Akurasi indikator kejadian kebakaran dan identifikasi latar belakang penyebab kebakaran hutan di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi

(1)

KEBAKARAN HUTAN DI KABUPATEN TEBO

PROVINSI JAMBI

Oleh:

VEZA AZTERIA

P052100231

PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013


(2)

dan Identifikasi Latar Belakang Penyebab Kebakaran Hutan di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi di manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir dari tesis ini.

Bogor, Februari 2013

Veza Azteria P052100231


(3)

background of forest fire causes in Tebo Regency Jambi Province. Under the direction of LAILAN SYAUFINA and NINING PUSPANINGSIH

Land and forest fires are the natural disasters that often occur in Indonesian regions, especially Sumatera and Kalimantan. The disasters cause deep impacts to environments and human beings, so it is necessary to conduct mitigation. The objective of the research is to measure the accuracy of hotspot

and identify background of forest fires causes. The analyzes were conducted by using hotspot data, groundcheck data field, and interview data. The research consist of : GIS analysis, identification hotspot, correlation analysis, and weighting analysis. The results of the research show that the highest distribution

hotspot in Tebo Regency found in dry months are July (71 point), August (130 point) and September (111 point). The highest average accuracy groundcheck to

hotspot found in August of about 25,8%. Land area most commonly found

hotspot is forest area that 242 hotspot point. And the main reason people burning forest is land preparation for oil palm and rubber plantations.


(4)

Veza azteria. Akurasi indikator kejadian kebakaran dan identifikasi latar belakang penyebab kebakaran hutan di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi. Di bawah bimbingan LAILAN SYAUFINA dan NINING PUSPANINGSIH.

Kebakaran hutan dan lahan yang sering melanda wilayah Sumatera dan Kalimantan telah menimbulkan dampak yang sedemikian serius sehingga perlu dilakukan upaya-upaya penanggulangannya. Salah satu bentuk teknologi yang dapat diaplikasikan untuk mendukung kegiatan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan adalah teknologi satelit penginderaan jauh. Hotspot

merupakan suatu parameter yang digunakan dari data satelit dan diindikasikan sebagai lokasi adanya kebakaran hutan. Hotspot sudah digunakan meluas baik di Indonesia maupun negara-negara lain untuk memantau adanya kebakaran hutan dari satelit dikarenakan sensornya dapat membedakan suhu permukaan di darat maupun di laut. Data Hotspot tersedia dengan bebas dapat diakses dengan mudah dari internet. Penelitian ini menitikberatkan pada pemanfaatan data penginderaan jauh untuk mengidentifikasi daerah-daerah bekas kebakaran, yaitu menggunakan data satelit NOAA/AVHRR kemudian diakurasikan dengan groundcheck dan mengidentifikasi latar belakang penyebab terjadinya kebakaran hutan di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi.

Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung akurasi citra hotspot untuk identifikasi kebakaran hutan, mengidentifikasi jumlah titik hotspot pada setiap kelas tutupan lahan, mengidentifikasi latar belakang penyebab kebakaran hutan. Data dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah data hotspot yang diperoleh dari BKSDA Provinsi Jambi, data groundcheck, hasil survey dan wawancara, data kegiatan patroli pemadaman kebakaran, data curah hujan, data kondisi umum wilayah Tebo. Sedangkan alat yang digunakan adalah GPS (Global Positioning System) tipe Garmin 76CSx, Kamera Digital, Perangkat Komputer yang dilengkapi perangkat lunak ArcView GIS ver 3.2, ArcGIS 9.3,SPSS 16.0 dan

Microsoft Office.

Metode yang digunakan dalam akurasi kejadian kebakaran dengan menggunakan analisis euclidean distance, yaitumenghitung akurasi jarak terdekat kejadian kebakaran dengan data hotspot. Klasifikasi tutupan lahan dilakukan dengan menggunakan metode Supervised Classification. Analisis GIS (analisis peta tematik dan analisis spasial yaitu buffering). Identifikasi jumlah titik hotspot, penghitungan jumlah titik hotspot pada tiap tutupan lahan per bulan dengan menggunakan metode countpoint. Analisis pembobotan dengan metode ranking dan survey lapang serta wawancara dilakukan dengan menggunakan metode

ekspert judgement.

Hasil analisis menunjukkan bahwa Sebaran hotspot yang cukup tinggi pada tahun 2011 terjadi pada bulan Juli (71 titik), Agustus (130 titik) dan September (111 titik) sedangkan pada tahun 2012 hotspot tertinggi terjadi pada bulan Januari (74 titik). Sebaran hotspot tertinggi terdapat pada Agustus tahun 2011 yaitu sejumlah 130 hotspot. Sedangkan untuk bulan Januari tahun 2011 dan Oktober tahun 2011 tidak memiliki sebaran hotspot disebabkan oleh intensitas curah hujan cukup tinggi, aktifitas yang berhubungan dengan adanya pemanfaatan


(5)

berkorelasi dengan besarnya curah hujan. Kabupaten Tebo merupakan wilayah yang memiliki pola curah hujan ekuator yaitu distribusi hujan bulanan bimodial dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun masuk ke dalam kriteria musim hujan. Pada bulan Agustus yang terdapat jumlah hotspot tertinggi berbanding terbalik dengan jumlah curah hujannya terendah yaitu sebesar 29 mm/bln. Sedangkan untuk bulan Januari dan Oktober tahun 2011 memiliki jumlah curah hujan yang tergolong besar yaitu 313 mm/bln dan 211,4 mm/bln. Berdasarkan hasil analisis korelasi antara hotspot dan curah hujan, kedua parameter tersebut berkorelasi sangat nyata pada α = 0,01 dengan nilai koefisien korelasi yang cukup besar yaitu –0,755. Artinya, semakin tinggi curah hujan maka jumlah hotspot akan semakin sedikit begitu juga sebaliknya.

Hasil groundcheck di lapangan menunjukkan bahwa jumlah hotspot di lapangan ditemukan lebih sedikit dibandingkan dari data yang diperoleh dari satelit NOAA. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya pertama pada saat groundcheck di lapangan kondisi topografi lokasi yang berbukit. Kedua banyak ditemukan lokasi bekas kebakaran yang berada di seberang sungai, sehingga tidak memungkinkan untuk mengambil titik koordinat lokasi bekas kebakaran. Ketiga, masih terdapat binatang liar seperti gajah yang berkeliaran di lokasi bekas kebakaran sehingga menghambat menuju lokasi kebakaran hutan. Berdasarkan perhitungan persentase akurasi jarak groundcheck terhadap hotspot

per bulan diperoleh nilai persentase akurasi rata-rata terendah terdapat pada bulan Februari yaitu sebesar 0,25%. Sedangkan untuk akurasi rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Agustus yaitu sebesar 25,8%.

Jenis penutupan lahan memberikan kontribusi terhadap frekuensi hotspot

terutama karena berkaitan dengan aktivitas konversi lahan. Area lahan yang paling banyak ditemukan titik hotspot adalah Hutan sekunder 242 titik (49,1%), Semak/belukar 116 titik (23,5%), pertanian lahan kering campur 102 titik (20,7%), tanah terbuka/lahan kosong 13 titik (2,6), hutan tanaman 5 titik (1,01%), perkebunan, air dan belukar rawa 3 titik (0,6%), Hutan primer dan pertanian lahan kering 2 titik (0,4%), transmigrasi dan permukiman 1 titik (0,2%). Namun, berdasarkan hasil survey di lapangan diperoleh bahwa penutup lahan yang paling banyak terbakar ditemukan di area perkebunan dan semak/belukar.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada beberapa kecamatan di lokasi penelitian, kajian ini mengidentifikasi bahwa pengggunaan api sebagai alat penyiapan lahan areal perkebunan sengaja dilakukan karena dilatarbelakangi oleh beberapa faktor utama dan faktor pendukung. Terdapat empat hal yang menjadi faktor utama yang melatarbelakangi terjadinya kebakaran hutan diantaranya yaitu biaya yang dikeluarkan murah, metode penyiapan lahan yang mudah. Menurut para ahli kebakaran hutan merupakan cara yang mudah dan murah dilakukan dibandingkan jika mereka menggunakan alat berat dalam pembersihan lahan. Hal ini disebabkan untuk memperoleh alat tersebut membutuhkan biaya yang sangat mahal. Sebagian besar responden menyatakan bahwa dengan membakar merupakan proses yang cepat dalam pembersihan lahan. Sistem penyiapan lahan dengan membakar yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat asli merupakan salah satu budaya turun temurun yang telah


(6)

77% dan sebagian kecil bermata pencaharian perikanan.

Adapun faktor pendukung penyebab terjadinya kebakaran juga disebabkan oleh lima hal diantaranya adalah diperoleh dari faktor musim yang merupakan salah satu pendukung penyebab terjadinya kebakaran hutan di Kabupaten Tebo. Musim kemarau dan kekeringan yang panjang sebagai akibat dari El Nino telah melanda sebagian belahan bumi, termasuk diantaranya adalah Indonesia. El Nino yang kering menyebabkan hutan tropis mengalami kekeringan, curah hujan yang rendah menyebabkan serasah dan pohon-pohon menjadi kering sehingga menyebabkan mudahnya terjadi kebakaran hutan.

Program pengembangan desa kurang terkoordinasi dengan baik antara pemangku kepentingan. Dari hasil survey lapang, kondisi hutan yang akan dibuka untuk areal perkebunan pada umumnya adalah semak belukar. Kondisi lahan dalam keadaan semak belukar lebih cepat terbakar, terutama jika terjadi pada musim kemarau. Sehingga dengan adanya kondisi seperti ini dapat menjadi faktor penyebab terjadinya kebakaran hutan. Sistem perkebunan yang dilakukan oleh masyarakat Tebo merupakan sumber mata pencaharian utama mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sebagian besar lahan tersebut diperoleh secara turun temurun, dengan luas lahan berkisar antara 1-2 Ha. Status kepemilikan lahan merupakan salah satu faktor yang menjadi latar belakang masyarakat melakukan pembakaran. Sebagian besar mereka menganggap bahwa mereka berhak melakukan apa saja dalam menggarap lahan termasuk dengan cara membakar.

Pembakaran dilakukan pada tiga waktu yang berbeda yaitu siang, sore dan malam hari. Pada umumnya masyarakat Tebo mereka melakukan pembakaran dimulai pada sore hari lebih tepatnya sore menjelang malam sekitar pukul 17.00 WIB. Hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya adalah kecepatan penjalaran dan instensitas api pada sore hari lebih rendah dibandingkan pada siang hari.

Sebagian besar dari mereka lebih memilih melakukan pembakaran pada sore hari. Hal ini disebabkan pada saat ini kecepatan angin tidak terlalu tinggi, bila dibandingkan pembakaran pada malam hari. Sehingga tidak mempunyai resiko menjalar ke lahan lain. Selain itu, mereka juga menghindari adanya tim patroli hutan yang menangani perambahan hutan dan perladangan berpindah.


(7)

©Hak cipta milik IPB, tahun 2013

Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa menyebutkan sumber :

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.


(8)

KEBAKARAN HUTAN DI KABUPATEN TEBO

PROVINSI JAMBI

VEZA AZTERIA

Tesis

sebagai salah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(9)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc


(10)

JAMBI Nama : Veza Azteria Nrp : P052100231

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Lailan Syaufina,M.Sc Dr.Ir.Nining Puspaningsih,M.Si Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Sumberdaya Alam &Lingkungan

Prof.Dr.Ir.Cecep Kusmana,MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Agr


(11)

Karya Ilmiah ini kupersembahkan teristimewa untuk Ayahanda Evarizal,S.Pd, Ibunda Emmi Lasveriza,S.Pd dan

adikku Amichael Ahmad Reza

yang dengan ketegarannya telah mengantarku menggapai cita-cita, memberikan doa, dan dukungan selama penulis menjalani masa studi.


