Pola Sebaran Spasial Vertikal

35

5.2. Pola Sebaran Spasial Vertikal

Strata penggunaan ketinggian pohon merupakan suatu lokasi dimana pada ketinggian tertentu di atas permukaan tanah satwa memilih untuk beraktivitas pada saat terdeteksi dalam suatu pengamatan. M.o. brunnescens di lokasi hutan primer menempati ketinggian 18,8 m di atas pohon pada waktu pagi hari, kurang lebih 3 meter lebih tinggi dibandingkan pada siang hari Tabel 5. Hasil analisis uji beda pada taraf nyata 0,05 memberikan kesimpulan hipotesis bahwa tidak terdapat perbedaan dalam hal pola penggunaan ketinggian pohon oleh satwa yang diakibatkan pengaruh perbedaan tipe klasifikasi hutan, dimana F hit = 3,49 lebih kecil dibandingkan F 0,05:3 = 9,28. Perbedaan waktu pengamatan juga tidak berpengaruh terhadap pola penggunaan ketinggian pohon, dengan nilai F hit = 0,90, lebih kecil dari F 0,05:1 = 10,13. Perbedaan posisi ketinggian di atas pohon lebih disebabkan oleh urutan pemanfaatan pakan oleh monyet yang cenderung mengambil pakan dari strata paling bawah terlebih dahulu dan kemudian berangsur-angsur naik ke strata yang lebih atas. Pada strata tajuk bawah dimana kerapatan tajuk dan dahan masih rendah, banyak jenis burung pemakan biji seperti julang Sulawesi Aceros cassidix dan burung-burung lainnya ikut memanfaatkan pakan monyet secara bersama-sama. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya pengusiran burung oleh monyet, dan mendorong monyet untuk naik ke lapisan pohon yang lebih tinggi. Di areal tipe penutupan lahan hutan primer tidak terganggu, hutan sekunder tidak terganggu dan hutan sekunder terganggu, M.o. brunnescens cenderung memiliki posisi yang lebih tinggi pada pagi hari dibandingkan dengan siang hari. Di tipe penutupan lahan hutan primer terganggu, posisi satwa pada siang hari justru lebih tinggi dibandingan dengan waktu pagi hari Tabel 5. Oates 1987 dalam Supriatna et al. 1990, menyatakan bahwa pada komunitas hutan sekunder, seperti pada areal hutan bekas ladang dan hutan dengan kegiatan pengambilan rotan, memiliki pohon-pohon yang tumbuh kurang rapat dan sumber pakan yang dimilikinya tersebar. Pada komunitas hutan sekunder jarang dijumpai adanya pohon pakan yang bermutu tinggi. Keadaan demikian tentunya memaksa hewan-hewan tersebut untuk berjalan lebih jauh untuk mendapatkan sumber pakan yang baik, dan bila monyet-monyet tersebut 36 berjalan melalui kanopi hutan maka makin banyak energi yang dibutuhkan untuk bergerak dari satu pohon ke pohon lainnya. Schaik 1985 dalam Supriatna et al. 1990 menjelaskan bahwa salah satu strategi yang dipakai agar monyet dapat menghemat energi adalah dengan cara berjalan atau mengambil cara hidup semi terestrial. Marsh et al. 1987 dalam Supriatna et al. 1990 memperkuat pernyataan Schaik dengan menyatakan bahwa adaptasi semacam itu biasa dijumpai pada kebanyakan monyet dunia lama. Menurunnya ketinggian satwa pada waktu menjelang siang hari, dapat disebabkan oleh mekanisme adaptasi seperti dijelaskan di atas, yaitu untuk memudahkan turun dan naiknya monyet dari atas pohon ke permukaan tanah, maka monyet memilih untuk berada pada ketinggian yang rendah. Bila melihat nilai rata-rata total ketinggian satwa dari permukaan tanah, tampak bahwa populasi monyet pada tipe hutan primer yang tidak terbiasa dengan adanya kehadiran manusia, memilih untuk beraktivitas pada ketinggian diatas 16,9 m, sebagai mekanisme waspada terhadap kehadiran predator. Tabel 5. Rata-rata Tinggi Posisi Satwa dari Permukaan Tanah Rata-rata Tinggi Posisi Lokasi Penelitian Pagi Siang Total rata- rata m Strata Tajuk Hutan Primer tidak terganggu 18,8 15,0 16,9 Hutan Primer terganggu 18,6 22,5 20,5 Hutan Sekunder Tidak Terganggu 13,8 6,0 9,9 B B C Hutan Sekunder Terganggu 16,3 15,0 15,65 B Keterangan: Pengamatan periode pagi pukul 07.00-09.00; periode sore hari 09.00-11.00 Berdasarkan hasil pengukuran ketinggian pohon oleh Carlisle 2005, yang melakukan penelitian pada lokasi dan waktu yang bersamaan dengan penulis, diperoleh data mengenai rata-rata ketinggian pohon yang menyusun struktur vegetasi di enam lokasi penelitian Tabel 6. Tabel 6. Rata-rata Tinggi Pohon Pada Enam Lokasi Penelitian Carlisle, 2005. No Lokasi Penelitian Rata-rata Tinggi Pohon m Standar Deviasi Strata Tajuk Tipe Hutan 1 La Solo 26.00 9.08 A Hutan primer tidak terganggu 2 Balanophora 25.06 6.42 A Hutan primer terganggu 3 Wabalamba 21.49 5.11 B Hutan primer tidak terganggu 4 Wahalaka 22.06 7.98 B Hutan sekunder terganggu 5 Anoa 22.29 5.12 B Hutan sekunder tidak terganggu 6 Lapago 16.89 5.97 B Hutan sekunder terganggu 37 Bila membandingkan antara posisi satwa pada strata pohon Tabel 5 dengan nilai rata-rata tinggi pohon Tabel 6, maka pada tipe hutan primer tidak terganggu, M.o. brunnescens memilih untuk melakukan aktivitasnya pada ketinggian rata-rata 16,9 m dari atas permukaan tanah, yang berarti berada pada dahan atas, dimana pada ketinggian ini buah-buah pakan monyet tersedia dalam jumlah lebih banyak dibandingkan dengan pada bagian dahan bawah pohon. Pohon-pohon yang berada pada kawasan hutan primer, secara umum memiliki rata-rata ketinggian yang lebih besar dibandingkan dengan rata-rata ketinggian pohon pada kawasan hutan sekunder. Preferensi posisi ketinggian untuk beraktivitas di atas pohon oleh satwa yang hidup di kawasan hutan primer, lebih tinggi dibandingkan dengan satwa yang berada pada kawasan hutan sekunder. Pemilihan posisi ketinggian di atas pohon oleh satwa bukan dipengaruhi oleh perbedaan tipe hutan, akan tetapi lebih ditentukan oleh ketinggian pohon tersebut dari permukaan tanah.

5.3. Perjumpaan Satwa