Analisis Sebaran Titik Panas Hotspot

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Analisis Sebaran Titik Panas Hotspot

Hotspot merupakan salah satu indikator adanya kejadian kebakaran hutan di suatu wilayah. Hotspot diperoleh dari hasil pengelolaan citra data NOAA yang berupa koordinat geografis dari stasiun penerima yang selanjutnya dikirimkan ke daerah. Penerima dapat memplotkan data tersebut ke peta dasar yang dimiliki. Apabila tersedia perangkat lunak sistem informasi geografis, maka plotting akan dapat dilakukan secara otomatis oleh komputer, kemudian melakukan overlay secara cepat dan interaktif. Sehingga data hotspot hasil rekaman satelit NOAA-18 yang dikeluarkan oleh beberapa penyedia data hotspot dapat diketahui pola sebarannya di Indonesia. Pada penelitian ini tingginya hotspot diasumsikan sejalan dengan banyaknya kejadian kebakaran hutan. Gambar 7 memperlihatkan pada Kabupaten Tebo, terdapat sejumlah titik hotspot pada setiap bulannya. Sebaran hotspot tersebut digambarkan perbulan agar bisa melihat kecenderungan perkembangan munculnya fenomena hotspot khususnya pada periode tahun 2011 sampai dengan Maret tahun 2012. Sebaran hotspot mulai dijumpai pada bulan Februari tahun 2011 24 titik sampai bulan September 2011 111 titik kemudian muncul lagi pada bulan November tahun 2011 2 titik hingga Maret tahun 2012 24 titik. Sebaran hotspot yang tertinggi pada tahun 2011 terjadi pada bulan Juli 71 titik, Agustus 130 titik dan September 111 titik sedangkan pada tahun 2012 hotspot tertinggi terjadi pada bulan Januari 74 titik. Pada bulan Januari tahun 2011 dan Oktober tahun 2011 tidak terdapat sebaran hotspot sama sekali. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah pada bulan tersebut intensitas curah hujan cukup tinggi, aktifitas yang berhubungan dengan adanya pemanfaatan lahan terutama pembersihan atau pembukaan lahan pada bulan-bulan tersebut sudah berakhir. Dari 6 kecamatan lokasi penelitian pada Kabupaten Tebo, hotspot paling banyak dijumpai pada kecamatan VII Koto Gambar 8. Hal ini disebabkan pada wilayah tersebut masih banyak hutan produksi bekas perusahaan HPH yang sisa lahannya tersebut digunakan warga setempat untuk membuka lahan baru untuk ditanami kelapa sawit. Kemudian pada musim kemarau mereka melakukan penyiapan lahan dengan metode pembakaran. Selain itu persebaran jenis tanah pada wilayah tersebut merupakan tanah mineral yang cenderung mudah terbakar. Luas wilayah Kabupaten Tebo menurut klasifikasi tekstur tanah yaitu 98,50 636.400 ha. Wilayah di Kabupaten Tebo merupakan tanah dengan tekstur yang halus 1,30 8.400 ha bertekstur sedang dan hanya 0,2 1.300 ha merupakan tanah yang bergambut. Berdasarkan persebaran jenis tanahnya di Kabupaten Tebo terdiri dari 63,90 412.852 ha merupakan jenis tanah Podsolik Merah Kuning sedangkan 32,07 207.198 ha adalah jenis tanah latosol, dan sisanya berupa tanah alluvial dan organosol. Gambar 7 Sebaran Hotspot Bulanan Kabupaten Tebo Provinsi Jambi Tahun 2011 dan tahun 2012 Tinggi dan rendahnya sebaran hotspot pada periode 2011- Maret 2012 berkorelasi dengan besarnya curah hujan. Kabupaten Tebo merupakan wilayah yang memiliki pola curah hujan ekuator yaitu distribusi hujan bulanan bimodial dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun masuk kedalam kriteria musim hujan, biasanya terjadi pada saat ekinoks. Misalnya hujan bulanan wilayah Aceh, Padang, Solok dan Pontianak Kadarsah 2007. Daerah Tebo memiliki pola iklim yang berbeda dengan pola iklim di pulau Jawa. Pola iklim dipulau daerah Tebo memiliki dua periode musim kemarau yaitu bulan Februari-Maret dan bulan Juli-September, sedangkan iklim di pulau Jawa hanya satu musim kemarau yaitu pada bulan Juni-September. Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar 2011 2012 Jumlah Hotspot 24 14 8 27 17 71 130 111 2 13 74 3 24 20 40 60 80 100 120 140 Ju m lah H ot sp ot Wilayah Tebo merupakan daerah yang tergolong curah hujan yang tinggi. Karena wilayah Tebo berdekatan dengan wilayah sumatera bagian barat, sehingga tiap tahunnya diperkirakan wilayah ini mendapatkan curah hujan 3000 mmth. Selain itu, wilayah ini banyak dipengaruhi oleh pengaruh topografi seperti adanya bukit barisan. Jika curah hujan tinggi maka indeks kekeringan rendah begitu pula sebaliknya. Sehingga curah hujan berpengaruh terhadap kelembaban bahan bakar tanah. Kejadian kebakaran hutan cenderung lebih banyak terjadi pada saat curah hujan terendah karena pada saat curah hujan rendah, maka kelembaban udara juga rendah Tabel 4. Kelembaban rendah menyebabkan bahan-bahan bakar potensial lebih cepat mencapai suatu nilai ambang kelembaban dimana api akan dapat membakar bahan bakar ini Samsuri 2008. Dalam hal ini pembakaran terjadi bukan saja di lahan yang jauh dari pemukiman melainkan pembakaran juga dilakukan disekitar perumahan penduduk. Hal ini disebabkan karena rata-rata para petani tersebut tinggal tidak jauh dari areal perladangan mereka. Tabel 4 Kondisi iklim rata-rata bulanan tahun 2011-2012 2011 2012 Bulan Suhu C CH mm RH Bulan Suhu C CH mm RH Januari 26,1 313 83,7 Januari 27,2 135,5 80 Februari 26,8 173,5 83 Februari 26,6 130,2 82 Maret 26,6 226,5 83,1 Maret 26,8 222,4 82 April 26,7 267,8 85 Mei 27,4 119,4 83 Juni 27,4 85,7 82 Juli 27,3 144,1 82 Agustus 27,4 29,5 79 September 27,5 36,3 77 Oktober 26,4 211,4 84 November 26,3 241,2 85 Desember 26,3 180,3 86 Keterangan : CH = Curah Hujan RH = Kelembaban Relatif Sumber : Stasiun Klimatologi Provinsi Jambi Tahun 2011-2012 Gambar 8 Peta sebaran hotspot tahun 2011 – Maret 2012 Kabupaten Tebo 40 Gambar 9 Hubungan antara jumlah curah hujan dan jumlah Hotspot tahun 2011-2012 Hotspot tertinggi terjadi pada bulan Agustus 130 titik yang berbanding terbalik dengan jumlah curah hujan terendah sebesar 29 mmbulan. Sedangkan Januari 2011 dan Oktober 2011 tidak ditemukan adanya titik panas 0 titik, hal ini disebabkan curah hujan pada bulan tersebut tinggi yaitu 313 mm dan 211,4 mmbulan Gambar 9. Adanya peningkatan dan penurunan jumlah hotspot pada bulan-bulan tertentu sangat berkaitan dengan jumlah curah hujan. Pada saat curah hujan mengalami peningkatan maka jumlah hotspot berkurang bahkan tidak dijumpai sama sekali. Sebaliknya, pada saat curah hujan rendah atau tidak terjadi hujan maka akan ditemukan hotspot dalam jumlah tinggi seperti pada bulan Juli, Agustus dan September. Puncak kebakaran terjadi setelah selama tiga bulan kering berturut-turut sebelumnya bahan bakar mengalami pengeringan yang intensif. Untuk analisis yang lebih tajam, dengan membuktikan adanya hubungan antara hotspot dan curah hujan dapat dilakukan dengan menggunakan analisis korelasi. Analisis korelasi merupakan metode statistika yang digunakan untuk menentukan kuatnya atau derajat hubungan linier antara dua variabel atau lebih. Semakin nyata hubungan linier garis lurus, maka akan semakin kuat atau tinggi derajat hubungan garis lurus antara kedua variabel atau lebih. Berdasarkan hasil analisis korelasi antara hotspot dan curah hujan, kedua parameter tersebut berkorelasi sangat nyata pada α = 0,01, dengan nilai koefisien korelasi yang cukup Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Hotspot 24 14 8 27 17 71 130 111 2 13 74 3 24 CH 313 173 226.5 267.8 119.4 85.7 144.1 29 36.3 211.4 241.2 180.3 135.5 130.2 222.4 50 100 150 200 250 300 350 besar yaitu –0,755 Tabel 5. Artinya, semakin tinggi curah hujan maka jumlah hotspot akan semakin sedikit begitu juga sebaliknya. Tabel 5 Korelasi antara parameter hotspot dan curah hujan Hotspot Curah Hujan Koefisien korelasi Hotspot 1 -0,755 Curah Hujan -0,755 1 Keterangan: Berkorelasi sangat nyata pada α = 0,01 Sumber : Data primer diolah Munculnya Hotspot yang dipengaruhi oleh besarnya curah hujan, ditunjukkan oleh penelitian Soewarso 2003 yang menyatakan bahwa rendahnya curah hujan mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan. Hal ini disebabkan karena bahan bakar di hutan relatif lebih mudah terbakar. Sedangkan menurut Syaufina 2002, kadar air bahan bakar di lahan gambut Sungai Karang, Selangor, Malaysia berhubungan erat dengan besarnya curah hujan. Menurut hasil penelitian Prasasti 2012 menyatakan bahwa faktor iklim yang sangat menentukan terhadap proses penyalaan kebakaran hutan adalah curah hujan. Walaupun hujan bukan merupakan faktor penyebab kebakaran hutan, namun apabila akumulasi curah hujan dua bulan sebelumnya mengalami penurunan, maka dapat diprediksi terjadi adanya potensi kekeringan yang akan meningkat sehingga kondisi ini dapat meningkatkan jumlah hotspot dan luas areal yang terbakar.

5.2 Akurasi hotspot