(12)

sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik penelitian yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan dari bulan Maret 2012 ini adalah Akurasi Indikator Kejadian Kebakaran dan Identifikasi Latar Belakang Penyebab Kebakaran Hutan di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Dr.Ir.Lailan Syaufina,M.Sc dan Ibu Dr.Ir.Nining Puspaningsih,M.Si yang selalu memberikan dorongan, semangat, saran dan banyak membantu penulis dalam penyelesaian tugas akhir ini, sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.

2. Bapak Prof.Dr.Ir.Lilik Budi Prasetyo,M.Sc sebagai penguji luar komisi terima kasih atas nasehat, komentar, saran dan masukan untuk perbaikan tulisan.

3. Bapak Prof.Dr.Cecep Kusmana, MS ketua program studi PSL yang memberikan saran dan nasehat sehingga tulisan ini menjadi lebih baik. 4. Segenap dosen pengajar, asisten dan staf PSL IPB

5. BKSDA Provinsi Jambi Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan DAOPS Tebo, atas bantuannya sehingga penulis dapat melakukan survey lapangan. 6. Pak Uus dan rekan-rekan di laboratorium Remote Sensing dan Sistem

Informasi Geografis Departemen Manjemen Hutan IPB atas bantuan dan kebersamaannya.

7. Rekan-rekan PSL 2010 atas dukungannya dan semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Mudah-mudahan tulisan ini dapat bermanfaat bagi diri penulis dan yang membaca tulisan ini.

Bogor, Februari 2013 Penulis


(13)

Evarizal,S.Pd dan Ibu Emmi Lasveriza,S.Pd. Penulis merupakan sulung dari dua bersaudara.

Setelah menyelesaikan studi di SMAN 2 Sungai Penuh pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada Jurusan Geofisika dan Meteorologi melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Pada tahun 2009 penulis menyelesaikan studi sarjana di IPB kemudian bekerja sebagai eksekutif editor jurnal agrometeorologi dan sekretariat administrasi PERHIMPI (Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia). Penulis melanjutkan studi S2 di Sekolah Pascasarjana IPB tahun 2010 pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.

Pada tahun 2010 penulis pernah menjadi pengajar bidang fisika dan geografi SMA di PRIMAGAMA Bogor dan tahun 2011 penulis pernah mengajar sebagai dosen tidak tetap di STIKOM Binaniaga Bogor bidang Sistem Informasi Geografi dasar. Dibidang penelitian pada tahun 2011 peneliti pernah dilibatkan dalam proyek Surveyor Indonesia sebagai asisten tenaga ahli “Inventory survey of pollutant sources Industrial activities, manufacturing, infrastructure and Energy Mining and Oil and Agro-Industry”. Tahun 2012 penulis juga dilibatkan sebagai anggota

Stock Taking Team pada proyek JICA dan BAPPENAS. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh penulis tahun 2012 dari Pemerintah Provinsi Jambi melalui Dinas Pendidikan Provinsi Jambi.


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………..

DAFTAR GAMBAR ………. DAFTAR LAMPIRAN ……….

I. PENDAHULUAN……….

1.1Latar Belakang ……… 1.2Perumusan Masalah ……… 1.3Tujuan Penelitian ………. 1.4Kerangka Pemikiran ……… 1.5Manfaat Penelitian ………...

II. TINJAUAN PUSTAKA………...

2.1Pengertian Kebakaran Hutan ………...……… 2.2Tipe Kebakaran Hutan………. 2.3Faktor Penyebab Kebakaran Hutan di Indonesia………. 2.3.1 Faktor Alam……….. 2.3.2 Faktor Manusia………. 2.4Pengendalian Kebakaran Hutan……… 2.5Kejadian Kebakaran Hutan………..

2.5.1 Hotspot ………. 2.5.2 Karakteristik Data Hotspot……….. 2.5.3 Akurasi Data Hotspot……….. 2.5.4 Deteksi Hotspot ……… 2.5.5 Penerjemahan Hotspot dan Kejadian Kebakaran di

Lapangan………. 2.6 Tipe Sistem Informasi Kebakaran………

III. METODE PENELITIAN………

3.1Lokasi dan Waktu Penelitian……… 3.2Jenis dan Sumber Data………. 3.3Tahapan Penelitian………... 3.4Metode Pengumpulan Data……….. 3.5Metode Analisis Data………... 3.5.1 Analisis GIS………... 3.5.2 Identifikasi Jumlah Titik Hotspot………

3.5.3 Analisis Pembobotan dengan Metode Ranking……..

IV. KONDISI UMUM……….

4.1Letak dan Luas Wilayah………. 4.2Kondisi Iklim……… 4.3Luas Kawasan Hutan……… 4.4Keadaan Penduduk………...

V. HASIL DAN PEMBAHASAN……….

5.1Analisis Sebaran Titik Panas (Hotspot)……..……… 5.2Akurasi Hotspot ……….. 5.3Jumlah Sebaran Titik Hotspot pada Kelas Penutup Lahan..

iii iv v 1 1 3 4 5 6 8 8 9 11 11 12 15 16 16 16 18 19 22 23 26 26 26 27 29 29 29 30 30 33 33 34 34 35 37 37 42 49


(15)

5.4Identifikasi Latar Belakang Penyebab Kebakaran Hutan… 5.4.1 Faktor Utama……… 5.4.2 Faktor Pendukung………

VI. SIMPULAN DAN SARAN………..

6.1 Simpulan………. 6.2 Saran……… DAFTAR PUSTAKA……….. LAMPIRAN……….

54 54 54 61 61 61 63 67


(16)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Tahapan penelitian……….

2. Luas wilayah menurut kecamatan di Kabupaten Tebo tahun 2010………. 3. Luas kawasan hutan menurut fungsi hutan di Kabupaten Tebo

(Ha)……….. 4. Kondisi iklim rata-rata bulanan tahun 2011-2012……… 5. Korelasi antara parameter hotspot dan curah hujan………… 6. Jumlah titik hotspot dan groundcheck lapangan………. 7. Persentase jarak titik groundcheck dan titik hotspot Kabupaten

Tebo pada bulan Agustus 2011………. 8. Jumlah sebaran hotspot dan persentase pada setiap kelas

penutupan lahan di Kabupaten Tebo tahun 2011- Maret 2012 9. Bobot relatif pada peubah faktor utama……….. 10.Bobot relatif pada peubah faktor pendukung………

28 34 35 39 42 43 46 49 54 57


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Bagan alir kerangka pemikiran……….. 2. Arus sistem informasi data hotspot………

3. Piksel dari Citra Satelit dan hotspot yang terletak ditengah- tengah piksel ……… 4. Ilustrasi antara deteksi hotspot dan kejadian kebakaran di

lapangan ………. 5. Lokasi penelitian ………..……… 6. Diagram alir tahapan penelitian………. 7. Sebaran hotspot bulanan Kabupaten Tebo Provinsi Jambi tahun

2011 – Maret 2012 ……… 8. Peta sebaran hotspot tahun 2011 – Maret 2012 Kabupaten Tebo 9. Hubungan antara jumlah curah hujan dan jumlah Hotspot

tahun 2011-2012 ………. 10.Lokasi pengambilan titik koordinat pada saat groundcheck

lapangan……… 11.Kondisi lahan kosong yang dideteksi sebagai hotspot……….. 12.Persentase akurasi rata-rata titik hotspot dan groundcheck

lapangan dari tahun 2011-2012………. 13.Analisis spasial jarak titik groundcheck dan titik hotspot

Kabupaten Tebo pada bulan Agustus 2011……….. 14.Sebaran hotspot dan titik-titik hasil groundcheck lapangan

Kabupaten Tebo bulan Agustus 2011………. 15.Area yang paling banyak ditemui titik api……… 16.Peta sebaran Hotspot pada penutupan lahan Kabupaten Tebo..

7 19 22 23 27 32 38 40 41 44 44 45 47 48 50 53


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Daftar Pertanyaan (kuisioner)………. ….. .. ….. 68 2. Analisis spasial titik groundcheck dan titik hotspot

Kabupaten Tebo periode Januari 2011- Maret 2012…… …. 71 3. Persentase jarak titik groundcheck dan titik hotspot

Kabupaten Tebo periode Januari 2011 – Maret 2012 ………... 73 4. Sebaran hotspot dan titik-titik hasil groundcheck lapangan


(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia kaya dengan sumberdaya alam terutama sumber daya hutan. Namun Sumberdaya hutan tersebut mengalami penyusutan dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Fakta menunjukkan bahwa sumberdaya hutan berkurang dengan tingkat laju kerusakan pada periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta ha per tahun dan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta ha per tahun (Rusdiyatmoko & Zubaidah 2005).

Kegiatan pemanfaatan dan perlindungan hutan telah diatur pemerintah dalam berbagai peraturan perundang-undangan antara lain: UU No 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan PP No 4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan Lahan. Namun pada kenyataannya gangguan terhadap sumberdaya hutan dan lahan terus berlangsung. Salah satu bentuk gangguan serius yang terus terjadi adalah kejadian kebakaran.

Kebakaran hutan telah melanda sebagian besar wilayah di Indonesia dengan jumlah kerugian yang sangat besar. Kebakaran terjadi disinyalir sebagai akibat adanya kegiatan pembukaan lahan, baik dalam skala kecil maupun dalam skala besar menggunakan api untuk kegiatan land clearing. Kebakaran hutan juga dipicu oleh adanya perladangan, konversi lahan untuk pertanian, perkebunan dan pembangunan hutan tanaman yang menggunakan api untuk penyiapan lahan hutan. Kebakaran hutan juga berkaitan erat dengan pertambahan jumlah penduduk dan kondisi musim kering yang berkepanjangan.

Kebakaran hutan telah menjadi hal yang rutin terjadi di wilayah Sumatera dan Kalimantan terutama pada musim kering. Kebakaran besar yang terjadi pada saat fenomena El Nino-Southern Oscilation (ENSO) setiap 3-7 tahun, seperti yang terjadi pada tahun 1997, 2002, 2004, dan 2006 (Adiningsih et al. 2008 dalam

Suwarsono et al. 2009).

Secara sosial kebakaran hutan berkaitan erat dengan sikap dan persepsi masyarakat, pengetahuan, kesadaran, dan tradisi masyarakat lokal dalam


(20)

pemanfaatan lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (2006) menyatakan bahwa salah satu yang menjadi penyebab terjadinya kebakaran adalah penyiapan lahan pertanian atau bercocok tanam dengan cara membakar yang dilakukan oleh para petani atau peladang.

Secara ekologis kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan yang berdampak negatif menimbulkan kerugian pada sektor ekonomi, sektor perhubungan khususnya transportasi darat, laut dan udara, sektor kesehatan masyarakat, dan gangguan terhadap aktivitas ekonomi (Dlamini 2009). Kebakaran hutan dari aspek ekologis menyebabkan menurunnya keanekaragaman hayati, perubahan iklim mikro, dan pencemaran lingkungan.

Untuk mendukung upaya pengendalian kebakaran hutan yang terjadi secara berulang perlu upaya pemanfaatan teknologi penginderaan jauh yang mampu memberikan informasi yang cepat, tepat dan akurat serta dapat melingkup areal yang luas. Upaya deteksi adanya kebakaran hutan merupakan upaya yang dilakukan untuk mendapatkan informasi dengan menggunakan penerapan teknologi sederhana hingga yang lebih canggih.

