Pengendalian Kebakaran Hutan Tipe Sistem Informasi Kebakaran

- Membakar hutan karena jalan menuju ladangkebun mereka rusak - Ketidaksengajaan pekerja HTI Menurut Syaufina 2008 pembakaran dengan menggunakan puntung rokok sebagai sumber panas ternyata tidak mengakibatkan gambut terbakar, bahkan pada serasah atau alang-alang yang terdapat di atasnya. Hal tersebut terjadi disebabkan panas puntung rokok tidak cukup mengakibatkan terjadinya kebakaran.

2.4 Pengendalian Kebakaran Hutan

Pengendalian kebakaran hutan merupakan aktivitas yang dilakukan dalam rangka melindungi hutan dari kebakaran liar dan penggunaan api untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam pengelolaan hutan. Menurut Husaeni 2003 komponen kegiatan pengendalian hutan diantaranya adalah : a. Mencegah terjadinya kebakaran hutan b. Memadamkan kebakaran hutan dengan sesegera mungkin c. Penggunaan api dilakukan hanya untuk tujuan tertentu Agar pengendalian kebakaran hutan dapat berhasil dengan baik, maka sebelum pelaksanaannya perlu disusun suatu rencana pengendalian yang menyeluruh. Rencana tersebut merupakan dasar dalam pelaksanaan pencegahan, pemadaman dan penggunaan api di dalam hutan dan daerah disekitarnya. Adanya rencana kegiatan pengendalian kebakaran hutan merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari rencana pengelolaan atau managemen hutan. Deteksi kebakaran dengan menggunakan titik hotspot merupakan salah satu upaya dalam pengendalian kebakaran hutan. Deteksi kebakaran merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui adanya kebakaran dan lokasinya. Deteksi api ini merupakan salah satu bagian dari tahapan kegiatan pra- pemadaman kebakaran. Selain itu tahapan pra-pemadaman terdiri dari Husaeni 2003: pembentukan organisasi, pelatihan petugas, pengadaan dan pemeliharaan peralatan, deteksi api, kerjasama dengan pihak lain, penyiapan logistik, penyiapan lapangan, penilaian bahaya kebakaran dan penyiapan komuniaksi. Deteksi kebakaran merupakan tahapan yang penting dalam pemadaman kebakaran. Tanpa mengetahui lokasinya, kebakaran tersebut tidak bisa dipadamkan. Kemampuan organisasi untuk dapat menentukan lokasi kebakaran dengan segera dan cepat, merupakan dasar dari pemadaman yang efektif. 2.5 Kejadian Kebakaran Hutan 2.5.1 Hotspot Untuk mendeteksi adanya suatu kejadian kebakaran hutan dapat menggunakan teknik penginderaan jauh. Satelit National Oceanic and Atmospheric AdministrationAdvance Very High Resolution Radiometer NOAA AVHRR merupakan satelit yang paling sering digunakan untuk mendeteksi kebakaran hutan. Pada satelit ini dilengkapi dengn sensor Advance Very High Resolution AVHRR yang melakukan perekaman setiap hari pada resolusi sedang berkisar 1 km. Hotspot merupakan titik-titik panas di permukaan bumi dimana titik tersebut merupakan indikasi adanya kebakaran hutan Ratnasari 2000 dalam Thoha 2008. Di Indonesia terdapat tiga sumber penyedia hotspot diantara JICA Japan International Coorperation Agency, LAPAN Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, dan ASMC ASEAN Specialized Meteorology Center. Perbedaan antara ketiga sumber tersebut terletak pada ambang batas threshold suhu terendah sehingga hasil perekaman dapat dinyatakan sebagai suatu hotspot. LAPAN menggunakan threshold sebesar 322 K, JICA menurut FFMP tahun 2004 threshold yang digunakan 315 K pada siang hari dan 310 K pada malam hari yang lebih rendah dibandingkan ASMC yang menggunakan threshold sebesar 320 K pada siang hari dan 314 K pada malam hari.

