Jumlah Sebaran Titik Hotspot pada Kelas Penutup Lahan

5.3 Jumlah Sebaran Titik Hotspot pada Kelas Penutup Lahan

Jenis penutup lahan memberikan kontribusi terhadap frekuensi hotspot terutama karena berkaitan dengan aktivitas konversi lahan. Menurut data terakhir dari Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam PHKA pada tahun 2006 kejadian kebakaran hutan paling luas yaitu terjadi pada kawasan hutan produksi sebesar 1.508,34 Ha. Kejadian kebakaran hutan pada Provinsi Jambi tahun 2011 luasnya mencapai + 383 Ha, yang terdiri dari 121 Ha kawasan hutan dan 282 Ha pada kawasan lahan. Menurut Hidayat 2011 tingginya pembakaran hutan yang dilakukan oleh masyarakat Tebo disebabkan untuk industri perkebunan kelapa sawit. Hingga saat ini, sekitar 800.000 Ha hutan produksi telah menjadi perkebunan sawit. Tabel 8 Jumlah sebaran hotspot dan persentase pada setiap kelas penutupan lahan di Kabupaten Tebo tahun 2011- Maret 2012 No Jenis Tutupan Lahan Hotspot Jumlah Persentase 2011 2012 hotspot 1 Hutan Primer 1 1 2 0,4 2 Hutan Sekunder 187 55 242 49,1 3 Perkebunan 2 1 3 0,6 4 Pertanian Lahan Kering 2 2 0,4 5 Pertanian Lahan Kering Campur 86 16 102 20,7 6 Semakbelukar 98 18 116 23,5 7 Tanah Terbukalahan kosong 7 6 13 2,6 8 Hutan tanaman 4 1 5 1,01 9 Air 2 1 3 0,6 10 Transmigrasi 1 1 0,2 11 Belukar Rawa 3 3 0,6 12 Permukiman 1 1 0,2 Total 493 100 Berdasarkan hasil analisa spasial overlay dari peta penutupan lahan dan data hotspot tahun 2011- Maret 2012, diidentifikasi bahwa area yang paling banyak ditemukan titik hotspot adalah kawasan hutan sekunder yaitu berjumlah 242 titik 49,1. Namun, Gambar 15 menunjukkan bahwa temuan titik api hasil groundcheck di lapangan berbeda dengan hasil identifikasi hotspot. Bahwa sumber titik api paling banyak ditemukan pada area perkebunan terutama sawit, karet dan area semakbelukar. Kejadian kebakaran hutan ini pada umumnya terjadi pada kawasan hutan produksi eks HPH yang telah habis masa konsesinya dan tidak ada pengelolaan dan pengamanan hutan, sehingga dirambah masyarakat untuk dikuasai. Areal ini umumnya berupa areal yang tidak produktif dengan vegetasi semakbelukar, ladang dan kebun milik masyarakat. Kondisi lahan dalam keadaan semak belukar lebih cepat terbakar, terutama jika terjadi pada musim kemarau. Sehingga dengan kondisi lahan tersebut menjadi salah satu faktor penyebab munculnya titik api. Ruchiat 2001 mengemukakan dalam hasil penelitiannya bahwa, penyebab utama terjadinya kebakaran berasal dari api yang ditimbulkan dari kegiatan perladangan berpindah dan pembalakan lokal, dimana api merambat dengan sangat cepat pada kondisi lahan semak belukar. Munculnya titik api oleh beberapa pihak berpendapat disebabkan oleh adanya kegiatan pertanian, perkebunan ataupun kehutanan berskala kecil hingga besar oleh masyarakat lokal maupun oleh perusahaan. a Semakbelukar b Perkebunan sawit Gambar 15 Area yang paling banyak ditemukan titik api Aktivitas pengelolaan lahan pertanian, perkebunan serta non hutan dengan metode pembakaran menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang diindikasikan dengan tingginya jumlah hotspot. Banyaknya titik panas yang ditemukan erat kaitannya dengan penghidupan masyarakat, bahwa semakin tinggi jumlah penduduk di suatu daerah, maka gangguan kerusakan hutan akan semakin tinggi. Identifikasi titik hotspot dideteksi banyak ditemukan pada jenis penutupan lahan semakbelukar berjumlah 116 23,5, kemudian pada lahan kering campur semak sejumlah 102 20,7, pada wilayah dengan kondisi tanah terbuka atau lahan kosong dideteksi hotspot berjumlah 13 titik hotspot atau sekitar 2,6. Pada wilayah hutan tanaman terutama pada wilayah bekas Hutan Tanaman Industri HTI titik api diperkirakan sejumlah 5 titik yaitu 1,01. Pada jenis penutup lahan perkebunan, air dan belukar rawa jumlah hotspot yang dideteksi sebanyak 3 titik 0,6, untuk hutan primer dan pertanian lahan kering hanya ditemukan 2 titik hotspot 0,4. Terdeteksinya hotspot di sekitar badan air mengindikasikan terjadinya pembukaan lahan di sekitar badan air, terutama di sekitar aliran sungai. Penurunan persentase jumlah deteksi hotspot pada tanah terbuka disebabkan oleh perubahan tipe penutupan lahan dari tanah terbuka menjadi area nonhutan alam Sukmawati 2006 dalam Syaufina 2008. Jumlah hotspot terkecil ditemukan pada jenis penutupan lahan wilayah transmigrasi dan permukiman yaitu 1 titik 0,2. Sementara hasil penelitian yang dilakukan oleh Sukmawati 2006 dalam Syaufina 2008, sebaran hotspot di Kabupaten Pontianak periode tahun 2003-2005 dengan peta penutupan lahan tahun Kabupaten Pontianak 2004, jumlah hotspot tertinggi terjadi pada tipe penutupan lahan areal non hutan alam yaitu 55,7. Pada tipe penutupan lahan yang berupa tanah terbuka, jumlah hotspot yang terdeteksi sebesar 20,9. Sementara untuk tipe penggunaan lahan untuk hutan alam dan badan air, jumlah hotspot masing-masing mencakup 12,38 dan 10,5. Faktor utama penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat adalah aktivitas manusia, jarak terhadap jalan, penggunaan lahan, faktor biofisik yang dipengaruhi tutupan lahan dan jumlah curah hujan, Sedangkan pembukaan lahan hutan, penyiapan lahan dan pengolahan lahan dilakukan dengan cara membakar disebabkan pembukaan lahan atau hutan dengan cara membakar lebih cepat dan murah serta tidak memerlukan tenaga yang banyak. Syaufina 2008 menyatakan bahwa dengan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar hanya memerlukan waktu 28 HOK Hari Orang Kerja, sementara PLTB secara mekanis untuk hutan primer membutuhkan 80 HOK dtambah 12 jam kerja traktor dan 53 HOK ditambah 10 jam kerja traktor bagi hutan sekunder. Jumlah titik hotspot pada setiap kelas tutupan lahan disajikan pada Tabel 8. Gambar 16 Peta Sebaran Hotspot Pada penutupan Lahan Kabupaten Tebo 53

5.4 Identifikasi Latar Belakang Penyebab Kebakaran Hutan