Hotspot sudah digunakan meluas baik di Indonesia maupun negara-negara lain, untuk memantau adanya kebakaran hutan dari satelit karena sensor pada

hotspot dapat membedakan suhu permukaan di darat maupun di laut. Data hotspot

tersedia dengan bebas, dapat diakses dengan mudah dari internet. Sumber-sumber data hotspot dapat diperoleh dari beberapa situs penyedia data hotspot seperti: Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN), ASMC (Asean Specialised Meteorological Centre), JICA (Japan International Corporation Agency) dan FIRMS (Fire Information for Resource Management System). Data yang berasal dari masing-masing website dapat mempunyai perbedaan dalam hal: satelit yang digunakan, jenis sensor, jam pengambilan, threshold (ambang batas suhu), dan algoritma (rumus perhitungan hotspot).

Saat ini berbagai macam satelit dimanfaatkan untuk memantau kebakaran hutan. Masing-masing satelit memiliki fungsi yang spesifik dalam mengolah informasi kebakaran hutan. Penelitian ini menitikberatkan pada pemanfaatan data penginderaan jauh yaitu data hotspot dari satelit National Oceanic and Atmospheric Administration/Advance Very High Resolution Radiometer


(21)

(NOAA/AVHRR) kemudian dilakukan groundcheck di lapangan untuk akurasi indikator kejadian kebakaran hutan.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka usaha yang diperlukan dalam pencegahan kebakaran hutan adalah solusi pertama dalam pengurangan kerusakan dan kerugian yang disebabkan oleh kebakaran hutan. Salah satu usaha yang dilakukan untuk melakukan pengendalian kebakaran hutan adalah melalui sistem deteksi dini. Sistem deteksi dini yang dapat digunakan antara lain dengan memanfaatkan data hotspot, untuk mengetahui lokasi terjadinya kebakaran.

Terjadinya kebakaran hutan tidak hanya disebabkan karena adanya kegiatan pembukaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan untuk perluasan areal perladangan dengan cara membakar. Disisi lain juga dilatar belakangi oleh berbagai faktor lainnya seperti peningkatan jumlah penduduk yang cukup tinggi, lapangan pekerjaan yang terbatas, tingkat pendidikan yang rendah, pendapatan yang rendah.

Pemahaman mengenai perilaku kebakaran sangat diperlukan dalam rangka menyusun rencana dan usaha pengendalian kebakaran hutan. Perilaku kebakaran hutan dan lahan adalah hasil dari interaksi faktor lingkungan. Tiga unsur kebakaran yang menyusun segitiga api yaitu bahan bakar, oksigen atau udara dan sumber panas merupakan unsur yang saling terkait satu sama lain. Pelemahan dari salah satu unsur tersebut merupakan salah satu upaya mengurangi peluang terjadinya penyalaan api.

Upaya pengendalian kebakaran hutan telah banyak dilakukan oleh beberapa pihak terkait, diantaranya melalui penerapan peraturan dan perundang-undangan maupun pemanfaatan berbagai bentuk teknologi yaitu pemanfaatan satelit. Satelit tersebut digunakan untuk memantau lokasi terjadinya kebakaran di permukaan bumi. Data kebakaran yang sering digunakan adalah data hotspot.

Permasalahn yang timbul dalam mengakses informasi dari satelit NOAA yaitu pendeteksian api resolusi satelit masih rendah (1,1 km x 1,1 km), sehingga sangat dimungkinkan keterangan lokasi akan mengalami penyimpangan sehingga


(22)

kurang akurat dalam identifikasi kebakaran hutan (Thoha 2008). Berdasarkan pemaparan diatas, maka sangat diperlukan upaya-upaya dini untuk pengendalian kebakaran hutan untuk menghindari dampak negatif yang dihasilkan, misalnya dalam bidang sosial, ekonomi, dan ekologi.

Upaya pengendalian kebakaran hutan dalam menanggulangi kebakaran hutan antara lain dengan memanfaatkan data hotspot sebagai upaya informasi dini. Tidak bisa dipungkiri bahwa teknologi penginderaan jauh telah memberikan sumbangan informasi yang sangat berharga bagi kepentingan pengendalian kebakaran, khususnya informasi dini kejadian kebakaran hutan. Disamping itu, pada pelaksanaan di lapangan, keakuratan proses deteksi akan menentukan alokasi dana, kelancaran pada proses pemadaman dan kebutuhan investigasi dalam kasus pelanggaran hukum lingkungan.

Informasi hotspot yang akurat diperlukan sebagai dasar dalam pengambil keputusan di lapangan, khususnya pada saat musim kemarau dimana penyebaran api semakin cepat. Pada saat ini, data yang direkam oleh AVHRR pada satelit NOAA memberikan cara untuk mendapatkan informasi kebakaran atas alasan dasar-dasar praktis, politis, ekonomis dan alamiah. Berdasarkan hal tersebut, secara rinci penelitian ini mencoba untuk menjawab permasalahan antara lain:

- Apakah data hotspot dan citra landsat dapat digunakan sebagai indikator adanya kebakaran hutan

- Apakah kondisi sosial masyarakat di sekitar hutan menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menghitung akurasi citra hotspot untuk identifikasi kebakaran hutan 2. Mengidentifikasi jumlah titik hotspot pada setiap kelas tutupan lahan 3. Mengidentifikasi latar belakang penyebab kebakaran hutan


(23)

1.4 Kerangka Pemikiran

Kondisi hutan di Indonesia sangat rentan terhadap kebakaran, terutama disebabkan oleh berbagai aktivitas di dalam dan sekitar hutan tersebut. Sehingga diperlukan adanya usaha-usaha pra-pemadaman dalam mengatasi kebakaran hutan yang terkait langsung dengan organisasi guna menangani kondisi darurat tersebut. Walaupun telah dilakukan, namun pelaksanaannya di lapangan belum efektif dan efisien dalam mengurangi kejadian kebakaran hutan.

Pembukaan lahan yang dilakukan dengan cara membakar dan tidak terkendali, dapat menurunkan kualitas kawasan hutan secara permanen. Pembukaan lahan dengan cara membakar menjadi kebiasaan masyarakat setempat, karena menjadi alternatif lain yang lebih murah dibandingkan jika menggunakan alat-alat mekanis.

Deteksi kebakaran hutan yang diindikasikan dengan data hotspot dari satelit NOAA AVHRR memiliki bias yang sangat besar sehingga perlu dilakukan verifikasi lapangan untuk mendapatkan perkiraan lokasi kebakaran hutan yang lebih akurat. Pemantauan kebakaran hutan merupakan bagian yang penting dalam hal manajemen hutan dan memegang peranan terutama dalam peringatan bahaya degradasi hutan.

Jika sistem deteksi dini dapat dijalankan secara efektif dan benar maka dapat membantu dalam upaya pencegahan kebakaran hutan. Keberhasilan pencegahan kebakaran hutan dapat dinilai dari penurunan kejadian kebakaran, dan adanya pengurangan dari dampak akibat kebakaran. Data dan informasi tentang penyebab kebakaran sangat berguna dalam usaha pencegahan kebakaran hutan salah satunya adalah lokasi rawan kejadian kebakaran.

Sistem pemantauan dilakukan dengan berbagai metode yaitu pengukuran lapangan dan dengan memanfaatkan data citra (Rusdiyatmoko & Zubaidah 2005). Hasil pemantauan kebakaran hutan dapat dijadikan acuan perumusan kebijakan bagi pemerintah setempat dalam mengantisipasi meluasnya kebakaran yang terjadi.

Dari Gambar 1 dapat dijelaskan bahwa kejadian kebakaran hutan dipengaruhi oleh faktor alam dan faktor manusia. Namun beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa hampir 99% bahwa kebakaran disebabkan oleh


(24)

faktor manusia. Pembukaan lahan baru untuk perkebunan sawit dan kondisi lahan yang sebagian besar adalah semak belukar diduga berpengaruh terhadap kejadian kebakaran hutan. Identifikasi dan analisis dilakukan terhadap faktor-faktor penyebab tersebut, sehingga dapat ditemukan faktor-faktor mana yang paling berpengaruh terhadap kejadian kebakaran hutan. Keberhasilan pencegahan kebakaran hutan dapat dinilai dari penurunan kejadian kebakaran, dan pengurangan dampak akibat kebakaran.

1.5Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari akurasi kejadian kebakaran dan penemuan latar belakang penyebab terjadinya kebakaran hutan di wilayah Kabupaten Tebo Provinsi Jambi antara lain :

- Sebagai masukan dalam upaya mendeteksi secara dini kebakaran dan penyusunan sistem pengendalian kebakaran di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi

- Menambah informasi sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan di Kabupaten tebo Provinsi Jambi


(25)

Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran Deteksi dini Akurasi

meminimalkan

perlu Kebakaran

hutan

Kerugian ekonomi, kerusakan ekologis dan lingkungan

Tindakan pencegahan

Risiko kebakaran

Latar belakang paling berpengaruh Faktor

alam Faktor


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Pengertian Kebakaran Hutan

Sebagian besar orang menyatakan bahwa kebakaran hutan yang terjadi pada sekarang ini adalah kebakaran kawasan hutan yang terjadi di hutan (baik itu berupa hutan sekunder maupun hutan primer). Namun, hal yang sesungguhnya adalah pembakaran yang sengaja dilakukan baik oleh para peladang (berpindah) atau oleh pelaku bisnis kehutanan atau perkebunan.

Pembakaran merupakan suatu kegiatan yang dilakukan sesuai dengan keinginan si pembakar, sehingga api diharapkan tidak menjalar bebas layaknya seperti kebakaran hutan. Namun, sayangnya luasan areal yang dibakar dengan sengaja terlalu luas dan terkadang tidak disertai dengan adanya teknik-teknik atau metoda pencegahan. Sehingga api tersebut tidak terkontrol dan meledak sehingga terjadilah kebakaran hutan yang sesungguhnya arah penjalarannya tidak dapat lagi dikontrol oleh pembakar.

Menurut Sahardjo (2003) kebakaran hutan merupakan pembakaran yang penjalarannya bebas serta mengkonsumsi bahan bakar alam dari hutan seperti serasah, rumput, ranting/cabang pohon mati, snags/pohon mati yang tetap berdiri, logs, tunggak pohon, gulma, semak belukar, dedaunan dan pohon-pohon.

Menurut Syaufina (2008) kebakaran hutan merupakan suatu kejadian dimana api melahap bahan bakar yang bervegetasi, yang terjadi di dalam kawasan hutan yang kemudian menjalar bebas dan tidak terkendali, sedangkan kebakaran lahan terjadi di kawasan non hutan.

Kebakaran yang sering terjadi di Indonesia membakar areal hutan dan areal non hutan dalam waktu yang bersamaan, akibat adanya penjalaran api yang berasal dari kawasan hutan menuju kawasan non hutan ataupun sebaliknya. Sehingga hasilnya istilah kebakaran hutan melekat untuk kejadian kebakaran hutan di Indonesia.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.12/Menhut-II/2009 kebakaran hutan merupakan suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis atau nilai lingkungan. Penyebab utama kebakaran hutan yang


(27)

disebutkan adalah konversi ke penggunaan lahan lain (terutama pertanian), hama dan penyakit, over eksploitasi hasil hutan (kayu industri, kayu bakar), praktek pemanenan yang buruk, penggembalaan berlebih, polusi udara dan badai (FAO 2001). Kebakaran merupakan hal yang sering terjadi di Pulau Kalimantan dan Sumatra, membakar areal dengan luas terbesar pada tahun 1986, 1991, 1994 dan 1997. Kondisi tersebut diperparah oleh fenomena El Nino tahun 1997/1998, kebakaran tak terkendali telah menghancurkan areal sangat luas dari hutan hujan dan semak belukar di Indonesia.

Reaksi kimia proses pembakaran dalam kebakaran hutan dapat diterangkan sebagai berikut :

Proses fotosintesis :

CO2 + H2O + Energi Sinar Matahari --- C6H12O6 + O2 Proses Pembakaran dalam kebakaran hutan:

C6H12O6 + 6O2 + Energi dari Api --- 6CO2 + 6H2O + Energi Panas

2.2 Tipe Kebakaran Hutan

Salah satu hal yang paling penting dalam kegiatan pemadaman kebakaran hutan adalah dengan mengenal tipe kebakaran hutan yang terjadi, karena tanpa mengetahui secara pasti teknik dan metoda, pemadaman yang akan diterapkan tidak akan berjalan sempurna. Kegiatan pemadaman pada kebakaran gambut tidak sama dengan pemadaman pada kebakaran hutan tajuk. Karena hal tersebut berdampak pada tingkat kerugian yang akan diderita terhadap pemadaman itu sendiri. Dengan diketahuinya tipe kebakaran hutan yang terjadi, sehingga lebih banyak areal yang dapat diselamatkan.

Menurut Syaufina (2008) tipe kebakaran hutan dikelompokkan ke dalam tiga tipe, yaitu :

1. Kebakaran bawah tanah (ground fire)

Kebakaran yang terjadi pada bawah permukaan cenderung mengkonsumsi bahan-bahan organik yang ada di bawah permukaan tanah (serasah). Bahan organik tersebut berupa bahan yang terdekomposisi. Kebakaran biasanya terjadi bersama-sama dengan kebakaran serasah. Api pada kebakaran bawah permukaan tidak menyala dan terkadang tidak berasap sehingga sulit untuk ditemui. Api


(28)

tersebut menjalar ke segala arah karena tidak terpengaruh oleh angin sehingga kebakaran ini dapat membentuk lingkaran.

Dilihat dari dampaknya api ini paling merusak lingkungan. Kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan pada tahun 1982/1983 dan tahun 1997/1998 merupakan kebakaran hutan yang didominasi oleh kebakaran gambut (bawah). Tipe kebakaran ini didominasi oleh proses smoldering dan biasanya bertahan dalam jangka waktu yang lama dengan kecepatan penjalaran 1,5 g/m2/jam atau 0,025 cm/jam.

2. Kebakaran permukaan (surface fire)

Api tersebut membakar serasah, tanaman bawah, semak-semak dan anakan. Tipe kebakaran di hutan dimulai dengan kebakaran permukaan, karena jumlah bahan bakar pada permukaan tanah hutan berlimpah dan didukung oleh jumlah oksigen yang lumayan besar dan juga dipengaruhi oleh angin, maka kebakaran ini menyala dan menjalar dengan cepat tetapi relatif dapat dipadamkan.

Dalam penjalarannya, api dipengaruhi oleh angin permukaan sehingga dapat membakar tumbuhan yang lebih tinggi hingga tingkat pohon (crowning out). Tipe ini merupakan tipe kebakaran yang paling umum terjadi di hampir semua tegakan hutan.

3. Kebakaran Tajuk (Crown Fire)

Kebakaran tajuk merupakan kebakaran yang terjadi pada tajuk pohon atau semak yang dipengaruhi oleh kebakaran permukaan yang menjalar ke tajuk pohon, tetapi juga terjadi kebakaran tajuk dahulu kemudian disusul dengan kebakaran permukaan karena api dari tajuk jatuh ke permukaan tanah. Api pada tipe ini bergerak dari tajuk pohon atau semak yang lain, paling sedikit daun-daun dari pohon atau semak habis terbakar.

Kebakaran tipe ini dapat menghasilkan api loncat (spot fire), yaitu ranting atau bagian pohon yang terbakar terbawa angin dan menimbulkan kebakaran baru di tempat lain.

Sumantri (2003) mengemukakan kebakaran dipengaruhi oleh 3 faktor utama, semuanya akan membantu dalam menentukan pola kebakaran. Jika kebakaran terjadi pada daerah yang relatif datar, bahan bakar relatif rapat, dan relatif tidak ada angin, maka bentuk kebakaran akan menjadi bulat, keluar dari


(29)

titik awal api. Bentuk dan pola kebakaran akan berubah jika dipengaruhi oleh faktor berikut:

1) Angin (pengaruh dominan pada kebakaran). Api akan membakar bahan bakar searah dengan arah angin.

2) Kemiringan lereng. Jika terdapat lereng maka api cenderung bergerak ke arah bukit (hanya arah angin dan bahan bakar akan merubah arah) 3) Bahan bakar (kurang efektif dijadikan patokan). Jika kebakaran

bergerak melalui berbagai tipe bahan bakar, pola kebakaran akan berubah-ubah. Tipe dan susunan bahan bakar atau sedikitnya bahan bakar mungkin mengindikasikan arah dari penyebaran api.

2.3 Faktor Penyebab Kebakaran Hutan di Indonesia 2.3.1 Faktor Alam

Menurut Syaufina (2008) kebakaran hutan dan lahan yang dapat terjadi secara alami antara lain disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya petir, letusan gunung berapi, atau batu bara yang terbakar. Hal tersebut didukung oleh kondisi iklim dan jenis bahan bakar hutan yang memungkinkan untuk terbakar misalnya kelembaban yang rendah.

Indonesia merupakan negara tropis yang jarang mengalami kejadian kebakaran yang disebabkan oleh faktor alam. Petir yang terjadi di Indonesia hampir tidak mungkin menyebabkan terjadinya kebakaran karena selalu bersamaan dengan terjadinya hujan. Akibatnya hasil dari percikan api dari petir tersebut mengenai bahan bakar, sehingga tidak dapat berkembang dan menjalar kebagian yang lebih luas.

Batu bara yang terbakar dan tetap membara juga dapat menjadi pemicu terjadinya kebakaran. Biasanya batu bara tersebut terdeposisi di bawah permukaan tanah. Pada saat kondisi cuaca kering, akan menyebabkan terjadinya penyalaan dan dapat membakar bahan bakar yang berada di atasnya. Menurut Sahardjo (2003) belakangan ini yang semakin populer dijadikan kambing hitam sumber api adalah disebabkan oleh gesekan kayu atau ranting pada waktu terjadi tiupan angin. Namun dari hasil pengamatan di laboratorium menunjukkan bahwa hal tersebut mustahil terjadi, bahkan sulit dipercaya.


(30)

Bahan bakar hutan (Forest fuel) didefinisikan oleh FAO/IUFRO sebagai segala sesuatu bahan atau campuran yang dapat dibakar dan bahan yang dapat menyala (Chandler et al. 1983). Bahan bakar bersama cuaca dan topografi merupakan tiga faktor yang umum dalam mempengaruhi perilaku kebakaran liar. Dari ketiga faktor tersebut bentuk topografi dan kondisi cuaca adalah faktor yang sedikit sekali dapat dipengaruhi oleh manusia. Bahan bakar yang berupa biomass hidup atau mati per unit luas merupakan besarnya jumlah energi tersimpan yang menentukan karakteristik kebakaran potensial di lapangan (Whelan 1995). Susunan bahan bakar merupakan faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan.

Iklim pada masing-masing wilayah geografi menentukan tipe bahan bakar dan panjangnya musim kebakaran atau waktu dalam setahun dimana sering terjadi kebakaran. Pola lamanya dan intensitas dari musim kebakaran dari suatu daerah tertentu merupakan fungsi utama dari iklim tetapi sangat dipengaruhi oleh sifat bahan bakar hutan. Pola cuaca kebakaran hutan yang bersifat tahunan, berulang maupun musiman mencerminkan bahan bakar cuaca, musim kebakaran yang parah juga dihubungkan dengan musim kering yang berskala dalam cenderung untuk terjadi dalam suatu siklus (Brown & Davis 1973).

Menurut Fuller (1991) cuaca mempengaruhi bagaimana, dimana dan kapan kebakaran hutan dapat terjadi, pengendali kebakaran menyebutnya sebagai cuaca kebakaran (fire weather) yaitu sifat-sifat cuaca yang mempengaruhi terjadinya kebakaran. Seperti cuaca panas yang kering disertai dengan angin ribut, badai dan petir yang akan menyebabkan kebakaran. Perbedaan pemanasan matahari pada permukaan bumi berperan dalam variasi iklim yang memberikan kontribusi pada bahaya kebakaran. Penyinaran matahari selain memanaskan permukaan bumi juga memanaskan lapisan udara dibawahnya. Pemanasan udara menimbulkan perbedaan tekanan udara yang menyebabkan terbentuknya pola pergerakan angin sehingga angin akan bergerak dari tekanan tinggi ke tekanan rendah.

2.3.2 Faktor Manusia

Lebih dari 99% penyebab kebakaran hutan dan lahan gambut adalah akibat ulah manusia, baik yang disengaja maupun tidak disengaja melakukan


(31)

pembakaran ataupun akibat kelalaian dalam menggunakan api. Hal ini didukung oleh kondisi-kondisi tertentu yang membuat rawan terjadinya kebakaran seperti gejala El-Nino, kondisi fisik hutan yang terdegradasi dan rendahnya kondisi sosial ekonomi (Tacooni 2003).

Faktor sosial ekonomi dari aktivitas masyarakat di sekitar hutan berpengaruh terhadap kebakaran hutan dengan korelasi positif adalah pengeluaran rumah tangga dan kegiatan masyarakat didalam kawasan hutan. Makin tinggi jumlah pengeluaran rumah tangga akibat tidak diimbangi dengan jumlah pendapatan (defisit) ternyata peluang kebakaran hutan akan meningkat (Soewarso 2003).

Keterkaitan masyarakat dengan hutan telah berlangsung cukup lama, hal ini disebabkan bahwa hutan memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat. Adanya hutan memberikan kesempatan pada masyarakat untuk bekerja terutama dalam hal: pembukaan lahan, penebangan kayu, pembersihan lahan sehingga upah yang mereka terima tergolong lumayan. Karena tingkat kemampuan sumberdaya hutan untuk berganti sangatlah terbatas, maka didalam pemanfaatannya juga memperhatikan batas-batas tersebut. Dengan meningkatnya jumlah penduduk, kurangnya lapangan pekerjaan dan banyaknya perusahaan maka eksploitasi sumberdaya hutan juga akan semakin besar.

Bagi masyarakat yang tinggal disekitar hutan memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap hutan, kebiasaan yang dilakukan atau budaya hutan yang tumbuh dan berkembang seiring dengan tumbuhnya sistem sosial masyarakat, akan mengalami pergeseran dengan hilangnya sejumlah hasil hutan. Pembukaan hutan oleh pemegang HPH dan perusahaan perkebunan untuk pengembangan tanaman industri dan perkebunan umumnya mencakup areal yang cukup luas. Metoda pembukaan lahan dengan cara tebang habis dan pembakaran merupakan alternatif pembukaan lahan yang paling murah, mudah dan cepat. Namun metoda ini sering berakibat kebakaran tidak hanya terbatas pada areal yang disiapkan untuk pengembangan tanaman industri atau perkebunan, tetapi meluas ke hutan lindung, hutan produksi dan lahan lainnya.

Penyebab struktural, umumnya berawal dari suatu konflik antara para pemilik modal industri perkayuan maupun pertambangan, dengan penduduk asli yang merasa kepemilikan tradisional (adat) mereka atas lahan, hutan dan tanah


(32)

dikuasai oleh para investor yang diberi pengesahan melalui hukum positif negara. Akibatnya kekesalan masyarakat dilampiaskan dengan melakukan pembakaran demi mempertahankan lahan yang telah mereka miliki secara turun temurun. Disini kemiskinan dan ketidakadilan menjadi pemicu kebakaran hutan dan masyarakat tidak akan mau berpartisipasi untuk memadamkannya.

PFFSEA (2003) menyatakan bahwa ada berbagai aktivitas masyarakat tradisional yang menggunakan metode pembakaran dalam proses penyiapan lahannya. Seperti sistem budidaya pada sonor (padi ditanam pada lahan-lahan gambut yang kemudian sengaja dibakar pada musim kemarau). Demikian juga pembukaan lahan oleh petani hutan bertujuan untuk membuka ladang baru atau memperluas lahan dilakukan dengan sistem tebas, tebang dan membakar.

Menurut Sahardjo (2003) sumber api disebabkan oleh adanya konflik sosial dan operasi pembalakan diantaranya adalah:

• Status kepemilikan lahan garapan

• Pekerja lapangan yang tidak dibayar penuh upahnya

• Kontraktor pelaksana memperdayai pekerja

• Manipulasi oleh pihak pelaksana pembangunan hutan

• Hubungan yang tidak harmonis antara penduduk dengan pihak perusahaan

• Pembukaan lahan dengan menggunakan api yang tidak terkontrol

• Api unggun

• Pembakaran sisa-sisa pohon, cabang/ranting, daun

• Iseng (motif tidak jelas)

Puntung rokok sering dinyatakan sebagai penyebab kebakaran hutan sekaligus dijadikan sebagai alasan utama dan paling mudah dalam laporan kejadian kebakaran. Syaufina (2008) menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan yang diidentifikasi sebagai penyebab terjadinya kebakaran hutan yaitu:

- Pembakaran untuk pembukaan kebun - Loncatan api dari kebun/hutan

- Orang memancing ikan atau pencari kodok - Sabotase


(33)

- Membakar hutan karena jalan menuju ladang/kebun mereka rusak - Ketidaksengajaan pekerja HTI

Menurut Syaufina (2008) pembakaran dengan menggunakan puntung rokok sebagai sumber panas ternyata tidak mengakibatkan gambut terbakar, bahkan pada serasah atau alang-alang yang terdapat di atasnya. Hal tersebut terjadi disebabkan panas puntung rokok tidak cukup mengakibatkan terjadinya kebakaran.

2.4 Pengendalian Kebakaran Hutan

Pengendalian kebakaran hutan merupakan aktivitas yang dilakukan dalam rangka melindungi hutan dari kebakaran liar dan penggunaan api untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam pengelolaan hutan.

Menurut Husaeni (2003) komponen kegiatan pengendalian hutan diantaranya adalah :

a. Mencegah terjadinya kebakaran hutan

b. Memadamkan kebakaran hutan dengan sesegera mungkin c. Penggunaan api dilakukan hanya untuk tujuan tertentu

Agar pengendalian kebakaran hutan dapat berhasil dengan baik, maka sebelum pelaksanaannya perlu disusun suatu rencana pengendalian yang menyeluruh. Rencana tersebut merupakan dasar dalam pelaksanaan pencegahan, pemadaman dan penggunaan api di dalam hutan dan daerah disekitarnya. Adanya rencana kegiatan pengendalian kebakaran hutan merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari rencana pengelolaan atau managemen hutan.

Deteksi kebakaran dengan menggunakan titik hotspot merupakan salah satu upaya dalam pengendalian kebakaran hutan. Deteksi kebakaran merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui adanya kebakaran dan lokasinya. Deteksi api ini merupakan salah satu bagian dari tahapan kegiatan pra-pemadaman kebakaran. Selain itu tahapan pra-pra-pemadaman terdiri dari (Husaeni 2003): pembentukan organisasi, pelatihan petugas, pengadaan dan pemeliharaan peralatan, deteksi api, kerjasama dengan pihak lain, penyiapan logistik, penyiapan lapangan, penilaian bahaya kebakaran dan penyiapan komuniaksi.


(34)

Deteksi kebakaran merupakan tahapan yang penting dalam pemadaman kebakaran. Tanpa mengetahui lokasinya, kebakaran tersebut tidak bisa dipadamkan. Kemampuan organisasi untuk dapat menentukan lokasi kebakaran dengan segera dan cepat, merupakan dasar dari pemadaman yang efektif.

2.5 Kejadian Kebakaran Hutan 2.5.1 Hotspot

Untuk mendeteksi adanya suatu kejadian kebakaran hutan dapat menggunakan teknik penginderaan jauh. Satelit National Oceanic and Atmospheric Administration/Advance Very High Resolution Radiometer (NOAA AVHRR) merupakan satelit yang paling sering digunakan untuk mendeteksi kebakaran hutan. Pada satelit ini dilengkapi dengn sensor Advance Very High Resolution (AVHRR) yang melakukan perekaman setiap hari pada resolusi sedang berkisar 1 km. Hotspot merupakan titik-titik panas di permukaan bumi dimana titik tersebut merupakan indikasi adanya kebakaran hutan (Ratnasari 2000 dalam

Thoha 2008).

Di Indonesia terdapat tiga sumber penyedia hotspot diantara JICA (Japan International Coorperation Agency), LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional), dan ASMC (ASEAN Specialized Meteorology Center). Perbedaan antara ketiga sumber tersebut terletak pada ambang batas (threshold) suhu terendah sehingga hasil perekaman dapat dinyatakan sebagai suatu hotspot. LAPAN menggunakan threshold sebesar 322 0K, JICA menurut FFMP tahun 2004 threshold yang digunakan 315 0K pada siang hari dan 310 0K pada malam hari yang lebih rendah dibandingkan ASMC yang menggunakan threshold sebesar 320 0K pada siang hari dan 314 0K pada malam hari.

2.5.2 Karakteristik Data Hotspot

Kebakaran hutan dapat dipantau dengan menggunakan data AVHRR-NOAA (Advanced Very High Resolution Radiometer-National Oceanic and Atmospheric Administration) yaitu melalui pengamatan hotspot. Kebakaran hutan dapat dipantau melalui pengamatan hotspot yang merupakan titik panas permukaan bumi, dimana titik-titik tersebut merupakan indikasi adanya kebakaran


(35)

hutan (Thoha 2008). Suatu hotspot dikatakan sebagai kejadian kebakaran di permukaan bumi apabila terdeteksi pada koordinat yang sama selama 3 hari atau lebih secara berturut-turut (Lapan 2004 dalam Hadi 2006).

Data Hotspot dari suatu citra dijadikan sebagai indikasi kebakaran hutan baik sebagai indikasi kebakaran tajuk, kebakaran permukaan maupun kebakaran bawah. Dalam penentuan luas kebakaran hutan band yang digunakan adalah band 3 dan band 4 atau band visible dan band inframerah. Menurut data LAPAN (2005) pada band 3 panjang gelombang yang digunakan adalah 3,55 – 3,93 mm, hal ini disebabkan karena pada band 3 wujud gelombang visible sangat sensitif terhadap emisi panas sedangkan untuk band 4 panjang gelombang yang digunakan adalah 10,3 – 11,3 mm.

Hotspot mengindikasikan lokasi kebakaran hutan yang kemudian dapat dideteksi kedalam komputer atau peta yang akan dicetak yang setelah dicocokan dengan koordinatnya. Untuk menggambarkan titik kebakaran hutan disebut dengan firespot. Dalam memprediksi jumlah hotspot merupakan hal yang tidak mudah hal ini disebabkan karena kebakaran merupakan masalah yang sangat kompleks yang melibatkan faktor-faktor alam seperti cuaca atau iklim dan bahan bakar yang mempengaruhi sedangkan faktor manusia disebakan oleh kegiatan pemanfaatan lahan, ekonomi dan budaya bahkan kelembagaan.

Data hotspot sering digunakan untuk pendeteksian kebakaran dikarenakan sensornya dapat membedakan suhu permukaan di darat maupun di laut, pengambilan data pada satelit tersebut 2 kali sehari yaitu pada waktu siang dan malam. Maka, dengan demikian data hotspot dapat digunakan untuk pendeteksian kebakaran hutan di wilayah kebakaran hutan. Data hotspot dideteksi dengan menggunakan satelit NOAA kemudian disampaikan menuju antena penerima dan menghasilkan interpretasi citra yang dapat berupa produksi peta, kemudian dilakukan akurasi data dengan melakukan pengecekan di lapangan (Gambar 2).

Manfaat lain jika menggunakan data hotspot adalah selain harganya relatif murah penggunaan satelit nya pun tidak dikenai biaya apapun, namun untuk mendapatkan citra atau foto dari satelit tersebut membutuhkan hardware dan

software yang dapat dikatakan mahal. Contohnya adalah satelit NOAA merupakan satelit yang menghasilkan data hotspot dapat dengan mudah diakses,


(36)

murah dan cepat dengan menggunakan internet pada berbagai informasi sebagai penyedia data hotspot.

2.5.3 Akurasi Data Hotspot

Permasalahan yang ditemukan dalam pemanfaatan data hotspot diantaranya yang pertama yaitu karakteristik data. Menurut FFPMP (2004) sensor pada satelit NOAA AVHRR tidak dapat menembus awan, asap atau aerosol. Kelemahan tersebut akan merugikan jika kebakaran besar sehingga pada wilayah tersebut tertutup asap. Selain itu, khusus untuk citra NOAA resolusi yang dihasilkan masih rendah sehingga kesalahan perkiraan terhadap titik kebakaran masih cukup sering terjadi misalnya cerobong api dari suatu tambang minyak atau gas, areal tanah kosong yang relative lebih panas seringkali terdeteksi sebagai suatu hotspot. Kedua yaitu adanya perbedaan hasil data hotspot yang diakibatkan oleh belum adanya standar internasional khususnya dalam sistem pendeteksian hotspot.

Ketiga yaitu sistem distribusi data yaitu kecepatan dalam pengiriman data hasil olahan sangat penting khususnya bila saat terjadinya kebakaran.

Semakin cepat suatu informasi diterima maka semakin memudahkan

stakeholder dalam melakukan tindakan. Keberlanjutan ketersediaan data harus ditingkatkan terutama bagi instansi pemerintah seperti Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN), Badan Penerapan Pengkajian Teknologi (BPPT), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dan Departemen Kehutanan yang memiliki kapasitas dan kemampuan di dalam teknologi penginderaan jauh ataupun data iklim.


(37)

Gambar 2 Arus sistem informasi data hotspot

(sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Jambi (2011))

Selain itu ada juga yang dinamakan dengan false hotspot atau hotspot palsu yang terjadi akibat adanya pengaruh gelombang radio dan efek yang dinamakan dengan sun glint. Gelombang radio dapat menganggu penerimaan hotspot dan dapat muncul sebagai hotspot. Sun glint terjadi ketika satelit tersebut tegak lurus dengan sebuah permukaan yang sangat luas dan dapat memantulkan cahaya matahari misalnya pada perairan (danau, sungai), awan, gurun dan atap logam. Hampir pada setiap hotspot palsu dapat dikoreksi pada saat pemrosesan hotspot

sehingga data yang diterima oleh pengguna (user) relatif bebas hotspot palsu. Namun cek lapang tetap diperlukan untuk memastikan kebenaran data hotspot.

2.5.4 Deteksi Hotspot

Setiap kebakaran hutan yang terjadi tidak dapat dideteksi sebagai hotspot.

Beberapa faktor yang mempengaruhi deteksi hotspot diantaranya adalah jenis kebakaran, adanya penghalang deteksi (tajuk pohon, asap, awan), waktu lintasan satelit, luas dan intensitas (besarnya) kebakaran. Ketika terjadi kebakaran hutan dibawah tajuk, dibawah permukaan (ground fire), asap tebal dan awan maka satelit tidak dapat mendeteksi karena terhalang. Selain itu, satelit melewati areal


(38)

pada waktu jam tertentu ketika terjadi kebakaran hutan sebelum dan setelah melewati satelit tersebut maka kebakaran hutan tidak akan terdeteksi oleh satelit.

Kebakaran hutan yang dapat terdeteksi sebagai hotspot adalah kebakaran dengan luas dan intensitas tertentu. Meskipun yang terbakar hanya padang rumput, kebakaran tersebut dapat dideteksi sebagai hotspot. Sebaliknya cerobong api penambangan minyak dengan luasan yang tidak terlalu besar dapat terdeteksi sebagai hotspot karena suhunya sangat tinggi. Kebakaran hutan dapat dideteksi sebagai hotspot tergantung pada sudut scan satelit, bioma, posisi matahari, suhu permukaan bumi, tutupan awan, banyaknya asap dan arah angin. Maka ukuran kebakaran hutan yang dapat dideteksi sangat tergantung kepada variabel tersebut. Dalam kondisi pengamatan yang optimal (dekat nadir, asap sedikit atau tidak ada, permukaan bumi relatif homogen) kebakaran hutan dengan luas 100 m2 dapat dideteksi. Namun dalam kondisi bebas awan, asap atau polusi (sangat jarang terjadi) kebakaran seluas 50 m2 dapat dideteksi.

Jaya (2003) menerangkan bahwa metode deteksi hotspot terbagi kedalam 3 metode yaitu :

1) Perolah Data dan Pra-Pemrosesan

Proses penangkapan dan pemrosesan dari data NOAA-AVHRR dilakukan dengan menggunakan sistem penerimaan dan pengolahan data satelit yang dibuat oleh BURL (Bradford University Research Limited). Sistem tersebut terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak.

Tahap pertama yang dilakukan adalah dengan membuat perencanaan perolehan data yaitu dengan memilih daerah mana yang akan diambil datanya, dan menentukan luas cakupan liputannya. Selanjutnya ketika pada saat perekaman datang, dilakukan proses capturing, setelah data diterima proses dilakukan dengan kalibrasi, navigasi dan overlay citra tersebut untuk memberi referensi geografis.

Citra satelit digital dapat dianalogikan dengan matriks nilai-nilai kecerahan. Untuk data NOAA-AVHRR nilai-nilai kecerahan tersebut dikonversi menjadi 3 cara yaitu nilai radiasi (saluran 1,2,3,4,5) nilai albedo (saluran 1 dan 2) serta nilai suhu kecerahan (saluran 3,4 dan 5). Data tersebut kemudian mengalami proses ekstraksi informasi untuk mendapatkan koordinat hotspot.


(39)

2) Metode Sederhana

Deteksi hotspot dengan metode ini, dilakukan dengan menggunakan batas nilai ambang suhu kecerahan tertentu, pada matriks citra tersebut. Dalam bentuk Logika Boolean dinyatakan dengan:

If nilai citra > α

Then nilai citra = hotspot Else nilai citra = bukan hotspot

Dimana : nilai citra = suhu kecerahan saluran yang digunakan α = nilai ambang (310 0K, 315 0K, 321 0K)

Nilai ambang bukanlah suatu nilai yang baku, tetapi dapat diubah-ubah sesuai dengan kondisi iklim atau daerah yang dideteksi. Misalnya FFPMP-JICA menggunakan suhu 310 0K untuk nilai ambang, sedangkan untuk FFPCP-EU di Palembang menggunakan nilai 320 0K sebagai ambang batas nilai hotspot.

Kelebihan dari cara ini adalah sederhana dalam cara perhitungannya, sehingga waktu pemrosesan lebih singkat. Kelemahannya tidak bisa mengeliminasi efek kilau surya. Jika teknik ambang di terapkan, maka nilai pantulan air yang tinggi masuk sebagai nilai pancaran, dalam kategori hotspot,

sehingga terjadilah kesalahan deteksi titik hotspot di laut atau danau. 3) Metode Algoritma Kontekstual

Metode ini dikembangkan untuk mengatasi kelemahan pada metode sederhana. Langkah pertama yang dilakukan, citra NOAA-AVHRR dipilah menjadi dua obyek yaitu air dan daratan, dengan penggunaan NDVI, kemudian yang diproses adalah bagian daratan saja. Dari obyek daratan kemudian dipilih obyek awan. Obyek daratan yang telah dipilah dari obyek awan, kemudian dideteksi obyek-obyek yang dianggap merupakan tanah kering panas. Hasil dari deteksi ini adalah hotspot yang telah tereliminasi dari obyek air, awan dan tanah kering panas. Walaupun telah dieliminasi, namun terkadang hotspot terdeteksi sebagai areal yang luas. Pada kenyataannya hal tersebut sulit sekali terjadi peristiwa kebakaran hutan dalam satu areal yang luas dan terbakar sekaligus, karena adanya kecendrungan dari kebakaran hutan adalah jika telah mencapai luasan yang cukup luas, maka bagian tengah hutan yang terbakar sudah padam.


(40)

Tujuan dari penerapan algoritme ini adalah untuk mendeteksi hotspot dalam luasan yang masuk akal, untuk dianggap sebagai kebakaran hutan.

2.5.5 Penerjemahan Hotspot dan Kejadian Kebakaran di Lapangan

Setiap hotspot menunjukkan titik tengah dari piksel yang berukuran ±1 km2 sehingga koordinat hotspot tidak selalu sama dengan koordinat kebakaran di lapangan. Sebuah hotspot tidak dapat diterjemahkan bahwa telah terjadi kebakaran seluas 1 km2 di daerah tersebut, hotspot hanya berarti kebakaran tersebut terjadi di dalam lingkup piksel berukuran 1 km2 tersebut.

Ketika kita melakukan zoom (pembesaran) pada sebuah gambar maka kita akan melihat gambar menjadi pecah dan terdapat kotak-kotak. Kotak-kotak itulah yang dinamakan piksel. Secara sederhana piksel diartikan sebagai unit terkecil dari citra satelit/foto. Satu piksel pada citra satelit NOAA, TERRA dan AQUA setara dengan ± 1 km2. Namun 1 piksel tidak selalu setara dengan 1 km2, ketika berada di pinggir lintasan (scan track) maka nilai piksel dapat bernilai lebih dari 1 km2. Ketika terjadi kebakaran hutan/lahan di dalam areal sebuah piksel dan terdeteksi sebagai hotspot maka koordinat kebakaran hutan/lahan tersebut akan ditampilkan di tengah piksel meskipun lokasi kebakaran berada di pinggir piksel. Sebagai konsekuensinya dalam tindaklanjut data hotspot kita harus menyusuri areal kurang lebih 1 km dari koordinat hotspot untuk dapat menemukan lokasi kebakaran hutan sebenarnya.


(41)

Satelit yang digunakan di dunia untuk memperoleh data hotspot pada saat ini adalah NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), TERRA dan AQUA. Ketiga satelit tersebut dimiliki oleh Amerika Serikat. NOAA dikelola oleh United States Departemen of Commerce, sedangkan TERAA dan AQUA dikelola oleh NASA (National Aeronautics and Space Administration)

Gambar 4 Ilustrasi antara deteksi hotspot dan kejadian kebakaran di lapangan

Keterangan :

Gambar 4A. Ketika terjadi sebuah kebakaran di pojok kiri bawah dalam lingkup salah satu piksel maka kebakaran tersebut ditampilkan sebagai suatu hotspot di tengah-tengah piksel tersebut.

Gambar 4B. Ketika terjadi dua buah kebakaran didalam salah satu piksel maka kebakaran tersebut akan tetap ditampilkan sebagai salah satu hotspot yang berada di tengah-tengah piksel.

Gambar 4C. Ketika terjadi 2 lokasi kebakaran, satu kebakaran terjadi didalam sebuah piksel dan kebakaran lainnya terjadi di tengah-tengah dari 4 buah piksel maka kebakaran tersebut dapat terdeteksi 4 buah hotspot. Sehingga disimpulkan bahwa jumlah

hotspot tidak sama dengan jumlah titik api atau kejadian kebakaran

2.6 Tipe Sistem Informasi Kebakaran

Beberapa sistem telah dikembangkan untuk memberikan sistem peringatan dini, dalam rangka pencegahan terhadap bahaya kebakaran diantaranya adalah:


(42)

a. Early Warning System

Early warning system dikembangkan dengan menggunakan data cuaca harian sebagai dasar dalam menghitung indeks kekeringan. Indek kekeringan digunakan sebagai indikator dalam menghitung tingkat berkurangnya kelembaban lahan dan tanah. Indek kekeringan ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus KBDI (Keech-Byram Drought Index). Variabel-variabel yang digunakan antara lain:

a. Curah hujan tahunan rata-rata b. Suhu maksimum

c. Curah hujan harian

Di Indonesia khususnya Kalimantan Barat, KBDI digunakan oleh proyek IFFM-GTZ (Integrated Forest Fire Management).

Dimana :

KBDI = Keech-Byram Drought Index

KBDI* = Keech-Byram Drought Index untuk hari sebelumnya Annrain = Curah Hujan Tahunan (mm)

Tmax = Suhu Maksimum (0C)

b.

Fire Danger Rating System

FDRS telah dibangun di Indonesia hasil kerjasama dari Canadian Forest Service-CFS dan BPPT, dengan adanya dukungan dari institusi pemerintahan yang terkait seperti Kementrian Kehutanan, Kementerian Lingkungan hidup, BMKG, LAPAN, dan beberapa perguruan tinggi seperti Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Riau (UNRI) dan Universitas Tanjungpura (UNTAN) yang telah menerima bantuan dari Canadian International development Agency

(CIDA). Informasi tersebut dapat diakses di internet pada situs www.fdrs.or.id

atau www.haze-online.or.id. FDRS ini merupakan suatuu sistem yang digunakan untuk memonitor kebakaran hutan pada tingkat regional hingga pusat, khususnya dalam rangka upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran.

FDRS merupakan suatu early warning system yang terfokus pada adanya kemungkinan adanya titik apai atau tidak. Sistem ini dibuat atas dasar adanya indikator penyebab adanya titik api. Misalnya kelembaban bahan bakar dan

KBDI = (2000-KBDI*) x (0,9676xEXP(0,087xTmax+1,552)-8,229) x 0,001/ (1+10,88*EXP(-0,00175xAnnrain)) + 0,5


(43)

tingkat kekeringan dari bahan bakar. Sehingga hasilnya dapat menggunakan level bahaya api pada area tertentu.

c. Sistem Monitoring Hotspot

Metode yang digunakan untuk memonitor hotspot adalah satelit remote sensing. Data satelit dapat digunakan sebagai indikator adanya titik api, sehingga penting untuk dimelakukan analisis, pengawasan dan terkadang perlu melakukan

groundcheck di lapangan untuk menentukan pencegahan dan pemadaman, khususnya pada saaat musim kering.

Satelit yang sering digunakan adalah satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), dengan sensor AVHRR (Advance Very high Resolution Radiometer),yang mana sensor ini dapat membedakan suhu darat dan laut. Satelit NOAA dapat digunakan bebas, tapi untuk memperoleh gambar dari satelit diharuskan memiliki hardwere dan softwere yang mahal. Indonesia memiliki 7 stasiun satelit NOAA, termasuk milik Kementrian Kehutanan-JICA (Sipongi) dan milik LAPAN Jakarta.

Sebagai monitor dari hotspot, satelit NOAA memiliki kelemahan. Pada sensor tersebut tidak dapat menembus awan, asap atau aerosol. Sensivitas sensor pada suhu bumi, ditmabah resolusi yang rendah, menyebabkan kemungkinan estimasi error. Sehingga sangat diperlukan dalam overlay hotspot data dengan peta tutupan lahan dengan menggunakan metode Geograpic Information System


(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi yang terletak pada titik 0º 45’ - 2º 45’ LS dan 101º 0’ - 104º 55’ BT (Gambar 5) pada bulan Maret 2012 – Mei 2012. Pengolahan dan analisis data dilakukan pada bulan Juni 2012 – Agustus 2012 di Laboratorium Remote Sensing dan GIS, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder.

a. Data primer :

- Data groundcheck lapangan - Hasil survey dan wawancara

b. Data Sekunder

- Data hotspot Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Jambi yang diperoleh dari ASMC periode Januari tahun 2011 sampai Maret tahun 2012 pemantauan satelit (National Oceanic and Atomospheric Administration) NOAA-18.

- Laporan kegiatan patroli pemadaman kebakaran Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Manggala Agni Kabupaten Tebo.

- Data curah hujan rata-rata bulanan Kabupaten Tebo periode tahun 2011 sampai Maret tahun 2012 dari stasiun pengamat cuaca Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Provinsi Jambi

- Kondisi umum wilayah Kabupaten Tebo dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jambi.

- Peta penutupan lahan Kabupaten Tebo tahun 2011 - Peta dasar administrasi Kabupaten Tebo Provinsi Jambi


(45)

c. Alat yang digunakan selama penelitian diantaranya: - GPS (Global Positioning System) tipe Garmin 76CSx - Kamera Digital

- Perangkat Komputer pribadi yang dilengkapi perangkat lunak

ArcView GIS ver 3.2, ArcGIS 9.3, SPSS 16.0 dan Microsoft Office

Gambar 5 Lokasi Penelitian

3.3Tahapan Penelitian

Pencegahan kebakaran hutan merupakan salah satu upaya dalam pengendalian kebakaran hutan. Tindakan pengendalian bertujuan untuk mencegah


(46)

terjadinya kebakaran hutan yang telah terjadi agar tidak meluas. Output yang diharapkan dalam menganalisis akurasi kejadian kebakaran adalah lebih dari 50%.

Verifikasi di lapangan bertujuan untuk mengidentifikasi apakah titik

hotspot yang terdeteksi pada wilayah bersangkutan merupakan kejadian kebakaran. Hal ini disebabkan hotspot memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap suhu, misalnya cerobong asap, tambang minyak, terkadang dapat dideteksi sebagai hotspot kebakaran (Thoha 2008). Berdasarkan hal tersebut maka kebakaran hutan yang diindikasi dengan data hotspot memiliki bias yang sangat besar, karena sensor satelit tidak dapat menembus awan sehingga dapat menghasilkan prakiraan titik kebakaran yang salah. Diagram alir penelitian secara rinci dijelaskan pada Gambar 6.

Tabel 1 Tahapan penelitian

Tujuan Parameter Metode analisis Sumber data Output

Mengidentifikasi jumlah titik

hotspot pada

setiap klasifikasi tutupan lahan

Peta kelas tutupan lahan

Jumlah titik

hot spot yang diperoleh dari data citra Analisis Spasial dengan menggunakan software ArcGIS

- Data primer (data observasi lapangan, data

hotspot)

- Data sekunder (Peta tutupan lahan,peta dasar administrasi)

Prakiraan jumlah titik hotspot di setiap tutupan lahan

Menghitung akurasi citra

hotspot untuk

identifikasi kebakaran hutan

Jumlah titik

hot spot

yang diperoleh dari data citra

Jumlah titik

hot spot dari

observasi lapangan Analisis Spasial dengan menggunakan software Arc View 3.2, ArcGIS

- Data primer (Data hotspot, data observasi lapangan)

Estimasi akurasi citra hotspot

>50% Identifikasi latar belakang penyebab kebakaran hutan Aktivitas masyarakat sekitar sebagai penyebab terjadinya kebakaran hutan Analisis Pemobobotan menggunakan metode ranking

- Data Primer (Pengamatan Lapangan) - Data Sekunder

(Data kecamatan setempat) Latar belakang utama terjadinya kebakaran hutan


(47)

3.4Metode Pengumpulan Data

Pengambilan data primer pada penelitian ini antara lain data hotspot, data

groundcheck dan hasil wawancara. Untuk data hotspot menggunakan data yaitu dari tahun 2011-2012. Pada penelitian ini digunakan perangkat lunak Arc-View 3.2 sebagaimana digunakan oleh Parwati et al. (2004) untuk pengolahan data hotspot

pada proses overlay data.

Data sekunder yaitu curah hujan, data kondisi umum wilayah Kabupaten Tebo dan data laporan kegiatan patroli pemadam kebakaran hutan yang digunakan sebagai data acuan dalam akurasi hotspot. Data identifikasi faktor penyebab terjadinya kebakaran hutan diperoleh dengan cara mengidentifikasi langsung ke lapangan menggunakan metode wawancara expert judgment.

3.4 Metode Analisis Data 3.5.1 Analisis GIS

Analisis pada peta tematik dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: 1. Analisis peta tematik

Analisis ini dibuat berdasarkan dari data yang dikumpulkan dari hasil survei lapangan. Sebagai dasar pemetaan, maka peta dasar yang dipergunakan adalah peta Kabupaten Tebo yang diperoleh dari Departemen Kehutanan dalam format shp.

Data dari hasil lapangan yang diperoleh dibuat dalam bentuk tabel atau data deskriptif tujuannya adalah agar prosedur aplikasi GIS dapat dijalankan maka pada data tersebut haruslah dilengkapi dengan koordinat dari lokasi dimana data tersebut diambil.

2. Analisis spasial

Data hasil groundcheck lapangan dianalisis untuk mengetahui persentase akurasi dari titik hotspot. Identifikasi akurasi jarak terdekat dengan menggunakan bantuan sofwere ArcGIS yaitu melalui proses

buffering pada titik groundcheck dengan menggunakan bantuan tool

euclidean distance. Nilai persentase akurasi rata-rata dapat ditentukan dengan menggunakan rumus:

1000 x 100% = akurasi (%) d


(48)

Keterangan:

d = Jarak groundcheck terdekat dengan titik hotspot

3.5.2 Identifikasi Sebaran Jumlah Titik Hotspot

Mengidentifikasi jumlah titik hotspot pada setiap klasifikasi tutupan lahan dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

- Peta landsat ETM+ Kabupaten Tebo yang sebelumnya telah dilakukan analisis citra satelit kemudian di cropping dengan batas daerah penelitian kemudian di overlay sesuai dengan peta dasar Kabupaten Tebo yang telah tersedia. Selanjutnya dilakukan pengklasifikasian masing-masing tutupan lahan berdasarkan standar Departemen Kehutanan.

- Analisis spasial menggunakan metode countpoint dengan bantuan ArcGIS yaitu data tutupan lahan dalam shp dan data hotspot tahun 2011- Maret 2012 dalam shp di overlay, kemudian dilakukan intersect untuk mengetahui banyaknya jumlah titik hotspot pada setiap tutupan lahan.

3.5.3Analisis Pembobotan dengan Metode ranking

Survey lapang dan wawancara dilakukan dengan menggunakan metode

expert judgement. Responden terdiri dari Kepala BKSDA Kabupaten Tebo, Kepala Tim Pemadam Kebakaran Hutan, Kepala Desa, Petani, dan Masyarakat. Identifikasi penyebab kebakaran hutan dilakukan dengan menggunakan analisis pembobotan dengan metode ranking. Pemilihan metode ini dilakukan oleh single researcher dengan pertimbangan responden dapat mengisi kuisioner pada waktu senggang. Kuisioner dinilai efektif dan peneliti bisa mendapatkan tingkat respon yang tinggi bila dilakukan pada subjek dengan tingkat pendidikan yang tinggi dan minat tinggi terhadap topik penelitian yang akan diteliti.

Penentuan rangking dari 1-10 pada setiap peubah terhadap kerawanan kebakaran hutan dan lahan diperoleh melalui wawancara dengan 5 ahli bidang kebakaran hutan di Kabupaten Tebo. Kuisioner dibuat berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat dengan kebakaran hutan diduga dari parameter sosial yaitu pendidikan, pengetahuan serta persepsi masyarakat tentang hutan, pertambahan jumlah penduduk serta ketersediaan lapangan pekerjaan, tidak


(49)

terakomodasinya peran masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan, pendapatan masyarakat dari hasil pertanian atau perkebunan serta sistem penyiapan lahan dan kebiasaan masyarakat dalam penggunaan api.

Menentukan latar belakang dominan penyebab terjadinya kebakaran hutan di Kabupaten Tebo yaitu dengan menggunakan metode penentuan bobot. Penentuan bobot dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Jaya (2006) menyatakan ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk penentuan bobot salah satunya dengan menggunakan metode ranking.

Penentuan bobot secara kualitatif dilakukan berdasarkan penilaian ahli

(expert judgement) yang memiliki pengalaman dan kompetensi dalam bidang kebakaran hutan. Bobot tersebut diperoleh dari hasil wawancara dimana setiap peubah dinilai berdasarkan tingkat faktor dominan yang menjadi penyebab utama kebakaran hutan. Pengaruh di representasikan dalam bentuk skor dengan tingkat nilai kardinal dimana peubah yang memiliki pengaruh paling kecil diberi skor paling rendah dan sebaliknya. Secara matematis, penentuan bobot secara kualitatif diformulasikan dengan menggunakan rumus (Jaya 2006).

� = ∑�

∑� ∑�

Keterangan :

Wji = bobot dari indikator ke-i dan kriteria ke-j,

rjki = ranking dari indikator ke-i, kriteria ke-j untuk ahli ke-k m dan n berturut-turut = jumlah indikator dan ahli


(50)

Gambar 6 Diagram alir tahapan penelitian

37 32 Lokasi hotspot groundcheckData lokasi

lapangan

Peta dasar Kabupaten Tebo

Peta sebaran hotspot

dan groundcheck

Overlay

Peta jumlah sebaran hotspot pada setiap klasifikasi tutupan lahan dan latar belakang utama penyebab kebakaran hutan

Interpretasi penentuan lokasi hotspot

Identifikasi latar belakang terjadinya kebakaran hutan

Analisis pembobotan dengan metode ranking Analisis

korelasi silang Januari 2011-Maret2012 Januari 2011-Maret 2012


(51)

BAB IV

KONDISI UMUM

4.1 Letak dan Luas Wilayah

Kabupaten Tebo merupakan salah satu wilayah yang sering terjadi kebakaran hutan. Menurut BPS Kabupaten Tebo (2011) Luas wilayah Kabupaten Tebo adalah 646.100 ha (6.461 km2), yang terdiri dari 12 kecamatan yaitu Tebo Ilir, Tebo Tengah, Tengah Ilir, Sumay, Rimbo Bujang, Rimbo Ulu, Rimbo Ilir, Tebo Ulu, VII Koto, Muara Tabir, Serai serumpun, VII Koto Ilir) (Tabel 2).

Kecamatan Terletak diantara 0052’32’’ – 1054’50’’ LS dan diantara 101048’57’’ - 102049’17’’ BT. Daerah ini beriklim tropis dimana daerah ini 84,96% terletak pada ketinggian <99 m dari permukaan laut (BPS Tebo 2011). Batas wilayah kabupaten Tebo yaitu :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Riau

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bungo dan Merangin - Sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat dan

Kabupaten Bungo

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat.

Topografi Kabupaten Tebo umumnya merupakan dataran dan sedikit berbukit serta berawa dengan kemiringan yang bervariasi. Jenis tanah di Kabupaten Tebo sebagian besar adalah Podsolik Merah Kuning (PMK). Potensi sumberdaya alam tanaman pangan dan pemanfaatannya di kabupaten Tebo sebesar potensi lahan sawah sebesar 11.437 ha dan potensi lahan kering sebesar 14.880 ha dengan luas pemanfaatan lahan sawah sebesar 6.481 ha, dengan demikian lahan yang belum dimanfaatkan lahan sawah sebesar 6.756 ha (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jambi 2011)


(52)

Tabel 2 Luas wilayah menurut Kecamatan di Kabupaten Tebo tahun 2010 Kecamatan Luas

(km2)

Presentase (%)

Tebo ilir 708,70 10,97

Tebo Tengah 983,56 15,22

Tengah Ilir 221,44 3,43

Sumay 1.268,00 19,63

Rimbo Bujang 406,92 6,30

Rimbo Ulu 295,74 4,58

Rimbo Ilir 214,34 3,32

Tebo Ulu 410,30 6,35

VII Koto 658,79 10,20

Muara Tabir 509,30 7,88

Serai Serumpun 315,70 4,89

VII Koto ilir 468,21 7,25

Kabupaten Tebo 6.461 100

(Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Tebo 2011)

4.2 Kondisi Iklim

Kabupaten Tebo termasuk daerah yang beriklim tropis yang memiliki karakteristik curah hujan sedang dan lembab sepanjang tahun. Curah hujan rata-rata adalah 163,43 mm/bulan, lama penyinaran matahari 3,83 jam/hari dan kelembaban udara rata-rata sebesar 84,33%. Sedangkan suhu udara rata-rata sekitar 26,2 0C kecuali pada dataran tinggi di wilayah barat dengan suhu rata-rata 21,9 0C.