2.5.2 Karakteristik Data Hotspot

Kebakaran hutan dapat dipantau dengan menggunakan data AVHRR- NOAA Advanced Very High Resolution Radiometer-National Oceanic and Atmospheric Administration yaitu melalui pengamatan hotspot. Kebakaran hutan dapat dipantau melalui pengamatan hotspot yang merupakan titik panas permukaan bumi, dimana titik-titik tersebut merupakan indikasi adanya kebakaran hutan Thoha 2008. Suatu hotspot dikatakan sebagai kejadian kebakaran di permukaan bumi apabila terdeteksi pada koordinat yang sama selama 3 hari atau lebih secara berturut-turut Lapan 2004 dalam Hadi 2006. Data Hotspot dari suatu citra dijadikan sebagai indikasi kebakaran hutan baik sebagai indikasi kebakaran tajuk, kebakaran permukaan maupun kebakaran bawah. Dalam penentuan luas kebakaran hutan band yang digunakan adalah band 3 dan band 4 atau band visible dan band inframerah. Menurut data LAPAN 2005 pada band 3 panjang gelombang yang digunakan adalah 3,55 – 3,93 mm, hal ini disebabkan karena pada band 3 wujud gelombang visible sangat sensitif terhadap emisi panas sedangkan untuk band 4 panjang gelombang yang digunakan adalah 10,3 – 11,3 mm. Hotspot mengindikasikan lokasi kebakaran hutan yang kemudian dapat dideteksi kedalam komputer atau peta yang akan dicetak yang setelah dicocokan dengan koordinatnya. Untuk menggambarkan titik kebakaran hutan disebut dengan firespot. Dalam memprediksi jumlah hotspot merupakan hal yang tidak mudah hal ini disebabkan karena kebakaran merupakan masalah yang sangat kompleks yang melibatkan faktor-faktor alam seperti cuaca atau iklim dan bahan bakar yang mempengaruhi sedangkan faktor manusia disebakan oleh kegiatan pemanfaatan lahan, ekonomi dan budaya bahkan kelembagaan. Data hotspot sering digunakan untuk pendeteksian kebakaran dikarenakan sensornya dapat membedakan suhu permukaan di darat maupun di laut, pengambilan data pada satelit tersebut 2 kali sehari yaitu pada waktu siang dan malam. Maka, dengan demikian data hotspot dapat digunakan untuk pendeteksian kebakaran hutan di wilayah kebakaran hutan. Data hotspot dideteksi dengan menggunakan satelit NOAA kemudian disampaikan menuju antena penerima dan menghasilkan interpretasi citra yang dapat berupa produksi peta, kemudian dilakukan akurasi data dengan melakukan pengecekan di lapangan Gambar 2. Manfaat lain jika menggunakan data hotspot adalah selain harganya relatif murah penggunaan satelit nya pun tidak dikenai biaya apapun, namun untuk mendapatkan citra atau foto dari satelit tersebut membutuhkan hardware dan software yang dapat dikatakan mahal. Contohnya adalah satelit NOAA merupakan satelit yang menghasilkan data hotspot dapat dengan mudah diakses, murah dan cepat dengan menggunakan internet pada berbagai informasi sebagai penyedia data hotspot.

