, semak belukar, awan dan bayangan awan. Pada areal hutan primer, habitat terancam oleh adanya kegiatan illegal logging terutama hutan sekitar Camp La Solo dan Wabalamba. Terdapat kurang lebih 3 titik illegal logging di sekitar hutan La Solo, dan kurang lebih 25 titik illegal logging pada areal sekitar hutan Wabalamba BKSDA pers.comm, 2005. Pada areal hutan sekunder, habitat terganggu terfragmentasi oleh adanya kegiatan perladangan dan pengambilan rotan oleh masyarakat sekitar hutan. Tipe hutan tersebut secara umum berbatasan langsung dengan ladang penduduk sekitar hutan. Kondisi penutupan lahan wilayah hutan Lambusango disajikan pada Gambar 9. Dari hasil klasifikasi lahan dengan menggunakan metoda klasifikasi tak terbimbing, diperoleh data luas areal lokasi penelitian sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Kawasan bukan hutan yang tampak dari hasil klasifikasi lahan, merupakan areal perladangan penduduk dan pemukiman, sehingga tampak secara umum lokasinya mengelilingi kawasan hutan Lambusango. Penafsiran citra ini mengacu pada hasil klasifikasi citra kabupaten Buton oleh Carlisle 2003 dalam Opwall 2004, dengan mencocokan wilayah dan warna spektral hasil klasifikasi dengan peta penutupan lahan kabupaten Buton.