Optimasi pemanfaatan ruang kawasan konservasi gili sulat-Gili Lawang Kabupaten Lombok Timur

(1)

KABUPATEN LOMBOK TIMUR

SITTI HILYANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

Protected Area in East Lombok District. Under the direction of Achmad Fahrudin, Fredinan Yulianda and Dietriech G. Bengen.

Various economic activities underway and arround Gili Sulat-Gili Lawang protected area seriously impacted coral reef and seagrass ecosystems degradation. The aims of this research are to evaluate zoning of marine protected area, assess land suitability for multiple uses, the determine carryng capacity, and the optimize land utilization of marine protected area. Data and information were collected participatively using questioner and the field survey for assesing the biophysics characteristics of the Gili Sulat-Gili Lawang protected area.

The methods used consist the Geographic Information System (GIS) for suitability analysis; carrying capacity analysis using ecosystem utilitied, dinamic model for optimizing space and management sustainability with multidimension scalling analysis. The results show that marine protected area zone of Gili Sulat-Gili Lawang by using ecology, social and economic criteria was divided by three zoning these are no-take zone, limited use zone and other use zone. The condition of mangroves vegetation, live coral and seagrass are categorized from poor to good. Development activities that suitable for limited uses are demersal and pelagic fisheries and coastal tourism. 10.8 ha and 9.31 ha are suitable for scuba diving, snorkeling and coastal tourism with the capacity of tourism are 150 person/day and 120 person/day respectively. While the suitable for mangrove tourism was 23,04 ha with 230 person/day tourism capacity. Based on multidimension scaling approach and its priorites scale of priorities, the alternatives policies of marine protected area development are local wisdom improvement, supporting infrastructure and conservation fee policies.

Key words : optimize, management, conservation area, Gili Sulat - Gili Lawang Islands


(3)

Fredinan Yulianda dan Dietriech G. Bengen.

Gili Sulat - Gili Lawang merupakan Kawasan Konservasi Laut Daerah di Kabupaten Lombok Timur. Kawasan ini memiliki potensi sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai peruntukan.Meningkatnya kebutuhan masyarakat serta kurangnya pengetahuan masyarakat tentang fungsi sumberdaya menyebabkan tekanan terhadap ekosistem semakin meningkat dan mengancam eksistensi dan keberlanjutan sumberdaya. Disisi lain terjadi konflik kepentingan antar sektor, sehingga berimplikasi pada pengelolaan kawasan tidak efektif. Salah satu konsep pengelolaan kawasan konservasi yang konsisten mengedepankan kelestarian sumberdaya dan ekonomi masyarakat lokal adalah konsep pengembangan ekowisata bahari yang diintegrasikan dengan perikanan. Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis optimasi pemanfaatan ruang kawasan konservasi berbasis daya dukung, sehingga pengelolaannya dapat berkelanjutan. Secara khusus penelitian bertujuan untuk mengevaluasi penetapan kawasan dan penataan zona kawasan konservasi berdasarkan kriteria kesesuaian dan daya dukung kawasan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial serta mengkaji keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi.

Penelitian dilakukan di KKLD G.Sulat-G.Lawang pada bulan Mei sampai Oktober 2010. Jenis dan sumber data yang digunakan adalah data primer bersumber dari pengukuran langsung (✞✟ ✠✞✡ ☛), observasi dan wawancara dengan

responden dari berbagai unsur yaitu nelayan, wisatawan, pengusaha wisata, masyarakat lokal dan staf pemerintah. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka dari instansi terkait. Karakteristik sumberdaya dianalisis dengan pendekatan analisis potensi, Sedangkan karakteristik ekonomi dan sosial dianalisis dengan metode deskriptif dan TEV. Analisis kesesuaian kawasan untuk berbagai pemanfaatan (perikanan dan ekowisata) menggunakan metode analisis spasial dengan SIG, sedangkan untuk mengestimasi daya dukung kawasan dianalisis dengan perhitungan daya dukung kawasan. Metode yang digunakan untuk mengevaluasi efektifitas pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan menggunakan S☞ft Ware

Rapfish 2.1. Metode analisis dinamik spasial dan Stella 9.0 digunakan untuk menentukan pengelolaan kawasan yang optimal.

Hasil analisis evaluasi penataan Zona KKLD G.Sulat-G.Lawang menunjukkan bahwa penataan zona didasarkan pada pertimbangan kriteria ekologis tanpa pertimbangan ekonomi dan sosial. Hasil analisis penataan zona menunjukkan luas KKLD G.Sulat-G.Lawang 3.166,92 ha terdiri dari terdiri dari zona inti 193,83 ha, zona pemanfaatan terbatas 143,33 ha, zona rehabilitasi seluas 93,11 ha dan zona perairan lainnya seluas 1726 ha.

Berdasarkan karakteristik ekologi dan sosial ekonomi budaya menunjukkan kawasan G.Sulat-G.Lawang memiliki potensi relatif besar untuk pengembangan perikanan karang dan ekowisata. Hasil analisis kesesuaian lahan, luas lahan yang sesuai untuk pengembangan perikanan karang 108 ha, wisata selam 108 hektar, wisata snorkeling 93,11 ha dan wisata mangrove 1010,65 ha.

Analisis Daya Dukung menunjukkan luasan terumbu karang untuk wisata selam 10,8 ha dengan jumlah kunjungan 6900 orang/tahun atau150orang/hari,


(4)

jumlah produksi 15.120 kg/tahun atau 90 kg/hari.

Hasil analisis daya dukung gabungan menunjukkan bahwa untuk kegiatan wisata jumlah kunjungan 16.468 orang per tahun dengan nilai produk wisata Rp 1.586.800.000 per tahun, penyerapan tenaga kerja sebesar 49.404 HOK per tahun. Sedangkan untuk perikanan karang jumlah produksi ikan karang sebesar 174 ton per tahun dengan nilai produksi sebesar Rp 2.610.000.000 dan penyerapan tenaga kerja 69.600 HOK per tahun.

Optimasi pengelolaan kawasan G.Sulat-G.Lawang dapat dilakukan dengan menerapkan kebijakan terpadu antara program konservasi sumberdaya mangrove,terumbu karang dan lamun, peningkatan penyerapan tenaga kerja, pelibatan masyarakat lokal dan peningkatan infrastruktur penunjang kegiatan perikanan dan ekowisata.

Indeks keefektifan pengelolaan kawasan konservasi (ikb) menunjukkan nilai 62.94%, berarti bahwa hasil penilaian terhadap 38 atribut dengan 4 dimensi pengelolaan menunjukkan pengelolaan kawasan berada pada kategori cukup efektif (ikb berkisar 34,98%-62,94%). Pengelolaan kawasan untuk kepentingan perikanan dan ekowisata termasuk kategori cukup efektif pelaksanaannya ditinjau dari dimensi ekologi, kategori cukup efektif dalam mengatasi masalah sosial dan ekonomi, dan kurang efektif pengelolaannya ditinjau dari dimensi kelembagaan. Beberapa atribut penting yang mempengaruhi nilai efektivitas pengelolaan kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang adalah penataan batas-batas zona secara jelas, keberadaan lembaga dan aturan-aturan adat dalam pengelolaan kawasan, serta penyediaan infrastruktur penunjang.


(5)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Provinsi Nusa Tenggara ✌arat dengan luas ✍ ✎✏ ✑✒ ✓ ✔✎ km ✕

memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi✖ Luas laut ✗✎ ✔✘✎✓✑✍ Km

✓ sedangkan luas

daratan meliputi areal seluas ✗✑ ✔✘✏✓✔✘ Km ✕

✖ Perairan laut tersebut mengelilingi

garis pantai sepanjang ✗ ✏ ✏ ✏ km✓ dan di dalamnya terdapat berbagai ekosistem

seperti mangrove✓ padang lamun dan terumbu karang serta berbagai jenis ikan

dengan luas terumbu karang ✏ ✙✑✔ km ✕

✖ ✚engan demikian perlu usaha untuk

melestarikan keanekaragaman hayati melalui upaya konservasi kawasan✖

✌erdasarkan ✛✜ ✢ ✣✜ ✤-✛✜ ✢ ✣✜ ✤ ✥ ✦ 5 t✣✧✜u 1✎ ✎0 t★ ✜t✣✜ ✤ Konservasi

Sumberdaya ✩lam ✪ayati dan ✫kosistemnya✓ maka kawasan konservasi

ditetapkan pada berbagai ekosistem termasuk perairan laut✖ Melalui peraturan

dan perundangan tersebut✓ pengaturan konservasi tidak hanya melarang✓

membatasi dan menjadikan sumberdaya pesisir dan laut bersifat ekslusif bagi masyarakat✖ Pengaturan konservasi juga mengutamakan perbaikan ekosistem

pesisir yang nantinya diharapkan dapat meningkatkan nilai tangkapan ikan selain peningkatan kualitas ekosistem pesisir juga menjadi daya tarik wisatawan sehingga dapat menjadi sumber mata pencaharian alternatif masyarakat✖

✩danya program Kementerian Kelautan Republik ✬ndonesia tentang

pencapaian target luas kawasan konservasi di ✬ndonesia ✔ ✑ juta hektar ditahun ✗✑ ✔ ✑✓ ✔✘✓✘ juta hektar di tahun ✗✑ ✔✘ dan ✗✑ juta hektar di tahun ✗✑✗✑ telah

mendorong Pemerintah ✚aerah untuk mengalokasikan wilayah kewenangannya

sebagai kawasan konservasi✖Salah satu implementasi program di Provinsi Nusa

Tenggara ✌arat dilakukan melalui penetapan KKL✚ ✭ili Sulat dan ✭ili Lawang

pada tahun ✗✑ ✑✍ berdasarkan SK ✌upati Lombok Timur No✔✮ ✮✖✍✘ ✯✍✘ ✗ ✯KP✯✗✑ ✑✍

yang dikoordinasi secara terpadu oleh ✚inas Perikanan dan Kelautan dengan

berbagai instansi terkait lain✖

✭ili Sulat Gili Lawang (disebut G.Sulat-G.Lawang) merupakan dua buah

pulau kecil tidak berpenduduk yang di dominasi oleh ekosistem mangrove dan terdapat beberapa jenis satwa endemik, ikan karang, terumbu karang dan padang lamun. Luas mangrove di G.Sulat 641.630 ha, dan di G.Lawang 369. 023 ha, sedangkan luas terumbu karang di G.Sulat 178.688 ha dan di G.Lawang


(6)

181.254 ha. Luas lamun di G.Sulat 47. 599 ha dan di G.Lawang 35.682 ha. Dengan kondisi perairan yang masih bersih, keanekaragaman hayati dengan endemitas tinggi, bentang alam yang indah, serta letak geografis yang strategis menjadikan kawasan G.Sulat-G.Lawang memiliki potensi yang cukup besar terutama untuk pengembangan ekowisata, sehingga kawasan tersebut cukup potensial sebagai sumber ekonomi baik untuk pendapatan daerah maupun untuk kesejahteraan masyarakat sekitar.

Permasalahan KKLD G.Sulat-G.Lawang adalah kedua pulau ini telah ditetapkan sebagai hutan lindung oleh Kementerian Kehutanan berdasarkan hasil TGHK tahun 1994. Di l✰ ✱✲ pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan

menetapkan sebagai KKLD tahun 2004. Tanggal 22 Oktober 2009, Menteri Kehutanan mengukuhkan kembali sebagai hutan lindung berdasarkan SK Menhut No 598/Menhut II/ 2009 (Lampiran 1). Hal ini berimplikasi pada tumpang tindihnya kewenangan pengelolaan kawasan. Permasalahan lain yang perlu mendapat perhatian serius adalah penetapan zona dalam kawasan hanya mempertimbangkan kriteria ekologi tanpa mempertimbangkan kriteria sosial dan ekonomi, padahal masyarakat secara turun temurun menggantungkan hidupnya pada sumberdaya dalam kawasan jauh sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai hutan lindung maupun sebagai KKLD. Kondisi ini tidak sejalan dengan apa yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No 17 tahun 2007 yang merupakan turunan UU 27 tahun 2007, bahwa tujuan penetapan kawasan konservasi perairan yaitu melindungi dan melestarikan sumber daya ikan serta tipe-tipe ekosistem penting untuk menjamin keberlanjutan fungsi ekologisnya, mewujudkan pemanfaatan sumber daya ikan dan jasa lingkungan secara berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan konservasi.

Dengan terbitnya PP No. 60 Tahun 2007 memberikan peluang dan dukungan secara politik pada setiap daerah untuk memperbaiki pengelolaan kawasan konservasi yang telah ada. Berkaitan dengan adanya kewenangan dua sektor dalam pengelolaan kawasan G.Sulat-G.Lawang, maka dalam pengembangannya memerlukan pengelolaan secara terintegrasi. Disamping itu diperlukan evaluasi penataan zona berdasarkan kriteria kesesuaian ekologi, ekonomi dan sosial. Oleh karena itu pengelolaan kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang dilakukan dengan menggunakan konsep pengelolaan yang mampu


(7)

mengakomodir kebutuhan masyarakat sekitar melalui suatu model pengelolaan kawasan berbasis kesesuaian dan daya dukung. Dalam mengimplementasikan konsep tersebut perlu diawali oleh kajian ilmiah tentang optimasi pemanfaatan ruang kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang Kabupaten Lombok Timur.

1.2. Perumusan Masalah

Ketika perkembangan ilmu pengetahuan dan partisipasi masyarakat semakin meningkat, disadari bahwa konservasi tidak mungkin dapat berhasil dan berkelanjutan tanpa mengakomodir kepentingan social ekonomi masyarakat. Masyarakat mulai kritis menuntut agar masyarakat diberikan akses dalam memanfaatkan sumberdaya termasuk pada kawasan konservasi. Pengakuan hak-hak masyarakat, kepentingan perikanan berkelanjutan dan sharing kewenangan pengelolaan kawasan antara pusat dan daerah menjadi tuntutan dan salah satu tolok ukur pertimbangan pembangunan konservasi berbasis masyarakat.

Sejak G.Sulat-G.Lawang ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) tahun 2004 berdasarkan SK Bupati Lombok Timur No 188.45/452/KP/2004, sampai saat ini pengelolaannya belum efektif, bersifat sektoral dan pemanfaatan bersifat destruktif oleh masyarakat karena alasan ekonomi dan minimnya pengetahuan masyarakat tentang arti penting ekosistem. Alasan lainnya adalah penataan zona yang ada hanya mempertimbangkan aspek ekologis. Atas dasar permasalahan tersebut, pengembangan KKLD G.Sulat-G.Lawang dilakukan dengan pengelolaan yang mampu mengakomodir kepentingan sosial ekonomi masyarakat yang memanfaatkan, melalui suatu model pengelolaan kawasan berbasis kesesuaian dan daya dukung.

Dengan pola pengembangan yang demikian, diharapkan permasalahan pengembangan G.Sulat-G.Lawang dapat diatasi, mengingat dalam konteks pengelolaan kawasan konservasi ada tiga prinsip utama yang perlu dilakukan yaitu fishing right, insentif teknis, sosial dan ekonomi serta pengelolaan sumberdaya. Konsep ini seiring dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang menekankan pada tiga pilar yaitu pilar ekonomi menekankan pada pendapatan yang berbasis penggunaan sumberdaya yang efisien, pilar ekologi menekankan pentingnya perlindungan keanekaragaman hayati yang memberikan kontribusi pada keseimbangan ekosistem, dan pilar sosial


(8)

menekankan pemeliharaan kestabilan sistem sosial budaya meliputi penghindaran konflik keadilan baik antar maupun dalam suatu generasi.

Untuk menjamin keberhasilan pengembangan kawasan konservasi tidak cukup dengan hanya mengklaim suatu area sebagai kawasan konservasi perairan yang ditandai dengan adanya dokumen atau surat keputusan. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu kawasan konservasi perairan sehingga untuk mencapai hal tersebut bukanlah hal yang mudah. Menurut Salm etl 2000, bahwa kesuksesan dari suatu kawasan konservasi perairan adalah

adanya suatu kerangka hukum, penerimaan masyarakat pesisir, dukungan sistem manajemen yang baik dan efektif, dan adanya batasan daerah yang jelas. Mengingat permasalahan dalam pengelolaan G.Sulat-G.Lawang yang bersifat multiuse , dimana masyarakat sejak bertahun-tahun dan secara turun temurun menjadikan sumberdaya dalam kawasan sebagai sumber mata pencaharian utama, adanya persoalan kewenangan multi sektor, dan di sisi lain kepentingan Pemeritah Daerah Kabupaten Lombok Timur dalam kebijakan yang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah tahun 2010 sebagai kawasan wisata bahari, maka perlu dilakukan evaluasi penataan zona didalamnya dengan mempertimbangkan kriteria ekologi, ekonomi dan sosial sebagaimana diatur dalam Permen No 17 tahun 2008 sebagai turunan UU 27 tahun 2007 tentang kawasan konservasi perairan.Untuk mendukung pemanfaatan ruang kawasan yang paling optimal, perlu dilakukan analisis kesesuaian lahan dan daya dukung kawasan.

Sebagai konsekuensi dari kawasan konservasi, maka setiap aktivitas yang akan dikembangkan harus berbasis kesesuaian dan daya dukung kawasan sehingga secara ekologis kualitas sumberdaya dapat terjaga keberlanjutannya, disamping memberikan kontribusi ekonomi yang menguntungkan serta dapat menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat secara sosial.

Untuk menuju pada pengelolaan KKLD G.Sulat-G.Lawang berbasis kesesuaian lahan dan daya dukung, terdapat empat pertanyaan besar yang akan dijawab melalui penelitian ini, yaitu :

1. Apakah penetapan kawasan konservasi dan zona di dalamnya sudah mempertimbangkan kriteria kesesuaian kawasan konservasi perairan ?


(9)

2. Bagaimana kesesuaian dan daya dukung lahan dalam pemanfaatan kawasan konservasi?

3. Bagaimana pemanfaatan ruang kawasan berbasis daya dukung yang paling optimal?

4. Apakah pengelolaan kawasan berbasis daya dukung tersebut dapat berkelanjutan?

1.3.

Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun skenario pemanfaatan ruang yang paling optimal berbasis konservasi di KKLD Gili Sulat-Gili Lawang Kabupaten Lombok Timur. Tujuan khusus penelitian adalah : 1) Mengevaluasi kriteria kesesuaian penetapan sub zona di KKLD Gili Sulat-Gili Lawang; 2) Menganalisis kesesuaian dan daya dukung lahan di kawasan konservasi Gili Sulat-Gili Lawang; 3) Menganalisis optimasi pemanfaatan ruang kawasan Gili Sulat-Gili Lawang berbasis daya dukung dan 4) Menganalisis keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi Gili Sulat-Gili Lawang berbasis daya dukung.

Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi : 1) Ilmu pengetahuan, hasil penelitian digunakan sebagai acuan dalam pengembangan model alokasi sumberdaya di kawasan konservasi secara berkelanjutan; 2) Masyarakat, sebagai gambaran dalam menentukan seberapa besar pemanfaatan sumberdaya dapat dikembangkan secara optimal; dan 3) Pemerintah, digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi bagi Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat serta Provinsi lainnya yang memiliki areal kawasan konservasi.

1.4. Kerangka Pemikiran

Pembangunan pulau kecil memerlukan pendekatan khusus karena memiliki keterbatasan sumberdaya alam, ekonomi dan budaya, sehingga tidak banyak pilihan dalam pembangunannya, seperti pengembangan pulau secara terbatas atau sebagai kawasan konservasi. Keterbatasan ini memberikan pilihan model pengelolaan pulau kecil berbasis daya dukung, sehingga diharapkan dapat memberikan prioritas pengelolaan yang lebih terarah dan berkelanjutan.


(10)

Dalam perencanaan pengelolaan pulau kecil, prioritas pembangunan sumberdaya manusia sangat penting selain sumberdaya alamnya, karena terkait dengan keberlanjutan pengelolaan pulau serta kesejahteraan masyarakat setempat. Dalam pengembangan kawasan konservasi cukup banyak kendala yang dihadapi, namun bukan berarti kawasan konservasi tidak dapat dikembangkan, melainkan pola pembangunannya harus mengikuti kaidah ekologis, sehingga tingkat pemanfaatan tidak boleh melebihi daya dukung kawasan. Dampak negatif pembangunan hendaknya ditekan seminimal mungkin sesuai dengan kemampuan daya dukung. Selain itu setiap kegiatan yang akan dikembangkan harus memenuhi skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan serta sesuai dengan budaya lokal (Bengen 2002).

Pola pembangunan wilayah pulau kecil dengan pendekatan pembangunan berkelanjutan (sustinble development) suatu wilayah kepulauan

secara ekologis memerlukan empat persyaratan (Dahuri 1998). Pertama setiap kegiatan pembangunan harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik sesuai. Persyaratan ini dapat dilakukan dengan membuat peta kesesuaian (land suitability). Kedua jika memanfaatkan sumberdaya dapat pulih, maka tingkat pemanfaatannya tidak boleh melebihi potensi lestari stok ikan tersebut. Ketiga

jika membuang sampah di pulau (biodegradable) tidak melebihi kapasitas asimilasi lingkungan pulau tersebut. Keempat jika akan memodifikasi bentang alam suatu pulau harus sesuai dengan pola hidrodinamika setempat dan proses-proses alami lainnya (design with nature).

G.Sulat-G.Lawang merupakan pulau sangat kecil tidak berpenduduk dan didominasi ekosistem mangrove, disamping ekosistem terumbu karang dan padang lamun yang dalam proses pemanfaatannya selama ini telah mengakibatkan perubahan-perubahan terhadap ekosistemnya, seperti penebangan hutan mangrove serta rusaknya terumbu karang. G.Sulat-G.Lawang merupakan kawasan konservasi laut daerah, dimana banyak pihak yang berkepentingan dalam pemanfaatannya, sehingga perlu dilakukan kajian tentang Optimasi Pemanfaatan Ruang Kawasan. Untuk melakukan kegiatan ini dibuat skema tahapan analisis optimasi pemanfaatan ruang kawasan konservasi seperti berikut :


(11)

1. Pemanfaatan kawasan konservasi berbasis daya dukung dimulai dari pemahaman tentang kondisi biofisik ekosistem, sosial budaya, ekonomi dan pemanfatan kawasan yang sesuai.

2. Setelah menyusun kriteria biofisik untuk membuat peta kesesuaian lahan, perlu diketahui potensi sumberdaya bio-geofisik kawasan. Pengukuran potensi sumberdaya berkaitan dengan seberapa besar pemanfaatan yang dapat dilakukan dan berapa besar sumberdaya yang dapat dieksploitasi sehingga tidak melebihi daya dukungnya.

