Metode Analisis Data Persepsi Terhadap Perubahan Iklim

Tabel 1 Metode Pengumpulan Data No Metoda Sumber dataResponden Lokasi 1. Studi Pustaka Buku, Internet, Penelitian dll. Kampus 2. Pencatatan Instansi Pemerintah Propinsi, Kabupaten, Desa 3. Pengamatan lapangan Teknik beradaptasi, alternatif mata pencaharian, bangunan pereduksi dampak, kondisi lingkungan hutan, dll Desa 4. Wawancara Responden masyarakat sekitar hutan Desa

4.5 Metode Analisis Data

Menganalisis data merupakan proses lanjutan setelah dilakukannya pengumpulan data. Menganalisis data ditujukan agar data yang telah dikumpulkan dapat lebih berarti serta dapat memberikan informasi. Adanya hasil analisis data ini dapat memberikan jawaban atas perumusan masalah yang terdapat dalam perumusan ini. Pengolahan data dilakukan secara tabulasi dan dianalisis secara deskriptif dengan terlebih dahulu melakukan identifikasi dampak perubahan iklim terhadap lingkungan sumberdaya dan masyarakat serta strategi yang dilakukan oleh masyarakat terhadap perubahan iklim Tabel 2. Tabel 2 Metode Analisis Data Jenis data Metode Pengolahan dan Analisis Jenis-jenis dampak perubahan musim terhadap lingkungan hutan dan masyarakat a. Indentifikasi jenis-jenis dampak terhadap kondisi SDH, SDM dan kondisi lingkungan pemukiman dan fasilitas umum b. Analisis deskriptif Jenis adaptasi dan hambatan masyarakat dalam melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim a. Identifikasi bentuk adaptasi b. Klasifikasi bentuk-bentuk adaptasi sesuai jenis sumber dana c. Analisis deskriptif Sumber: Sylvani dan Sakuntaladewi 2010 Secara garis besar penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dengan menganalisa dampak perubahan iklim dan adaptasi yang dilakukan masyarakat terhadap perubahan iklim yang dirasakan. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan membuat deskripsi atas suatu fenomena sosialalam secara sistematis, faktual dan akurat. Penelitian deskriptif bersifat komparatif dengan membandingkan persamaan dan perbedaan fenomena tertentu Sugiyono 2006. BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5.1 Sejarah Desa

5.1.1 Sejarah Toro

Dalam Bahas Kulawi, Toro berati “sisa”. Terminologi ini mengacu pada suatu wilayah yang telah ditinggal pergi oleh penduduknya dalam waktu yang cukup lama, sehingga menjadai hutan belantara. Diperkirakan sekitar 500 tahun yang silam, terjadi perpindahan penduduk dari Malino ke Toro. Perpindahan tersebut terjadi akibat terdesak peperangan dengan suku lain. Keluarga yang terdesak dan sempat mengungsi saat itu sebanyak tujuh rumah tangga, dibawah pimpinan Mpone Shohibuddin 2003. Sebelum akhirnya mendiami daerah Toro, kelompok pimpinan ini transit di beberapa tempat. Awal mulanya mereka tinggal di Balinggi yaitu wilayah bagian Parigi yang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Parimo. Di Balinggi mereka berkembang menjadi 11 rumah tangga. Setelah itu, mereka pindah ke tempat transit kedua yaitu Kulawi melalui Paboya Palu, Bora Sigi Biromaru, Tuwa, dan kemudian Namo. Atas perkenaan Balu, seorang bangsawan Kulawi, mereka ditempatkan di Kauawu yang saat itu masih berupa hutan, dengan harapan mereka dapat mengelola untuk menopang hidupnya. Di tempat transit kedua ini pun tidak berlangsung lama. Ternyata setelah mereka berhasil, mereka mengalami tekanan-tekanan berupa kewajiban membayar pajak untuk setiap lahan yang dikelolanya pada orang Kulawi. Keadaan yang tidak menguntungkan ini mendorong orang asal Malino tersebut untuk mencari tempat baru. Melihat gelagat ini, Balu, orang pertama yang menempatkan mereka di Kauawu mengambil kebijakan dengan menawarkan alternatif lain. Balu menawarkan lokasi perburuan miliknya agar dibeli dan terjadilah kesepakatan jual beli antara Balu dengan orang asal Malino. Tempat dilaksanakan kesepakatan tersebut disebut ”kaputua” yang artinya keputusan akhir jual beli tanah di wilayah perburuan Balu. Kawasan perburuan tersebut dihargai setara dengan tujuh biji emas, masing-masing sebesaar burung pipit. Sejak saat itu hingga sekarang, orang Malino ini mendiami wilayah yang dinamai Toro.

