49 pengumpulan data dan proses analisis. Dalam pengumpulan data, alat
penginderaan jauh dapat memperoleh data baik dengan cara-cara fotografis maupun elektronis. Sensor-sensor fotografis memanfaatkan reaksi kimia pada
lapiasan emulsi film untuk mendeteksi, menyimpan dan memperagakan veriasi- variasi energi di dalam suatu pemandangan. Sensor elektronik akan menimbulkan
pulsa-pulsa listrik yang sesuai dengan variasi energi dalam suatu pemandangan. Pulsa listrik ini biasa disimpan pada pita komputer magnetik di mana pulsa listrik
tersebut dirubah menjadi gambar digital Paine, 1993. Tabel 2. Aplikasi dan Saluran Spektral Band Thematic Mapper Lo, 1995
Saluran Band
Panjang Gelombang
µm Potensi Pemanfaatan
1 0,45 – 0,52
Dirancang untuk penetrasi tubuh air, sehingga bermanfaat untuk pemetaan perairan pantai. Berguna juga untuk membedakan
antara tanah dengan vegetasi, tumbuhan berdaun lebar dan berdaun jarum.
2 0,52 – 0,60
Dirancang untuk mengukur puncak pantulan hijau saluran tampak bagi vegetasi guna penilaian ketahanan.
3 0,63 – 0,69
Saluran absorpsi klorofil yang penting untuk diskriminasi vegetasi
4 0,76 – 0,90
Bermanfaat untuk menentukan kandungan biomassa dan untuk delineasi tubuh air.
5 1,55 – 1,75
Menunjukan kandungan kelembaban vegetasi dan kelembaban tanah, dan bermanfaat untuk membedakan salju dan awan.
6 2,08 – 2,35
Saluran inframerah termal yang penggunaannya untuk perekaman vegetasi, diskriminasi kelembaban tanah dan
pemetaan termal. 7
10,45 – 12,50 Saluran yang diseleksi karena potensinya untuk membedakan
tipe batuan dan untuk pemetaan hidrotermal.
2.7. 3. Analisis Digital Data Landsat
Sejumlah informasi dapat diperoleh dari data landsat dalam format salinan kertas fotografik, volume data landsat yang melimpah dan berbentuk digital
menjadikan data tersebut lebih cocok dianalisis dengan bantuan komputer Lillesand dan Kiefer, 1990. Menurut Townshend 1992 dalam Kusumaningtyas
1998, analisis digital dilakukan terhadap setiap pixel dan melalui cara ini informasi yang diperoleh akan menjadi lebih banyak karena dapat
mengidentifikasi derajat heterogenitas obyek.
50 Lillesand dan Kiefer 1990 menyatakan penganalisaan data landsat
dengan menggunakan komputer dapat dikelompokan sebagai berikut: 1. Pemulihan Citra Image Restoration, tujuan dari pemulihan citra ini adalah
untuk memperbaiki data citra yang mengalami distorsi ke arah gambaran yang lebih sesuai dengan gambar aslinya. Kegiatan pemulihan citra ini meliputi
pengkoreksian berbagai distorsi radiometrik dan geometrik yang mungkin ada pada data citra asli.
2. Penajaman Citra Image Enhancement, proses penajaman citra dilakukan untuk menguatkan tampilan kontras antar obyek pada sebuah citra. Pada
berbagai terapan, langkah ini dapat meningkatkan jumlah informasi yang dapat diinterpretasi secara visual dari data citra.
3. Klasifikasi Citra Image classification. Teknik kuantitatif dapat diterapkan untuk interpretasi secara otomatik data
citra digital. Tiap pengamatan pixel picture element di evaluasi dan ditetapkan pada suatu kelompok informasi. Jaya 1996 dalam Hastuti 1998, mengatakan
bahwa klasifikasi dapat diartikan sebagai suatu proses pengelompokan pixel-pixel kedalam kelas-kelas atau kategori-kategori yang telah ditentukan berdasarkan
nilai kecerahanbrightness value bv atau digital number DN dari pixel yang bersangkutan. Berdasarkan tekhniknya, klasifikasi dapat dibedakan kedalam
klasifikasi manual dan klasifikasi kuantitatif. Pada klasifikasi manual, pengelompokan pixel kedalam suatu kelas yang telah ditetapkan dilakukan oleh
seorang interpreter secara manual berdasarkan nilai kecerahan bv, dan contoh yang diambil disebut sebagai area contoh.
