5.1.2 Sejarah Omu
Masyarakat Desa Omu, sebagian besar adalah penduduk yang berpindah mengungsi dari wilayah Seko di Sulawesi Selatan karena adanya konflik di
daerah asal mereka. Perpindahan berlangsung antara tahun 1952 sampai dengan 1966 dalam jumlah yang cukup besar, lebih dari setengah jumlah warga di Seko
diperkirakan melakukan pengungsian ke wilayah-wilayah sebelah utara atau wilayah yang masuk wilayah Sulwesi Tengah. Kedatangan masyrakat dari Seko
tahun 1956 berjumlah 10 Kepala Keluarga, kemudian menyusul sebanyak 800 jiwa di tahun yang sama dan menempati berbagai wilayah di Sulawesi Tengah
seperti desa Tuva, Simono, O’o Parese, Watukilo, Makuhi dan Gimpu serta dibeberapa kampung lain di sekitar Kecamatan Kulawi.
Masyarakat Seko yang telah mendiami wilayah Desa Omu saat ini adalah masyarakat yang dulunya mengungsi ke wilayah Sigi Dolo, menempati wilayah
antara desa Tuva dan Pakuli, dipimpin Oleh P. Taeli, P. Kalesu, YT. Saniang dan P. Taeteng. Pemerintahan wilayah Sigi pada saat itu adalah Wawo Lamakarate
sebagai Kepala Swapraja Sigi Dolo. Perkembangan jumlah pengungsi yang terus bertambah membuat Kepala
Swapraja Sigi Dolo berinisiatif untuk menata dan menempatkan pengungsi di satu wilayah yang pada saat itu menjadi bagian pemerintahan dari kampung
TuvaSinduru. Pada tahun 1956, pengurusan dan pembinaan pengungsi Seko diserahkan kepada Pemerintah melalui Departemen Sosial serta pengungsian yang
terus bertambah. Selama Pengurusan dan Pembinaan Departemen Sosial, masyrakat Omu mendapatkan kebutuhan bersa, alat-alat pertanian parang dan
pacul serta kebutuhan hidup rumah tangga. Kepala Swapraja Sigi Dolo kemudian memberikan nama wilayah yang ditempati pengungsi dengan kata “Omu”.
Pemberian nama Omu diambil dari bahasa Kaili “Naomu” yang berarti hangat. Kepala Swapraja Wawo Lamakarate mengatakan bahwa nama itu diberikan
sebagai perpaduan kondisi di wilayah Seko yang berhawa panas. Pada tahun 1958, Omu diresmikan menjadi sub-distrik yang dikepalai oleh
bapak Harum Batu Sisang. Masyarakat Omu terbagi menjadi lima kelompok sesuai asal kampung masin-masing yaitu, Kampung Lipu, Kampung Singkalong,
Kampung Eno, Kampung Tenterang, dan Kampung Tanete. Pada tahun 1958 pula,
pacah konflik PEMESTA sehingga sebagian masyarakat Omu mengungsi ke Kali OmuTarangka dan Tomutu. Selama pengungsian di wilayah tersebut, masyarakat
membuka lahan pertanian dan menanam berbagai jenis tanaman tahunan dan tanaman musiman. Sampai saat ini di wilayah tersebut tetap digarap oleh
masyarakat Desa Omu. Akhir tahun 1959 situasi berangsur membaik dan kondusif, masyarakat Omu yang berada di pengungsian secara bertahap kembali
ke pemukiman. Tahun 1986 petani mulai melakukan penanaman Kakao, Vanili, Lada dan tanaman perkebunan lainnya untuk memenuhi kebutuhan makan dan
sebagaian dipasarkan. Sistem pemerintahan sub-distrik berubah menjadi desa pada tahun 1968 dan
otomatis sub distrik Omu menjadi Desa Omu. Pada tahun itu pula terjadi peristiwa banjir Bandang di wilayah Desa Tinggede. Situasi tersebut membuat Komandan
Sektor Dan Sektor Marawola Komandan Payung berkoordinasi dengan Kepala Daerah Bapak Pusadan, memintakan agar warga Tinggede dipindahkan ke desa
Omu yang kemudian disetujui dan sebagian masyarakat Tinggede dipindahkan ke desa Omu. Sejak saat itu, terdapat dua etnis besar di desa Omu yaitu Seko dan
Kaili.
5.2 Keadaan Biofisik