RINGKASAN
UTSRI YUSTINA PURWANTO. Penggerombolan Spasial Hotspot Kebakaran Hutan Dan Lahan Menggunakan DBSCAN dan ST-DBSCAN. Dibimbing oleh BABA BARUS,
and HARI AGUNG ADRIANTO.
Saat ini kebakaran hutan dan lahan menjadi isu lingkungan dan ekonomi yang menjadi perhatian internasional. Kebakaran hutan dan lahan memiliki dampak yang besar
bagi kelangsungan ekosistem lingkungan. Setiap tahunnya berjuta hektar hutan dan lahan terbakar di seluruh penjuru dunia, tidak terkecuali Indonesia. Kondisi alam di Indonesia
yang beriklim tropis, pengaruh pemanasan global serta tindakan manusia yang tidak menghargai alam merupakan penyebab kebakaran. Untuk itu diperlukan suatu cara
mendeteksi terjadinya kebakaran untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan serta arahan kebijakan dalam mengatasinya.
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah hotspot dari satelit penginderaan jauh yang mendeteksi adanya variasi panas dengan area studi di wilayah Sumatera
Selatan tahun 2002 sampai dengan 2003. Hotspot merupakan titik-titik panas di permukaan bumi yang dapat digunakan sebagai indikasi adanya kebakaran hutan.
Terdapat kemungkinan bahwa hotspot tidak tersebar secara acak tetapi menggerombol dalam ruang secara alami mengikuti hukum Geografi 1 Tobbler yaitu semuanya terkait
dengan segala sesuatu yang lain, tetapi hal-hal yang dekat lebih terkait daripada hal-hal yang jauh Tobbler 1970, diacu dalam Miller 2004 sehingga hotspot akan mengelompok
karena kedekatan secara lokasi dan waktu.
Data persebaran hotspot berukuran besar dapat dianalisis menggunakan teknik spatial data mining SDM. Salah satu pendekatan untuk menganalisis data
spatiotemporal pada data mining adalah clustering penggerombolan. Penggerombolan adalah proses pengelompokan data besar sehingga membentuk kelompok-kelompok
sehingga pada setiap kelompoknya memiliki persamaan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang lain. DBSCAN dan ST-DBSCAN merupakan penggerombolan berbasis
kepadatan dalam data mining. Penggerombolan berbasis kepadatan memiliki kelebihan yaitu bentuk penggerombolan yang lebih fleksibel, dan ukuran data yang besar.
DBSCAN dan ST-DBSCAN memiliki kelebihan tahan terhadap noise dan dapat mengatasi penggerombolan yang memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda. Akan tetapi,
DBSCAN tidak mampu mendeteksi penggerombolan dengan kepadatan yang bervariasi, sedangkan ST-DBSCAN mampu mengatasi kelemahan tersebut. ST-DBSCAN
merupakan perluasan algoritma DBSCAN, jika DBSCAN hanya dapat mengolah data spatial saja, ST-DBSCAN dapat mengolah data non spatial seperti waktu, dengan
menggunakan Eps 1 yaitu parameter jarak dalam mengukur kedekatan antar titik dan Eps 2 yaitu parameter waktu yang digunakan dalam mengukur kedekatan antar titik.
Hasil yang diperoleh melalui penggerombolan berbasis jarak dan waktu dengan menggunakan ST-DBSCAN adalah pola spatiotemporal penggerombolan hotspot
kebakaran hutan dan lahan yang mengadopsi penggolongan tipe dari Poelitz dan Andrienko
2006. Tipe
yang ditemukan
dalam penelitian
ini yaitu
regular, irregular, occasional dengan lokasi penggerombolan terbesar terjadi di daerah Musi Rawas, Muara Enim, Musi Banyuasin, dan Ogan Komering Ilir. Sedangkan dengan
menggunakan DBSCAN, penggerombolan berbasis jarak, lokasi kemunculan hotspot yang tertinggi pada daerah Ogan Komering Ilir.
Diharapkan pada penelitian selanjutnya menggunakan data penelitian yang lebih panjang dan menambah data yang berkaitan dengan kebakaran hutan seperti iklim, tata
guna lahan, dan sebagainya sehingga dapat diambil informasi yang lebih dalam mengenai kebakaran hutan tersebut.