Klasifikasi citra menurut Lillesand dan Kiefer 1990 dibagi kedalam dua pendekatan, yaitu klasifikasi terbimbing supervised classification dan klasifikasi
tak terbimbing unsupervised classification. Pada klasifikasi terbimbing proses pengklasifikasian dilakukan dengan prosedur pengenalan pola spektral dengan
memilih kelompok atau kelas-kelas informasi yang diinginkan dan selanjutnya memilih contoh-contoh kelas training area yang mewakili setiap kelompok.
Kemudian dilakukan perhitungan statistik terhadap contoh-contoh kelas yang digunakan sebagai dasar klasifikasi.
51 Pada klasifikasi tak terbimbing, proses pengklasifikasian dimulai dengan
pemerikasaan seluruh pixel dan membagi kedalam kelas-kelas berdasarkan pada pengelompokan nilai-nilai citra seperti apa adanya. Hasil dari pengklasifikasian
ini disebut kelas-kelas spektral, yang kemudian akan dibandingkan dengan kelas- kelas data referensi untuk menentukan identitas dari nilai informasi kelas spektral
tersebut.
2. 8. Sistem Informasi Geografis SIG
Prahasta 2001 menjelaskan bahwa sejak pertengahan tahun 1970, telah dikembangkan sistem-sistem khusus yang dibuat untuk menangani masalah
informasi yang bereferensi geografis dengan berbagai cara dan bentuk. Sebutan umum untuk sistem yang menangani masalah tersebut adalah sistem informasi
geografis SIG. Dalam beberapa literatur SIG dipandang sebagai hasil dari perpaduan antara sistem komputer untuk bidang kartografi CAC atau sistem
komputer untuk bidang perencanaan CAD, dengan tekhnologi basis data database. Permasalahan tersebut meliputi: 1Pengorganisasian data dan
informasi, 2 Menempatkan informai pada tempat tertentu, 3 Melakukan komputasi, dengan memberikan ilustrasi keterhubungan satu sama lainnya,
beserta analisa-analisa spasial lainnya. Secara garis besar pengertian dari SIG yang telah beredar di berbagai
pustaka, antara lain merupakan sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang tererferensi secara spaial atau koordinat-koordinat geografi.
Dengan kata lain SIG merupakan sistem basis data dengan kemampuan- kemampuan khusus untuk data yang tereferensi secara geografi, berikut
sekumpulan operasi-operasi yang mengelola data tersebut Foote, 1995 dalam Prahasta, 2001
52
III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
3.1. Sejarah Kawasan
Kawasan hutan Lambusango seluas 28.510 ha yang terletak di Kabupaten Dati II Buton diperuntukkan sebagai kawasan hutan dengan fungsi suaka alam
berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan TGHK yang telah disahkan oleh Menteri Pertanian pada tanggal 1 September 1982 dengan SK Nomor
639Kpts9Um1982. Secara geografis kawasan ini terletak diantara 05°13-05°24 LS dan
122°47-122°56 BT. Secara administrasi pemerintahan, kawasan hutan Lambusango termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Kapontori, Lasalimu dan
Pasarwajo sedangkan secara administratif kehutanan termasuk wilayah RPH Pasarwajo BKPH Buton Barat, RPH Lasalimu dan RPH Kapontori BKPH
Buton Timur, KPH Buton. Status kawasan hutan Lambusango masih belum ditetapkan secara pasti
definitif. Permasalahan yang terjadi di kawasan Lambusango ini diantaranya adalah belum adanya fasilitas pengelolaan, perburuan, penebangan liar, dan
pemungutan hasil hutan bukan kayu, antara lain pengambilan rotan dan madu hutan.
Beberapa kegiatan yang ditujukan untuk pengelolaan kawasan telah dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan ataupun Pemerintah Daerah, antara lain
penetapan tata batas oleh Sub. BIPHUT Kendari, serta pembinaan daerah penyangga di desa Lambusango oleh Sub Balai KSDA Sulawesi Tenggara, berupa
pemberian bibit mangga dan jeruk kepada masyarakat Desa Lambusango pada tahun 1997. Desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan adalah desa
Barangka, Wakalambe, Lambusango, Wakangka, Lawele dan Kapontori, dengan mata pencaharian penduduknya sebagai petanikebun, nelayan, dan pedagang.
3.2. Ketinggian Tempat
Suaka Margasatwa Lambusango SM Lambusango secara umum terletak pada ketinggian 5 - 700 m dpl, dengan topografi datar hingga berbukit. Kelas
ketinggian beberapa stasiun penelitian disajikan dalam Tabel 3. Kelerengan