2.5.3 Akurasi Data Hotspot

Permasalahan yang ditemukan dalam pemanfaatan data hotspot diantaranya yang pertama yaitu karakteristik data. Menurut FFPMP 2004 sensor pada satelit NOAA AVHRR tidak dapat menembus awan, asap atau aerosol. Kelemahan tersebut akan merugikan jika kebakaran besar sehingga pada wilayah tersebut tertutup asap. Selain itu, khusus untuk citra NOAA resolusi yang dihasilkan masih rendah sehingga kesalahan perkiraan terhadap titik kebakaran masih cukup sering terjadi misalnya cerobong api dari suatu tambang minyak atau gas, areal tanah kosong yang relative lebih panas seringkali terdeteksi sebagai suatu hotspot. Kedua yaitu adanya perbedaan hasil data hotspot yang diakibatkan oleh belum adanya standar internasional khususnya dalam sistem pendeteksian hotspot. Ketiga yaitu sistem distribusi data yaitu kecepatan dalam pengiriman data hasil olahan sangat penting khususnya bila saat terjadinya kebakaran. Semakin cepat suatu informasi diterima maka semakin memudahkan stakeholder dalam melakukan tindakan. Keberlanjutan ketersediaan data harus ditingkatkan terutama bagi instansi pemerintah seperti Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional LAPAN, Badan Penerapan Pengkajian Teknologi BPPT, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika BMKG, dan Departemen Kehutanan yang memiliki kapasitas dan kemampuan di dalam teknologi penginderaan jauh ataupun data iklim. Gambar 2 Arus sistem informasi data hotspot sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Jambi 2011 Selain itu ada juga yang dinamakan dengan false hotspot atau hotspot palsu yang terjadi akibat adanya pengaruh gelombang radio dan efek yang dinamakan dengan sun glint. Gelombang radio dapat menganggu penerimaan hotspot dan dapat muncul sebagai hotspot. Sun glint terjadi ketika satelit tersebut tegak lurus dengan sebuah permukaan yang sangat luas dan dapat memantulkan cahaya matahari misalnya pada perairan danau, sungai, awan, gurun dan atap logam. Hampir pada setiap hotspot palsu dapat dikoreksi pada saat pemrosesan hotspot sehingga data yang diterima oleh pengguna user relatif bebas hotspot palsu. Namun cek lapang tetap diperlukan untuk memastikan kebenaran data hotspot.