3. Dalam menentukan kesesuaian lahan didasarkan pada analisis daya dukung (ekologi, ekonomi dan sosial) dan analisis biofisik. Beberapa pendekatan untuk menentukan analisis tersebut seperti parameter kualitas lingkungan perairan (fisika, kimia dan biologi), potensi mangrove, terumbu karang dan lamun.

4. Hasil beberapa analisis yang dilakukan seperti analisis kesesuaian lahan, analisis potensi sumberdaya alam dan analisis multikriteria,memberikan prioritas pemanfaatan ruang kawasan berbasis kesesuaian dan daya dukung.

G.Sulat-G.Lawang memiliki sumberdaya alam yang dalam proses pengembangannya harus mengikuti kaidah-kaidah sebagai kawasan konservasi. Beberapa karakteristik G.Sulat-G.Lawang seperti pemanfaatan secara intens oleh masyarakat, kesulitan dalam meningkatkan skala ekonomi, sehingga pemanfaatannya harus melalui perencanaan yang tepat. Oleh karena itu pemanfaatan kawasan G.Sulat-G.Lawang harus melalui proses analisis potensi berdasarkan kesesuaian kawasan dan daya dukung. Hasil analisis berbagai aspek di atas digabungkan dengan analisis kesesuaian pemanfaatan dan analisis multikriteria untuk pengelolaan kawasan, sehingga diharapkan pemanfaatannya dapat dilakukan secara berkelanjutan.

1.5. Hipotesis

Dari uraian latar belakang, tujuan dan permasalahan yang ada maka hipotesis yang dapat diajukan adalah :

Pemanfaatan ruang berbasis

kesesuaian lahan dan daya dukung dapat menentukan keberlanjutan

pengelolaan kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang .


(12)

Diagram alir kerangka pemikiran kajian optimasi pemanfaatan ruang kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang dapat dilihat pada Gambar 1 berikut :

Gambar 1. Kerangka Pendekatan Penelitian

OPTIMASI PEMANFATAN RUANG KAWASAN YA

TIDAK

ARAHAN PEMANFAATAN RUANG KKLD Gili Sulat-Gili Lawang KKLD GILI SULAT - GILI LAWANG

SK BUPATI No 188.45/452/KP/2004

PENETAPAN KAWASAN LINDUNG GILI SULAT-GILI LAWANG (SK Menhut, 1994)

Permen 17 tahun 2008

EVALUASI KESESUAIAN EKOLOGIS

PENGUKUHAN HUTAN LINDUNG (SK Menhut No : 598/Menhut II/ 2009)

DAYA DUKUNG EKOLOGIS KESESUAIAN EKOLOGIS ?

ANALISIS KEBERLANJUTAN

KAWASAN KONSERVASI GILI SULAT - GILI LAWANG

ASPEK EKONOMI, SOSIAL, KELEMBAGAAN

EKONOMI SOSIAL EKOLOGI


(13)

1. 6. Penelitian Terdahulu

Tabel berikut ini menguraikan beberapa penelitian yang sudah dilakukan di lokasi G.Sulat-G.Lawang.

Tabel 1.Penelitian yang telah dilakukan di G.Sulat-G.Lawang

No Author Tahun Judul

1. Tri Ari Setyastuti Tesis Program Studi SPL Sekolah

Pascasarjana IPB, 2002

Kajian Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat di Desa Sambelia, Kab. Lombok Timur NTB

2 BRKP Tim Peneliti,

2003

Kajian Potensi Sumberdaya Pesisir dan Laut

3 Syamsul Agus Bahri Tesis Program Studi SPL Sekolah

Pascasarjana IPB, 2005

Penilaian Ekologi Ekonomi Sumberdaya Wilayah Pesisir di Sambelia Kecamatan sambelia, Kabupaten Lombok Timur. 4 Sitti Hilyana, dkk Penyusunan

Masterplan Mangrove se Nusa Tenggara Barat, 2006

Identifikasi Tingkat Kekritisan Ekosistem Mangrove di Kawasan Konservasi Gili Sulat-Gili Lawang

5 Yayasan Laut Biru Cofish Project, 2006

Penyusunan Aturan

Pengelolaan SDPL berbasis Masyarakat.

6 P3L Unram Dislutkan

Kabupaten Lotim, 2009

Identifikasi Kondisi Terumbu Karang di kawasan Sambelia Kabupaten Lombok Timur

1.7. Novelty (Kebaruan) Penelitian

Disertasi ini memiliki kebaruan pada konsepnya yaitu menghasilkan : 1. Model pemanfaatan ruang kawasan konservasi berbasis daya dukung 2. Model integrated multi sektor dalam pengelolaan kawasan konservasi


(14)

✵✶

INJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil.

Beller✸t l.(1990) mendefinisikan Pulau Kecil sebagai pulau dengan luas

< 10.000 km2 dan mempunyai penduduk < 500.000 jiwa. Fakland (1991) menyatakan pulau kecil adalah suatu wilayah yang memiliki luas tidak lebih dari 2000 km2dan lebarnya tidak lebih dari 10 km, sedangkan definisi untuk pulau sangat kecil yaitu wilayah yang memiliki luas tidak lebih dari 100 km2dan lebar tidak lebih dari 3 km ( UNESCO 1991).

Kepmen Kelautan dan Perikanan No. 41/2000 tentang Pedum Pengelolaan PPK, bahwa pulau kecil adalah pulau yang ukuran luasnya < 10.000 km2dengan jumlah penduduk < 200.000 jiwa. Sedangkan untuk pulau dengan ukuran <2.000 km2 terdapat pedoman khusus menyangkut kegiatan ekonomi sesuai dengan ukuran pulau, mencakup kegiatan konservasi sumberdaya alam, budidaya laut, pariwisata bahari, usaha penangkapan ikan berkelanjutan, industri teknologi tinggi non-ekstraktif, pendidikan dan penelitian, dan lain sebagainya. Ukuran pulau kecil ini kemudian ditegaskan sebagai pulau dengan ukuran <2000 km2 pada peraturan perundangan terbaru yaitu Perpres No 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan PPK Terluar. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada definisi yang baku tentang PPK selain luas lahan dan populasi menjadi indikator utama definisi tersebut (Adrianto 2006).

Arahan pengelolaan PPK diperuntukan bagi kegiatan berbasis konservasi, artinya pemanfaatan untuk berbagai kegiatan yang bersifat eksploratif-destruktif tidak diperkenankan, karena PPK memiliki sejumlah kendala dan karakteristik yang sangat berbeda dengan pulau besar (mainland). Atas dasar karakteristiknya, maka arahan peruntukan dan pemanfaatannya berupa kegiatan yang memanfaatkan potensi sumberdaya PPK, seperti perikanan tangkap, budidaya laut, dan pariwisata (Bengen 2002 dalam Maanema 2003). Kebijakan pengelolaan PPK harus berbasis kondisi dan karakteristik biogeofisik serta sosial ekonomi, mengingat peran dan fungsi kawasan sangat penting baik bagi kehidupan ekosistem laut maupun ekosistem daratan (mainland) Fauzi dan Anna (2002). Salah satu cara yang diterapkan adalah menetapkan Daerah Perlindungan Laut (DPL), dengan maksud melindungi sumberdaya perikanan, pelestarian genetik dan plasma nutfah serta mencegah rusaknya bentang alam (Salmet al.2000 dalam Maanema 2003).


(15)

Tabel 2. Kriteria umum untuk penentuan pemanfaatan pulau-pulau kecil

No Kriteria Uraian

1. Sosial a. Diterimanya secara sosial, berarti : didukung oleh masyarakat lokal, adanya nilai-nilai lokal untuk melakukan konservasi SDA, adanya kebijakan pemerintah setempat untuk menetapkan Daerah Perlindungan Laut (DPL).

b. Kesehatan masyarakat, berarti : mengurangi pencemaran dan berbagai penyakit, mencegah terjadinya area kontaminasi.

c. Rekreasi, berarti : dapat digunakan untuk kegiatan rekreasi, masyarakat lokal dapat memanfaatkan manfaat dengan berkembangnya kegiatan rekreasi.

d. Budaya, berarti : adanya nilai-nilai agama, sejarah dan budaya lainnya yang mendukung adanya DPL.

e. Estetika, berarti : adanya bentang laut dan bentang alam yang indah, keindahan ekosistem dan keanekaragaman jenis memberikan nilai tambah untuk rekreasi.

f. Konflik kepentingan, berarti :pengembangan DPL akan membawa efek positif pada masyarakat lokal.

g. Keamanan, berarti : dapat melindungi masyarakat dari berbagai kemungkinan bahaya badai, ombak, arus, dan bencana lainnya.

h. Aksesibilitas, berarti : memiliki akses dari daratan dan lautan.

i. Penelitian dan pendidikan, berarti : memiliki berbagai ekosistem yang dapat dijadikan objek penelitain dan pendidikan.

j. Kepedulian masyarakat, berarti : masyarakat ikut berperan aktif dalam melakukan kegiatan konservasi.

2. Ekonomi a. Memiliki spesies penting, berarti : area yang dilindungi memiliki spesies yang bernilai ekonomi, misalnya terumbu karang, mangrove, dan estuaria.

b. Memiliki nilai penting untuk kegiatan perikanan, berarti : area perlindungan dapat dijadikan untuk menggantungkan hidup para nelayan, area perlindungan merupakan daerah tangkapan.

c. Ancaman terhadap alam, berarti : adanya ancaman dari aktifitas manusia, adanya ancaman dari kegiatan merusak seperti pengeboman, penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan, daerah yang perlu dikelola untuk menjaga kelestariannya.

d. Keuntungan ekonomi, berarti : adanya dampak positif bagi ekonomi setempat.

e. Pariwisata, berarti : merupakan area yang potensial dikembangkan untuk pariwisata.

3. Ekologi a. Keanekaragaman hayati, berarti : memiliki kekayaan keanekaragaman ekosistem spesies.

b. Kealamiahan, berarti : tidak mengalami kerusakan, masih dalam keadaan alami.

c. Ketergantungan, berarti : berbagai spesies sangat tergantung pada area ini, proses-proses ekologi sangat bergantung pada daerah ini.

d. Keterwakilan, berarti : area yang akan ditentukan mewakili berbagai tipe habitat, ekosistem, geologikal, dan berbagai karakteristik alam lainnya. e. Keunukan, berarti : memiliki spesies yang unik, memiliki spesies yang

endemik, memiliki spesies yang hampir punah.

f. Produktifitas, berarti : produktifitas area akan memberikan kontribusi untuk berbagai spesies dan manusia.

g. Vulnerabilitas, berarti : area ini memiliki fungsi perlindungan dari berbagai ancaman bencana.

4. Regional a. Tingkat kepentingan regional, berarti : mewakili karakteristik regional setempat baik itu alamnya, proses ekologi, maupun budayanya, merupakan daerah migrasi beberapa spesies, memberikan kontribusi untuk pemeliharaan berbagai spesies.

b. Tingkat kepentingan sub-regional, berarti : memiliki dampak positif terhadap subregional, dapat dijadikan perbandingan dengan subregional yang tidak dijadikan DPL.


(16)

Beberapa persoalan ekologi yang terjadi di kawasan pesisir pulau-pulau kecil merupakan akibat terlampauinya daya dukung karena eksploitasi sumberdaya, seperti penebangan mangrove akan menyebabkan hilangnya fungsi ekologis, walaupun memberikan kontribusi secara ekonomi tetapi hanya dalam waktu tertentu. Alrasjid 1988 dalam Dahuri et al 1998, bahwa ekosistem mangrove mampu menghasilkan sekitar 9m3kayu/ha/tahun.

Adanya keterbatasan PPK, maka pengelolaannya berdasarkan penzonasian dan berbasis daya dukung. Penzonasian dilakukan berdasarkan kriteria yang terkait satu sama lain sehingga pengelolaannya dilakukan secara terpadu. Kriteria zonasi pulau kecil (Bengen 2002) yaitu :

1) Ekologi meliputi : keanekaragaman hayati, didasarkan pada keragaman atau kekayaan ekosistem, habitat, komunitas dan jenis biota; kealamian, didasarkan pada tingkat degradasi; ketergantungan, didasarkan pada tingkat ketergantungan spesies pada lokasi atau tingkat dimana ekosistem bergantung pada proses-proses ekologi yang berlangsung dilokasi; keunikan, didasarkan pada keberadaan suatu spesies endemik atau yang hampir punah; integritas, didasarkan pada tingkat dimana lokasi merupakan suatu unit fungsional dari entitas ekologis; produktivitas, didasarkan pada tingkat dimana proses-proses produktif dilokasi memberikan manfaat bagi biota atau manusia; kerentanan, didasarkan pada kepekaan lokasi terhadap degradasi oleh pengaruh alam maupun aktivitas manusia.

2) Ekonomi meliputi : spesies penting, didasarkan pada tingkat dimana spesies penting komersial tergantung pada lokasi; kepentingan perikanan, didasarkan pada jumlah nelayan yang tergantung pada lokasi dan ukuran hasil perikanan; bentuk ancaman, didasarkan pada luasnya perubahan pola pemanfaatan yang mengancam keseluruhan nilai lokasi bagi manusia; manfaat ekonomi, didasarkan pada tingkat perlindungan lokasi berpengaruh pada ekonomi lokal dalam jangka panjang; pariwisata, didasarkan pada nilai keberadaan atau potensi lokasi untuk pengembangan pariwisata.

3) Sosial-budaya meliputi : penerimaan sosial, didasarkan pada tingkat dukungan masyarakat; kesehatan masyarakat, didasarkan pada keberadaan kawasan dapat membantu mengurangi pencemaran atau penyakit yang berpengaruh pada kesehatan masyarakat; budaya, didasarkan pada nilai sejarah, agama, seni atau nilai budaya lain di lokasi;


(17)

estetika, didasarkan pada nilai keindahan lokasi; konflik kepentingan, didasarkan dimana kawasan dapat berpengaruh pada aktivitas masyarakat lokal; keamanan, didasarkan pada tingkat bahaya dari lokasi bagi manusia karena adanya arus kuat, ombak besar dan hambatan lainnya; aksesibilitas, didasarkan pada tingkat kemudahan mencapai lokasi; apresiasi masyarakat, didasarkan pada tingkat dimana monitoring, penelitian, pendidikan, atau pelatihan dapat berkontribusi pada pengetahuan nilai-nilai lingkungan dan tujuan konservasi.

2.2. Kawasan Konservasi

Kawasan yang dilindungi (protected area) adalah suatu areal yang secara khusus diperuntukan bagi perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati dan budaya, dikelola melalui upaya yang legal atau upaya efektif lainnya IUCN (1994). Definisi Kawasan Konservasi di Indonesia tertuang dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, mengadopsi dari World Conservation Strategy (IUCN 1980), yakni konservasi didefinisikan sebagai manajemen biosphere secara berkelanjutan untuk memperoleh manfaat bagi generasi sekarang dan yang akan datang.

Dalam penentuan suatu ekosistem menjadi daerah perlindungan dan pelestarian ditentukan oleh kebutuhan untuk melindungi ekosistem. Berdasarkan pendekatan ekologis, apabila ekologis tidak terpenuhi maka akan menyebabkan kerusakan kawasan yang dijadikan sebagai daerah perlindungan. Ada dua konsep dasar dalam menentukan batasan ekologis dalam upaya perlindungan kawasan terumbu karang, yaitu (1) Habitat yang harus dimasukkan kedalam kawasan perlindungan dan (2) Luas daerah yang harus dilindungi (Salm and Clark 1982). Menurut Westmacott et al 2000, bahwa konservasi memegang peranan penting bagi pelestarian dan pengelolaan terumbu karang, dengan cara : (a) melindungi daerah terumbu karang yang tidak rusak dan sebagai sumber larva serta alat untuk membantu pemulihan, (b) melindungi daerah bebas dari dampak manusia dan sesuai sebagai substrat karang dan pertumbuhan kembali, (c) memastikan bahwa terumbu karang tetap menopang keberlangsungan kebutuhan masyarakat sekitar termasuk untuk kegiatan perikanan dan wisata.

Alcala (1988) dan Roberts (1995), bahwa pengembangan kawasan konservasi laut dalam luasan kecil pada suatu wilayah menunjukkan peningkatan


(18)

yang cukup berarti pada produktivitas perikanan disekitarnya, seperti pada tiga pulau di Philipina, diperoleh produksi perikanan antara 10.94 24 metrik ton (mt)/km2/tahun sebelum dibangun KKL. White (1989) di Pulau Sumilon hasil produksi perikanan sebesar 14-24 mt/km2/tahun sebelum ada KKL, setelah dibangun KKL hasil tangkapan meningkat menjadi 36 mt/km2/tahun. Produksi KKL kembali menurun 20 mt/km2/tahun ketika pengelolaan KKL mengalami masalah. White (1989), bahwa KKL merupakan area recruitment bagi ikan karang yang bergerak pada kawasan terumbu karang di dalam dan diluar KKL. Hutomo dan Suharti (1998) melaporkan bahwa terumbu karang dapat memberikan manfaat langsung berupa hasil laut sebanyak 25 ton/ha/tahun.

Keanekaragaman species digunakan sebagai indikator stabilitas lingkungan. Selain itu, species itu sendiri penting karena fungsinya bertindak dalam menimbulkan jasa ekologis yang bernilai ekonomis. Keanekaragaman secara fungsional menentukan ketahanan(resilience) ekosistem atau sensitivitas ekosistem (Holling et al 1996). Jumlah species dan komposisi species ikan merupakan indikator integritas biotik ekosistem perairan (Karr 2002).

Menurut Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 dalam DKP (2002) terdapat 4 (empat) kategori kawasan lindung yaitu :

(1) Kawasan yang memberikan Perlindungan bagi kawasan bawahannya meliputi: Kawasan hutan lindung yaitu kawasan hutan yang terletak di pesisir dan telah ditetapkan sebagai Hutan Lindung (Perda RTRW); Kawasan bergambut yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut yang berfungsi mengendalikan faktor hidrologi wilayah dan melindungi ekosistem yang khas; dan Kawasan resapan air atau sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS)

(2) Kawasan perlindungan setempat meliputi: Kawasan sempadan pantai yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi pantai, minimal 100 meter dari pasang tertinggi ke arah darat; Kawasan sekitar mata air atau DAS. Pada daerah pesisir, kawasan mata air yang perlu dilindungi terutama yang terdapat di pulau-pulau kecil;

(3) Kawasan suaka alam dan cagar budaya, Kawasan Perlindungan terhadap kawasan suaka alam dilakukan untuk melindungi keanekaragaman biota, ekosistem tertentu, gejala dan keunikan alam bagi kepentingan plasma nutfah, ilmu pengetahuan dan pembangunan pada umumnya. Kawasan


(19)

Suaka Alam dan Cagar Budaya adalah Kawasan Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Kawasan Taman Nasional dan Kawasan Taman Wisata Alam yang dapat ditemukan di wilayah daratan dan perairan pesisir.

(4) Kawasan rawan bencana alam, perlindungan terhadap kawasan rawan bencana alam dilakukan untuk melindungi manusia dan kegiatannya dari bencana yang disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia.

Kawasan konservasi didasarkan atas kategori IUCN (1980): Strict Nature Reserve/Wilderness Area (kawasan cadangan alam/hutan belantara); National Park (Taman Nasional); Natural Monument Area (Kawasan Monumen Alam); Kawasan yang dilindungi untuk komponen alami tertentu yang khas dan unik karena kelangkaan wilayah dan jenis biotanya, kualitas estetikanya atau kepentingan budaya; Habitat/Species Management Area (kawasan pengelolaan habitat/ species tertentu); Kawasan lindung yang dikelola untuk kegiatan konservasi. Pada kawasan ini terdapat unsur intervensi manusia; Landscape/Seascape Protected Area (kawasan perlindungan bentang alam/ bentang laut), kawasan yang dilindungi dengan tujuan konservasi bentang alam dan bentang laut; Managed Resources Protected Area (kawasan perlindungan bagi pengelolaan sumberdaya); dan Kawasan lindung yang dikelola untuk keberlanjutan pemanfaatan ekosistem dan sumberdaya pesisir.

Kawasan konservasi di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil memiliki fungsi (Agardy 1997; Barret al.1997dalam Bengen 2002):

(1) Melindungi keanekaragaman hayati serta struktur, fungsi dan integritas ekosistem; dapat berkonstribusi untuk mempertahankan keanekaragaman hayati pada semua tingkatan trophik dari ekosistem, melindungi hubungan jaringan makanan, dan proses-proses ekologis dalam suatu ekosistem. (2) Meningkatkan hasil perikanan; dapat melindungi daerah pemijahan,

pembesaran dan mencari makanan; meningkatkan kapasitas reproduksi dan stok sumberdaya ikan.

(3) Menyediakan tempat rekreasi dan pariwisata; dapat menyediakan tempat untuk kegiatan rekreasi yang bernilai ekologis dan estetika.

(4) Memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem; dapat meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap ekosistem pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.


(20)

(5) Memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat pesisir; dapat membantu masyarakat dalam mempertahankan basis ekonominya melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa lingkungan secara berkelanjutan.

2.3. Penzonasian Kawasan Konservasi

Kawasan Konservasi Prairan didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Pengertian KKP menurut UU 31/2004 tentang perikanan serta perubahannya (UU 45/2009) dan PP no 60/2007 tentang konservasi sumberdaya ikan, paling tidak memuat dua hal penting yang menjadi paradigma baru dalam pengelolaan konservasi. Pertama, Pengelolaan KKP diatur dengan sistem zonasi. Empat pembagian zona yang dapat dikembangkan didalam KKP yakni zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Zona perikanan berkelanjutan tidak pernah dikenal dan diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi menurut Undang-Undang No 5 tahun 1990 dan PP 58/1998. Kedua, dalam hal kewenangan, pengelolaan kawasan konservasi yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat, Berdasarkan Undang-Undang 27/2007 dan PP 60/2007 serta Permen Men KP No 02/2009, pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi diwilayahnya. Hal ini sejalan dengan mandat UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU no 12/2008 tentang pemerintahan daerah terkait pengaturan pengelolaan wilayah laut dan konservasi.

Penetapan KKP merupakan salah satu upaya konservasi ekosistem yang dapat dilakukan terhadap semua ekosistem, yaitu terhadap satu atau beberapa tipe ekosistem penting untuk dikonservasi berdasarkan kriteria ekologis, ekonomi dan sosial budaya. Konservasi saat ini telah menjadi tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi sebagai harmonisasi atas kebutuhan ekonomi masyarakat dan keinginan untuk terus melestarikan sumberdaya yang ada bagi masa depan. Data direktorat konservasi kawasan dan jenis ikan (KKJI) menyebutkan bahwa sampai akhir tahun 2010 tercatat 13,9 juta hektar kawasan konsrrvasi perairan laut di Indonesia.