5.1.2 Sejarah Omu

Masyarakat Desa Omu, sebagian besar adalah penduduk yang berpindah mengungsi dari wilayah Seko di Sulawesi Selatan karena adanya konflik di daerah asal mereka. Perpindahan berlangsung antara tahun 1952 sampai dengan 1966 dalam jumlah yang cukup besar, lebih dari setengah jumlah warga di Seko diperkirakan melakukan pengungsian ke wilayah-wilayah sebelah utara atau wilayah yang masuk wilayah Sulwesi Tengah. Kedatangan masyrakat dari Seko tahun 1956 berjumlah 10 Kepala Keluarga, kemudian menyusul sebanyak 800 jiwa di tahun yang sama dan menempati berbagai wilayah di Sulawesi Tengah seperti desa Tuva, Simono, O’o Parese, Watukilo, Makuhi dan Gimpu serta dibeberapa kampung lain di sekitar Kecamatan Kulawi. Masyarakat Seko yang telah mendiami wilayah Desa Omu saat ini adalah masyarakat yang dulunya mengungsi ke wilayah Sigi Dolo, menempati wilayah antara desa Tuva dan Pakuli, dipimpin Oleh P. Taeli, P. Kalesu, YT. Saniang dan P. Taeteng. Pemerintahan wilayah Sigi pada saat itu adalah Wawo Lamakarate sebagai Kepala Swapraja Sigi Dolo. Perkembangan jumlah pengungsi yang terus bertambah membuat Kepala Swapraja Sigi Dolo berinisiatif untuk menata dan menempatkan pengungsi di satu wilayah yang pada saat itu menjadi bagian pemerintahan dari kampung TuvaSinduru. Pada tahun 1956, pengurusan dan pembinaan pengungsi Seko diserahkan kepada Pemerintah melalui Departemen Sosial serta pengungsian yang terus bertambah. Selama Pengurusan dan Pembinaan Departemen Sosial, masyrakat Omu mendapatkan kebutuhan bersa, alat-alat pertanian parang dan pacul serta kebutuhan hidup rumah tangga. Kepala Swapraja Sigi Dolo kemudian memberikan nama wilayah yang ditempati pengungsi dengan kata “Omu”. Pemberian nama Omu diambil dari bahasa Kaili “Naomu” yang berarti hangat. Kepala Swapraja Wawo Lamakarate mengatakan bahwa nama itu diberikan sebagai perpaduan kondisi di wilayah Seko yang berhawa panas. Pada tahun 1958, Omu diresmikan menjadi sub-distrik yang dikepalai oleh bapak Harum Batu Sisang. Masyarakat Omu terbagi menjadi lima kelompok sesuai asal kampung masin-masing yaitu, Kampung Lipu, Kampung Singkalong, Kampung Eno, Kampung Tenterang, dan Kampung Tanete. Pada tahun 1958 pula, pacah konflik PEMESTA sehingga sebagian masyarakat Omu mengungsi ke Kali OmuTarangka dan Tomutu. Selama pengungsian di wilayah tersebut, masyarakat membuka lahan pertanian dan menanam berbagai jenis tanaman tahunan dan tanaman musiman. Sampai saat ini di wilayah tersebut tetap digarap oleh masyarakat Desa Omu. Akhir tahun 1959 situasi berangsur membaik dan kondusif, masyarakat Omu yang berada di pengungsian secara bertahap kembali ke pemukiman. Tahun 1986 petani mulai melakukan penanaman Kakao, Vanili, Lada dan tanaman perkebunan lainnya untuk memenuhi kebutuhan makan dan sebagaian dipasarkan. Sistem pemerintahan sub-distrik berubah menjadi desa pada tahun 1968 dan otomatis sub distrik Omu menjadi Desa Omu. Pada tahun itu pula terjadi peristiwa banjir Bandang di wilayah Desa Tinggede. Situasi tersebut membuat Komandan Sektor Dan Sektor Marawola Komandan Payung berkoordinasi dengan Kepala Daerah Bapak Pusadan, memintakan agar warga Tinggede dipindahkan ke desa Omu yang kemudian disetujui dan sebagian masyarakat Tinggede dipindahkan ke desa Omu. Sejak saat itu, terdapat dua etnis besar di desa Omu yaitu Seko dan Kaili.

5.2 Keadaan Biofisik

5.2.1 Letak, Luas dan Aksesibilitas

Desa Toro terletak sekitar 120 ° 1’47 BT – 120 ° 3’30” BT dan 1 ° 29’30” LS – 1 ° 32’04” LS, dengan luas wilayah ± 99,03 km 2 dan ketinggian rata-rata 796 m di atas permukaan laut dpl. Secara administratif Desa Toro berada dalam wilayah Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Propinsi Sulawesi Tengah. Jarak dari ibukota Kecamatan Kulawi sejauh 16 km, dapat ditempuh dalam waktu setengah jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Jarak dari ibu kota propinsi di Palu lebih kurang 86 km dan dapat ditempuh lebih 3 jam perjalan dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Desa Toro terdiri dari 7 dusun. Batas-batas wilayah Desa Toro secara administratif adalah sebagai berikut: a. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Matue dan Lindu b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kaduwa c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Oo dan Parese d. Sebelah Barat berbatasan deng Lonca dan Winatu Desa Omu terletak pada titik 119°56’43” BT dan 1°16’37” LS dengan luas wilayah ±49,18 km 2 dan ketinggiaan rata-rata 154 m di atas permukaan laut. Desa Omu secara administratif berada di wilayah Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi, Propinsi Sulawesi Tengah. Menuju Desa Omu dapat di tempuh menggunakan kendaraan roda empat dan roda dua. Waktu tempuh dari Palu, ibukota Propinsi Sulawesi Tengah menuju Desa Omu adalah 2 jam perjalanan. Batas-batas wilayah Desa Omu secara administratif adalah sebagai berikut: a. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Simono b. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Anca c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Tuva d. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Bangga.

5.2.2 Topografi

Topografi Toro termasuk dalam kategori pegunungan, dimana persentase pegunungan sebanyak 50, dataran 30, dan perbukitan 20. Tingkat kemiringan tanah cukup curam yaitu berkisar antara 60 - 70. Topografi Desa Omu termasuk daerah perbukitan. Hal ini dilihat dari persentase topografi yang ada di Desa Omu. Sebanyak 50 wilayahnya adalah perbukitan, pegunungan 20 dan dataran sebanyak 30. Tingkat kemiringan tanah berupa perbukitan dengan kelerangan berkisar 40 - 60. Jenis tanah berupa Asosiasi Cokelat kelabu, Podsol dan Renzina Badan Pusat Statistik 2011.

5.2.3 Iklim

Menurut klasifikasi curah hujan Schmidt-Fregusson, daerah lokasi penelitian mempunyai tipe iklim G dengan rata-rata curah hujan tahunan pada rentang tahun 1991 – 2010 sebesar 725 mmtahun dengan curah hujan tahunan terendah pada tahun 2004 yaitu sebesar 434 mm dan curah hujan tahunan tertinggi pada tahun 1999 sebesar 1063 mm. Rata-rata curah hujan bulanan pada rentang tahun 1991 – 2000 adalah 37 mmbulan – 92 mmbulan dengan rata-rata curah hujan bulanan terendah pada bulan September dan tertinggi pada bulan Juli. Rata- rata curah hujan bulanan pada rentang 2001 – 2010 adalah 39 mmbulan – 77 mmbulan dengan rata-rata curah hujan bulanan terendah pada bulan Februari dan tertinggi pada bulan April. Badan Pusat Statistik 2011. Data curah hujan dan temperatur udara dapat dilihat pada lampiran 3 dan lampiran 4.

5.2.4 Vegetasi

Taman Nasional Lore Lindu TNLL memiliki tingkat keanekaragaman jenis vegetasi yan tinggi di Pulau Sulawesi. Diperkirakan 5.000 spesies tumbuhan tinggi terdapat di dalamnya. Flora di dalam TNLL umumnya diklasifikasikan ke dalam jenis-jenis vegetasi utama berdasarkan ketinggian, meskipun bentuk lahan, topografi dan iklim juga memegang peranan penting. Pada ketinggian 500 – 1.000 mdpl, hutan dataran rendah berkembang dengan baik. Jenis-jenis yang dapat dijumpai antara lain: Mussaendopsis beccariana, Dysoxylum sp., Ficus sp., Myristica spp., Caryota spp., Elmerilia ovalis, Strychnos axillaris, Celtis sp., Pterospermum subpeltatum, Canangium odoratum, dan Durio zibethinus. Pada pegunungan rendah dengan ketinggian 1.000 – 1.500 mdpl dijumpai jenis-jenis Castanopsis argentea, Lithocarpus spp., Garcinia spp., serta berbagai epifit, termasuk didalamnya puluhan jenis Anggrek dan pakis yang tumbuh di dahan-dahan pohon Purwawangsa 2008.

5.2.5 Satwa Liar

Taman Nasional Lore Lindu TNLL memiliki berbagai tipe ekosistem yang merupakan habitat bagi berbagai jenis satwa langka dan dilindungi. Dari jenis mamalia langka dapat dijumpai Anoa quarlesi, Anoa depressicornis, Babyrousa babyrusa, Sus celebensis, Macaca tonkeana, Phalanger ursinus, Phalanger celebensis, Tarsius spectrum dan Cervus timorensis. Kawasan ini juga terkenal akan keanekaragaman jenis burung. Sekitar 224 jenis burung ditemukan, 97 diantaranya merupaka endemik di Sulawesi, seperti Tanygnatus sumtrana, Loriculus exillis, Trichoglossus platurus, Cacatua sulphurea, Buceros rhinoceros, Aceros cassidix, Anhinga rufa, Rallus plateni, Scolopax celebencis, Tyto inexspectata, Geomalia heinrichi, Macrocephalon maleo dan Megapoidus freycynet. Selain itu, terdapat pula jenis reptil seperti Phyton reticulatus, Ophiophagus hannah dan Elaphe erythura. Jenis serangga antara lain Papilio blumei, Graphium androcles dan Appies spp Purwawangsa 2008.

5.3 Keadaan Sosial dan Ekonomi

5.3.1 Administrasi Pemerintahan

Desa Toro terbagi ke dalam tujuh dusun dan empat belas Rukun Tetangga RT. Dalam struktur pemerintahan, Desa Toro terdiri atas kepala desa, sekretaris desa, urusan pemerintahan dan urusan pembangunan, urusan umum dan urusan keuangan. Desa Omu terbagi ke dalam empat dusun dan tujuh Rukun Tetangga RT. Dalam struktur pemerintahan, Desa Omu terdiri atas kepala desa, sekretaris desa, urusan pemerintahan dan urusan pembangunan, urusan umum dan urusan keuangan.

5.3.2 Penduduk, Pendidikan dan Mata Pencaharian

Jumlah penduduk Desa Toro pada tahun 2010 sebanyak 1.976 jiwa dengan kepadatan penduduk sebanyak 20 jiwakm 2 . Jumlah rumah tangga RT sebanyak 486 rumah tangga dengan rata-rata empat jiwaRT. Menurut jenin kelamin, jumlah penduduk laki-laki sebanyak 1028 jiwa dan perempuan sebanyak 948 jiwa. Berdasarkan tingkat pendidikan penduduk desa Toro dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Tingkat Pendidikan Desa Toro No Tingkat Pendidikan Jumlah jiwa Persentase 1. tidak tamat SD 842 42,61 2. SDsederajat 736 37,25 3. SLTPsederajat 262 13,26 4. SLTAsederajat 119 6,02 5. perguruan tinggi 17 0,86 Jumlah 1976 100 Sumber: Pemerintah Kabupaten Sigi 2010 Tingkat pendidikan masyarakat di Desa Toro tergolong rendah. Pada Tabel 3 menunjukkan sebagian besar penduduknya tidak tamat Sekolah Dasar SD dan hanya sebagian kecil yang sampai sekolah hingga Perguruan Tinggi PT sebanyak 0,86. Hal ini menyebabkan sebagian besar mata pencaharian di Desa Toro hanya sebagai petani atau buruh tani. Berdasarkan sumber mata pencaharian penduduk Desa Toro dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Jenis Mata Pencaharian Masyarakat Desa Toro No. Jenis Pekerjaan Desa Toro 1 Petaniburuh tani 1360 2 PNS 19 3 Pegawai Swasta 20 4 Pengusaha 33 5 PolriTNI Jumlah 1432 Sumber: Pemerintah Kabupaten Sigi 2010 Jumlah penduduk Desa Omu pada tahun 2010 sebanyak 2.010 jiwa. Jumlah rumah tangga sebanyak 392 Rumah Tangga. Menurut jenis kelamin, jumlah penduduk laki-laki sebanyak 998 jiwa dan perempuan sebanyak 1012 jiwa. Desa Omu terbagai menjadi 7 administrasi tingkat Rumah Tangga RT dan terdiri dari 4 dusun. Berdasarkan tingkat pendidikan penduduk Desa Omu dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Tingkat Pendidikan Desa Omu No Tingkat Pendidikan Jumlah jiwa Persentase 1. tidak tamat SD 892 44,38 2. SDsederajat 600 29,85 3. SLTPsederajat 353 17,56 4. SLTAsederajat 150 7,46 5. perguruan tinggi 15 0,75 Jumlah 2010 100 Sumber: Pemerintah Kabupaten Sigi 2010 Tingkat pendidikan yang rendah di Desa Omu juga menyebabkan sebagaian besar mata pencaharian penduduk Desa Omu adalah sebagai petani atau buruh tani. Jenis mata pencaharian penduduk Desa Omu disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6 Jenis Mata Pencaharian Masyarakat Desa Omu No. Jenis Pekerjaan Desa Omu 1 Petaniburuh tani 1548 2 PNS 15 3 Pegawai Swasta 14 4 Pengusaha 16 5 PolriTNI 1 Jumlah 1594 Sumber: Pemerintah Kabupaten Sigi 2010

5.3.3 Pola Penggunaan Lahan

Pola penggunaan lahan di Desa Toro dan Omu berupa sawah irigasi sederhana dan sawah tadah hujan. Sawah irigasi sederhana adalah sawah yang sumber airnya berasal dari irigasi yang tidak permanensederhana berupa bahan material dari tumpukan batu yang tidak ditata dengan baik. Perkebunan yang dikembangan masyarakat adalah kakao, jagung dan kelapa. Luas padisawah di Desa Toro 91 ha, jagung 51 ha dan kakao 493 ha. Sedangkan luas sawah di Desa Omu adalah 86 ha, kelapa 20 ha, kakao 600 ha, jagung 30 ha, kacang kedelai 6 ha dan kacang tanah 4 ha.

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Persepsi Terhadap Perubahan Iklim

Responden penelitian secara umum merasakan terjadinya perubahan iklim yang terjadi. Responden merasakan gejala-gejala terjadinya pergeseran musim dan perubahan suhu yang terjadi selama beberapa tahun terkahir. Namun mereka belum mengerti istilah perubahan iklim. Hal ini disebabkan tingkat pendidikan respoden yang sebagian besar hanya lulus Sekolah Dasar SD dan Sekolah Menengah Pertama SMP. Masyarakat merasakan telah terjadinya pergeseran musim yang hujan dan musim kemarau serta perubahan lama musim hujan dan kemarau. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Azhari 1988 dalam Ramdhani 2011 bahwa pendidikan baik formal maupun non formal adalah sebagai sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Perubahan musim yang tidak menentu sebenarnya tidak terlalu berpengaruh pada jadwal penanaman padi. Masyarakat hanya mengikuti instruksi aparat desa mengenai jadwal tanam dan jadwal panen. Perubahan musim yang tidak menentu mengakibatkan menurunnya hasil panen karena cuaca yang tidak mendukung. Hal ini juga mengakibatkan masyarakat mudah terserang penyakit karena perubahan yang tidak menentu.

6.2 Curah Hujan dan Temperatur Udara