2.5.4 Deteksi Hotspot

Setiap kebakaran hutan yang terjadi tidak dapat dideteksi sebagai hotspot. Beberapa faktor yang mempengaruhi deteksi hotspot diantaranya adalah jenis kebakaran, adanya penghalang deteksi tajuk pohon, asap, awan, waktu lintasan satelit, luas dan intensitas besarnya kebakaran. Ketika terjadi kebakaran hutan dibawah tajuk, dibawah permukaan ground fire, asap tebal dan awan maka satelit tidak dapat mendeteksi karena terhalang. Selain itu, satelit melewati areal pada waktu jam tertentu ketika terjadi kebakaran hutan sebelum dan setelah melewati satelit tersebut maka kebakaran hutan tidak akan terdeteksi oleh satelit. Kebakaran hutan yang dapat terdeteksi sebagai hotspot adalah kebakaran dengan luas dan intensitas tertentu. Meskipun yang terbakar hanya padang rumput, kebakaran tersebut dapat dideteksi sebagai hotspot. Sebaliknya cerobong api penambangan minyak dengan luasan yang tidak terlalu besar dapat terdeteksi sebagai hotspot karena suhunya sangat tinggi. Kebakaran hutan dapat dideteksi sebagai hotspot tergantung pada sudut scan satelit, bioma, posisi matahari, suhu permukaan bumi, tutupan awan, banyaknya asap dan arah angin. Maka ukuran kebakaran hutan yang dapat dideteksi sangat tergantung kepada variabel tersebut. Dalam kondisi pengamatan yang optimal dekat nadir, asap sedikit atau tidak ada, permukaan bumi relatif homogen kebakaran hutan dengan luas 100 m 2 dapat dideteksi. Namun dalam kondisi bebas awan, asap atau polusi sangat jarang terjadi kebakaran seluas 50 m 2 dapat dideteksi. Jaya 2003 menerangkan bahwa metode deteksi hotspot terbagi kedalam 3 metode yaitu : 1 Perolah Data dan Pra-Pemrosesan Proses penangkapan dan pemrosesan dari data NOAA-AVHRR dilakukan dengan menggunakan sistem penerimaan dan pengolahan data satelit yang dibuat oleh BURL Bradford University Research Limited. Sistem tersebut terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak. Tahap pertama yang dilakukan adalah dengan membuat perencanaan perolehan data yaitu dengan memilih daerah mana yang akan diambil datanya, dan menentukan luas cakupan liputannya. Selanjutnya ketika pada saat perekaman datang, dilakukan proses capturing, setelah data diterima proses dilakukan dengan kalibrasi, navigasi dan overlay citra tersebut untuk memberi referensi geografis. Citra satelit digital dapat dianalogikan dengan matriks nilai-nilai kecerahan. Untuk data NOAA-AVHRR nilai-nilai kecerahan tersebut dikonversi menjadi 3 cara yaitu nilai radiasi saluran 1,2,3,4,5 nilai albedo saluran 1 dan 2 serta nilai suhu kecerahan saluran 3,4 dan 5. Data tersebut kemudian mengalami proses ekstraksi informasi untuk mendapatkan koordinat hotspot. 2 Metode Sederhana Deteksi hotspot dengan metode ini, dilakukan dengan menggunakan batas nilai ambang suhu kecerahan tertentu, pada matriks citra tersebut. Dalam bentuk Logika Boolean dinyatakan dengan: If nilai citra α Then nilai citra = hotspot Else nilai citra = bukan hotspot Dimana : nilai citra = suhu kecerahan saluran yang digunakan α = nilai ambang 310 K, 315 K, 321 K Nilai ambang bukanlah suatu nilai yang baku, tetapi dapat diubah-ubah sesuai dengan kondisi iklim atau daerah yang dideteksi. Misalnya FFPMP-JICA menggunakan suhu 310 K untuk nilai ambang, sedangkan untuk FFPCP-EU di Palembang menggunakan nilai 320 K sebagai ambang batas nilai hotspot. Kelebihan dari cara ini adalah sederhana dalam cara perhitungannya, sehingga waktu pemrosesan lebih singkat. Kelemahannya tidak bisa mengeliminasi efek kilau surya. Jika teknik ambang di terapkan, maka nilai pantulan air yang tinggi masuk sebagai nilai pancaran, dalam kategori hotspot, sehingga terjadilah kesalahan deteksi titik hotspot di laut atau danau. 3 Metode Algoritma Kontekstual Metode ini dikembangkan untuk mengatasi kelemahan pada metode sederhana. Langkah pertama yang dilakukan, citra NOAA-AVHRR dipilah menjadi dua obyek yaitu air dan daratan, dengan penggunaan NDVI, kemudian yang diproses adalah bagian daratan saja. Dari obyek daratan kemudian dipilih obyek awan. Obyek daratan yang telah dipilah dari obyek awan, kemudian dideteksi obyek-obyek yang dianggap merupakan tanah kering panas. Hasil dari deteksi ini adalah hotspot yang telah tereliminasi dari obyek air, awan dan tanah kering panas. Walaupun telah dieliminasi, namun terkadang hotspot terdeteksi sebagai areal yang luas. Pada kenyataannya hal tersebut sulit sekali terjadi peristiwa kebakaran hutan dalam satu areal yang luas dan terbakar sekaligus, karena adanya kecendrungan dari kebakaran hutan adalah jika telah mencapai luasan yang cukup luas, maka bagian tengah hutan yang terbakar sudah padam. Tujuan dari penerapan algoritme ini adalah untuk mendeteksi hotspot dalam luasan yang masuk akal, untuk dianggap sebagai kebakaran hutan.