4.3 Luas Kawasan Hutan

Berdasarkan data BPS Provinsi Jambi Tahun 2011 sekitar 44% (268.748 ha) luas wilayah di Kabupaten tebo adalah kawasan hutan dimana untuk kawasan hutan menurut fungsinya terdiri dari hutan pelestarian alam 5% (33.402,50 Ha), hutan produksi terbatas 1% (6.657 ha) dan hutan produksi tetap 35% (229.807,8 ha). Sedangkan untuk hutan lindung yaitu sebesar 3% (16.917 ha) sedangkan untuk kawasan hutan suaka alam yaitu sebesar 0,04% (110,5 ha) (Tabel 3).


(53)

Tabel 3 Luas kawasan hutan menurut fungsi hutan di Kabupaten Tebo (ha)

Fungsi Hutan Luas (ha)

1. Hutan Pelestarian Alam

a. Taman Nasional Bukit Tiga Puluh b. Taman Nasional Bukit Dua Belas

c. Hutan Suaka Alam Kebun Raya Bukit Sari 2. Hutan Lindung Bukit Limau

3. Hutan Produksi Terbatas

a. Hutan Produksi Terbatas Hulu Sekalo b. Hutan Produksi Terbatas Sungai Sirih-Sirih c. Hutan Produksi Terbatas Seragam hulu 4. Hutan Produksi Tetap

a. Hutan Produksi Tetap Sengkati Batanghari b. Hutan Produksi Tetap Tabir Kejasung c. Hutan Produksi Tetap Batang Tabir

20.902 12.390 110.50 6.657 7.470 3.535 5.912 194.241 19.800 15.766 Jumlah

Luas wilayah Kabupaten Tebo

Presentase terhadap luas Kabupaten Tebo

286.784 646.100 44,39%

Sumber : Dinas Kehutanan Kabupaten Tebo 2010

4.4Keadaan Penduduk

Jumlah penduduk Kabupaten Tebo pada tahun 2010 sebanyak 297.735 jiwa. Jumlah penduduk laki-laki sebanyak 153.892 jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 143.843 jiwa. Presentase distribusi penduduk tahun 2010 menurut kecamatan adalah :

- Kecamatan Tebo Ilir (8,4%) - Kecamatan Muara Tabir (5,24%) - Kecamatan Tebo Tengah (11,54%) - Kecamatan Sumay (6,46%)

- Kecamatan Tengah Ilir (5,91%) - Kecamatan Rimbo Bujang (20,09%) - Kecamatan Rimbo Ulu (11,68%) - Kecamatan Rimbo Ilir (7,19%) - Kecamatan Tebo Ulu (10,52%) - Kecamatan VII Koto (6%)


(54)

- Kecamatan Serai Serumpun (2,55%) - Kecamatan VII Koto Ilir (4,43%)

Rata-rata kepadatan penduduk kabupaten tebo pada tahun 2010 adalah 46 jiwa km/km2, dimana kepadatan penduduk tertinggi berada pada Kecamatan Rimbo Bujang sebesar 147 jiwa/km2. Sedangkan kepadatan penduduk terkecil berada pada kecamatan Sumay 14 jiwa/km2 disusul kemudian kecamatan Serai Serumpun 24 Jiwa/km2 dimana pada daerah tersebut sebagian besar wilayahnya adalah perkebunan dan hutan.


(55)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Analisis Sebaran Titik Panas (Hotspot)

Hotspot merupakan salah satu indikator adanya kejadian kebakaran hutan di suatu wilayah. Hotspot diperoleh dari hasil pengelolaan citra data NOAA yang berupa koordinat geografis dari stasiun penerima yang selanjutnya dikirimkan ke daerah. Penerima dapat memplotkan data tersebut ke peta dasar yang dimiliki. Apabila tersedia perangkat lunak sistem informasi geografis, maka plotting akan dapat dilakukan secara otomatis oleh komputer, kemudian melakukan overlay

secara cepat dan interaktif. Sehingga data hotspot hasil rekaman satelit NOAA-18 yang dikeluarkan oleh beberapa penyedia data hotspot dapat diketahui pola sebarannya di Indonesia.

Pada penelitian ini tingginya hotspot diasumsikan sejalan dengan banyaknya kejadian kebakaran hutan. Gambar 7 memperlihatkan pada Kabupaten Tebo, terdapat sejumlah titik hotspot pada setiap bulannya. Sebaran hotspot

tersebut digambarkan perbulan agar bisa melihat kecenderungan perkembangan munculnya fenomena hotspot khususnya pada periode tahun 2011 sampai dengan Maret tahun 2012. Sebaran hotspot mulai dijumpai pada bulan Februari tahun 2011 (24 titik) sampai bulan September 2011 (111 titik) kemudian muncul lagi pada bulan November tahun 2011 (2 titik) hingga Maret tahun 2012 (24 titik).

Sebaran hotspot yang tertinggi pada tahun 2011 terjadi pada bulan Juli (71 titik), Agustus (130 titik) dan September (111 titik) sedangkan pada tahun 2012

hotspot tertinggi terjadi pada bulan Januari (74 titik). Pada bulan Januari tahun 2011 dan Oktober tahun 2011 tidak terdapat sebaran hotspot sama sekali. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah pada bulan tersebut intensitas curah hujan cukup tinggi, aktifitas yang berhubungan dengan adanya pemanfaatan lahan (terutama pembersihan atau pembukaan lahan) pada bulan-bulan tersebut sudah berakhir.

Dari 6 kecamatan lokasi penelitian pada Kabupaten Tebo, hotspot paling banyak dijumpai pada kecamatan VII Koto (Gambar 8). Hal ini disebabkan pada wilayah tersebut masih banyak hutan produksi bekas perusahaan HPH yang sisa lahannya tersebut digunakan warga setempat untuk membuka lahan baru untuk


(1)

(2)

Lampiran 3.

Persentase jarak titik

groundcheck

dan titik

hotspot

Kabupaten Tebo

periode Januari 2011 – Maret 2012

1.

Februari 2011

Latitude Longitude

No titik

hotspot Jarak (m) Akurasi

No titik

groundcheck

-1.27734 102.35576 21 16190 6,177% 1

-1,27241 102,31963 8 14638 6,832% 2

2.

Maret 2011

Latitude Longitude

No titik

hotspot Jarak (m) Akurasi

No titik

groundcheck

-1,26295 102,28482 14 13712 7,293% 1

3.

April 2011

Latitude Longitude

No titik

hotspot Jarak (m) Akurasi

No titik

groundcheck

-1,55609 102,3641 3 28521 3,51% 1

4.

Mei 2011

Latitude Longitude

No titik

hotspot Jarak (m) Akurasi

No titik

groundcheck

-1,2103600 102,2926482 12 5504 18,169% 1

-1,2003461 102,2935124 12 6616 15,115% 2

-1,0903493 102,0454620 2 3031 32,992% 3

-1,0115451 102,1553800 14 6545 15,279% 4

-1,0109304 102,0645900 16 9199 1,087% 5

-1,2046200 102,2935913 12 6144 16,276% 6

5.

Juni 2011

Latitude Longitude

No titik

hotspot Jarak (m) Akurasi

No titik

groundcheck

-1,31534 102,04143 4 31677 3,157% 1

6.

Juli 2011

Latitude Longitude

No titik

hotspot Jarak (m) Akurasi

No titik

groundcheck

-1,25554 102,301660 67 9120 10,965% 1

-1,35117 102,374060 3 3453 28,960% 2

-1,42552 102,339000 62 5937 16,843% 3

-1,28974 102,182649 68 2859 34,977% 4

-1,28115 102,212020 68 3036 32,938% 5

-1,33419 101,562870 47 41759 2,395% 6

-1,03966 102,287610 59 3464 28,868% 7

-1,39889 102,428920 62 4508 22,183% 8

-1,03879 102,287160 59 3546 28,201% 9

-1,03965 102,586320 66 13243 7,551% 10


(3)

-1,37170 102,345310 62 6541 15,2885 12

-1,46703 102,362590 62 7015 14,255% 13

7.

September 2011

Latitude Longitude

No titik

hotspot

Jarak

(m) Akurasi

No titik

groundchec k

-1,30617 102,25683 95 10491 9,532% 1

-1,26065 102,29484 68 10053 9,947% 2

-1,56819 102,40953 36 2337 42,789% 3

-1,25675 102,30432 68 9617 10,398% 4

-1,34503 102,26141 95 6161 16,231% 5

8.

November 2011

Latitude Longitude

No titik

hotspot Jarak (m) Akurasi

No titik

groundcheck

-1,4846 102,26007 2 24313 4,113% 1

10.

Desember 2011

Latitude Longitude

No titik

hotspot Jarak (m) Akurasi

No titik

groundcheck

-1,280700 102,211517 12 16148 6,193% 1

-1,120790 102,194750 13 14096 7,094% 2

-1,140790 102,214960 13 12430 8,045% 3

-1,245200 102,423050 4 3179 31,456% 4

-1,292170 102,263810 12 13208 7,571% 5

-1,280950 102,211810 12 16139 6,196% 6

-1,272810 102,033320 12 33768 2,961% 7

-1,154290 102,164990 13 18183 5,499% 8

-1,350530 102,491550 10 1228 81,443% 10

-1,145360 102,185440 13 15711 6,365% 11

-1,144550 102,194810 13 14689 6,808% 12

-1,144170 102,321980 2 3007 33,256% 13

-1,281127 102,212000 12 16135 6,198% 14

-1,161920 102,300700 12 4123 24,254% 15

11.

Januari 2012

Latitude Longitude

No titik

hotspot Jarak (m) Akurasi

No titik

groundcheck

-1,51997 102,66898 28 4034 24,789% 1

-1,46891 102,60783 49 5725 17,467% 2

-1,46226 102,59397 49 6430 15,552% 3

-1,48276 102,36082 44 3266 30,618% 4

-1,49098 102,35001 44 4619 21,649% 5

-1,48200 102,30435 44 9546 10,476% 6

-1,15790 102,11630 25 1347 74,239% 7

-1,16330 102,08260 25 3685 27,137% 8

-1,14020 101,96810 19 7988 12,519% 9

-1,11660 101,89240 34 10058 9,942% 10


(4)

12.

Februari 2012

Latitude Longitude

No titik

hotspot Jarak (m) Akurasi

No titik

groundcheck

-1,28109 102,21198 1 399683 0,25% % 1

13.

Maret 2012

Latitude Longitude

No titik

hotspot Jarak (m) Akurasi

No titik

groundcheck

-1,08407 101,59396 10 30230 3,308% 1

-1,02235 102,07342 15 4616 21,664% 2

-1,32211 102,40485 4 8788 11,379% 3

-1,36483 102,45387 4 5423 18,440% 4

-1,12487 102,13110 6 10112 9,889% 5

-1,12473 102,11310 5 9513 10,512% 6


(5)

(6)