Salm dan Clark (1982), pemilihan Marine Protected Area bergantung pada tujuan pembentukannya yaitu: (1) tujuan sosial, pengembangannya untuk


(21)

rekreasi, pendidikan dan penelitian serta peninggalan sejarah dan situs budaya, kriterianya ditekankan pada faktor keselamatan; (2) tujuan ekonomi, perhatian utama pada perlindungan wilayah pesisir, pemeliharaan perikanan atau pengembangan wisata dan industri yang sesuai, kriteria ditekankan pada intensitas eksploitasi sumberdaya, memiliki potensi nilai ekonomi dari sumberdaya serta tingkat ancaman terhadap sumberdaya yang ada; dan (3) tujuan ekologi, seperti pemeliharaan keragaman genetik, proses ekologis, pemulihan kembali species, kriteria ditekankan pada keunikan, keragaman dan sifat alamiah lokasi.

Zonasi merupakan salah satu metode pengelolaan wilayah pesisir (Clark 1974). Zonasi mempunyai dua tujuan yaitu pencegahan kerusakan dan kemudahan pengaturan. Zonasi diharapkan dapat mengurangi konflik antar pengguna sumberdaya dan lingkungan sehinga keberlanjutan pembangunan dapat tercpai. Secara umum sangat sedikit alasan ekologis yang dijadikan dasar untuk menentukan batas dan zonasi kawasan konservasi, karena selama ini batas kawasan konservasi didasarkan pada karakteristik geologis kawasan, batas administratif atau faktor biaya. Tidak ada aturan baku yang menetapkan ukuran optimal dan rancangan dari suatu kawasan konservasi, yakni : kategori disagregasi (sekelompok kawasan konservasi yang berukuran kecil), dan kategori agregasi (suatu kawasan konservasi yang berukuran besar). Setiap kategori ukuran memiliki keunggulan sendiri. Kawasan konservasi yang berukuran kecil dapat mendukung kehidupan lebih banyak jenis biota dengan relung yang berbeda-beda, serta tidak merusak semua kawasan konservasi secara bersamaan bila terdapat bencana. Kawasan konservasi yang berukuran besar menuntut adanya zonasi kawasan untuk dapat mendukung pengelolaan yang efektif bagi berbagai pemanfaatan secara berkelanjutan. Dengan adanya zonasi maka pemanfaatan sumberdaya alam dapat dikontrol secara efektif guna mencapai sasaran dan tujuan kawasan konservasi.

Pengelolaan zona dalam kawasan konservasi didasarkan pada luasnya berbagai pemanfaatan sumberdaya kawasan. Aktivitas di dalam setiap zona ditentukan oleh tujuan kawasan konservasi, sebagaimana ditetapkan dalam rencana pengelolaan. Secara umum zona-zona di suatu kawasan konservasi dapat dikelompokkan atas 3 (tiga) zona (Budiharsono 2006) :


(22)

(1) Zona inti

Habitat di dalam zona ini memiliki nilai konservasi yang tinggi, sangat rentan terhadap gangguan atau perubahan, hanya dapat mentolerir sangat sedikit aktivitas manusia. Zona inti harus dikelola dengan tingkat perlindungan yang tinggi serta tidak dapat diijinkan adanya aktivitas eksploitasi.

(2) Zona penyangga

Merupakan zona transisi antara zona inti (zona konservasi) dengan zona pemanfaatan. Penyangga di sekeliling zona inti ditujukan untuk menjaga zona inti dari berbagai aktivitas pemanfaatan yang dapat mengganggu dan melindungi zona inti dari pengaruh eksternal, bersifat lebih terbuka, tapi tetap dikontrol dan beberapa pemanfaatan masih dapat diijinkan.

(3) Zona pemanfaatan

Zona pemanfaatan masih memiliki nilai konservasi tertentu, tetapi dapat mentolerir berbagai tipe pemanfaatan oleh manusia dan layak bagi beragam kegiatan eksploitasi yang diijinkan dalam suatu kawasan konservasi. Penzonasian tersebut ditujukan untuk membatasi tipe-tipe habitat penting untuk perlindungan keanekaragaman hayati dan konservasi sumberdaya ekonomi sebagaimana sasaran kawasan konservasi di wilayah pesisir.

Menurut Salm (2000), bahwa daerah perlindungan laut dapat membantu mewujudkan tiga tujuan utama dari konservasi sumberdaya alam (IUCN 1980) yaitu : (1) mempertahankan proses ekologi yang penting dan sistem pendukung kehidupan; (2) mempertahankan keanekaragaman genetik dan; (3) Menjamin pemanfaatan spesies dan ekosistem yang berkelanjutan. Kawasan konservasi perairan dapat berperan dalam mempertahankan biodiversity, genetic diversity, ekosistem dan proses ekologi, menjamin pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan; melindungi spesies ekonomis; mengembalikan stok yang hilang; pendidikan dan penelitian; memberikan perlindungan dari bencana alam; menjadi tujuan rekreasi dan pariwisata; dan memberikan keuntungan sosial dan ekonomi.

Pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan pada sistem zonasi yang ada di dalamnya meliputi zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Pada zona inti, umumnya diberlakukan no-take zone atau penutupan area dari berbagai macam kegiatan eksploitasi. Pembuktian ilmiah sudah cukup kuat menyatakan bahwa KKP dengan suatu kawasan no-take zone yang cukup substansial di dalamnya menyebabkan


(23)

peningkatan biomas ikan, ukuran ikan yang lebih besar, dan komposisi spesies yang lebih alami. Misalnya KKP di St. Lucia yang terdiri dari 5 KKP yang berukuran kecil, diketahui telah meningkatkan hasil tangkapan nelayan tradisional antara 40-90%, sementara kawasan perlindungan laut di Merrit Island National Wildlife Refuge (Florida) telah meningkatkan persediaan jumlah dan ukuran ikan bagi pemancing rekreasional di perairan sekitarnya sejak tahun 1970 an (Robert and Hawkins 2000dalam Wiadnyaet al.2005).

Mekanisme peningkatan biomas dan ukuran individu ikan ekonomis penting di dalam zona inti dapat memberikan manfaat bagi perikanan komersial di sekitarnya melalui: (1) penyebaran ikan muda dan dewasa dari dalam kawasan larang-ambil ke wilayah perikanan di sekitarnya, spill-over , (2) ekspor telur dan larva yang bersifat planktonik dari wilayah larang-ambil ke wilayah perikanan di sekitarnya, dan (3) mencegah hancurnya perikanan tangkap secara keseluruhan jika pengelolaan perikanan di luar zona inti mengalami kegagalan. Selain dapat mempertahankan kondisi ekosistem, zona inti juga dimaksudkan agar induk ikan karang mempunyai daerah agregasi sehingga fertilisasi lebih banyak terjadi. Dengan demikian maka terjadi peningkatan rekruitmen dan penyebaran juvenile ikan ke luar zona inti. Oleh sebab itu, manfaat kawasan konservasi perairan lebih terlihat pada organism sedentary. Keuntungan lain dari KKP dibanding alat pengelolaan perikanan seperti pengaturan usaha, pengaturan kuota dan alat tangkap adalah bahwa pengaruh penutupan wilayah di dalam kawasan bisa menjadi penjelasan yang cukup tajam kepada para pihak, khususnya jika penutupan wilayah tersebut mencakup wilayah pemijahan atau pendederan (Wiadnyaet al.2005).

Pengelolaan kawasan konservasi secara terintegrasi bertujuan untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan serta perlindungan atas habitat dan sumberdaya alam. Dalam arti, skema pengelolaan membutuhkan penyatuan dalam hal dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, politik dan kelembagaan. Dimensi ekologi mensyaratkan: a) aktivitas harus didasari perimbangan ekologi dan perencanaan spatial serta perencanaan penggunaan lahan merupakan puncak aktivitas yang sangat penting; b) kegiatan yang ada saat ini dan di masa mendatang harus terencana dan dikelola agar limbah yang dihasilkan di bawah kapasitas asimilasi; c) sumberdaya alam yang dapat diperbaharui tidak dieksploitasi di atas kapasitas regenerasi. Dimensi sosial-ekonomi dan budaya, pembangunan harus menyediakan kebutuhan dasar manusia dan pelayanannya


(24)

dalam kerangka kapasitas regenerasi ekosistem asli. Dimensi sosial politik, aktivitas masa depan harus menjamin pengikutsertaan masyararakat dan bentuk partisipasi aktif pada setiap pengambilan keputusan. Dimensi kelembagaan, instansi pemerintah bertanggung jawab dalam integrasi dan koordinasi pembangunan dengan undang-undang maupun peraturan yang menjamin pelaksanaan yang bijaksana setiap aktivitas pembangunan yang dijalankannya (Cincin-Sainet al.2002).

2.4. Konservasi dan Pariwisata Bahari

Konservasi dan pariwisata bahari merupakan kegiatan yang saling menunjang sehingga dari segi ruang dan waktu dapat dipadukan. Pariwisata bahari memerlukan keaslian dan keindahan flora dan fauna yang sebagian berasal dari kawasan konservasi, sebaliknya kawasan konservasi terlindungi apabila masuk dalam kawasan pariwisata. Halim (1998), pengelolaan kawasan konservasi laut memerlukan zona tertentu untuk menunjang mata pencaharian masyarakat pesisir maupun kegiatan lainnya sesuai azas kelestarian. Pengelolaan disadari tiga aspek konservasi : perlindungan ekosistem penyangga kehidupan; pengawetan plasma nutfah, dan pelestarian pemanfaatan.

Kawasan Konservasi Laut (KKL) telah menunjukkan manfaat yang berarti berupa peningkatan biomas. Hasil studi Halpern (2003), menunjukkan bahwa secara rata-rata, kawasan konservasi telah meningkatkan kelimpahan (abundance) sebesar dua kali lipat, sementara biomas ikan dan keaneka ragaman hayati meningkat tiga kali lipat. Peningkatan kelimpahan dan biomass ini mengakibatkan pula peningkatan terhadap produksi perikanan (jumlah tangkap dan rasio tangkap per unit upaya atau CPUE). Beberapa studi menunjukan bahwa kawasan konservasi telah meningkatkan rasio CPUE dalam kisaran 30- 60% dari kondisi sebelum kawasan konservasi. Sementara itu dari sisi riil effort (jumlah trip), studi di Apo Island. Philippine dan George Bank di Amerika Serikat, telah menunjukan penurunan yang berarti.

Hasil studi yang dipublikasikan pada jurnal ilmiah tanggal 5 Juli 2002, menyatakan bahwa perancangan kawasan laut larang ambil menjadi penting untuk menjamin hasil perikanan dalam jangka panjang karena penutupan tersebut mampu melestarikan variasi genetis, dilihat dari parameter ukuran ikan dan tingkat pertumbuhan, disebabkan karena pada situasi dieksploitasi, nelayan


(25)

secara selektif memilih ikan yang berukuran besar dan tidak memilih yang berukuran kecil dan tidak produktif (MPA News 2002).