2.5.5 Penerjemahan Hotspot dan Kejadian Kebakaran di Lapangan

Setiap hotspot menunjukkan titik tengah dari piksel yang berukuran ±1 km 2 sehingga koordinat hotspot tidak selalu sama dengan koordinat kebakaran di lapangan. Sebuah hotspot tidak dapat diterjemahkan bahwa telah terjadi kebakaran seluas 1 km 2 di daerah tersebut, hotspot hanya berarti kebakaran tersebut terjadi di dalam lingkup piksel berukuran 1 km 2 tersebut. Ketika kita melakukan zoom pembesaran pada sebuah gambar maka kita akan melihat gambar menjadi pecah dan terdapat kotak-kotak. Kotak-kotak itulah yang dinamakan piksel. Secara sederhana piksel diartikan sebagai unit terkecil dari citra satelitfoto. Satu piksel pada citra satelit NOAA, TERRA dan AQUA setara dengan ± 1 km 2 . Namun 1 piksel tidak selalu setara dengan 1 km 2 , ketika berada di pinggir lintasan scan track maka nilai piksel dapat bernilai lebih dari 1 km 2 . Ketika terjadi kebakaran hutanlahan di dalam areal sebuah piksel dan terdeteksi sebagai hotspot maka koordinat kebakaran hutanlahan tersebut akan ditampilkan di tengah piksel meskipun lokasi kebakaran berada di pinggir piksel. Sebagai konsekuensinya dalam tindaklanjut data hotspot kita harus menyusuri areal kurang lebih 1 km dari koordinat hotspot untuk dapat menemukan lokasi kebakaran hutan sebenarnya. Gambar 3 Piksel dari citra satelit dan hotspot yang terletak ditengah-tengah piksel Satelit yang digunakan di dunia untuk memperoleh data hotspot pada saat ini adalah NOAA National Oceanic and Atmospheric Administration, TERRA dan AQUA. Ketiga satelit tersebut dimiliki oleh Amerika Serikat. NOAA dikelola oleh United States Departemen of Commerce, sedangkan TERAA dan AQUA dikelola oleh NASA National Aeronautics and Space Administration Gambar 4 Ilustrasi antara deteksi hotspot dan kejadian kebakaran di lapangan Keterangan : Gambar 4A. Ketika terjadi sebuah kebakaran di pojok kiri bawah dalam lingkup salah satu piksel maka kebakaran tersebut ditampilkan sebagai suatu hotspot di tengah-tengah piksel tersebut. Gambar 4B. Ketika terjadi dua buah kebakaran didalam salah satu piksel maka kebakaran tersebut akan tetap ditampilkan sebagai salah satu hotspot yang berada di tengah-tengah piksel. Gambar 4C. Ketika terjadi 2 lokasi kebakaran, satu kebakaran terjadi didalam sebuah piksel dan kebakaran lainnya terjadi di tengah-tengah dari 4 buah piksel maka kebakaran tersebut dapat terdeteksi 4 buah hotspot. Sehingga disimpulkan bahwa jumlah hotspot tidak sama dengan jumlah titik api atau kejadian kebakaran