Kata kunci : Spasial Data Mining, Kebakaran Hutan dan Lahan, Penggerombolan, DBSCAN, ST-DBSCAN
1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Saat ini, kebakaran hutan menjadi isu lingkungan dan ekonomi yang menjadi perhatian internasional dimana setiap tahunnya berjuta hektar hutan
terbakar di seluruh penjuru dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Kebakaran hutan memiliki dampak yang besar bagi kelangsungan ekosistem lingkungan,
diantaranya dapat menyebabkan pencemaran kabut asap, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, peningkatan emisi karbon dan dampaknya
bagi keanekaragaman hayati di Indonesia. Perhatian masyarakat dunia terfokus ketika dunia dilanda bencana El Nino ENSO 19971998 yang menghanguskan
lahan hutan seluas 25 juta hektar di seluruh dunia Rowell Moore 2001. Di tahun tersebut, Indonesia mengalami bencana kebakaran hutan terburuk dalam
sejarah, dimana melalui pengkajian nasional diketahui bahwa total 9,75 juta hektar lahan yang terbakar selama periode tersebut Bappenas-ADB 1999.
Hotspot merupakan titik-titik panas di permukaan bumi yang dapat digunakan sebagai indikasi adanya kebakaran hutan. Data hotspot diperoleh
melalui satelit penginderaan jarak jauh. Terdapat kemungkinan bahwa hotspot tidak tersebar secara acak tetapi hotspot menggerombol dalam ruang secara alami
mengikuti hukum Geografi 1 Tobbler yaitu semuanya terkait dengan segala sesuatu yang lain, tetapi hal-hal yang dekat lebih terkait daripada hal-hal yang
jauh Tobbler 1970, diacu dalam Miller HJ 2004 sehingga hotspot akan mengelompok
karena kedekatan
secara lokasi
dan waktu.
Apabila penggerombolan lokasi hotspot diketahui maka dapat digunakan dalam analisis
terjadinya kebakaran hutan, sehingga dapat diambil langkah dini dalam menanggulangi kebakaran hutan yang sangat penting dalam hal keperluan
perencanaan. Data persebaran hotspot berukuran besar dapat dianalisis menggunakan
teknik spatial data mining SDM. Salah satu pendekatan untuk menganalisis data spatiotemporal pada data mining adalah clustering penggerombolan.
Mengekstrak pola data spasial dan temporal pada umumnya lebih komplek
daripada data numerik dan data kategori sehubungan dengan kompleksitas tipe data spasial, ukuran yang lebih besar, dan waktu. Penggerombolan adalah proses
pengelompokan data besar sehingga membentuk kelompok-kelompok sehingga pada setiap kelompoknya memiliki persamaan lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok yang lain. DBSCAN dan ST-DBSCAN merupakan penggerombolan berbasis kepadatan dalam data mining. Penggerombolan berbasis kepadatan
memiliki kelebihan yaitu bentuk penggerombolan yang lebih fleksibel, dan ukuran data yang besar.
DBSCAN dan ST-DBSCAN memiliki kelebihan tahan terhadap titik noise dan dapat mengatasi penggerombolan yang memiliki perbedaaan bentuk dan
ukuran tetapi DBSCAN gagal dalam mendeteksi penggerombolan dengan kepadatan yang beragam sedangkan ST-DBSCAN mampu mengatasi kelemahan
DBSCAN tersebut. DBSCAN menggunakan data spasial sedangkan ST-DBSCAN menggunakan data spatiotemporal Xu X at al. 1998; Han Kamber 2001; Liu
et al. 2007. ST-DBSCAN merupakan perluasan algoritma DBSCAN, jika DBSCAN hanya mengolah data spatial saja ST-DBSCAN mampu mengolah data
non spatial seperti waktu dengan menggunakan Eps1 pada atribut spatial dan Eps2 pada atribut non spatial Birant Kut 2007.
Pada penelitian ini proses data mining akan diterapkan pada data hotspot kebakaran hutan di Sumatra Selatan tahun 2002-2003. Dengan diterapkannya
proses data mining diharapkan dapat menghasilkan informasi atau pengetahuan yang penting dan berguna dari data spasial dan spatiotemporal dengan
menggunakan DBSCAN dan ST-DBSCAN.
1.2. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menemukan pola penggerombolan data spasial berbasis jarak dengan
menggunakan penggerombolan DBSCAN. 2. Menemukan pola penggerombolan data spasial berbasis jarak dan waktu
dengan menggunakan penggerombolan ST-DBSCAN
1.3. Ruang Lingkup
Teknik yang digunakan dalam mendeterminasi penggerombolan titik-titik rawan kebakaran hutan dengan menggunakan DBSCAN dan ST-DBSCAN. Data
spasial yang digunakan adalah hotspot kebakaran hutan di Sumatra Selatan tahun 2002-2003.
1.4. Manfaat Penelitian
Dengan dilakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran pola penggerombolan data kebakaran hutan di wilayah Sumatra Selatan.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan adalah suatu proses reaksi yang menyebar secara bebas dari perpaduan antar unsur oksigen, bahan bakar hutan dan panas yang
mengkonsumsi bahan bakar alam yang terdapat di hutan seperti serasah, rumput, humus, ranting
– ranting, kayu mati, tiang, gulma, semak, dedaunan, dan pohon segar lainnya untuk tingkat terbatas yang ditandai dengan adanya panas, cahaya
dan asap Brown Davis 1973.
2.2. Penyebab Terjadinya Kebakaran Hutan
Sejak manusia mengenal dan menguasai teknologi api, maka api dianggap sebagai modal dasar bagi perkembangan manusia karena dapat digunakan untuk
membuka hutan, meningkatkan kualitas lahan penggembalaan, memburu satwa liar, mengusir satwa liar, berkomunikasi sosial disekitar api unggun dan
sebagainya Soeriaatmadja, 1997. Kebakaran hutan disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu faktor alam dan
faktor manusia. Secara alami kebakaran dipengaruhi oleh beberapa faktor alam yang berkaitan, yaitu iklim kemarau panjang, petir dan daya alam lainnya, jenis
tanaman misalnya pinus, mengandung resin, tipe vegetasi alang-alang, hutan terbakar, hutan-hutan monokultur tertentu, bahan-bahan sisa vegetasi serasah,
ranting kering, humus dan lain-lain Direktorat Perlindungan Hutan, 1983 dalam Franky, 1999. Suratmo 1985 menyatakan bahwa penyebab kebakaran hutan
pada umumnya adalah : 1. Dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
2. Api berasal dari ladang yang berdekatan dengan hutan. 3. Bara dari kereta api.
4. Api dari pekerja hutan dan penebang pohon. 5. Api dari perkemahan api unggun.
6. Petir. 7. Api dari perokok dan orang-orang yang lewat dekat hutan.
8. Sebab lain-lain,misalnya api dari gunung berapi. 9. Tidak diketahui penyebabnya.
Penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia yang berawal dari kegiatan atau permasalahan seperti sistem perladangan tradisional dari penduduk
setempat yang berpindah-pindah, pembukaan hutan oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan HPH untuk insdustri kayu maupun perkebunan kelapa
sawit, penyebab struktural, yaitu kombinasi antara kemiskinan, kebijakan pembangunan dan tata pemerintahan, sehingga menimbulkan konflik antar hukum
adat dan hukum positif negara. Perladangan berpindah merupakan upaya pertanian tradisional di kawasan
hutan dimana pembukaan lahannya selalu dilakukan dengan cara pembakaran karena cepat, murah dan praktis. Namun pembukaan lahan untuk perladangan
tersebut umumnya sangat terbatas dan terkendali karena telah mengikuti aturan turun temurun Dove, 1988.
2.3. Iklim
Cuaca dan iklim merupakan faktor yang menentukan kadar air bahan bakar, terutama karena hujan Brown Davis 1973. Dengan cara yang saling
berhubungan cuaca dan iklim mempengaruhi kebakaran hutan seperti iklim menentukan jumlah total bahan bakar yang tersedia, iklim menentukan jangka
waktu dan kekerasan musim kebakaran, cuaca mengatur kadar air dan kemudahan bahan bakar untuk terbakar, cuaca mempengaruhi proses penyalaan dan
penjalaran kebakaran Chandler et al. 1983. Menurut Sulistyowati 2004 terdapat beberapa unsur iklim yang
berpengaruh terhadap kebakaran diantaranya adalah suhu udara, kelembapan udara, curah hujan dan kecepatan angin. Ketiga unsur tersebut memiliki nilai
korelasi dan tingkat pengaruh yang berbeda-beda dengan titik panas. Suhu, kelembapan relatif, dan angin tidak berhubungan erat dan tidak berpengaruh
nyata. Curah hujan memiliki korelasihubungan cukup erat dan berpengaruh nyata.
Banyaknya curah hujan juga dipengaruhi oleh fenomena El Nino dan La Nina. Fenomena El Nino disebabkan suhu dipermukaan laut di wilayah Pasifik
lebih tinggi dibandingkan suhu permukaan laut di perairan Indonesia. Sedangkan fenomena La Nina adalah kebalikan dari El Nino. Tinggi rendahnya intensitas
curah hujan berpengaruh pada jumlah kejadian kebakaran yang diidentifikasi dengan adanya hotspot. Semakin rendahnya intensitas curah hujan semakin
meningkatnya jumlah hotspot yang terjadi demikian sebaliknya Anggraini Trisakti 2011. Kejadian El Nino dan La Nina tahun 1982-2009 terdapat pada
Gambar 1.
Gambar 1 Kejadian El Nino merah dan La Nina biru selama periode 1982- 2009 sebaliknya Anggraini Trisakti 2011
Indonesia memiliki tiga tipe curah hujan yaitu monsunal, equatorial, dan lokal. Iklim dan musim berbeda-beda pada setiap daerah di Indonesia. Perbedaan
iklim dipengaruhhi oleh faktor pengendali iklim yang mencangkup radiasi surya, letak geografis, ketinggian, posisi lokasi terhadap laut, pusat tekanan tinggi dan
rendah, aliran massa udara, halangan oleh pengunungan, dan arus laut Slamet Berliana 2007.
Dalam Slamet dan Berliana 2007 pembagian periode curah hujan yang digunakan berdasarkan penelitian The How Liong et al 2006 bahwa terjadi
pembalikan fasa terhadap siklus bilangan sunspot dari periode 1950-1975 periode I ke periode 1976 -2000 periode II. Pembalikan fasa mengakibatkan terjadinya
perubahan iklim ekstrim di Indonesia. Wilayah Sumatra Selatan Palembang memiliki musim basah periode I dari Oktober ke Mei dengan bulan kering
sebanyak satu bulan yang terpisah oleh bulan lembab. Sementara periode II memiliki dua kali musim basah. Musim basah panjang dari Oktober sampai
Pebruari dan musim basah pendek dari April ke Juni. Musim kering hanya selama dua bulan Juli-Agustus dengan dua bulan lembab September dan Maret.
Periode III mirip dengan periode II sehingga yang terjadi pergeseran bulan basah antara periode I dan II. Perbandingan kriteria bulan terdapat pada Gambar 2
Kriteria bulan kering, lembab, dan basah adalah dari Schmidth-Fergusson dengan kategori sebagai berikut :
- Bulan kering BK : bulan dengan curah hujan 60 mm
- Bulan lembab BL : bulan dengan curah hujan antara 60-100 mm
- Bulan basah BB : bulan dengan curah hujan 100 mm.
Gambar 2 Perbandingan bulan basah, lembab, dan kering untuk tiga periode Lokasi Palembang laut Slamet Berliana 2007
2.4. Hotspot
Titik panas hotspot adalah indikator kebakaran hutan yang mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu di
sekitarnya Menhut 2009. Hotspot dapat digunakan untuk mendeteksi terjadinya kebakaran suatu
lahanhutan tetapi pembakaran biomasa dalam jumlah besar, gunung berapi, cerobong api pengeboran minyak, dan hotspot palsu juga dapat dideteksi sebagai
hotspot. Hotspot palsu disebabkan oleh gelombang radio dan efek sun glint. Gelombang radio dapat mengganggu penerimaan hotspot dan muncul sebagai
hotspot palsu sedangkan efek sun glint terjadi ketika satelit melalui dan tegak lurus dengan sebuah permukaan yang sangat luas dan dapat memantulkan cahaya
matahari. Kebakaran hutan yang dideteksi sebagai hotspot adalah kebakaran dengan luas dan intensitas tertentu.
Menurut Albar 2002 secara terminologi hotspot adalah satu piksel daerah yang memiliki suhu lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerahlokasi sekitar
yang tertangkap oleh oleh sensor satelit data dijital. Salah satu sensor satelit yang digunakan untuk memonitoring permukaan
bumi adalah Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer MODIS. MODIS merupakan sensor yang terdapat pada satelit Terra EOS AM-1, yang diluncurkan
pada 18 Desember 1999 dan Aqua EOS PM-1 yang diluncurkan pada 4 Mei 2002. MODIS merekam permukaan bumi setiap hari dengan cakupan wilayah
2330 Km dan menggunakan 36 spektral band. Pemanfaatan data MODIS untuk memantau perubahan lahan dan kebakaran hutan telah banyak dilakukan
Suwarsono et al. 2009; Cassanova et al. 2004, diacu dalam Anggraini Trisakti 2011
MODIS TerraAqua dapat mendeteksi kebakaran hutanlahan seluas 1000 m
2
. Dalam kondisi pengamatan yang optimal dekat nadir, asap sedikittidak ada, permukaan bumi yang relatif homogen kebakaran hutanlahan dengan
ukuran 100 m
2
dapat dideteksi. Namun dalam kondisi bebas awanasappolusi sangat jarang sekali kebakaran seluas 50 m
2
dapat dideteksi FIRMS 2012. Hotspot dapat diartikan bahwa terjadi kebakaran terjadi di dalam lingkup
pixel berukuran 1 Km
2
. Pixel merupakan unit terkecil dari citra satelitfoto. Satu pixel pada citra satelit NOAA, TERRA dan AQUA setara dengan + 1 Km
2
. Namun 1 pixel tidak selalu setara dengan 1 Km
2
ketika berada di pinggiran lintasan. Ketika terjadi kebakaran pada koordinat tertentu maka koordinat tersebut
akan ditampilkan di tengah pixel meskipun kebakaran berada di pinggir pixel, sehingga untuk mengetahui lokasi terjadinya kebakaran harus menelusuri kurang
lebih 1 Km2 dari lokasi koordinat hotspot tersebut. Data hotspot disajikan dalam bentuk koordinat hotspot dari titik panas.
Koordinat hotspot berada di tengah piksel sebuah citra satelit. Titik panas dari lokasi kebakaran hutan di lapangan dapat bergeser hingga radius 1 km di
sekeliling koordinat hotspot.
Dalam menentukan hotspot nilai ambang suhu sehingga suatu titik diidentifikasi sebagai hotspot yaitu 315K 42
C pada siang hari dan 310K 37 C
pada malam hari Dephut-JICA 2002.
2.5. Panjang Derajat Lintang Bujur
Koordinat geografis pada permukaan bumi dinyatakan dalam satuan sudut derajat, dimana satu lingkaran memiliki 360 derajat, 60 menit per derajat, dan 60
detik per menitnya. Pengukuran lintang dan bujur pada permukaan bumi mengacu pada besaran sudut di suatu model elipsoida bumi, sehingga panjang 1 derajat
lintang akan berbeda-beda sesuai dengan posisinya di permukaan bumi. Panjang 1 derajat lintang di ekuator adalah sebesar 110,57 km 68,7 mil,
sedangkan di kutub sebesar 111.69 km 69,4 mil. Panjang derajat lintang dijelaskan pada Tabel 1 Kirvan 1997, sehingga panjang satu derajat lintang di
sekitar khatulistiwa adalah sekitar 110,574 km. Tabel 1 Jarak derajat lintang Kirvan 1997
derajat 0°
110.574 km 111.320 km
15° 110.649 km
107.551 km 30°
110.852 km 96.486 km
45° 111.132 km
78.847 km 60°
111.412 km 55.800 km
75° 111.618 km
28.902 km 90°
111.694 km 0.000 km
Panjang derajat bujur bergantung pada radius lingkaran lintang. Untuk bidang lengkung bulatan radius
nilai radius pada lintang adalah dan panjang arc untuk satu derajat
180 radian bertambah dengan
Jika bumi dimodelkan seperti elips maka persamaan dimodifikasi menjadi
Dimana e merupakan penyimpangan elipsoid yang berhubungan dengan x mayor dan minor equator dan polar sehingga
2.6. Spatial Data mining SDM
Spatial data mining merupakan salah satu proses yang digunakan dalam melakukan analisis terhadap data spasial. Spatial Data Mining SDM merupakan
proses menemukan sesuatu yang menarik yang sebelumnya tidak diketahui, tetapi memiliki potensi yang besar dan bermanfaat dari data spasial yang besar Roddick
Spiliopoulou 1999; Shekhar Chawla 2003. Tujuan dari SDM adalah menemukan pola atau informasi yang tersembunyi dan berguna dari basis data
spasial Leung 2010.
2.7. Spatiotemporal Data
Data spatiotemporal diindek dan diambil sesuai dengan dimensi ruang dan waktu. Periode waktu yang melekat pada data spasial yang berlaku dan disimpan
dalam basis data yang valid Birant Kut 2007.
A AB
B Ruang
t1 t2
tn Waktu
Perubahan
Gambar 3 Ilustrasi perubahan data spatiotemporal Rahim 2006 Menurut Rahim 2006 data spatiotemporal dalam kenyataannya
merupakan data spasial yang berubah seiring waktu. Gambar 3 merupakan ilustrasi perubahan objek A menjadi AB dan B dalam waktu t1 ke tn. Data
spatiotemporal merupakan rangkaian perubahan data spasial yang akan terjadi hingga waktu ke n dan pergerakan lokasi geografis geographic movement.
Informasi geografis terdiri dari informasi ruang, atribut, dan waktu. Ruang mendeskripsikan lokasi dan bentuk. Atribut mendeskripsikan tipe fitur, nama dan
informasi lain yang berhubungan. Waktu mendeskripsikan perilaku perubahan dan
selalu berhubungan dengan perubahan geografis. Sehingga ruang dan atribut memiliki hubungan dengan waktu.
2.8. Penggerombolan Spasial
Penggerombolan merupakan proses penggolongan data ke dalam kelas atau clustering, sehingga objek di dalam suatu penggerombolan memiliki tingkat
persamaan lebih tinggi dari pada objek yang terdapat pada penggerombolan yang lain Han Kamber 2006. Metode ini akan membentuk data menjadi k grup
partisi dengan persyaratan minimal memiliki satu anggota pada setiap grup dan setiap objek pada basis data harus berada dalam satu grup partisi.
Penggerombolan spasial dapat diterapkan pada sekelompok objek spasial yang serupa secara bersama-sama, dengan asumsi implisit bahwa pola cenderung
dikelompokkan dalam ruang dibandingkan dengan pola acak. Sebagai fungsi dari data mining, penggerombolan spasial dapat digunakan sebagai alat yang berdiri
sendiri untuk mendapatkan wawasan tentang distribusi data, mengamati karakteristik setiap penggerombolan, dan fokus pada kelompok penggerombolan
tertentu untuk analisis lebih lanjut Han et al. 2001. Segmentasi atau penggerombolan melibatkan partisi satu kumpulan data
yang dipilih ke dalam kelompok yang bermakna atau kelas. Proses pengelompokan dapat mengakibatkan partisi yang berbeda pada suatu data,
tergantung pada kriteria khusus yang digunakan untuk penggerombolan. Jadi sebelum melakukan penggerombolan dibutuhkan praproses dalam satu kumpulan
data. Langkah-langkah dasar untuk proses penggerombolan disajikan Gambar 4 Fayyad et al. 1996.
Gambar 4 Tahapan proses penggerombolan Fayyad et al. 1996.