Dampak konservasi bagi pengelola yaitu: (1) Kawasan Konservasi Laut menyediakan alasan ekonomi bagi perlindungan secara tegas terhadap tempat yang diketahui dan potensial sebagai tempat-tempat pemijahan, (2) Taman Nasional Komodo (TNK), tempat pemijahan tersebut secara nyata mempunyai nilai ekonomi setara dengan nilai rekreasi dari fungsi taman nasional secara keseluruhan, dan (3) usaha-usaha perlindungan menyeluruh yang konsisten dengan melindungi daerah penangkapan di mana sebagian besar rumah tangga tergantung pada wilayah di luar lokasi TNK (Ruitenbeek 2001).

Keuntungan yang nyata telah dibuktikan di beberapa tempat dimana terumbu karang sudah dilindungi dengan baik, termasuk pada beberapa lokasi sebagai berikut: Netherlands Antilles (Taman Nasional Laut Bonaire), dimana pariwisata selam meningkat; the Seychelles (Taman Nasional Laut Ste. Anne), dimana taman nasional digunakan baik oleh turis maupun penduduk setempat untuk berenang, berlayar, snorkeling, selam, dan perjalanan perahu beralas kaca; Fiji (Tai Island), dimana hasil tangkapan nelayan kecil meningkat, kegiatan pariwisata berkembang pesat, dan pemegang hak penangkapan tradisional (eksklusif) dilibatkan dalam pengelolaan resort dan penyewaan perahu; Cozumel Island (Mexican Caribbean) dimana terjadi peningkatan jumlah wisatawan lokal dan manca negara yang datang untuk menyaksikan melimpahnya ikan-ikan karang; dan Kenya (Taman Nasional dan Cagar Alam Malindi/Watamu), dimana pariwisata menghasilkan pendapatan melalui tiket masuk, biaya pemandu dan biaya camping, penyewaan perahu dan peralatannya, serta hotel. Keuntungan tidak langsung dengan adanya permintaan terhadap lapangan pekerjaan di hotel-hotel, sebagai pemandu dan pengemudi perahu (McNeelyet al.1994).

Penurunan hasil tangkap secara global dilaporkan oleh FAO (2002), 47% stok mengalami eksploitasi penuh, 15-18% stok mengalami over-eksploitasi, dan 9% stok telah terdeplesi. Gomez (1999) menyatakan bahwa di Asia tenggara, seluruh perairan pesisir sampai 15 km dari darat mengalami overfishing. Di Indonesia, Fauzi dan Anna (2002) menunjukkan sumberdaya ikan di perairan Pantai Utara Jawa telah terdepresiasi sebesar 20 milyar rupiah per tahun. Untuk terumbu karang, di kawasan Indonesia menunjukkan bahwa proporsi yang terdegradasi meningkat dari 10-50% (Hopley dan Suharsono 2000). Walaupun terumbu karang di wilayah Indonesia Timur masih dalam kondisi lebih baik daripada di Indonesia Barat, namun kondisinya menurun dalam laju yang cukup


(26)

tinggi. Berdasarkan studi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), hanya 10% terumbu karang di wilayah timur Indonesia dalam kondisi sangat baik (excellent) tutupan lebih dari 50% terumbu karang hidup, sisanya 31,8% diklasifikasikan dalam kondisi buruk (25% tutupan terumbu karang hidup), (Hopley dan Suharsono 2000).

Prinsip dari konservasi adalah spill over effect atau dampak limpahan dimana pada kawasan yang dilindungi, stok ikan akan tumbuh dengan baik dan limpahan dari pertumbuhan ini akan mengalir ke wilayah di luar kawasan yang kemudian dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan tanpa mengurangi sumber pertumbuhan di daerah yang dilindungi. Konservasi memiliki banyak manfaat yang signifikan yang akan membantu pengelolaan sumberdaya kelautan dalam jangka panjang. Li (2000) merinci manfaat KKL sebagai berikut: manfaat biogeografi, keaneka ragaman hayati, perlindungan terhadap spesies endemic dan spesies langka, perlindungan terhadap spesies yang rentan dalam masa pertumbuhan, pengurangan mortalitas akibat penangkapan,peningkatan produksi pada wilayah yang berdekatan, perlindungan pemijahan, manfaat penelitian, ekoturisme, pembatasan hasil samping ikan juvenil (juvenile by catch) dan peningkatan produktifitas perairan (productivity enchancement).

2.5. Penataan Ruang (Zonasi)

Zonasi adalah sistem pembentukan wilayah daratan atau perairan untuk dialokasikan pada penggunaan yang spesifik; pembagian wilayah khusus ke dalam beberapa zona dimana tiap zona direncanakan untuk penggunaan atau kumpulan penggunaan khusus (Clark 1977). Zonasi merupakan proses pengaturan membagi wilayah secara geografis ke dalam sub wilayah, dimana tiap sub wilayah dirancang untuk penggunaan khusus.

Kay dan Alder 2005, zonasi didasarkan pada konsep pemisahan dan pengontrolan pemanfaatan yang tidak sesuai secara spasial, yang diterapkan dalam berbagai situasi dan dapat dimodifikasi untuk disesuaikan dengan berbagai lingkungan ekologi, sosial ekonomi dan politik. Sebagian ahli berpendapat bahwa zonasi adalah pembagian kawasan (lindung dan budidaya) berdasarkan potensi dan karakteristik sumberdaya alam untuk kepentingan perlindungan dan pelestarian serta pemanfaatan guna memenuhi kebutuhan manusia secara berkelanjutan. Penataan ruang merupakan kegiatan yang cukup kompleks karena bersifat multi sektor, multi proses dan multi disiplin. Aspek yang


(27)

harus dikaji dalam pennataan ruang pesisir dan PPK, yaitu aspek ekologi (biofisik), sosial ekonomi, budaya dan kebijakan. Dalam kaitan dengan sistem pengelolaannya, penataan sistem zonasi Taman Nasional yaitu pembagian ruang berdasarkan peruntukan dan kepentingan pengelolaan, seperti zona inti, zona pemanfaatan dan zona lainnya sesuai peruntukannya. Pada prinsipnya, sistem zonasi adalah pengaturan ruang untuk mengatur jenis kegiatan manusia di dalam kawasan, sehingga dapat saling mendukung dan diharapkan dapat mengakomodasi semua kegiatan masyarakat di sekitar kawasan.

UU No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, pemerintah telah mengatur bahwa pemanfaatan PPK dan perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomi secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya serta diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan: konservasi; pendidikan dan pelatihan; penelitian dan pengembangan; budidaya laut; pariwisata; usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari; pertanian organik, dan/atau; peternakan.

Kebijakan KKL merupakan bagian dari kebijakan pembangunan wilayah pesisir, laut dan PPK, karena itu arah kebijakan mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan, sehingga diperlukan arahan kebijakan pengelolaan secara terpadu sesuai pendapat Stephen B. Olsen (2002) bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan dilakukan secara menyeluruh dalam merencanakan serta memanfaatkannya secara optimal dan berkelanjutan. Pengelolaan tersebut dilakukan secara kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi-budaya dan aspirasi pengguna, daya dukung lingkungan pesisir, serta konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya.

2.6. Daya Dukung Lingkungan

Daya dukung (carrying capacity) didefinisikan sebagai intensitas penggunaan maksimum terhadap sumberdaya alam yang berlangsung secara terus menerus tanpa merusak alam ( Pearce dan Kirk 1986). Kapasitas lingkungan adalah satu konsep kunci pada ide dari pembangunan berkelanjutan (GESAMP 2001),karena itu harus tertuju pada beberapa inisiatif mendisain untuk meningkatkan pengembangan berkelanjutan. Pengertian kapasitas lingkungan (kapasitas asimilasi) adalah satu hak milik dari lingkungan dan


(28)

kemampuan untuk mengakomodasi satu aktivitas tertentu tanpa mengakibatkan dampak yang tidak dapat diterima .

Kapasitas atau daya dukung lingkungan dapat menaksir dampak kumulatif atau dampak kombinasi dan tingkatan yang layak (acceptable level) dari perubahan lingkungan yang sesuai dengan tujuan manajemen lingkungan. Dengan mengestimasi kapasitas total, maka pemanfaatan lingkungan yang berbeda-beda (akuakultur, pemanfaatan lain dan komponen ekosistem alami) dapat dialokasikan. Menurut Bengen (2002), konsep daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung pertumbuhan suatu organisme. Konsep ini dikembangkan untuk mencegah kerusakan atau degradasi sumberdaya alam dan lingkungan.

Daya dukung dapat dinaikkan kemampuannya oleh manusia dengan memasukkan dan menambahkan ilmu dan teknologi kedalam suatu lingkungan. Namun peningkatan daya dukung lingkungan memiliki batas-batas dimana pada keadaan tertentu cenderung sulit atau tidak ekonomis lagi bahkan tidak mampu lagi dinaikkan kemampuannya karena akan terjadi kerusakan pada sumberdaya. Penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak bijaksana justru akan menghancurkan daya dukung lingkungan. Di alam dikenal the law of limiting factors, yang menyatakan adanya batas minimum dan maksimum dalam alam (Gambar 2). Diluar batas toleransi ini, akan terjadi kerusakan sumberdaya alam dan ekosistem, bahkan berpeluang untuk terjadinya kehancuran sumberdaya dan ekosistem. Disamping itu, daya dukung tidak hanya dilakukan dalam penilaian aspek fisik dan ekologis saja tetapi juga digunakan dalam memperkirakan nilai daya dukung sosial, misalnya penilaian terhadap terjadinya perubahan perilaku sosial sumberdaya alam dan lingkungan adalah penting untuk menentukan bentuk pengelolaan terhadap sumberdaya terutama dalam tujuan menjaga, mengendalikan, dan melestarikan lingkungan.

K

e

n

a

ik

a

n

D

a

y

a

D

u

k

u

n

g

Faktor-Faktor Lingkungan

Daya Dukung Rusak

Gambar 2.The Law of Limiting Factorsdari daya dukung (Suratmo 1992dalamRauf, 2007) Daya Dukung

Rusak

Maksimum Limits Minimum


(29)

Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang kedalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi. Bengen (2002) Daya Dukung dapat dibedakan atas :

1. Daya Dukung Ekologis, dinyatakan sebagai tingkat maksimum penggunaan suatu kawasan atau ekosistem, baik berupa jumlah maupun kegiatan yang diakomodasikan di dalamnya, sebelum terjadi suatu penurunan kualitas ekologis kawasan atau ekosistem. Kawasan yang menjadi perhatian utama dalam penilaian daya dukung ekologis adalah jenis kawasan atau ekosistem yang tidak dapat pulih, seperti berbagai ekosistem lahan basah (wetland) antara lain rawa.

Pendekatan ekologis, digunakan untuk menentukan indikator kerusakan ekosistem atau lingkungan akibat kegiatan manusia pada suatu kawasan yang antara lain dapat digambarkan oleh adanya berbagai kerusakan seperti pada vegetasi, habitat satwa, degradasi tanah, kerusakan visual objek wisata alam dan berbagai bentuk vandalisme lainnya. Walaupun demikian, penerapan teknologi pencegah dampak negatif terhadap lingkungan dapat meningkatkan daya dukung ekologis atau dapat mencegah penurunan kualitas ekosistem atau lingkungan suatu tempat.

2. Daya Dukung Fisik, merupakan jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan yang dapat diakomodasikan dalam kawasan tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas kawasan tersebut secara fisik. Kawasan yang telah melampaui kondisi daya dukungnya secara fisik, antara lain dapat dilihat dari tingginya tingkat erosi, pencemaran lingkungan terutama udara dan air sungai/ permukaan, banyaknya sampah kota, suhu kota yang meningkat, konflik sosial yang terjadi pada masyarakat karena terbatasnya fasilitas umum, atau pemadatan tanah yang terjadi pada tempat-tempat rekreasi. Terlampauinya daya dukung fisik suatu kawasan akan berdampak (negatif) tidak saja terhadap aspek fisiknya tetapi juga terhadap aspek-aspek lainnya yaitu aspek-aspek sosial, ekonomi, dan juga ekologis.

3. Daya Dukung Ekonomi, merupakan tingkat produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Dalam hal ini digunakan parameter kelayakan usaha secara ekonomi.


(30)

4. Daya Dukung Sosial,merupakan gambaran dari persepsi seseorang dalam menggunakan ruang pada waktu yang bersamaan, atau persepsi pemakai kawasan terhadap kehadiran orang lain secara bersama dalam memanfaatkan suatu area tertentu. Konsep ini berkenaan dengan tingkat confortability atau kenyamanan dan apresiasi pemakai kawasan karena terjadinya atau pengaruh over-crowding pada suatu kawasan.

Daya dukung sosial suatu kawasan dinyatakan sebagai batas tingkat maksimum, dalam jumlah dan tingkat penggunaan dalam suatu kawasan dimana dalam kondisi yang telah melampaui batas daya dukung ini akan menimbulkan penurunan dalam tingkat dan kualitas pengalaman atau kepuasan pengguna (pemakai) pada kawasan tersebut. Terganggunya pola, tatanan atau sistem kehidupan dan sosial budaya (indvidu, kelompok) pemakai ruang tersebut, yang dapat dinyatakan sebagai ruang sosialnya, juga merupakan gambaran telah terlampauinya batas daya dukung sosial ruang tersebut. Disamping dampak yang mengganggu kenyamanan atau kepuasan pemakai kawasan, dampak negatif lanjutan dapat terjadi misalnya menurunnya spesies biota di suatu kawasan.

Dengan demikian, tahapan untuk menetapkan atau menentukan daya dukung pulau kecil adalah : menetapkan batas-batas, vertikal, horisontal terhadap garis pantai pulau kecil sebagai suatu unit pengelolaan, menghitung luasan wilayah pulau kecil yang dikelola, mengalokasikan zona wilayah menjadi tiga yaitu, zona preservasi, zona konservasi dan zona pemanfaatan, dan menyusun tata ruang pembangunan pada zona konservasi dan zona pemanfaatan. Kemudian melakukan penghitungan potensi dan distribusi sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang tersedia, misalnya stock assesment sumberdaya perikanan, potensi hutan mangrove, pengkajian ketersediaan air tawar, pengkajian tentang kapasitas asimilasi dan pengkajian tentang permintaan internal terhadap sumberdaya alam dan jasa lingkungan.

2.7. Daya Dukung sebagai Dasar Penentuan Peruntukan Lahan

Soerianegara (1978), menyatakan bahwa untuk mengetahui daya dukung lahan atau lingkungan, harus diperhitungkan semua potensi yang ada di wilayah yang bersangkutan dan faktor kendala yang mempengaruhi potensi tersebut dalam jangka panjang. Tanda-tanda dilampauinya daya dukung lingkungan


(31)

adalah adanya kerusakan lingkungan. Selanjutnya dikatakan bahwa untuk populasi manusia batasan daya dukung adalah jumlah individu yang dapat didukung oleh luas sumberdaya dan lingkungan.

Dalam upaya pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya alam, faktor daya dukung lahan/lingkungan merupakan faktor yang harus dipertimbangkan. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa sumberdaya alam dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan apabila dikelola dengan tetap memperhatikan daya dukung lahan dan lingkungannya. Untuk menerapkan konsep daya dukung lahan dalam pengembangan kawasan pesisir dan PPK diperlukan dua faktor pendukung, yaitu: konsumsi perkapita terhadap sumberdaya dan dukungan yang diperlukan manusia, serta kemampuan manusia mengendalikan dan mengelola sumberdaya alam yang sedang dimanfaatkan.

Salah satu ukuran utama untuk mempertahankan kelestarian, keberadaan atau optimisasi manfaat dari suatu sumberdaya alam dan lingkungan adalah dengan melakukan penilaian terhadap daya dukungnya. Konsep daya dukung ini, awalnya dikembangkan dan digunakan untuk mempelajari pertumbuhan populasi dalam suatu unit ekosistem. Contoh dari penilaian yang umum dilakukan terhadap perhitungan daya dukung ini adalah perhitungan terhadap ecological capacity (jumlah individu yang dapat didukung oleh suatu habitat). Tujuan utama dari penilaian ini adalah untuk mempertahankan atau melestarikan potensi sumberdaya alam dari areal tersebut pada batas-batas penggunaan yang diperkenankan atau yang dimungkinkan.

Nilai yang dihasilkan dari perhitungan atau pendekatan daya dukung dari sumberdaya alam dan lingkungan adalah penting untuk menentukan bentuk-bentuk pengelolaan terhadap sumberdaya tersebut terutama untuk menjaga, mengendalikan, dan melestarikan lingkungan. Penilaian yang sistematik terhadap sumberdaya alam dan lingkungan yang menjadi dasar dari kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya dilakukan terutama untuk mengetahui potensinya. Dengan pendekatan ini maka akan dapat diketahui kapasitas dari suatu kawasan atau ekosistem yang dinilai, yang selanjutnya akan dapat merupakan ukuran dan/atau nilai pendugaan terhadap kualitas sumberdaya alam dan lingkungan. Mengingat rentannya ekosistem PPK, pemerintah melakukan pembatasan kegiatan yang sudah terbukti menimbulkan dampak negatif yang


(32)

luas,baik secara ekologis maupun sosial. Pemerintah hanya mengizinkan pengelolaan PPK untuk konservasi dan mariculture yang lestari.

2.8. Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir

Keberlanjutan (sustainability) dijadikan salah satu tujuan pengelolaan ekosistem pesisir karena hal ini telah diamanatkan dalam Deklarasi yang dihasilkan oleh United Nations Conference on Enviornment and Development yang diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brasil, pada tahun 1992. Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan keserasian antara laju kegiatan pembangunan dengan daya dukung (carrying capacity) lingkungan alam untuk menjamin tersedianya aset sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang minimal sama untuk generasi mendatang (Bengen 2004). Suatu kegiatan pembangunan dinyatakan berkelanjutan, apabila kegiatan pembangunan secara ekonomis, ekologis dan sosial politik bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomis berarti bahwa kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital (capital maintenance), dan penggunaan semberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis mengandung arti, bahwa kegiatan dimaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga diharapkan pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan (Cicin-Sain dan Knecht 1998).

Keanekaragaman spesies digunakan sebagai indikator stabilitas lingkungan (De Santo, 2000). Selain itu, spesies penting karena fungsinya bertindak dalam menimbulkan atau memunculkan jasa ekologis yang memang bernilai ekonomis bagi manusia (Perrings et al 2003). Keanekaragaman spesies secara fungsional menentukan ketahanan (resilience) ekosistem atau sensitivitas ekosistem (Holling et al 2002). Jumlah spesies dan komposisi spesies ikan merupakan dua dari beberapa indikator integritas biotik ekosistem perairan (Karr 2002). Integritas biotik adalah suatu ekosistem yang berubah baik secara struktur maupun secara fungsional akibat aktivitas manusia (Hocutt 2001).

Oakerson (1992), mengajukan tiga alasan pentingnya melakukan kajian hubungan antara atribut-atribut tersebut dengan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut adalah sebagai berikut:


(33)

1. Sumberdaya perikanan termasuk terumbu karang memiliki kapasitas relatif dalam mendukung usaha nelayan secara simultan tanpa adanya benturan di antara mereka atau adanya dampak yang merugikan bagi nelayan tertentu yang timbul karena nelayan lain menangkap ikan dalam jumlah yang lebih banyak.

2. Analisis sifat ekologi harus diarahkan untuk menentukan secara akurat faktor-faktor pembatas sumberdaya utama adalah potensi dan jenis serta mobilitasnya di dalam kawasan yang dikelola.

3. Derajat aksesibilitas terhadap sumberdaya. Keterbatasan potensi sumberdaya berarti bahwa akses terhadap sumberdaya sulit dan mahal. Oleh karena itu tindakan seseorang untuk berhenti memanfaatkan sumberdaya merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Begitu seseorang sudah memiliki akses dan berada dalam proses pemanfaatan sumberdaya, akan sulit baginya untuk berhenti melakukannya. Oleh karena itu, sumberdaya terumbu karang dimanfaatkan secara bersama-sama dalam suatu bentuk kompetisi di antara pengguna. Dengan demikian, ada saling ketergantungan di antara pengguna. Aksi seseorang akan memberi dampak kepada yang lain dan selanjutnya membuat orang lain melakukan aksi serupa. Jadi interaksi di antara pengguna cenderung menjurus kepada pertentangan atau konflik di antara mereka.

Christie et al, (2003), bahwa dukungan seluruh pemangku kepentingan wilayah pesisir merupakan faktor penting terhadap keberlanjutan program. Konflik kepentingan, atau bahkan hanya konflik persepsi, di antara konsituen akan memelihara ketidakpuasan di antara mereka apabila tidak diambil langkah-langkah proaktif. Ketidak puasan di antara satu konstituen atau lebih, apabila tidak diselesaikan dengan cara yang bijak, bisa mengakibatkan terancamnya keberlanjutan kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir karena mereka akan melanggar kesepakatan atau peraturan yang ada dan disepakati.

Proses perencanaan dan pengambilan keputusan yang inklusif, transparan, dan didukung oleh pengetahuan ilmiah dirancang untuk mencapai beberapa keluaran penting yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir. Keluaran-keluaran dari proses perencanaan dan pengambilan keputusan ini sejalan dengan yang dianggap sebagai 6 (enam) parameter keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir oleh Bengen (2003) sebagai berikut: (1) sesuai dengan kebijakan-kebijakan setempat, baik kebijakan


(34)

formal maupun informal; (2) sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat; (3) didukung oleh ketersediaan sumberdaya manusia dan kelembagaan; (4) keterlibatan aktif stakeholder; (5) memiliki rencana dan program yang jelas; (6) memiliki dampak terhadap lingkungan termasuk sosial budaya dan ekonomi masyarakat setempat. Keenam faktor ini tentu akan lebih lengkap dengan tambahan faktor ketujuh (7) dukungan informasi ilmiah.

Batas-batas spasial sumberdaya terumbu karang menentukan skala minimum suatu tatanan pengelolaan sumberdaya itu sendiri. Berdasarkan batas geografis suatu sumberdaya dapat ditentukan batas-batas fisik lainnya, terutama yang berkaitan dengan teknologi pemanfaatan sumberdaya. Dimensi teknologi diperlukan secara khusus di daerah dimana pemanfaatan langsung terhadap terumbu karang merupakan bagian yang dominan. Di kawasan pesisir umumnya mata pencaharian penduduk yang dominan adalah pemanfaatan sumberdaya laut, seperti perikanan, karena itu dimensi teknologi sebaiknya dipertimbangkan secara khusus (Susilo, 2003). Dimensi teknologi mencerminkan seberapa jauh penggunaan teknologi dapat meminimumkan resiko kegagalan keberlanjutan pemanfaatan terumbu karang.

Dimensi sosial ekonomi elemen utamanya meliputi aspek permintaan (demand) dan penawaran (supply) komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya yang dikelola. Dimensi sosial ekonomi seperti harga dan struktur pasar merupakan insentif atau disinsentif bagi terbentuknya suatu tatanan kelembagaan pengelolaan terumbu karang serta derajat kepatuhan masyarakat terhadap tatanan tersebut. Hal ini karena disamping sebagai kegiatan yang berbasis sumberdaya alam (natural resourcebased activity), terumbu karang merupakan kegiatan ekonomi yang berbasis pasar (market-based activity).

2.9. Multidimensional Scaling

Tujuan pendekatan multidimensional scaling yang digunakan disini adalah untuk melihat keragaan (performance) pengelolaan kawasan konservasi di tinjau dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan yang selanjutnya dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengevaluasi akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi.

Analisis multidimensional scaling (MDS) digunakan untuk mempresentasikan similaritas/ disimilaritas antar pasangan individu dan karakter/variabel (Young et al 1987). Sickle (1997) menyatakan bahwa MDS


(1)

Jenis mangrove(sp) 3 3 3 3

Jenis biota 2 2 2 2

Tinggi Pasut (m) 3 3 3 3

Jarak dari kawasan lainnya (m) 2 2 2 2

TOTAL NILAI 15 15 15 15

Persentase dari Nilai Total (18) 83,33 83,33 83,33 83,33 Sumber: modifikasi Yulianda, 2009

Keterangan : PJ = Pondok Jaya ; LG = Luar Gili ; P = Pekaje ; S =Selang

Skor Tercapai Kesesuaian Pemanfaatan Ekowisata Mangrove Gili Sulat

KRITERIA LOKASI

P LG IV MT KB

Ketebalan mangrove (m) 3 3 3 3

Kerapatan mangrove (100 m2) 3 3 3 3

Jenis mangrove(sp) 3 3 3 3

Jenis biota 2 2 2 2

Tinggi Pasut (m) 3 3 3 3

Jarak dari kawasan lainnya (m) 2 2 2 2

TOTAL NILAI 15 15 15 15

Persentase dari Nilai Total (18) 83,33 83,33 83,33 83,33 Sumber: modifikasi Yulianda, 2009


(2)

Lampiran 3. Zona Inti kawasan Konservasi Laut Daerah Gili Sulat-Gili Lawang

No

Lokasi

Karakter Ekologi

Posisi Geografis

Luas (Ha)

1

Stasiun Poto Gili

Mangrove

Lamun

Terumbu Karang

46

0

908

56’ 38’’ LU

0

43’ 88’’ BT

200,50

20,50

35,50

2

Stasiun Pondok

Kecil

Mangrove

Lamun

Terumbu Karang

46

0

908

54’ 55’’ LU

0

37’ 05’’ BT

156,50

15,50

25,03

3

Stasiun Landi

Mangrove

Lamun

Terumbu Karang

45

0

908

78’ 56’’ LU

0

06’ 25’’ BT

341,00

1,50

50,30

4

Stasiun Tanjak

Mukur

Mangrove

Lamun

Terumbu Karang

47

0

907

16’ 93’’ LU

0

75’ 77’’ BT

278,65

2,50

48,00


(3)

Lampiran 4. Zona Pemanfaatan Terbatas KKLD Gili Sulat-Gili Lawang

No

Lokasi

Karakter Ekologi

Posisi Geografis

Luas

(Ha)

1

Stasiun

Pegatan 1

Terumbu Karang,

perairaan tenang

46

0

908

78’ 11’’LU

0

08’ 83’’BT

12,00

2

Stasiun

Menanga 2

todak

Terumbu Karang,

perairan tenang

46

0

907

86’ 09’’ LU

0

92’ 38’’ BT

13,00

3

Stasiun

Kampir

Bier

Terumbu Karang,

perairan tenang

46

0

908

81’ 02’’ LU

0

15’ 28’’BT

13,00

4

Stasiun

Pegatan 2

Terumbu Karang,

arus keras

46

0

908

85’ 16’’LU

0

13’ 20’’ BT

11,00

5

Stasiun

Luar Gili 1

Terumbu Karang,

arus kuat

46

0

908

91’ 48’’ LU

0

11’ 62’’ BT

12,00

6

Stasiun

Luar Gili 2

Terumbu Karang,

arus kuat

46

0

908

96’ 22’’ LU

0

06’ 96’’ BT

12,00

7

Stasiun

Luar Gili 3

Terumbu Karang,

arus kuat

47

0

907

04’ 92’’ LU

0

95’ 48’’ BT

12,00

8

Stasiun

Selang

Terumbu Karang,

perairan tenang

46

0

908

75’ 68’’ LU

0

25’ 22’’ BT

13,00

9

Stasiun

Batu

Mandi I

Terumbu Karang,

arus kuat

46

0

908

82’ 27’’ LU

0

27’ 35’’ BT

11,00

10

Stasiun

Batu

Mandi II

Terumbu Karang,

arus kuat

46

0

908

80’ 25’ LU

0

36’ 29’’ BT

11,00

11

Stasiun

Menanga

Kapal

Terumbu Karang,

arus kuat

46

0

908

72’ 06’’ LU

0

15’ 28’’ BT

11,00

12

Stasiun

Gili luar 4

Terumbu Karang,

perairaan tenang

46

0

907

97’ 10’’ LU

0

89’ 21’’ BT

11,00


(4)

Lampiran 5. Zona Lainnya KKLD Gili Sulat-Gili Lawang

No

Lokasi

Karakter Ekologi

Posisi

Geografis

Luas (Ha)

Zona Rehabilitasi

1

Stasiun

Penanean

Terumbu Karang,

perairaan tenang

47

0

907

08’ 53’’ LU

0

80’ 18’’ BT

15,40

2

Stasiun

Menanga 2

todak

Terumbu Karang,

perairan tenang

46

0

907

86’ 09’’ LU

0

92’ 38’’ BT

15,00

3

Stasiun

Kampir Bier

Terumbu Karang,

perairan tenang

46

0

908

81’ 02’’ LU

0

15’ 28’’BT

15,00

4

Stasiun

Pekaje

Terumbu Karang,

perairaan tenang

46

0

908

73’ 02’’ LU

0

15’ 52’’ BT

17,00

5

Stasiun Luar

Gili

Terumbu Karang,

perairan tenang

46

0

908

66’ 17’’ LU

0

25’ 95’’ BT

14,00

6

Stasiun Gili

luar 4

Terumbu Karang,

perairaan tenang

46

0

907

97’ 10’’ LU

0

89’ 21’’ BT

16,71

TOTAL

93,11

Zona Budidaya

46

0

908

73’ 02’’ LU

0

25’ 95’’ BT

201

Perairan Lainnya

1.726


(5)

Lampiran 6a. Matriks Skor Kesesuaian Pemanfaatan Perikanan Karang di Gili Lawang

. KRITERIA LOKASI

PJ LG P S BM I BM II MK

Kecerahan perairan (%) 3 2 2 3 3 3 3

Tutupan komunitas karang (%)

2 2 2 3 3 3 3

Jenis life-form 2 2 2 2 3 3 3

Jenis ikan karang 2 2 2 3 2 2 2

Kecepatan arus (cm/det) 3 3 3 3 1 1 1

Kedalaman terumbu karang (m)

3 3 3 3 2 2 2

TOTAL NILAI 15 14 14 17 14 14 14

Persentase dari Nilai Total (18) 83,33 77,77 77,77 94,44 77,77 77,77 77,77

Sumber: diolah dari kriteria Yulianda, 2009

Keterangan : PJ = Pondok Jaya ; LG = Luar Gili ; P = Pekaje ; S =Selang ; BM I = batu Mandi I BM II = Batu Mandi II

Lampiran 6b. Skor Kesesuaian Pemanfaatan Perikanan Karang Laut di Gili Sulat

KRITERIA LOKASI

P ll LG I LG II LG III

P LG

IV

MT KB

Kecerahan perairan (%) 3 3 3 3 1 1 1 2

Tutupan komunitas karang (%)

3 3 3 3 1 1 2 2

Jenis life-form 3 3 3 3 1 1 2 1

Jenis ikan karang 2 2 2 2 1 1 1 1

Kecepatan arus (cm/det) 2 1 1 1 3 3 3 3

Kedalaman terumbu karang (m)

2 2 2 2 3 3 3 3

TOTAL NILAI 13 14 14 14 10 10 12 12

Persentase dari Nilai Total (18)

72,22 77,77 77,77 77,77 55,55 55,55 66,66 66,66 Keterangan : P II = Pegatan II ; LG I = Luar Gili I ; LG II = Luar Gili II ; LG III = Luar Gili III ; P = Panaean ; LG IV = Luar Gili IV ; MT = Menanga Todak; KB = Kampir Bier


(6)

Lampiran 7a. Matriks Skor Kesesuaian untuk Wisata Selam di Gili Lawang

. KRITERIA LOKASI

PJ LG P S BM I BM II MK

Kecerahan perairan (%) 2 2 2 3 3 3 3

Tutupan komunitas karang (%)

2 2 2 3 3 3 3

Jenis life-form 1 1 1 3 2 2 2

Jenis ikan karang 1 1 1 2 2 2 2

Kecepatan arus (cm/det) 3 3 3 2 2 2 2

Kedalaman terumbu karang (m)

3 3 3 3 3 3 3

Lebar hamparan datar karang (m)

2 2 2 2 2 2 2

TOTAL NILAI 14 14 14 18 17 17 17

Persentase dari Nilai Total (18) 66,66 66,66 66,66 85,71 80,95 80,95 80,95

Sumber: diolah dari kriteria Yulianda, 2009

Keterangan : PJ = Pondok Jaya ; LG = Luar Gili ; P = Pekaje ; S =Selang ; BM I = batu Mandi I BM II = Batu Mandi II

Lampiran 7b. Skor Kesesuaian Pemanfaatan Wisata Selam di Gili Sulat

KRITERIA LOKASI

P ll LG I LG II LG III

P LG IV

MT KB

Kecerahan perairan (%) 3 3 3 3 1 1 1 2

Tutupan komunitas karang (%)

3 3 3 3 1 1 2 2

Jenis life-form 3 2 2 2 1 1 2 1

Jenis ikan karang 2 2 2 2 1 1 1 1

Kecepatan arus (cm/det) 2 2 2 2 3 3 3 3

Kedalaman terumbu karang (m)

3 3 3 3 3 3 3 3

Lebar hamparan datar karang (m)

2 2 2 2 2 2 2 2

TOTAL NILAI 18 17 17 17 12 12 14 14

Persentase dari Nilai Total (21)

85,71 80,95 80,95 80,95 57,14 57,14 66,66 66,66

Keterangan : P II = Pegatan II ; LG I = Luar Gili I ; LG II = Luar Gili II ; LG III = Luar Gili III ; P = Panaean ; LG IV = Luar Gili IV ; MT = Menanga Todak; KB = Kampir Bier

Lampiran 8. Skor Tercapai Kesesuaian Pemanfaatan Ekowisata Mangrove Gili Sulat

KRITERIA LOKASI

P LG IV MT KB

Ketebalan mangrove (m) 3 3 3 3

Kerapatan mangrove (100 m2) 3 3 3 3

Jenis mangrove(sp) 3 3 3 3

Jenis biota 2 2 2 2

Tinggi Pasut (m) 3 3 3 3

Jarak dari kawasan lainnya (m) 2 2 2 2

TOTAL NILAI 15 15 15 15

Persentase dari Nilai Total (18)

83,33 83,33 83,33 83,33

Sumber: modifikasi Yulianda, 2009