Faktor Pendukung Identifikasi Latar Belakang Penyebab Kebakaran Hutan

5.4.2 Faktor Pendukung

Terdapat lima hal yang menjadi faktor pendukung penyebab terjadinya kebakaran hutan di Kabupaten Tebo. Bobot relatif pada peubah faktor pendukung disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Bobot relatif pada peubah faktor pendukung Peubah Skor Jumlah Bobot 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Musim 7 6 5 5 5 6 6 7 7 7 61 37,4 Sanksi 5 4 2 1 4 3 4 3 5 3 34 20,9 Status kepemilikan lahan 3 1 3 3 3 4 1 4 2 4 28 17,2 Bahan bakar 1 2 1 4 2 2 3 2 3 2 22 13,5 Waktu 2 3 4 2 1 1 2 1 1 1 18 11,04 1 Musim Musim kemarau merupakan salah satu faktor pendukung penyebab terjadinya kebakaran hutan di Kabupaten Tebo. Musim kemarau dan kekeringan yang panjang sebagai akibat dari El Nino telah melanda sebagian belahan bumi, termasuk diantaranya adalah Indonesia. El Nino yang kering menyebabkan hutan tropis di Indonesia mengalami kekeringan, curah hujan yang rendah menyebabkan serasah dan pohon-pohon menjadi kering sehingga menyebabkan mudahnya terjadi kebakaran hutan. Dinas Kehutanan Provinsi Jambi 2011 menyatakan bahwa penyebab semakin banyaknya hotspot dan pemicu adanya kebakaran hutan adalah musim kemarau yang berkepanjangan. Sebaran titik panas hingga September 2012 mencapai 2.282 titik, dan paling banyak ditemukan salah satunya di Kabupaten Tebo. 2 Lemahnya sanksi hukum Larangan dalam pembakaran hutan telah diatur didalam peraturan perundang-undangan, diantaranya adalah :Undang-Undang No.5 Tahun 1997, Undang-Undang No.5 Tahun 1990, Undang-Undang No.23 Tahun 1997, Undang- Undang Kehutanan No.41 Tahun 1999, Undang-Undang-Undang No.22 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1985, Peraturan Pemerintah No.62 Tahun 1998, Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 2001 tentang pengendalian pencemaran udara, Keputusan Menteri Kehutanan Np.523Kpts-II1993, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, Peraturan Daerah PERDA tiap-tiap Provinsi, Pedoman Pelaksanaan Perundangan Lainnya Kepres, Keputusan Menteri, Pedoman Teknis Direktur Jendral Perkebunan dan direktur Jendral Pengusahaan Hutan. Pada Undang-Undang Kehutanan ini sebenarnya telah menjelaskan mengenai larangan dalam membakar hutan, yang diatur dalam Pasal 50 ayat 3 butir d. Bahwa pembakaran hutan secara terbatas diperkenankan hanya untuk tujuan khusus atau dalam kondisi yang tidak dapat dielakkan seperti pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat tumbuhan dan rawa Pada kenyataannya, pelaksanaan pembakaran secara terbatas harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang. Sehingga disimpulkan bahwa Undang-Undang Kehutanan menyebutkan bahwa pembakaran hutan dilarang dan pemegang hak pengelolaan hutan bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya. Namun, keadaan yang sebenarnya di lapangan diketahui bahwa dengan adanya Undang-Undang tersebut dapat memberi ruang gerak bagi perusahaan-perusahaan dengan memperbolehkan pembakaran sepanjang ada izin dari pejabat yang berwenang. Lebih mempermudah akses untuk membuka dan membersihkan lahan land clearing dengan jalan membakar hutan, melalui izin dari pejabat yang berwenang tersebut Puspitasari 2007. Aspek penanganan hukum kebakaran hutan meliputi adanya sanksi adat, sanksi administrasi, sanksi perdata dan sanksi pidana. Menurut Mangandar 2000 salah satu motivasi bagi petani untuk mengendalikan api adalah ketakutan akan hukuman apabila api yang mereka nyalakan menjalar ke areal disekitarnya dan merusak milik orang lain. Namun karena sanksi adat tidak begitu ketat, sehingga masyarakat cenderung tidak peduli terhadap kebakaran hutan yang terjadi. Penegakan hukum yang lemah antara kurangnya keberanian warga untuk melapor dan bertindak, ketentuan hukum yang sudah jelas, tetapi tidak banyak pihak tidak tahu atau tidak mau tahu dengan ketentuan tersebut, penegakan hukum yang tidak hanya sekedar penjatuhan sanksi, belum optimalnya