2.6 Tipe Sistem Informasi Kebakaran

Beberapa sistem telah dikembangkan untuk memberikan sistem peringatan dini, dalam rangka pencegahan terhadap bahaya kebakaran diantaranya adalah: a. Early Warning System Early warning system dikembangkan dengan menggunakan data cuaca harian sebagai dasar dalam menghitung indeks kekeringan. Indek kekeringan digunakan sebagai indikator dalam menghitung tingkat berkurangnya kelembaban lahan dan tanah. Indek kekeringan ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus KBDI Keech-Byram Drought Index. Variabel-variabel yang digunakan antara lain: a. Curah hujan tahunan rata-rata b. Suhu maksimum c. Curah hujan harian Di Indonesia khususnya Kalimantan Barat, KBDI digunakan oleh proyek IFFM-GTZ Integrated Forest Fire Management. Dimana : KBDI = Keech-Byram Drought Index KBDI = Keech-Byram Drought Index untuk hari sebelumnya Ann rain = Curah Hujan Tahunan mm Tmax = Suhu Maksimum C b. Fire Danger Rating System FDRS telah dibangun di Indonesia hasil kerjasama dari Canadian Forest Service-CFS dan BPPT, dengan adanya dukungan dari institusi pemerintahan yang terkait seperti Kementrian Kehutanan, Kementerian Lingkungan hidup, BMKG, LAPAN, dan beberapa perguruan tinggi seperti Institut Pertanian Bogor IPB, Universitas Riau UNRI dan Universitas Tanjungpura UNTAN yang telah menerima bantuan dari Canadian International development Agency CIDA. Informasi tersebut dapat diakses di internet pada situs www.fdrs.or.id atau www.haze-online.or.id . FDRS ini merupakan suatuu sistem yang digunakan untuk memonitor kebakaran hutan pada tingkat regional hingga pusat, khususnya dalam rangka upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran. FDRS merupakan suatu early warning system yang terfokus pada adanya kemungkinan adanya titik apai atau tidak. Sistem ini dibuat atas dasar adanya indikator penyebab adanya titik api. Misalnya kelembaban bahan bakar dan KBDI = 2000-KBDI x 0,9676xEXP0,087xTmax+1,552-8,229 x 0,001 1+10,88EXP-0,00175xAnn rain + 0,5 tingkat kekeringan dari bahan bakar. Sehingga hasilnya dapat menggunakan level bahaya api pada area tertentu. c. Sistem Monitoring Hotspot Metode yang digunakan untuk memonitor hotspot adalah satelit remote sensing. Data satelit dapat digunakan sebagai indikator adanya titik api, sehingga penting untuk dimelakukan analisis, pengawasan dan terkadang perlu melakukan groundcheck di lapangan untuk menentukan pencegahan dan pemadaman, khususnya pada saaat musim kering. Satelit yang sering digunakan adalah satelit NOAA National Oceanic and Atmospheric Administration, dengan sensor AVHRR Advance Very high Resolution Radiometer,yang mana sensor ini dapat membedakan suhu darat dan laut. Satelit NOAA dapat digunakan bebas, tapi untuk memperoleh gambar dari satelit diharuskan memiliki hardwere dan softwere yang mahal. Indonesia memiliki 7 stasiun satelit NOAA, termasuk milik Kementrian Kehutanan-JICA Sipongi dan milik LAPAN Jakarta. Sebagai monitor dari hotspot, satelit NOAA memiliki kelemahan. Pada sensor tersebut tidak dapat menembus awan, asap atau aerosol. Sensivitas sensor pada suhu bumi, ditmabah resolusi yang rendah, menyebabkan kemungkinan estimasi error. Sehingga sangat diperlukan dalam overlay hotspot data dengan peta tutupan lahan dengan menggunakan metode Geograpic Information System GIS dan juga mengidentifikasi dengan groundcheck di lapangan.

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi yang terletak pada titik 0º 45’ - 2º 45’ LS dan 101º 0’ - 104º 55’ BT Gambar 5 pada bulan Maret 2012 – Mei 2012. Pengolahan dan analisis data dilakukan pada bulan Juni 2012 – Agustus 2012 di Laboratorium Remote Sensing dan GIS, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. a. Data primer : - Data groundcheck lapangan - Hasil survey dan wawancara b. Data Sekunder - Data hotspot Balai Konservasi Sumber Daya Alam BKSDA Provinsi Jambi yang diperoleh dari ASMC periode Januari tahun 2011 sampai Maret tahun 2012 pemantauan satelit National Oceanic and Atomospheric Administration NOAA-18. - Laporan kegiatan patroli pemadaman kebakaran Balai Konservasi Sumber Daya Alam BKSDA Manggala Agni Kabupaten Tebo. - Data curah hujan rata-rata bulanan Kabupaten Tebo periode tahun 2011 sampai Maret tahun 2012 dari stasiun pengamat cuaca Badan Meteorologi dan Geofisika BMKG Provinsi Jambi - Kondisi umum wilayah Kabupaten Tebo dari Badan Pusat Statistik BPS Provinsi Jambi. - Peta penutupan lahan Kabupaten Tebo tahun 2011 - Peta dasar administrasi Kabupaten Tebo Provinsi Jambi