koordinasi pengawasan, hukum masih kalah dengan faktor lain misalnya faktor ekonomi dan bisnis, tidak tegasnya aparat untuk bertindak, serta masih banyak celah hukum dalam peraturan perundangan yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan hidup. Penguatan kapasitas institusi sangat diperlukan untuk mencapai keberhasilan dalam pengelolaan kebakaran hutan. Selain itu, pengetahuan masyarakat mengenai pengelolaan kebakaran perlu diintensifkan melalui program terpadu dari berbagai institutsi. Program pengembangan desa kurang terkoordinasi dengan baik antara pemangku kepentingan. 3 Kondisi bahan bakar hutan Dari hasil survey di lapangan, kondisi hutan yang akan dibuka untuk areal perkebunan pada umumnya adalah semak belukar. Menurut Hadi 2006 bahwa kondisi lahan dalam keadaan semak belukar lebih cepat terbakar, terutama jika terjadi pada musim kemarau. Sehingga dengan adanya kondisi seperti ini dapat menjadi faktor penyebab terjadinya kebakaran hutan. Husein 2003 mengemukakan bahwa bahan bakar hutan merupakan setiap tumbuhan, baik yang masih hidup maupun yang telah mati, yang kemudian terbakar dan menjadi sumber api. Dengan kata lain, bahan bakar hutan merupakan hutan itu sendiri dan vegetas-vegetasi yang terdapat di dalam kawasan hutan, termasuk semak dan alang-alang. Semak termasuk kedalam tipe bahan bakar permukaan, yang api kebakaran akan menjalar lebih cepat jika dibandingkan dengan tipe bahan bakar yang lain, tergantung pada keadaan musimnya. Sehingga, dengan kondisi lahan yang pada umumnya adalah semak dan alang-alang menjadi salah satu faktor pendukung kebakaran hutan cepat terjadi di Kabupaten Tebo. 4 Kepemilikan Lahan Perkebunan merupakan salah satu mata pencaharian utama masyarakat Tebo untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sebagian besar lahan tersebut diperoleh secara turun temurun, dengan luas lahan berkisar 1-2 Ha. Status kepemilikan lahan merupakan salah satu faktor yang menjadi latar belakang masyarakat melakukan pembakaran. 5 Waktu Latar belakang yang mengakibatkan terjadinya kebakaran yaitu adanya pada peubah waktu pembakaran. Pembakaran lahan dilakukan pada tiga waktu yang berbeda yaitu siang, sore dan malam hari. Pada umumnya masyarakat Tebo, melakukan pembakaran pada sore menjelang malam sekitar pukul 17.00 WIB. Hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya adalah kecepatan penjalaran dan instensitas api pada sore hari lebih rendah dibandingkan pada siang hari. Berdasarkan hasil penelitian Prastina 2004 kecepatan penjalaran api pada pembakaran siang hari lebih tinggi jika dibandingkan malam hari, yaitu 3,53 mmenit. Pada siang hari kecepatan angin lebih tinggi dibandingkan pada malam hari. Intensitas api pada pembakaran siang hari juga lebih tinggi dibandingkan dengan pembakaran sore ataupun malam hari. Selain itu, proses pembakaran pada siang hari berlangsung lebih cepat dibandingkan pembakaran pada sore atau malam hari. Hal ini disebabkan bahan bakar yang rendah dan kadar air bahan bakar yang rendah sehingga lahan tersebut lebih cepat terbakar. Namun sebagian besar masyarakat Tebo lebih memilih melakukan pembakaran pada sore hari. Hal ini disebabkan kecepatan angin tidak terlalu tinggi, namun kekompakan bahan bakar dan kadar air belum cukup tinggi bila dibandingkan pembakaran pada malam hari, sehingga tidak mempunyai resiko menjalar ke lahan lain. Selain itu, mereka juga menghindari adanya tim patroli hutan yang menangani perambahan hutan dan perladangan berpindah. Hal ini terkait dengan adanya peraturan pemerintah No.28 tahun 1985 tentang perlindungan hutan pasal 10 ayat 1 dan 2 yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang membakar hutan dan mempunyai kewajiban dalam usaha pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan. Kemudian adanya SK. Menteri Kehutanan No.195Kpts-II93 tentang petunjuk pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan.

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN